Selasa, 08 Desember 2009

Dinasti-dinasti Independen

BAB VII

KEMUNCULAN
KERAJAAN-KERAJAAN KECIL
PADA MASA PEMERINTAHAN BANI ABBASIYAH


Usaha ekspansi wilayah yang dilakukan pemerintahan Bani Umayah tidak di-lanjutkan oleh pemerintahan Bani Ababsiyah. Kebijakan pemerintahan Bani Ab-basiyah lebih bersifat defensif untuk mempertahankan keutuhan wilayah yang begitu luas, mulai dari Indus hingga Andalusia, ketimbang memperluas wilayah ke tempat lain. Hal ini, tentu saja, berpengaruh terhadap daerah-daerah yang ja¬uh dari kontrol pemerintahan Bagdad. Karena merasa jauh dari kontrol pusat, maka terdapat beberapa daerah yang berusaha menuntut memisahkan diri dari Bagdad, selain ada juga yang sengaja diberi otonomi oleh pemerintah Bagdad sebagai negara penyanggah (buffer states). Pembentukan daerah-daerah otonomi ini umumnya dilakukan oleh tokoh etnis lokal, sehingga penamaan daerah oto¬nom ini dilekatkan pada ketokohan pendiri atau nenek moyang pendiri, bukan atas dasar wilayah. Di bagian Barat Bagdad terdapat beberapa wilayah otonom, seperti dinasti Idrisiyah, dinasti Aghlabiyah, dinasti Thuluniyah, dinasti, Ikh¬syi¬diyah dan dinasti Hamdaniyah. Sementara di Timur Bagdad berdiri dinasti Tha¬hiriyah, dinasti Shaffariyah, dan dinasti Samaniyah. Selain itu, terdapat beberapa kerajaan kecil yang kemudian mampu menganeksasi Bagdad, seperti dinasti Bu¬waihiyah dan dinasti Ghaznawiyah.

Kerajaan-kerajaan Kecil di Barat Bagdad
1. Dinasti Idrisiyah (172-311H/7-932M),

Dinasti ini didirikan oleh Idris ibn Abd Allah, cicit al-Hasan ibn Ali. Ia adalah salah seorang tokoh Alawiyyyin, kelompok yang sejak lama berusaha mengambil alih kekuasaan dari Bani Umayyah dan Bani Abbas, tetapi selalu ga¬gal karena gerakan mereka tidak terkordinir dengan baik, dan selalu diawasi oleh peme¬rin¬tah Bagdad. Bahkan kelompok ini, di bawah pimpinan al- Husein ibn Ali ibn al- Hasan, pernah melakukan gerakan pemberontakan di Fakh dekat kota Makah pa¬da 786 M, tapi gagal karena mendapat serangan dari pasukan pe¬merintah Abba¬si¬yah. Kemudian Idris ibn Abd Allah dan kelompok Alawiyin me¬larikan diri ke al-Maghrib al- Aqsha, kini Maroko. Di tem¬pat ini Idris mendapat sambutan hangat dari masyarakat Barbar, karena ia diketahui sebagai keturunan Ali ibn Abi Tha¬lib. Kedua kelompok masyarakat ini menjalin kerjasama untuk merebut ke¬ku¬a¬saan Bani Ababsiyah yang dianggap lalim. Mereka memandang bahwa pemerintah Abbasiyah telah memperlakukan bangsa Barbar seperti per¬la¬kuan bangsa Romawi. Pajak ditarik, sementara pendistribusian pajak tidak me¬ra¬ta bahkan semua diserahkan ke pemerintah pusat di Bagdad. Masyarakat Barbar tetap menjadi budak, meskipun rezim pemerintah telah berganti, dari bangsa Romawi ke Arab Islam. Kesamaan visi dan nasib inilah yang menjadi ikatan kuat antara Idris ibn Abd Allah dengan bangsa Barbar di Afrika Utara. Bentuk ker¬ja¬sama mereka dibuktikan dengan membangun basis kekuatan. Mereka men¬ja¬di¬kan kota Fez sebagai basis kekuatan dan konsolidasi militer. Kota Fez dekat de¬ngan kota Valubilis, kota yang pernah dikuasai bangsa Roma. Di kota ini pada 172H/788 M Idris ibn Abd Allah di bai’at bangsa Barbar sebagai pe¬mimpin (i¬mam) gerak¬an. Tahun pembai’atan ini kemudian dijadikan sebagai ta¬hun ber¬dirinya dinasti Idrisiyah, dan berpusat di Walila. Baru beberapa tahun kemudian pusat peme¬rintahan dan gerakan dipindahkan ke Fez dan sekaligus dijadikan se¬bagai ibu kota pemerintahan dinasti ini. Kemunculan dinasti ini di¬kenal sebagai refre¬sen¬tasi dari gerakan kelompok Alawiyin pertama dalam se¬jarah Islam. Ke¬munculan dinasti ini dianggap oleh khalifah Harun al-Rasyid se¬bagai ancaman bagi keu¬tuhan negara. Untuk itu, ia mengirim agen mata-mata bernama Sulai¬man ibn Ja¬rir yang menyamar sebagai tabib untuk mengintai ge¬rakan kelompok ini. Usa¬ha khalifah berhasil, bahkan Sulaiman dapat membunuh Idris pada 177 H/793 M dengan mem¬be¬ri¬nya racun pada makanan yang di¬kon¬sumsi Idris ibn Abd Allah.
Sepeninggal Idris ibn Abd Allah, tampuk kekuasaan dipegang anaknya, Idris ibn Idris ibn Abd Allah atau Idris II pada 177 H/93 M. Pada masa kepe¬mim¬pin¬annya, dinasti Idrisiyah mengalami perkembangan cukup pesat. Hal ini terbukti ia mampu membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam sebuah pemerintahan, seperti pembangunan kembali kota Fez, istana, masjid, perce¬ta¬k¬an uang, dan pembangunan saluran air yang dikirim ke rumah-rumah pendu¬duk. Keserius¬annya membangun kota dan perangkat lainnya ini, menurut para ahli, ia dikategorikan sebagai pendiri sebenarnya dari dinasti Idrisiyah.
Setelah Idris II wafat, kepemimpinannya digantikan oleh Muhammad al-Muntashir (213-828 M). Selama lebih kurang sewindu berkuasa, krisis politik in¬ternal dan konflik di kalangan keluarga menyebabkan ia tak mampu mengata¬si¬nya, hingga ia wafat pada 221 H/836M. Kedudukannya pun digantikan sau¬da¬ra¬nya bernama Isa ibn Idris (221-234 H/836-849M). Setelah itu, terjadi penggantian amir secara berturut-turut, Yahya ibn Muhammad, Yahya ibn Yahya, Ali ibn Umar ibn Idris II, Yahya ibn Qasim ibn Idris II, Yahya ibn Idris ibn Umar, dan akhirnya jabatan tertinggi dinasti ini dipegang oleh al-Hasan ibn al-Qasim. Ke¬ja¬tuhan dinasti ini diakibatkan adanya serangan dari dinasti Fathimiyah di Mesir dan Bani Umayyah di Cordova, Andalusia. Dalam sejarah tercatat, dinasti ini ti¬dak pernah mendapat pengakuan dari Bani Abbasiyah sebagai penguasa daerah otonom di Afrika Utara, bahkan dianggap sebagai ancaman serius bagi keutuhan wilayah Islam. Persoalan ideologis, antara penguasa Bani Abbasiyah yang Sunni dengan Bani Idrisiyah yang Syi’ah, berkembang menjadi persoalan-persoalan politis. Perseteruan ini terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan dinasti Idrisiyah.

