Selasa, 08 Desember 2009

al-Muluk al-Thawaif di Andalusia

A. Dinasti Murabithun
1. Proses Berdiri dan Perkembangan Dinasti Murabithun
Murabithun adalah sebuah Dinasti yang pernah beruasa di Maroko, al-Jazair Barat dan Andalusia sekitar tahun 1061-1147 M. Munculnya Dinasti ini berawal dari suatu gerakan keagamaan yang bertujuan memberantas berbagai penyelewengan dalam bidang agama, dan berusaha menyebarkan ajaran agama yang benar. Namun dalam perkembangannya, gerakan ini tidak hanya memfokuskan diri dalam bidang keagamaan, juga memasuki wilayah militer dan kemudian politik dan kekuasaan.
Gerakan ini dimotori oleh suku Lamtunah, cabang suku Shanhajah da-ri su¬ku Barbar. Suku ini merupakan sempalan dari suku Arab Bani Himyar yang ber¬migrasi ke wilayah Afrika Utara bersamaan dengan kedatangan gubernur Bani Umayah bernama Uqbah bin Nafi’. Jumlah mereka semakin bertambah ke¬tika Musa bin Nushair menjadi gubernur di wilayah Afrika. Dalam perkem¬bangan be¬rikutnya, mereka menjadi sebuah komunitas yang cukup dominan di wilayah tersebut. Oleh karena itu, wajar kalau kemudian gerakan Murabithun ini yang dipelopori Yahya bin Ibrahim al-Jaddali, salah seorang kepala suku Lamtunah, sempalan dari generasi Bani Himyar. Gerakan ini dimulai sekembalinya dari perjalanan ibadaah haji. Dalam perjalanannya kembali ke kampung halaman, di Naflis ia berjumpa dengan seorang alim bernama Abdullah bin Yasin al-Jazuli.
Dengan kesungguhan hati, Yahya bin Ibrahim meminta Abdullah bin Yasin untuk datang ke tempat tinggalnya dan mengajarkan ilmu agama yang benar kepada penduduk di tempat tinggal Yahya. Ajakan itu diterima dengan baik oleh Abdullah bin Yasin, sehingga ia bersama Yahya pergi menuju tempat kelahiran Yahya bin Ibrahim.
Akan tetapi, dakwah Islam yang disampaikan oleh Abdullah bin Yasin tidak mendapat banyak sambutan, kecuali dari keluarga Yahya bin Ibrahim, Yahya bin Umar dan keluarga adinya, Abu Bakar bin Umar. Melihat kegagalan dakwah yang disampaikannya, akhirnya Abdullah bin Yasin mengajak beberapa orang pengikutnya pergi ke sebuah pulau di Sinegal. Di sinilah Abdullah bin Yasin dan para pengikutnya mendirikan ribath. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok Abdullah bin Yasin dan Yahya bin Ibrahim, semakin bertam¬bah banyak. Ketika jumlah pengikutnya sekitar seribu orang, Abdullah bin Yasin memerintahkan kepada seluruh pengikutnya untuk menyebarkan ajaran mereka ke luar ribath dan memberantas berbagai penyimpangan ajaran agama. Sasaran usaha kelompok ribath ini tidak hanya ditujukan kepada individu, juga kepada para penguasa yang memungut pajak terlalu tinggi tanpa ada distribusi yang jelas kepada masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pengikur ribath semakin bertambah banyak, mereka mulai melirik cara lain dalam pengembangan ajaran kelompok ini, yaitu dengan memasuki wilayah politik militer dan kekuasaan. Untuk kepentingan itu, mereka mengangkat Yahya bin Umar menjadi panglima milter mereka. Kelompok ini kemudian melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah Sahara Afrika dan menaklukkan penduduk-nya. Usaha ekspansi ini bukan berarti tidak ada pelawanan, penguasa Sijil-mash bernama Mas’ud bin Wanuddin al-Magrawi melakukan perlawanan sengit, meskipun akhirnya ia gugur dalam pertempuran tersebut dan ibu kota Wadi Dar’ah direbut oleh kelompok Murabithun pada tahun 1055 M.
Setelah Yahya bin Umar meninggal pada tahun 1056 M, tampuk kekuasaan diambil alih oleh adiknya bernama Abu Bakar dan keme¬nakan-nya bernama Yusuf bin Tasyfin. Setelah Abdullah bin Yasin meninggal pada tahun 1059 M, dalam sebuah pertempuran melawan suku-suku Barbar di pantai Samudera Atlantik. Sepeninggal Abdullah bin Yasin, tampuk kekuasaan dan wilayah-wilayah kekuasaan kaum ribath diambil alih oleh Abu Bakar dan Yusuf bin Tasyfin.
Ketika terjadi konflik di antara suku-suku yang ditinggalkannya di bagian utara, kedua berpisah. Abu Bakar kembali ke sahara untuk mengem¬balikan keamanan dan ketertiban. Sementara Yusuf bin Tasyfin melanjutkan usaha penaklukkannya ke wilayah Utara. Usaha keduanya berhasil dengan baik. Karena itu, Abu Bakar berkeinginan kembali ke Utara dan mengambil kendali kekuasaan. Tetapi apa yang diharapkan Abu Bakar tidak menjadi kenyataan. Karena kedatangannya di wilayah Maghribi tidak diharapkan oleh Yusuf bin Tasyfin dan isterinya bernama Zainab. Karena itu, ketika Abu Bakar tiba Yusuf tidak pernah menyinggung soal kepemimpinan. Yusuf hanya memberikan hadiah dengan junmlah yang cukup banyak.
Tampaknya Abu Bakar tidak mau bersitegang dengan keme¬nak¬an-nya hanya karena persoalan politik kekuasaan. Karena ia menyadari bahwa latar belakang berdirinya kelompok ini semata bertujuan memberikan pe-ringatan kepada semua orang dan para penguasa yang telah melakukan pe-nyimpangan ajaran agama. Karena itu kemudian ia pergi meninggalkan Maghribi dan kembali ke sahara, terus pergi ke Sudan dan meninggal di sini pada tahun 1078 M.
Sepeninggal Abu Bakar, Yusuf bin Tasyfin yang telah menjadi pe-nguasa baru, mulai melakukan gerakan pembangunan. Salah satunya ada-lah membangun kota Maroko sebagai pusat gerakannya. Setelah itu, Yusuf melajutkan usaha ekspansinya ke wilayah lain. Pada tahun 1070 M ia ber-hasil merebut kota Fez. Tahun 1078 M merebut Tangier dan pada tahun 1080-1082 M ia berusa memperluas wilayah kekuasaanya hingga ke al-Jazair. Dengan demikian, Murabithun di bawah kendali Yusuf bin Tasyfin telah memiliki luas wilayah yang terbentang dari Pantai Utara Afrika hing-ga Sinegal.
Usaha selanjutnya yang dilakukan Yusuf adalah mempluas wilayah kekkuasaan ke Andalusia. Pada masa itu, pemerintahan Islam di Andalusia tengah mengalami kelemahan, karena tidak ada kesatuan kepemimpinan. Umat Islam di Andalusia berada dalam perpecahan di bawah kerajaan-kerajaan kecil atau mulukut thawaif. Selain itu, para penguasa Kristen seperti Alfonso VI yang memerintah Leon dan Castille. Raja ini menguasai wilayah Islam dan memungut upeti dari para raja lokal. Selanjutnya, raja Alfonso ini menguasai Toledo pada tahun 1085 M. Toledo, sebelumnya dikenal sebagai salah satu pusat kekuasaan Islam yang cukup besar ketika itu.