2. Dinasti Aghlabiyah (184-296 H/800-909 M).

Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim ibn Aghlab, anak seorang pejabat mili¬ter Bani Abassiyah di Khurasan. Wilayah dinasti ini meliputi al-Jazair, Tunisia dan sebagian kepulauan Sicilia. Semua itu dikendalikan dari pusat pemerin¬tah¬annya yang berkedudukan di Kairuwan, salah satu kota terpentng di dunia Is¬lam. Kemunculan dinasti ini disebabkan oleh kepentingan politik khalifah Ha¬run al-Rasyid dalam mempertahankan keutuhan wilayah kekekuasaan Afrika Utara dari serangan bangsa Barbar dan kelompok pembangkang yang dimotori oleh penguasa Idrisiyah dan kelompok Khawarij. Pemberontakan ini dianggap sebagai gerakan yang mengganggu stabilitas negara dan pemerintahan Bani Ab¬basiyah di Afrika, karena banyak gubernur yang diangkat di wilayah tersebut terbunuh, seperti tewasnya al-Qadir al-Mahlabi, gubernur yang diangkat khali¬fah al-Mansur pada 170 H. Terbunuhnya al-Qadir al-Mahlabi, tidak menyu¬rut¬kan gerakan pemberontak, malah kegiatan mereka semakin menjadi. Kenyataan ini membuat gusar pemerintahan Abbasiyah.
Untuk tetap menjaga keutuhan wi¬layah tersebut, khalifah Harun al-Ra¬syid terus mengirim orang untuk menjadi gubernur, tetapi selalu tidak berhasil mengatasi para pemberontak, bahkan utus¬an khalifah banyak yang mati ter¬bu¬nuh di tangan para pemberontak. Ke¬mu¬dian pada 184 H Ibrahim ibn al-Aghlab mengajukan diri sebagai wakil khalifah Abba¬siyah di Afrika Utara dan berjanji akan mangatasi gerakan pem¬be¬ron¬tak¬an ter¬se¬but. Tidak hanya itu, iapun berjanji bila berhasil akan memberikan upeti ke pe¬merintahan Bagdad sebesar 40.000 di¬nar pertahun. Usulan tersebut diterima kha¬lifah Harun al-Rasyid, dan mem¬per¬silakan Ibrahim menjalankan misinya untuk menjadi wakil pemerintah Abba¬si¬yah secara otonom dan dapat mewariskan ke¬dudukannya kepada anak ketu¬run¬annya kelak. Restu ini penting sebagai bahan legitimasi politik Ibrahim dalam menjalankan tugas yang diemban. Sejak saat itu, lahirlah dinasti kecil Agh¬la¬bi¬yah di Afrika Utara yang menjalankan pe¬me¬rintahan secara otonom, tapi masih mengakui pemerintahan pusat di Bagdad. Sebagai bukti pengakuan, Ibrahim di¬wajibkan mencantumkan nama khalifah pa¬da mata uang yang dikeluarkan. se¬la¬in itu, Ibrahim juga tidak dibenarkan meng¬gunakan gelar khalifah di belakang namanya, kecuali gelar Amir. Dengan begitu, kedu¬dukan Ibrahim yang berkuasa di Afrika Utara menjadi negara penyanggah (Buf¬fer States)dari berbagai ke¬mungkinan serangan atau gerakan yang akan men¬jadi ancaman bagi peme¬rin¬tahan Abbasiyah. Dengan pengakuan dan we¬we¬nang yang diberikan al-Rasyid, Ibrahim menjalankan misi dengan membangun wila¬yah itu menjadi makmur.
Setelah Ibrahim wafat pada 196 H, tampuk kekuasaan jatuh ke anakanya, Abd Allah ibn Ibrahim yang 210 H. Kemudian menyusul Amir-amir lainnnya, Zi¬yadat Allah ibn Ibrahim, Abu Aql al-Aghlab, Muhammad ibn Abbas, Ahmad ibn Muhammad, Ziyadat Allah ibn Muhammad, Muhammad ibn Ahmad,Abd Allah ibn Ibrahim, dan terakhir Ziyadat Allah ibn Abd Allah. Pada masanya, di¬nasti Aghlabiyah ditaklukkan oleh dinasti Fathimiyah tahun 296H/909 M. Selama pe¬riode Aghlabiyah, terdapat perkembangan yang cukup menarik. Di antaranya pembentukan dan pengembangan armada laut yang tangguh; pembangunan dua masjid besar, yaitu masjid Zaitunah di Tunisia dan masjid Kairuwan. Dalam perkembangan pemikiran, muncul seorang ulama fiqh terkenal bermazhab Mali¬ki bernama Sahnun. Perkembangan yang sangat monumental dan masih mem¬bekas di wilayah ini adalah penggunaan bahasa Arab Sebagai bahasa resmi, menggantikan bahasa Latin. Dengan demikian, usaha Harun al-Rasyid dan ge¬nerasi penerusnya dalam mempertahankan posisi Bani Aghlabi sebagai buffer states, membuahkan hasil berupa pertahanan keutuhan wilayah dari berbagai ke¬mungkinan serangan dari bangsa Barbar dan lainnya hingga keruntuhan dinasti ini pada awal abad ke-10 M.