Jatuhnya Toledo ke tangan raja Alfonso VI mamaksa al-Mu’tamid bin Ibbad, raja Seville, meminta bantuan kepada Yusuf bin Tasyfin, penguasa Murabithun. Permintaan tersebut disambut dengan baik oleh Yusuf bin Tasyfin. Setelah ia bermusyawarah dengan pembesar istana dan ulama, akhirnya pada tahun 1086 M mengirimkan bantuan ke Andalusia.
Dalam sebuaha pertempuran di Zallaka dekat Bedajoz, Yusuf dan pasukannya bverhasil mengalahkan pasukan Castille dan berhasil membu-nuh Alfnso VI. Tetapi kemenangan itu masih dianggap belum optimal, ka-re¬na Yusuf belum berhasil menguasai Badajoz dan Toledo masih berada di ba¬wah kekuasaan orang-orang Kristen.
Kemenangan Yusuf di Zallaka ini merupakan langkah awal bagi Yu-suf untuk menjadi penguasa di Andalusia. Mulai saat itu, Yusuf meng¬gu-na¬kan gelar Amirul Mukminin. Meskipun begitu, kepemimpinannya masih te¬tap mengakui keberadaan Dinasti Ababsiyah di Bagdad.
Untuk mempertahankan wilayan yang baru itu, Yusuf menempatkan 300 personel tentara di Andalusia. Sementara Yusuf sendiri kembali ke Af-ri¬ka Utara karena mendengar berita kematian anaknya. Akan tetapi, kekuatan yang ditinggalkan Yusuf di Andalusia, tidak mampu menandingi kekuatan Kristen. Sebab kekuatan yang kecil itu tidak sebanding dengan kekuatan tentara yang dimiliki penguasa Kristen yang menguasai hampir seluruh wi¬layah di Andalusia. Dampaknya, kekuatan tentara Kristen akan mengancam kekuasaan al-Mu’tamid di Andalusia. Karena itu, untuk kedua kalinya, al-Mu’tamid mengundang Yusuf bin Tasyfin guna membantunya dari an¬ca¬man tentara Kristen. Akhirnya pada tahun 1090 M, Yusuf dan pasukannya kembali datang ke Andalusia. Serangan pertama berhasil menaklukkan Ale¬do dan menguasai Castille.
Kedatangannya yang kedua kali ini menyadarkan diri Yusuf, bahwa kelemahan politik dan keruntuhan moral di Andalusia mengharuskan Mu-rabithun menguasai Andalusia. Untuk itu, Yusuf meminta bantuan kepada para ulama di Granada dan Malaga untuk mengeluarkan fatwa. Fatwa itu berisi tentang ketidakcakapan para penguasa muslim di Andalusia karena mereka telah menyimpang dari ajaran al-Qur’an. Fatwa ini juga didukung oleh Imam al-Ghazali. Fatwa inilah yangdijadikan dasar kita bagi Yusuf bin Tasyfin untuk menguasai Andalusia. Para penguasa Islam yang tidak mau menyerahkan kekuasannya kepada Murabithun, akan diperangi. Tekad Yusuf tidak hanya menghapuskan kekuasan Kristen dan rfaja-raja kecil di Andalusia, juga menjadikananya sebagai bagian integral dari kekuasaan kaum Murabithun di Afrika Utara.
Tekad ini dibuktikan oleh Yusuf bin Tasyfin. Karena itu, pada tahun 1090 M Granada dapat dikuasai. Tahun 1091 M, Cordova jatuh ke tangan kekuasaan Yusuf dan dijadikan sebagai ibu kota kedua Dinasti Murabithun. Setelah itu, Seville dapat juga dikuasai dan al-Mu’tamid ditangkap serta dibuang ke Afrika Utara hingga ia meninggal di sana pada tahun 1095 M. Dari selatan kemudian Yusuf bin Tasyfin menaklukkan wilayah Utara An¬dalusia, sehingga pada tahun 1094 M Bajoz dikuasai, terus Valensia pada tahun 1102 M, dan Saragossa pada tahun 1110 M.
Kemenangan-kemenangan Yusuf tersebut menunjukkan bahwa ten-tara Yusuf lebih kuat dibanding dengan tentara Kristen. Selain itu, juga mendapat dukungan kuat dari masyarakat muslim Andalusia. Tetapi ke¬ge-milangan Yusuf tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 1106 M, Yusuf bin Tasyfin meninggal dunia. Kekuasaan sebesar dan seluas itu, mulai dari Afrika Utara dan lainnya hingga Andalusia.
Akan tetapi, kecakapan Yusuf dalam memimpin, tidak dapat diwa¬ri-si oleh Ali bin Yusuf bin Tasyfin. Meskipun begitu, pada masa kepe¬mim-pinannya ditemukan banyak kemajuan, terutama dalam bidang arsitektur bangunan, sehingga banyak bangunan megah di wilayah kekuasaan Mu-rabithun.
2. Kemajuan-kemajuan yang Dicapai Dinasti Murabithun
Selama masa pemerintahan Dinasti Murabithun di Andalusia (1061 – 1147 M) banyak perkembangan yang dicapai, terutama pada masa kepe-mimpinan Yusuf bin Tasyfin dan puteranya Ali bin Yusuf bin Tasyfin. Di antara perkembangan dan kemajuan yang dicapai ketika itu adalah:
a. Filsafat.
Sebagaimana ditegaskan pada bagian sebelumnya bahwa berkat jasa khalifah al-Hakam (961-976 M) dari Dinasti Bani Umayah, karya-karya il¬mi-ah dan filosofis diimport dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cor¬dova dengan per¬pus¬ta¬kaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Bagdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kebijakan para penguasa Dinasti Bani Umayah di Andalusia ini merupakan langkah untuk melahirkan para ilmuan dan filosuf terkanal.
Meskipun Bani Umayah II telah mundur dan munculnya kerajaan-kerajaan kecil srta kedatangan kelompok Murabithun, proses pengkajian dan penulisan karya filsafat terus berlangsung. Aktifitas para intelektual dan filosuf muslim tidak terpengaruh oleh situasi sosial politik yang tengah tidak menentu. Hak itu ditandai dengan masih lairnya seorang filosuf terkenal kelahiran Saragossa. Dia adalah Abu Bakar bin Muhamad bin al-Sayyigh yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Bajjah. Pengembaraan intelektualnya dari Saragossa, Sevilla, Granada dan Fez melahirkan karya terkenalnya, yaitu Tadbir al-Muytawahis. Karya filsafat ini berisi tentang filsafat etika dan masalah-masalah eskatologis.
Filosuf kedua yang sangat terkenal dengan roman filsafatanya adalah Ibnu Thufail. Ia dilahirkan di sebuah desa kecil di Wadi Asy, sebelah timur Granada. Karya monumentalnya adalah Hay bin Yaqdzan. Selain itu, sekitar tahun 1126 M lahir seseorang yang kemudian dikenal sebagai filosuf ke¬namaan, yaitu Ibnu Ruaysd di Cordova. Ibnu Ruayd dalam jajaran filosuf dikenal sebagai komentator filsafat Aristoteles. Dari komentar-komentar yang dikemukakannya, masyarakat dapat memahami dengan mudah fil¬safat Arfsitoteles. Dia juga dikenal sebagai seorang filosuf yang mencoba mendamaikan antara filsafat dengan agama. Di antara karya monumen¬tal¬nya adalah Bidayah al-Mujtahid.


b. Sains
Riset ilmiah yang dilakukan para ilmuan muslim ketika itu meng¬ha-silkan berbagai teori sains dan ilmu pengetahuan. Di antara sains yang ber-kembang saat itu adalah kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain. Salah seorang tokoh terkenal dalam ilmu kimia dan astronomi adalah Abbas bin Farmas. Dia adalah orang pertama yang menemukan pem-buatan kaca dari batu. Ibrahim bin Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Dalam riset yang dilakukannya berhasil menentukan waktu ter-jadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lama terjadinya gerhana tersebut. Selain itu, ia juga berhasil membuat teropong bintang modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ah-mad bin Ibbas dari Cordova adalah seorang ahli dalam bidang obat-obatan. Ummul Hasan binti Abi ja’far dan saudara perempuannya al-Hafidz Adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.

c. Fiqih mazhab Maliki.
Dalam bidang fiqih, mazhab yang berkembang dengan baik di An-dalusia adalah mazhab Maliki. Orang yang pertama kali yang memper¬ke-nalkan mazhab ini ke Andalusia adalah Ziyad bin Abdurrahman. Per¬kem-bangan selanjutnya ditentukan oleh Ibnu Yahya yang menjadi qadli ( hakim agung) pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdurrahman. Para ahli fiqih lainnya antara lain adalah Abu Bakar bin al-Quthiyah, Munzir bin Sa’ad al-Baluthi dan Ibnu Hazam.
Mazhab Maliki ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan, karena selain satu-satunya mazhab yang dapat diterima di kalangan muslim Andalusia, juga karena mendapat dukungan kuat dari para penguasa Mu¬ra¬bithun dan para fuqaha. Karenanya wajar bila mazhab ini mengalami ke¬ma¬juan dengan pesat.

3. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Murabithun

Sepeninggal Yusuf bin Tasyfin pada 1106 M, kekuasaan Murabithun ha¬nya bertahan kurang lebih setengah abad. Karena pada fase ini Ali bin Yusuf ti¬dak banyak melakukan konsolidasi kekuatan dan kekuasaan, se-hingga menga¬la¬mi masa-masa kemunduran.dalam catatan sejarah, dike¬ta-hui bahwa Ali bin Yu¬suf tidak secakap ayahnya dalam masalah kepe¬mim-pinan dan politik, karena ternyata Ali lebih cenderung ke masalah-masalah keagamaan. Sehingga untuk masalah kepemimpinan dan kenagaraan, para ulama yang memain¬kan¬nya.
Peranan ulama yang sangat dominan di dalam pemerintahan, men-jadi penyebab ketidaksukaan kelompok Kristen. Sebab kedudukan dan jabatan-ja¬bat¬an strategis dalam pemerintahan dipegang oleh mereka. Me-reka mengeluarkan kebijakan yang sangat diskriminatif, khususnya ter¬ha-dap kelompok Yahudi dan Kristen. Apabila kelompok non muslim ingin menjalan¬kan praktik keagamaan, mereka diminta untuk membayar pajak bila ingin bebas menjalankan ibadahnya. Bagi kelommpok masyarakat non-muslim yang tidak mampu membayar, me¬reka diminta untuk pergi me-ninggalkan tempat tinggal mereka. Kebijakan yang tidak populer ini men-ja¬di salah satu faktor penyebab perlawanan masyarakat non muslim An-dalusia.
Ketidakmampuan Ali dalam mengendalikan pemerintahan dan ke-cen¬de¬rungan zuhudnya, membuatnya tidak berdaya ketika para tokoh agama mengatur dirinya. Kondisi ini diperparah dengan adanya kecen¬de-rungan para fuqaha yang suka menump;uk harta kekayaan dan meng¬ka-firkan orang lain. Mereka seringkali terlibat perdebatan di sekiktar furuiyah dalam masalah fiqih, sehingga dengan mudah menjatuhkan vonis kepada seaorang. Lebih parah lagi, pendapat merekalah yang dijadikan bahan rujukan dalam menjalankan roda pemerintahan Dinasti Murabithun saat itu.
Ketidakbecusan Ali, kerakusan para fuqaha dalam menimbun harta dan kesukaan mereka mengkafirkan orang lain, menjadikan negara tidak dapat dikontrol dengan baik. Sehingga satu persatu wilayah Dinasti Mu-rabithun jatuh ke tangan pihak lain. Sekitar tahun 1118 M, Saragossa jatuh ke tangan Alfonaso I, raja Aragon. Raja tersebut meluaskan pengaruhnya sampai ke Selatan Andalusia dengan melakukan ekspansi pada tahun 1125-1126 M. Tindakan ini diikuti oleh Alfonso VI, raja Castila yang melakukan ekspansi ke Selatan Andalusia pada tahun 1133 M.
Ketika Ali bin Yusuf meninggal dunia pada tahun 1143 M, kekua¬sa-annya diwariskan kepada puteranya bernama Tasyfin bin Ali. Seperti ayah-nya, Tasyfin juga tidak mampu mengendalikan pemerintahan. Keadaan ini membuat Dinasti Murabithun menjadi sasaran empuk para penguasa Kristen. Keadaan ini se¬ma¬kin parah ketika kelompok Muwahhidun meng-uasai ibu kota Dinasti Mura¬bi¬thun, Maroko pada tahun 1146 M dan mem-bunuh raja terakhir Mura¬bithun, ya¬itu Ishaq bin Ali. Dengan jatuhnya Ma-roko ke tangan Muwah¬hidun, secara oto¬matis wilayah kekuasaan Mu¬ra-bithun di Andalusia menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Muwahhidun.
Untuk mengetahui faktor-faktor kemunduran dan kehancuran Di¬nas-ti Murabithun, berikut uraian singkat.
1. Ketidakcakapan generasai penerus setelah Yusuf bin Tasyfin dalam men¬jalankan roda pemerintahan. Hal ini menimbulkan konflik in-ternal dan eksternal yang menyebabkan wilayah kekuasaannya mengalami dis¬in¬teg¬rasi dan ditaklukkan oleh tentara Kristen.
2. Kehidupan mewah yang dijalani para penguasa yang umumnya berasal dari bangsa Barbar, sehingga tidak mementingkan rakyat dan memper¬ha¬tikan wilayah kekuasannya.
3. Rendahnya moral para penguasa dan melupakan tujuan awal pendirian murabithun yang ingin menghapus kebiasaan buruk para penguasa dan mereka yang telah melakukan penyimpangan ajaran agama
4. Fanatisme (ta’ashub) terhadap mazhab Maliki dan menganggap remeh penganut mazhab lain.
5. Para ulama dan fuqaha telah melupakan al-Qur’an dan hadis dalam mengeluarkan berbagai fatwa.

Faktor–faktor tersebut antara lain yang menjadi penyebab kemun-duran dan kehancuran Dinasti Murabithun di Azndalusia.