3. Dinasti Thuluniyah (254-292 H/868-905 M)
Dinasti ini didirikan Ahmad ibn Thulun pada 254 H/868M di Mesir dan Libya. Ahmad ibn Thulun adalah anak seorang komandan pengawal istana kha¬lifah berkebangsaan Turki. Karenanya, ia memperoleh pendidikan militer yang keras dari keluarganya. Didikan inilah yang menjadi bekal bagi perjalanan karier politik dan militer Ahmad ibn Thulun kemudian. Peluang karier politik dan mi¬liter Ahmad ibn Thulun terbuka lebar ketika terjadi konflik di Bagdad yang me¬newaskan khalifah al-Mu’taz 256 H/869 M dan seorang panglima Turki bernama Amir Baybak. Ketika jabatan khilafah dipegang al-Mu’tamid (256-279 H/869-892 M), dan pejabat tinggi urusan bagian Barat dipegang oleh Emir Barguk (Yaryuk), ipar Ahmad ibn Thulun, ia diberi kepercayaan menjabat wakil gubernur di Me¬sir. Dengan pengetahuan dan kelicikannya, akhirnya pada 263 H, semua wilayah Mesir berada di bawah kekuasaannya. Kekuatan ini dijadikan bahan baginya untuk memerdekakan diri dari pemerintah Bagdad, dan usaha itu berhasil ketika pemerintah Bagdad di bawah pimpinan al-Muwaffaq, disibukkan oleh pembe¬rontakan kaum Zank yang menewaskan gubernur Suriah. Situasi ini dimanfaat¬kan Ahmad ibn Thulun untuk menarik dukungan massa, sehingga ia berhasil menggabungkan wilayah tersebut ke dalam kekuasannya.
Sepeninggal Ahmad ibn Thulun, posisinya digantikan puternya bernama Khumawaraih. Pada masa ini, al-Muwaffaq terus berusaha mengembalikan wila¬yah Suriah dan Palestina ke pangkuannya, namun selalu gagal. Di antara fak¬tornya adalah ketidakmampuan militer Ababsiyah yang tengah dilanda krisis politik dan militer untuk mengatasi gerakan ekspansi penguasa dinasti Thu¬lu¬niyah. Melihat realitas ini, akhirnya al-Muwaffaq melakukan gencatan senjata dengan mengakui keberadaan dinasti ini dan menyerahkan jabatan gubernur Mesir dan Suriah kepada keluarga Thuluniyah selama lebih kurang tiga puluh (30) tahun dan menggantinya dengan upeti yang harus diberikan dinasti Thu¬lu¬niyah kepada pemerintah Ababsiyah di Bagdad. Tidak hanya sebatas itu, sebelum Khumawaraih meninggal, pada 896 M puterinya dinikahi khalifah al-Mu’tadi dengan upacara kebesaran. Di bawah kekuasaan dinasti Thuluniyah, Mesir mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hanya saja, keberhasilan ini tidak berlangsung lama, sebab sepeninggal Khumawaraih, dinasti ini mengalami ke¬munduran pada 896 M .
Di antara kemajuan yang berhasil dicapai dinasti ini adalah perbaikan iri¬gasi, peningkatan ekonomi, dan Mesir mulai menjadi pusat kebudayaan Islam. Selain itu, Ahmad ibn Thulun juga telah mendirikan rumah sakit besar di Fustat dan masjid Ibn Thulun yang sangat megah. Setelah dinasti Thuluniyah runtuh, untuk beberapa saat Mesir kembali berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Tapi pada 935 M, Mesir jatuh ke tangan dinasti Ikhsyidiyah, dan Ikhsyidiyah jatuh ke tangan dinasti Fathimiyah pada 969 M