B. Dinasti Muwahhidun (1121-1235 M
1. Proses Berdiri dan Perkembangan Dinasti Muwahhidun.
Dinasti Muwahhidun merupakan salah satu kerajaan Islam yang didirikan oleh bangsa Barbar Islam II setelah Dinasti Murabithun. Dinasti ini pernah menguasai wilayah yang terbentang dari pulau-pulau di Samudera Atlantik hingga ke perbatasan Mesir dan Andalusia (Eropa). Ini merupakan prestasi besar yang dilakukan bangsa Barbar Islam di Afrika Utara, setelah Murabithun.
Muwahhidun adalah nama sebuah Dinasti yang didirikan oleh Ibnu Tumart pada tahun 1121 M. Ibnu Tumart dilahirkan di Sus, Maroko. Ia be-rasal dari suku Masmudah, salah satu suku yang terkenal dengan kebe¬ra¬ni-annya, mulia, kaya dan tersebar di seluruh Maroko. Hal-hal di atas meru-pakan faktor penunjang dari keberhasilan Ibnu Tumart dalam menjalankan pergerakannya.
Dalam catatan sejarah, Ibnu Tumart pernah belajar di pusat-pusat studi Islam kenamaan, seperti Cordova, Alexandria, Makah dan Bagdad. Di kota Bagdad, Ibnu Tumart pernah belajar di Madrasah Nidlamiyah, sebuah perguruan tinggi terkemuka di kota Bagdad. Dalam pengembaraan ilmi¬ah-nya ia banyak berdialog dengan pemikiran-pemikiran yang aktual saat itu, di antaranya adalah soal tidak diperlukan lagi bagi para penganut mazhab Maliki untuk belajar tafsir al-Qur’an dan al-Hadis, karena keduanya telah dilakukan oleh Imam Malik. Kenyataan ini membuat Ibnu Tumart merasa ditantang. Untuk mengimbangi pemikiran seperti itu, ia menyerukan ke¬pa-da umat Islam di Andalusia, agar menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis serta Ijma’ sahabat sebagai dasar dari ajaran Islam. Selain itu, ia menolak ra’yu dan Qiyas sebagai dasar hukum.
Pemikiran keagamaan dan hukum yang stagnan (mandek) serta pen-didikan yang rendah pada masa pemerintahan Dinasti Murabithun, dija-dikan sebagai motivasi dirinya untuk pergi ke Bagdad mencari ilmu. Se-kembalinya dari Bagdad ke Afrika Utara, Ibnu Tumart pada tahun 1100 M bertekad untuk melakukan pemurnian ajaran Islam. Karena menurut¬nya, ajaran Islam di bawah pememrintahan Dinasti Murabhitun, mengalami pe-nyimpangan. Gerakannya ini didasari atas keinginan untuk memurnikan ajaran Islam berdasarkan tauhid. Karena itu, gerakannya ini kemudian di-ke¬nal dengan sebutan Muwahhidun.
Gerakan yang dilakukannya ini tidak banyak mendapat respons dari masyarakat, sehingga ia lebih memilih nomaden. Di tengah perjalanan, setelah keluar dari kota Bogie tahun 1117 M, ia bertemu dengan Abdul Mu’in. Dialah orang yang akan menggantikan posisinya kelak sebagai pemimpin kelompok Muwahhidun. Dari Maroko, Ibnu Tumart dan Abdul Mu’in pindah ke Tinmal. Dari kota inilah Ibnu Tumart melancarkan propa-gandanya.
Setelah mendapat pengikut yang banyak dan kepercayaan penuh dari orang-orang terkemuka di sukunya, pada tahun 1121 M ia mengaku dirinya sebagai al-Mahdi dan bertekad untuk mendirikan pemerintahan Islam yang didasari atas prinsip-prinsip ketauhidan.
Untuk mewujudkan semua keinginannya, Ibnu Tumart mengirim sejumlah pengikutnya ke berbagai tempat untuk mengajak penduduk itu ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam dan menyelamatkan diri dari ajaran kelompok Murabithun yang dianggap telah menyekutukan Allah. Anjuran yang selalu diajarkan kepada para pengikutnya adalah untuk berakhlak mulia, taat pada undang-undang, shalat tepat pada waktunya, membawa wirid yang dibuat al-Mahdi dan buku-buku akidah Muwah¬hi¬dun.
Sejak ia mengaku dirinya sebagai al-Mahdi, pengikutnya terus ber-tambah dan berhasil, menghimpun sejumlah orang Barbar yang ketuanya adalah sahabat atau murid Ibnu Tumart. Dari sinilah kemudian Ibnu Tu-mart menyusun konsep dan memberikan defenisi yang jelas bagi ke¬lom-poknya.
Pertama, kelompok Muwahhidun merupakan suatu kesatuan sosial yang beriman secara benar. Di luar mereka adalah kafir yang perlu di¬pe-rangi. Kedua, kesatuan sosial itu dipimpin oleh imam. Imam pertama adalah al-Mahdi selanjutnya adalah khalifah-khalifah.ketiga, al-Mahdi dibantu oleh 10 orang yang dipilih secara ketat dan berfungsi sebagai kabinet peme-rin¬tahan. Kesepuluh oranag ini dapat menjadi komandan militer atau me-wa¬ki¬li al-Mahdi dalam imam shalat. Keempat, dewan 50 orang yang anggota-anggotanya terdiri dari cabang-cabang Barbar yang merupakan bagian dari masyarakat Muwahhidun yang berfungsi sebagai penasihat. Kelima, dewan 70 orang sebagai anggota majli rakyat.
Kontak pertama dengan Murabhitun terjadi ketika gubernur Sus de-ngan pasukannya menyerang suku Hurglah yang membangkan terhadap pemerintah Murabithun. Tetapi, pasukan itu dapat dikalahkan oleh ke¬lom-pok Muwahhidun. Kemenangan pertama ini membangkitkan semangat ke-lompok Muwahhidun untuk melakukan serangan ke Maroko. Dengan kekuatan besar, kelompok Muwahhidun berusaha menaklukkan Maroko pada tahun 1125 M, tetapi gagal.
Setelah Ibnu Tumart wafat pada tahun 1128 M, posisinya digantikan oleh Abdul Mu’in setelah mendapat pengakuan dan dinobatkan oleh De-wan 10 orang. Gelar yang dipakai bukanlah al-Mahdi, melainkan khalifah.
Setelah dinyatakan sah sebagai khalifah, langkah pertama yang di¬la-kukannya adalah menundukkan kabilah-kabilah di Afrika Utara dan meng-akhiri kekuasaan Mrabhitun di Afrika Utara. Sejak tahun 1144-1146 M, ia berhasil menguasai kota-kota yang pernah dikuasai Murabithun, seperti Tlemcen, Fez, Tangier, dab Aghmat. Setelah itu, Andalusia dikuasainya pa-da tahun 1145 M. Kemudian pada tahun 1147 M seluruh wilayah Mu¬ra¬bi-thun dikuasai Muwahhidun.
Usaha ekspansi Abdul Mu’min terus berlanjut. Pada tahun 1159 M, ia berhasil menaklukkan Almeria dan menjadikan Giblaltar sebagai pusat pe¬merintahannya. Kemudian pada tahun 1162 M ia kembali ke Afrika Utara untuk memperkuat pangkalan militernya di Rabath guna memperkuat se-rangannya ke beberapa wilayah di Andalusia. Namun sebelum keingin¬an-nya itu terwujud, ia keburu wafat pada tahun 1163 M. dapat ditaklukkan oleh Abdul Mu’in pada tahun 1125 M.
Sepeninggal Abdul Mu’min, jabatan khilafah dipegang oleh anaknya bernama Abu Ya’kub Yusuf (1162 M). Dalam menjalankan roda peme¬rin-tahan, ia tetap berpegang pada kebijakan ayahnya. Karena itu, pada tahun 1172 M Abu Ya’kub berhasil merebut Seville, salah satu bandar penting di Andalusia. Serangan ini dilanjutkan hingga ke Toledo. Ketika pasukan Abu Ya’kub bermaksud mengadakan serangan ke Lisbon, di tengah perjalanan di Santarem pasukannya dihadang oleh pasukan Kristen. Serangan ini me-nyebabkan ia tidak dapat menghindar hingga ia terluka dan kemudian wa-fat tahun 1184 M.
Posisinya kemudian digantikan oleh Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur. Untuk menjalankan pemerintahan, ia mengangkat Hafs sebagai Wazir dan Yahya bin Yusuf sebagai panglima militer di Andalusia. Pada masa pe¬me-rintahannya, ia menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa kekuatan Murabithun, seperti Yahya, gubernur Valencia dan Muha¬mad, gu¬bernur Cordova. Namun keduanya dapat dikalahkan. Al-Mansur kemudian melanjutkan serangannya dan berhasil menguasai Bogie dan bagian daerah al-Jazair.
Peristiwa paling bersejarah dalam masa kepemimpinannya adalah usahanya yang berhasil mematahkan serangan Alfonso VIII di Alacros yang terletak di antara Cordova dan Toledo. Usai kemenangan itu, pada tahun 1198 M, al-Mansur meninggal dan posisinya digantikan oleh Muhamad al-Nasir. Pada masanya, Dinasti Muwahhidun mulai melemah, sementara pasukan Kristen semakin kuat.
2. Kemajuan-kemajuan yang Dicapai Dinasti Muwahhidun