4. Dinasti Ikh¬syi¬diyah ( 323-358 H/935-969 M)
Berbeda dengan dinasti-dinasti kecil sebelumnya yang menggunakan na¬ma to-koh pendiri atau nenek moyang sebagai dasar penamaan. Dinasti Ikhsyi¬di¬yah didirikan di atas nama gelar yang diberikan khalifah Abbasiyah kepada se¬orang gubernurnya di Mesir, yaitu Muhamad ibn Tughj. Gubernur ini di¬ang¬gap berhasil mengatasi krisis politik dan kekuasaan yang terjadi di Mesir. Sebab hampir selama lebih kurang 30 tahun, wilayah itu berada di bawah kekuasaan para penguasa yang tidak tunduk kepada Bagdad. Baru pada masanya, dengan gaya serupa berupa permintaan otonomi dengan tetap mengakui kekuasaan pe¬merintahan Bagdad, Mesir berada di bawah kekuasaan Abbasiyah hingga di¬nasti ini jatuh ke tangan dinasti Fathimiyah pada 935 M. Keberhasilan Muhamad ibn Tughj membawa Mesir ke pangkuan dinasti Abbasiyah menjadikan dirinya se¬bagai orang kepercayaan khalifah, sehingga ia memperoleh gelar ikhsyid yang ar¬tinya pangeran atau penguasa lokal. Gelar ini biasanya dipakai para penguasa lokal di Asia Tengah sebelum berdirinya dinasti ini di Mesir. Para pengganti Mu¬hamad ibn Tughj terus menggunakan gelar ini hingga kekuasaannya jatuh ke ta¬ngan dinasti Fathmiyah pada 969 M.
Langkah strategis yang dilakukan Muhamad ibn Tughj untuk mem¬per¬kuat posisinya di mata pemerintah pusat di Bagdad dan masyarakat Syam dan Mesir, ia – selain meminta otonomi penuh dengan mengakui pemerintahan Bag¬dag—juga melakukan pendekatan kepada masyarakat guna membangun Syam dan Mesir demi kesejahteraan masyarakat dan negara. Usahanya berhasil de¬ng¬an membangun perekonomian Mesir, sehingga masyarakat lebih sejahtera. Ke¬berhasilannya ini mendapat respons positif, sehinga ia memperoleh kepercayaan lebih dari Bagdad dan masyarakat. Dukungan kuat dari Bagdad dan masyarakat ini dijadikan modal dasar bagi pembangunan kekuatan politik militer dan per¬ekonomian, sehingga gerakan-gerakan politik dan militer yang dilakukan kelom¬pok Fathimiyah dapat diatasi.
Selama lebih kurang 40 tahun, dinasti ini menjadi negara penyanggah (buffer states) pemerintah Bagdad, Mesir, Syam dan sekitarnya mampu mengatasi gejolak sosial politik dan militer yang dilakukan kelompok pembangkang, ter¬u¬tama dari dinasti Fathimiyah. Pemerintahan ini semakin kuat dan berhasil men¬jalankan pemerintahan ketika kekuasaan berada di tangan Abu al-Hasan ibn Ikhsyid. Kekuatan itu semakin bertambah ketika Abu a-Hasan didampingi oleh seorang panglima militer yang cerdas, Kafur al-Ikhsyidi. Ia berhasil menghalau gerakan dan kekuatan Fathimiyah di Afrika Utara dan dinasti Hamdaniyah di Syria Utara. Kehebatan Kafur mendapat perhatian serus dari sastrawan al-Mutanabbi.
Setelah Kafur meninggal pada 357 H/968 M, tidak ada lagi seorang jen¬de¬ral penerus sekuat dan secerdas Kafur. Sehingga situasi dan kondisi sosial politik mulai goyah. Kenyataan ini ditambah dengan sang Amir yang menduduki ja¬bat¬an pemerintahan tertinggi masih sangat belia dan tidak memiliki pengalaman memerintah. Realitas ini benar-benar dimanfaatkan oleh pemerintahan Bani Fa-thimiyah, sehingga pada 358 H/969M dinasti Ikhsyidiyah dan wilayah-wilayah kekuasaannya dapat dikuasi. Proses aneksasi dan kejatuhan Ikhsyidiyah ini me-rupakan akhir dari perjalanan pemerintahan negara penyanggah (Buffer States) yang selalu tunduk pada pemerintahan Bagdad. Kemudian periode selanjutnya, wilayah Mesir dan beberapa daerah di Afrika Utara berada di tangan peme¬rin¬tahan di¬nasti Fathimiyah yang tidak tunduk dan merupakan musuh utama Bag¬dad, se¬hingga pada masa ini banyak terjadi kontak fisik dan konflik horizontal internal umat Islam yang berbeda mazhab ini, Bani Abbasiyah yang Sunni, dan Dinasti Fathimiyah yang Syi’ah.

5. Dinasti Hamdaniyah
Pada waktu dinasti Ikhsyidiyah berkuasa di sebelah Utara Mesir, muncul pula dinasti Hamdaniyah sebagai pesaing. Dinasti ini didirikan pada 293 H/905 M oleh Hamdan ibn Hamdan, dari kabilah Taghlib. Dalam konteks ini, Watt mencatat bahwa para penguasa Hamdaniyah dianggap bersimpati pada ideologi Syi’ah, tetapi Syi’ah moderat. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya pe¬ngaruh ideologi itu pada kebijakan-kebjakan yang dikeluarkan dinasti ini. Se¬benarnya, kelompok ini telah melakukan gerakan jauh sebelum berdirinya di¬nas¬ti ini. Pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tamid, misalya, kelompok ini me¬lakukan gerakan makar, tapi gagal. Sejak saat itu, mereka terus melakukan ge¬rakan guna memperoleh kekuasaan di pemerintahan. Usaha mereka baru ber¬ha¬sil ketika kekuasaan jatuh ketangan khalifah al-Muqtadir. Pada masa al-Mqtadir, keluarga ini memperoleh jabatan penting di istana. Tiga orang bersaudara dari keluarga ini diangkat menjadi wali (gubernur), seperti Abd Allah ibn Hamdan menjadi wali di Mosul, Said ibn Hamdan untuk Nahawad, dan Ibrahim ibn Hamdan untuk daerah-daerah suku Rabi’ah.
Dalam perkembangan selanjutnya, di antara keturunan Abd Allah ibn Hamdan yang paing menonjol adalah Abu Muhamad ibn Abd Allah dengan ge¬lar Nashir al-Daulah, sebagai wali Mosul, dan saudaranya Abu al-Husein Ali ibn Abd Allah, bergelar Sayf al-Daulah, sebagai wali Halb atau Aleppo. Di bawah kekuasaan kedua orang generasi Hamdan ini, dinasti Hamdaniyah mengalami perkemangan yang sangat sifnifikan. Sayf al-Daulah berambisi untuk mem¬per¬luas wilayah kekuasaan dan mempertahankan daerah tersebut dari serangan bangsa Romawi. Bahkan untuk hal tersebut, ia memaksa penguasa Ikhsyidiyah agar menyerahkan sebagian wilayah Syria Utara kepadanya supaya lebih mem¬permudah melakukan pengawasan dan serangan balik bila bangsa Romawi me¬lakukan serangan ke Aleppo (Halb). Lebih dari itu, penguasa Ikhsyidiyah rela mem¬ba¬yar pajak tahunan kepada Sayf al-Daulah dengan catatan tidak meng¬ganggu Da¬maskus. Sementara itu, wali Mosul terus melakukan gerakan per¬lu¬asan wilayah, bahkan semat menguasai kota Bagdad selama lebih kurang satu tahun setelah berhasil mendesak dan mengusir Bani Buwaih. Tapi setelah ke¬kuatan Bani Buwaihi kembali pulih, mereka diusir dan kembali lagi ke Mosul.
Kekuatan dinasti Hamdaniyah mulai meredup setelah kedua penguasa terkuat wafat. Nashir al-Daulah wafat pada 356 H, sementara Sayf al-Daulah wa¬fat pada 358 H. Sinar kekuatan dinasti Hamdaniyah ini mulai meredup bahkan menghilang setelah kedua tokoh terkenal tersebut wafat. Hal itu terjadi karena para penguasa sesudahnya selalu konflik berebut kekuasaan, sehingga mele¬mah¬kan struktur pemerintahan dan sendi-sendi kekuatan politik militer. Dinasti ini mengalami kehancuran ketika kekuasaannya jatuh ke tangan pemerintahan di¬nasti Fathiiyah pada 394 H/1004 M.
Meskipun tidak lama, kekuasaan dinasti Hamdaniyah mememiliki pe-ninggalan peradaban yang cukup baik, karera para penguasanya, khususnya Sayf al-Daulah merupakan penguasa yang mencintai kesusastraan, bahkan ia merupakan pelindung sastra Arab. Di antara tokoh sastra terkenal yang hidup pada masa itu adalah al-Mutanabbi. Selain itu, pada masa ini juga lahir ilmuan terkenal, seperti al-Farabi, al-Isfahani dan Abu al-Fairus. Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa dinasti Hamdaniyah merupakan salah satu dinasti yang mampu menjadi benteng pertahanan umat Islam dari serangan bangsa Ro¬mawi, sehingga keutuhan wilayah kekuasaan Islam tetap terjaga, meskipun se¬ca¬ra internal terjadi konflik politik tak berkesudahan di antara umat Islam.

Kerajaan-kerajaan Kecil di Timur Bagdad
Selain terdapat negara penyanggah (Buffer States) juga terdapat beberapa wilayah yang secara administratif menyatakan otonom dan menjalankan roda pemerintahan sendiri, tanpa harus mengakui pemerintahan Bagdad. Kasus ini ti¬dak hanya terjadi di wilayah bagian Barat, juga di Timur kota Bagdad. Ke¬nya¬ta¬an ini terjadi karena pemerintah Bagdad, terutama periode ketiga dan sete¬rus¬nya, tidak mampu mengatasi gejolak sosial politik yang terjadi di wilayah yang begitu luas. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya khalifah Bagdad mem¬be¬ri¬kan keluasaan kepada para wali atau gubernur untuk mengatasi gejolak itu ke¬mudian melaksanakan pembangan. Kekuasaan otonom itu tidak diberikan be¬gi¬tu saja, tapi ada persyaratan yang harus dipenuhi, misalnya harus memberikan upeti setiap tahun dan tidak memakai gelar khalifah di depan nama penguasa lo¬kal itu. Bila dipenuhi, maka secara otomatis ia telah menjadi wali yang sah atas wilayah otonom itu dan kekuasannya dapat diberikan secara turun temurun ke¬pada anak cucunya. Dalam catatan sejarah Islam, tercatat beberapa wilayah oto¬nom yang berkuasa pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah di bagian Timur Bagdad, misalnya dinasti Thahiriyah (205-259 H/821-873 M), dinasti Shaffariyah (254-290 H/867 -903 M), dan dinasti Samaniyah (261-389 H/874-999 M).