Berbagai kemajuan telah dicapai oleh Dinasti Muwahhidun, di antaranya adalah sebagai beriikut:
a. Politik. Dalam bidang politik, Muwahhidun berhasil mengua-sai daerah kepulauan Samudera Atlantik hingga Mesir dan Andalusia.
b. Ekonomi. Dalam bidang ekonomi, Dinasti Muwahhidun meng-uasai jalur-jalur strategis di Italia dan menjalin hubungan dagang dengan Genoa, Pisa Marseila, Venecia dan Sicilia. Pa-da tahun 1154 M Muwahhidun mengadakan perjanjian da-gang dengan Genoa dan tahun 1157 M dengan Pisa. Perjanjian itu berisi tentang perdagangan, ijin mendirikan bangunan ge-dung, kantor, loji dan pemungutan pajak.
c. Dalam bidang arsitektu yang berbentuk monumen, seperti Giralda, menara pada masjid Jami’ di Seville, Bab Aguwnaou dan al-Kutubiyah, menara yang sangat megah di Maroko dan menara Hasan di Rabath.
d. Bidang Ilmu Pengetahuan dan filsafat. Pada masa Abu Ya’kub hidup orang terkenal seperti Ibrahim bin Malik (Ibnu Mul-kun), seorang pakar al-Qur’an dan nahwu, al-Hafidz Abu Ba-kar bin al-Jad, ahli fiqih, Ibnu Zuhry, ahli kedokteran, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd, para filosuf muslim kenamaan.
3. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Muwahhidun
Sejak khilafah dipegang oleh Muhamad al-Nasir, Dinasti Muwah¬hi-dun mulai menunjukkan kelemahan-kelemahannya, karena khalifah ini ti-dak memiliki kemampuan untuk menyusun strategi militer guna meng¬ha-dapi kekuatan tentara Kristen.
Akibatnya, kekuasaan yang ada di tangannya digerogoti oleh ke¬ku-atan tentara Kkristen. Pada tahun 1212 M raja Alfonso VIII dan pasukan se-kutunya dari Leon, Castille, Navarre dan Aragon, melakukan serangan ke markas Muwahhidun di Las Navas de Tolosa (al-‘Uqd). Dalam per¬tem-puran ini, pasukan Muwahhidun mengalami kekalahan.
Kekalahan ini membawa derita yang cukup dalam di hati khalifah, dan akhirnya ia meninggalkan Andalusia untuk kembali ke Fez dan An¬da-lus diserahkana kepada anaknya yang baru berusia 15 tahun bernama Abu Ya’kub Yusuf II dengan gelar al-Muntasir. Karena usianya masih muda, ia tidak mampu menjalankan pemerintahan. Akibatnya, perpecahan di ka-langan keluarga istana tidak dapat dihindari, terutama setelah kematian-nya pada tahun 1224 M. Hal itu terjadi karena khalifah al-Muntashir tidak memiliki anak yang dapat menggantikan posisinya sebagai khalifah.
Melihat kenyataan ini, akhirnya beberapa orang kelompok Muwah-hidun meneruskan pemerintahannya masing-masing di daerah tertentu. Ke-adaan ini dimanfaatkan oleh kakuatan Kristen untuk menyingkirkan para penguasa Dinasti Muwahhidun dari Andalusia. Usaha ini berhasil dengan terusirnya mereka dari Andalusia pada tahun 1236 M. Pengusiran secara total baru terjadi pada tahun 1238 M, kecuali daerah Granada yang dikuasai Dinasti Bani Nasr (Bani Ahmar) dari kerajaan Arab Madinah.
Kehancuran Muwahhidun di Andalusia diikuti oleh Muwahhidun di Afrika Utara. Wilayah Tripoli, sejak lama telah dikuasai oleh Shalahuddin al-Ayyubi (1172 M) dan Maroko direbut oleh Bani Marin tahun 1269 M. Dengan demikian, hancurlah kekuasaan Dinasti Muwahhidun.
Adapun faktor-faktor penyebab kemunduran dan kehancuran Dinas-ti Muwahhidun adalah sebagai berikut:
a. Ketidakmampuan generasi penerus Ibnu Tumart dan Abdul Mu’min dalam menjalankan pemerintahan, sehingga menim-bulkan konflik di kalangan istana dalam masalah kepe¬mim-pinan.
b. Ketidakmampuan khalifah untuk melakukan kontrol terhadap para penguasa daerah, sehingga pusat menjadi lemah.
c. Para penguasa dan kelompok Muwahhidun lain melupakan garis perjuangan Ibnu Tumart dan Abdul Mu’min, sehingga mereka mulai melemah.
d. Menguatnya kelompok dan raja-raja Kristen di Andalusia, dan lain-lain.
Demikian sekilas perjalanan sejarah Dinasti Muwahhidun yang telah berjaya menguasai Andalusia. Tetapi, karena banyak persoalan yang diha-dapi, akhirnya kekuasaan Dinasti Muwahhidun melemah dan kemudian hancur akibat serangan dari berbagai pihak, baik di Andalausia maupun di Afrika Utara.

C. Dinasti Bani Ahmar (1232-1292 M).

1. Pertumbuhan dan Perkembangan Dinasti Bani Ahmar.
Setelah pemerintahan Dinasti Muwahhidun meninggalkan Anda¬lu-sia, pasukan Kristen semakin leluasa memasuki dan menduduki wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Satu persatu daerah kekuasaan Islam jatuh ke tangan raja-raja Kristen. Pada tahun 636 H raja Ferdinand III dari Castille dan raja Jayme I dari Aragon menduduki kota Valensia, Cordova, dan kota Mursia. Kemudian pada tahun 646 H kota Seville juga ditaklukkan. Dengan demikian, akhirnya raja-raja Islam terkepung di Granada, daerah yang terletak di antara pegunungan Nevada dan pantai Laut Tengah. Daerah ini merupakan wilayah kekuasaan Bani Ahmar yang berkuasa sejak tahun 1232 M hingga 1492 M.
Meskipun wilayah-wilayah lain telah jatuh ke tangan kekuasaan raja-raja Kristen, Granada tepat dapat dipertahankan dengan baik hingga di¬tak-lukkan oleh raja Ferdinand dan Issabela pada tahun 1492 M. Wilayah ini dapat dikuasai oleh Bani Ahmar selama dua setengah abad. Selama itu pula Granada menjadi pusat riset dan pengembangan peradaban muslim yang menjadi rujukan ilmuan dan satrawan muslim maupun non muslim di Barat. Di antara raja Bani Ahmar yang termasyhur adalah Muhamad V (755 H). Selama masa pememrintahannya, Granada mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang, terutama arsitektur bangunan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Di antara kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Bani Ahmar di Granada adalah seni bangunan arsitektur, seperti bangunan istana Alhamra dan masjid Al-Hamra yang sangat terkenal di dunia. Tokoh terkenal dalam bidang sejarah di Granada adalah Ibnu Bathutah (1304-1377 M) yang berasal dari Tangier, berhasil melakukan perjalanan panjang mengelilingi dunia dan mencatat semua temuan lapangan ke dalam catatan perjalan-annya yang sangat penting. Catatan itu kemudian dikenal dengan sebutan al-Muhadzdzab Rihlah Ibnu Bathuthah. Tokoh penting lain yang memiliki pe-ran penting di dalam melestarikan peninggalan sejarah Islam di Anda¬lu¬sia adalah Ibnu al-Khatib (1317-1374 M). Ia menulis karya monumental tentang sejarah Granada. Tokoh lain yang tak kalah pentingnya adalah Ibnu Khal-dun. Mesikpun ia berasal dari Tunisia, ia bertempat tinggal di An¬da¬lusia. Selain sebagai seorang sejawaran, ia juga dikenal sebagai sosiolog muslim pertama dan perumus filsafat sejarah.