1. Dinasti Tha¬hiriyah (205-259 H/821-873 M)
Dinasti ini didirikan oleh Thahir ibn Husein pada 205 di Nisabur, Khu¬ra¬san, Persia. Ia merupakan kelompok etrnis pertama di Timur Bagdad yang mem¬peroleh semacam otonomi dari pemerintahan Bagdad. Thahir ibn Husein lahir di Merv pada 159 H dan berasal dari seorang keturunan wali Abbasiyah di Merv dan Harrah, Khurasan, Persia bernama Mash’ab ibn Zuraiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara pemerintah Abbasiyah di Bagdad de¬ngan keluarga Thahir sudah terjalin sejak lama. Karena itu cukup beralasan bila pemerintah Bagdad memberikan kepercayan kepada generasi keluarga Mash’ab ibn Zuraiq untuk melanjutkan estafeta kepemimpinan lokal. Tujuan¬nya tetap sa¬ma, menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam Abbasiyah di wilayah Timur kota Bagdad dan menjadi pelindung dari berbagai kemungkinan serangan ne¬ga¬ra-negara tetangga di Timur.
Sebenarnya, latar belakang kemunculan dinasti ini diawali oleh peristiwa perebutan kekuasaan antara al-Makmun dengan al-Amin. Perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia pada 809 M. Perse¬te¬ruan tersebut akhirnya dimenangkan al-Makmun, dan Thahir berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang cukup besar dalam pertarungan itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui kehebatan dan kelihaiannya bermain pedang membuat al-Makmun terpesona. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa¬nya itu, al-Makmun memberinya gelar abu al-Yamain, bahkan diberi gelar si mata tunggal, dengan kekuatan tangan yang hebat (minus one eye, plus an extra right arm). Selain itu, Thahir ju¬ga memperoleh kepercayaan untuk menjadi gubernur di kawasan Timur Bag¬dad, dengan Khurasan dan Nisabur sebagai pusat peme¬rintahannya. Tawaran dan jabatan ini merupakan peluang bagus baginya untuk meniti karier politik pemerintahan pada masa itu. Jabatan dan prestasi yang di¬raihnya ternyata belum memuaskan baginya, karena ia mesti tunduk berada di bawah kekuasaan Bagdad. Untuk itu, ia menyusun strategi untuk segara mele¬paskan diri dari pemerintahan Bagdad. Di antaranya dengan tidak lagi me¬nye¬but nama khalifah dalam setiap kesempatan dan mata uang yang dibuatnya. Ambisinya untuk menjadi penguasa lokal yang independen dari pemerintahan Bagdad tidak terealisir, karena ia keburu meninggal pada 207 H, setelah lebih kurang 2 (dua) tahun menjadi gubernur (205-207 H). Meskipun begitu, kha¬lifah Bani Abbas masih memberikan kepercayaan kepada keluarga Thahir untuk me¬megang jabatan gubernur di wilayah tersebut. Terbukti setelah Thahir mening¬gal, jabatan gubernur diserahkan kepada puteranya bernama Thalhah ibn Tha¬hir.
Dinasti Thahiriyah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Abd Allah ibn Thahir, saudara Thalhah. Ia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar di mata masyarakat dan pemerintah Bagdad. Oleh karena itu, ia terus menjalin komunikasi dan kerjasama dengan Bagdad sebagai bagian dari bentuk pengakuannya terhadap peran dan keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah Bagdad yang pernah dirintis ayahnya, Thahir ibn Husein, te¬rus ditingkatkan. Peningkatan keamanaan di wilayah perbatasan terus dila¬ku¬kan guna menghalau pemberontak dan kaum perusuh yang mengacaukan pe¬merintahan Abbasiyah. Setelah itu, ia berusaha melakukan perbaikan ekonomi dan keamanan. Selain itu, ia juga memberikan ruang yang cukup luas bagi upa¬ya pengembangan ilmu pengetahuan dan perbaikan moral atau akhlak di ling¬kungan masyarakatnya di wilayah Timur Bagdad. Dalam perjalanan se¬lan¬jut¬nya, dinasti ini justeru tidak mengalami perkembangan ketika pemerin¬tah¬an di¬pegang oleh Ahmad ibn Thahir (248-259 H), saudara kandung Abd Allah ibn Thahir, bahkan mengalami masa kemerosotan. Faktornya antara lain, adalah pemerintahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap pemerintah Bagdad, karenanya Bagdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan untuk menggu¬sur dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintah baru, yaitu dinasti Saffariyah. Faktor lain penyebab kemuduran dan kehan¬cur¬an di¬nasti Thahiriyah adalah po¬la dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan pa¬ra penguasa dinasti ini. Gaya hi¬dup seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan il¬mu pengetahuan dan per¬a¬daban Islam. Selain itu, persoalan ke-amanan dan ke¬berlangsungan peme¬rin¬tah¬an juga tidak terpikirkan secara serius, sehing¬ga kea¬daan ini benar-benar dima¬nfaatkan oleh kelompok lain yang memang se-jak lama mengincar posisi strategis di pe¬me¬rintahan lokal, seperti kelompok Saf-fariyah. Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Bagdad un¬tuk me¬numpas sisa-sisa tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pe¬merintahan Bagdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa jabatan dinasti Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Ab¬ba¬si¬yah di wilayah Timur kota Bagdad.

2. Dinasti Shaffariyah (254-290 H/867- 903 M
Dinasti ini didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar. Gelar al-Saffar dile¬katkan di belakang namanya ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli da¬lam me-nempa tembaga, semacam mpu di Jawa,yang diwarisi secara turun temu¬run. Ke-gagalan usaha keluarganya, menjadikan ia terikat dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat kecil untuk melakuan gerakan pe¬ram¬pok¬an. Sasaran dari kegiatannya ini adalah para saudagar kaya yang melin¬tas di tengah perjalanan, kemudian diserang dan diambil harta mereka kemudi¬an dibe¬rikan kepada para fakir miskin.
Pada mulanya, Ya’kub ibn Layts bersama saudaranya bernama ‘Amr ibn Layts membantu pasukan pemerintah Bagdad dalam memberantas pemberon¬takan yang dilakukan oleh sisa-sisa tentara Thahiriyah di wilayah Sijistan. Keberhasilannya di Sijistan, membawanya ke puncak pimpinan tentara sebagai komandan untuk menaklukkan wilayah Herat, Sind, dan Makran. Kemudian Kirman dan Persia yang digabungkan dengan Balkh. Atas jasa dan prestasinya, khalifah al-Mu’tamid mengangkatnya menjadi gubernur membawahi wilayah Balkh, Turkistan, Kirman, Sijistan dan Sind. Ambisi Ya’kub ternyata tidak cu¬kup sampai di situ. Ia terus bergerak menuju wilayah lain dan mengalahkan Fars pada 869 M, dan menduduki Syiraj, ibu kota Fars. Kemudian pada 873 M men¬duduki Nisabur dan sisa wilayah Thahiriyah. Dua tahun kemudian, tepatnya pa¬da 875 M, dari Fars ia bergerak menuju Bagdad, dan berusaha menduduki ibu kota tersebut. Tetapi menjelang ibu kota, lebih kurang 20 km, pasukannya di¬ha¬dang oleh pasukan al-Muwaffak pada 876 M. Kekalahannya ini tidak menyu¬rut¬kan ambisinya, malah ia bersedia mengadakan perundingan. Namun sebelum dilaksanakan, ia keburu meninggal dunia pada 879 M. Meskipun ia dianggap se¬bagai gubernur yang tidak loyal, yang melampaui batas mandat yang diberikan khalifah, tetap saja jabatan gubernur untuk wilayah Timur dipercayakan kepada saudara Ya’kub al-Layts, yaitu Amr ibn Layts.
Dinasti Shaffariyah yang didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar ini jus¬teru mengalami kehancuran ketika jabatan tertinggi di pemerintahan dipegang oleh ‘Amr ibn al-Layts, karena ambisinya yang ingin memperluas wilayah keku¬asannya hingga Tran¬so¬xania (ma wara al-nahr). Di wilayah ini gerakannya di¬ham¬bat oleh Bani Saman, dan beberapa daerah kekuasaannya diambil alih (aneksasi) oleh Bani Saman, kecuali Sijistan. Tetapi kekuasannya di Sijistan tidak sepe¬nuh¬nya merdeka, karena ia harus tunduk di bawah kekuasaan Bani Saman, dan po¬sisi jabatan gubernur tetap berada di bawah Bani Shaffariyah hingga abad ke-15 M, meskipun seringkali terjadi pergantian penguasa. Terkadang Bani Shaffariyah silih berganti berada di bawah penguasa lain setelah dinasti Samaniyah, seperti menjadi penguasa lokal (gubernur) yang tunduk pada pemerintahan dinasti Ghaznawiyah, Bani Saljuk, dan Bangsa Mongol, dan tidak lagi menjadi kepan¬ja¬ng¬an tangan pemerintahan Bani Abbas di Bagdad. Tidak dapat diketahui seca¬ra pasti mengapa dinasti ini bertahan begitu lama. Hal pasti yang dapat di¬te¬gas¬kan di sini bahwa keberadaan dinasti ini karena persoalan politik praktis dan pragmatis. Sebab menurut Jamaluddin Surur, salah satu ciri khas dari dinasti ini adalah ambisinya untuk memperoleh kekuasaan otonomi di Sijistan, sebagai pusat pemerintahannya. Karenannya, ketika kekuasaan datang silih berganti, dinasti ini tetap memperoleh hak otonom di Sijistan hingga abad ke-15 M.
Dalam masa pemerintahannya,terdapat perkembangan yang menarik, ter-utama perkembangan civil society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffari¬yah meletakkan dasar-dasar keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang mis¬kin di Sijistan. Karena itu, faktor inilah yang—kemungkinan-- menjadi salah satu sebab lamanya dinasti ini berkuasa di Sijistan, karena ia begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang menjadi pendukung pemerintahan, terutama ko¬mu¬ni¬tas masyarakat miskin.

3. Dinasti Samaniyah (261-389 H/874-999 M).
Dinasti ini didirikan pada 261 H/874 M oleh Saman Khuda, seorang tuan tanah lokal di dsitrik Balkh, Afganistan Utara. Ia masuk Islam pada masa khali¬fah Hisyam ibn Abd al-Malik. Dalam catatan sejarah ditemukan,terdapat empat orang cucunya pernah menjadi orang kepercayaan khalifah al-Makmun sebagai gubernur di al-Syasy, Samarkand, Farghanah dan Hanah. Bahkan dua orang ci¬citnya menjadi gubernur, Nashr ibn Ahmad ibn Saman di wilayah ma wara al-nahr (Transoxania), dan Ismail ibn Ahmad ibn Saman, sebagai gubernur Bukha¬ra. Tampaknya, kedua saudara ini tidak pernah akur, karena selalu bersiteru memperbutkan wilayah kekuasaan. Konflik internal dua saudara ini mencapai klimaksnya pada 275 H, dan kemenangan berada pada pihak Ismail ibn Ahmad ibn Saman. Di bawah kekuasaan Ismail, dinasti Samaniyah semakin kokoh. Ia berusaha mempertahankan wilayah kekuasaannya dari serangan suku bangsa Turki nomaden. Usahanya terus dilakukan hingga mencapai wilayah Kurasan setelah menaklukkan dinasti Saffariyah. Pada masanya pula, Bukhara menjadi pusat pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pera¬daban Islam. Bahkan Ismail menghidupkan kembali bahasa Persia sebagai ba¬ha¬sa ilmu pengetahuan dan bahasa komunkasi.
Sepeninggal Ismail, khalifah al-Muqtadir memberikan jabatan gubernur kepada Nashr II (301H/913 M) yang masih berusia muda. Pelimpahan jabatan ini menimbulkan konflik internal baru di kalangan kekuarga Bani Saman, karena Ismail dianggap masih terlalu muda untuk memangku jabatan politik yang sa¬ng¬at strategis di wilayah Timur Bagdad. Selanjutnya secara berturut-turut ke¬ku¬a¬sa¬an dipegang oleh Nuh I ibn Nashr (331 H), Abd al-Malik I ibn Nuh (343 H), Mansur I ibn Nuh (350 H),Nuh II ibn Mansur (336 H), Mansur II ibn Nuh II (387 H), dan Abd Malik II ibn Nuh II (381 H).
Dalam perjalanan sejarahnya, dinasti Saffariyah mengalami perkem¬ba¬ng¬an yang relatif cukup penting, khususnya dalam perkembangan ilmu penge¬ta¬huan. Kota Bukhara menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam, selain kota Bagdad dan Cordova. Di kota ini muncul ilmuan muslim kenamaan, seperti al-Razi, Ibn Sina dan al-Biruni. Selain ilmu kedokteran, juga berkembang ilmu sastra, ilmu falak dan filsafat.