Gambar tokoh ilmuan muslim di Eropa









3.Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Bani Ahmar
Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa Granada me-rupakan benteng terakhir pertahanan umat Islam di Andalusia. Sebab wilayah lainnya telah jatuh satu persatu ke tangan para penguasa Kristen. Karena itu, tak heran kalau pemerintahan Bani Ahmar selalu mendapat ancaman dan teror dari para penguasa Kristen tersebut. Ancaman itu semakin menjadi ketika terjadi persekutuan antara wilayah Aragon dengan Castille melalui perkawinan raja Ferdinand dengan Issabella. Kekuatan itu semakin menyudutkan kekuatan Bani Ahmar dan mengancam keberadaan umat Islam di Granada.
Meskipun begitu, beberapa kali serangan yang dialncarkan oleh Ferdinand dan Issabella, dapat dipatahkan oleh kekuatan Bani Ahmar di bawah pimpinan Abul Hasan. Bahkan ia menolak membayar upeti kepada pemerintahan Castille, seperti yang dilakukan pada wilayah lain sebelum-nya. Hal itu ditandai dengan diusirnya utusan Ferdinand yang datang un-tuk menagih upeti tersebut. Utusan itu dihardik dan diusir dengan kata-ka-ta yang cukup pedas. “ Katakan kepada penguasamu bahwa raja-raja Gra-nada yang bersedia membayar upeti telah meninggal. Sekarang tidak ada lagi upeti, melainkan pedang”. Bahkan Abul Hasan melakukan penye¬rang-an dan berhasil menduduki kota Zahra.
Untuk membalas dendam, Ferdinand menlancarkan serangan men-dadak terhadap istana al-Hamra dan berhasil merebutnya. Dalam penye-rangan itu, banyak wanita dan anak-anak kecil yang berlindung di masjid dibantai oleh pasukan Ferdinand. Jatuhnya al-Hamra ini pertanda keja¬tuh-an pemerintahan Granada.
Situasi pemerintahan pusat di Granada semakin kritis dengan terjadinya beberapa kali perselisihan danperebutan kekuasaan, antara Abul Hasan dengan anaknya bernama Abdullah. Serangan pasukan Kristen yang bebrusaha memanfaatkan situasi kritis ini, dapat dipatahkan oleh Zaghal, saudara Abul Hasan. Zaghal menggantikan Abul Hasan sebagai penguasa Granada, dan berusaha mengajak Abdullah bergabung untuk mengatasi kekuatan musuh Kristen mereka. Namun tawaran itu ditolak Abdullah. Dalam situasi kritis seperti itu, pasukan Kristen melakukan serangan dan berhasil menguasai kota Alora, Kars-Bonela, Ronda, Malaga, Loxa dan beberapa kota penting lainnya.
Dengan jatuhnya beberapa tempat itu ke dalam kekuasaan Fer¬di-nand, maka daerah kekuasaan Zaghal terus mengecil dan memudahkan Ferdinand melakukan penaklukkan. Serangan Ferdinand terus dilancarkan kepada sisa-sisa kekuatan Zaghal, hingga akhirnya Zaghal dikalahkan dan melarikan diri ke Afrika. Dengan demikian, satu-satunya kekuatan muslim di Granada hanya kekuatan yang dimiliki Abdullah.
Penguasa terakhir ini juga mendapat serangan bertubi-tubi, hingga akhirnya raja terakhir Bani Ahmar, Abdullah, dan jenderal perangnya ber-nama Musa, dikalahkan. Abdullah dipaksa untuk menyatakan sumpah setia kepada Ferdinand, dan bersedia melepaskan harta kekayaan umat Islam, dengan syarat umat Islam diberi hak hidup dan kebebasan beragama. Peralihan kekuasaan ini terjadi pada tanggal 3 Januari 1492 M.
Namun setelah Ferdinand menguasai Granada, raja Kristen ini me-ngeluarkan dekrit yang berisikan umat Islam harus menentukan pilihan bila ingin tetap tinggal di Granada dan wilayah Andalusia. Pilihan itu adalah bersedia dibaptis sebagai pemeluk Kristen atau keluar dari Andalusia. Se¬bagian muslim Andalusia bersedia pindah agama, dari Islam ke Kristen, da¬ripada harus meninggalkan tanah airnya. Sedang sebagian la-innya, tetap pada pendirian keyakinan mereka, meskipun harus menderita berbagai sik¬saan yang kejam dan pengusiran dari Andalusia. Kebanyakan mereka pindah ke Maroko, Mesir, dan Turki. Pasukan Ferdinand tidak hanya mela¬kukan pengusiran dan pembataian terhadap umat Islam, juga membakar hangus sejumlah besar manuskrip Arab.
Jatuhnya pusat-pusat kekuasaan muslim di Andalusia, menandai lenyapnya pusat peradaban Islam di Barat. Sejak saat itu, tidak ada lagi ak-tifitas keilmuan dan peradaban yang dilakukan, kecuali penancapan ke-kuasan Kristen yang semakin kuat dan perasaan dendam Kristen (recon-quiesta) terhadap umat Islam di seluruh dunia dengan melakukan berbagai ekspansi dan penjajahan, demi mengeruk keuntungan dan ke¬ka¬yaan dari negeri-negeri Timur yang mayoritas muslim. Penjajahan itu terus berlanjut hingga akhirnya satu persatu negara-negara di Timur dapat memerdekakan diri pada pertengahan dan akhir abad ke-20 M.

1 komentar:

  1. "Jatuhnya pusat-pusat kekuasaan muslim di Andalusia, menandai lenyapnya pusat peradaban Islam di Barat. Sejak saat itu, tidak ada lagi ak-tifitas keilmuan dan peradaban yang dilakukan, kecuali penancapan ke-kuasan Kristen yang semakin kuat dan perasaan dendam Kristen (recon-quiesta) terhadap umat Islam di seluruh dunia dengan melakukan berbagai ekspansi dan penjajahan, demi mengeruk keuntungan dan ke¬ka¬yaan dari negeri-negeri Timur yang mayoritas muslim. Penjajahan itu terus berlanjut hingga akhirnya satu persatu negara-negara di Timur dapat memerdekakan diri pada pertengahan dan akhir abad ke-20 M."..jadi penyebabnya karena dikuasai orang kafir..?

    BalasHapus