Dinasti Buwaihiyah
Pertumbuhan dinasti ini berasal dari kemunculan tiga orang bersaudara; yaitu Ali, al-Hasan dan Ahmad. Ketiganya adalah putera Abu Suja’. Mereka me¬masuki dunia militer dan bergabung dengan Makan ibn Kali, seorang jenderal terkenal dari Dailam. Setelah itu, mereka bergabung lagi dengan jenderal Mar¬dawij ibn Ziar. Karier militer mereka berjalan lancar, karena mereka dipandang memiliki keterapilan dan keahlian dalam berbagai pertempuan. Akhirnya, Mar¬dawij mengangkat mereka sebagai pejabat gubernur, untuk Ali ibn Abi Suja’ diberikan kepercayaan untuk memimpin wilayah Karh. Sedang al-Hasan dan Ahmad diberi kepercayaan untuk memimpin wilayah lain yang dianggap penting. Kehadiran dan prestasi mereka di satu sisi sungguh membanggakan Mardawij, tetapi di sisi lain, kurang menguntungkan posisinya, karena, menurut analisis Syalabi, Mardawij agak kecewa setelah ia tahu bahwa mereka adalah bekas anak buah jenderal Makan ibn Kali. Makan ibn Kali adalah salah seorang musuh Mardawij. Kekecewaan ini cukup beralasan, karena ternyata orang-orang yang mendapat kepercayaan Mardawij mampu menjadi pemimpin berprestasi dan berpengaruh di wilayah itu, dan bahkan kemudian mereka berhasil membentuk satu dinasti yang kemudian dikenal dengan sebutan dinasti Buwaihiyah pada 320 H/932 M.
Dengan keahlian dan kemampuannya mempengaruhi massa serta sikap toleransi yang ditunjukannya, akhirnya Ali ibn Buwaih berhasil menarik simpati para pemimpin dan panglima di wilayah Karkh. Strategi ini dilakukan gunan memperkokoh kedudukannya di wilayah tersebut, selain memperluas wilayah kekuasaan ke Asfahan. Dukungan para panglima, pemimpin wilayah ditambah dengan dua orang saudaranya, Ali juga berhasil menaklukkan wilayah Syiraz, Persia pada 943 M dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahannya. Usaha Ali untuk memperluas wilayah ini mendapat persetujuan Mardawij, bahkan ia juga mengijinkan Ali menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Karier politik Ali ibn Buwaih semakin jelas terbuka lebar ketika di wilayah Karkh ter¬ja¬di pemberontakan yang dilakukan oleh tentaranya sendiri yang menye¬babkan Mardawij tewas terbunuh pada 944 M. Peluang ini dimanfaatkan oleh al-Hasan untuk memperluas wilayah kekuasaan Bani Buwaih ke Raiy, Hamdan dan Parsi. Ketiga kota itu jatuh ke tangan kekuasaan al-Hasan pada tahun itu juga. Se¬mentara Ahmad berhasil menaklukan wilayah Karman. Sedangkan Ali mem¬per¬luas wilayah kekuasaannya hingga ke Ahwaz dan Wasith. Perluasan wilayah yang dilakukan oleh ketiga saudara ini, merupakan satu usaha untuk menun¬juk¬kan kepada penguasa Bani Abbasiyah bahwa wilayah Timur yang dulunya me¬rupakan daerah taklukan BaniAbbasiyah, kini sudah berada di tangan ke¬kua¬sa¬an Bani Buwaihiyah, kekuatan baru yang tak tertandingi di wilayah Timur Bag¬dad. Oleh karena itu, sebagai bentuk legitimasi, Ali dan saudaranya ini meminta kepada pemerintahan Bagdad untuk mengakui keberadaan pemerintahan ini. Permintaan tersebut, menurut Syalabi dipenuhi. Karena penguasa baru itu te¬tap mengakui pemerintahan Bagdad dan bersedia menjadi kepanjangan tangan pemerintah Bagdad di wilayah Timur.
Kehebatan penguasa baru ini menarik simpati para pembesar Bagdad. Oleh arena itu, ketika terjadi perebutan kekuasaan dan konflik internal di Bag¬dad, para elite politik pemerintahan, khususya khalifah al-Mustaqfi, meminta Ahmad ibn Buwaih datang ke Bagdad dan mengambil alih pemerintahan dari ta¬ngan para amir dan tentara yang berasal dari kaum Mamluk. Permintaan ter¬se¬but direspons baik oleh Ahmad ibn Buwaih. Untuk itu, ia bersama pasukan per¬gi menuju Bagdad untuk menerima tawaran tersebut. Setibanya di Bagdad, ia di¬sambut hangat oleh khalifah al-Mustakfi. Setelaha berada di Bagdad, khalifah al-Mus¬takfi mengangkat Ahmad ibn Buwaih menjadi amir al-umara dan memberi¬nya gelar Mu’izz al-Daulah. Ali ibn Buwaih yang menjabat gubernur di Persia dan berkedudukan di Syiraz, diberi gelar Imad al-Daulah. Sementara al-Hasan yang menjabat gubernur di bagian utara Isfahan dan Raiy diberi gelar Rukn al-Daulah
Setelah menguasai Bagdad, para penguasa bani Buwaihiyah ini menjadi orang kuat dan menentukan dalam pemerintahan. Semua khalifah yang hidup pada masanya tunduk di bawah kekuasaan bani Buwaihiyah. Bahkan para kha¬li¬fah tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh, mereka hanya sebagai simbol pe¬merintahan sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan. Semua program pemerintahan diputuskan dan dijalankan oleh penguasa bani Buwaihiyah. Da¬lam analisis Syalabi, yang dimiliki para khalifah hanya pengaruh moral dan spi¬rituallitas keagamaan, sementara masalah negara diatur sepenuhnya oleh amir al-umara. Hal ini menyebabkan para penguasa bani Buwaihiyah berkuasa penuh atas pemerintahan dalam waktu yang cukup lama. Ahmad ibn Buwaih misalnya, ia memerintah Bagdad selama lebih kurang 20 tahun, sementara dua orang sau¬daranya, Ali dan al-Hasan ibn B uwaih memperluas wilayah kekuasaan di wila¬yah timur Bagdad.
Sekitar tahun 949 M, Imad al-Daulah meninggal dunia, dan kedudukannya digantikan oleh anak Rukn al-Daulah bernama ‘Adud al-Daulah. Hal ini terjadi karena Ali ibn Buwaih atau Imad al-Daulah tidak memiliki putera. Kemudian di¬sekitar tahun 949 M, sebelum kematian Ahmad ibn Buwaih atau Mu’izz al-Daulah, ia menunjuk puteranya bernama ‘Izzu al-Daulah , sebagai penggantinya. Pada 976 M ‘Adud al-Daulah berusaha merebut kekuasaan di Bagdad dari tangan ‘Izzu al-Daulah, namun gagal, bahkan ia tewas dalam pertempuran di Samarra pada 978 M. Bahkan sebelum itu, ia memaksa anak Rukn al-Daulah, bernama Fakhr al-Daulah agar mau bekerjasama dan tunduk kepadanya. Permintan sau¬da¬ra sepupunya itu ditolak dengan cara pergi mengungsi ke istana Samaniyah hingga ‘Adud al-Daulah pada 978 M. Cara itu dilakukan untuk menghindari kon¬flik dan perang saudara berkepanjangan. Sedangkan Mu’ayyid al-Daulah, putera Rukn al-Daulah, menerima ajakan dan mau bekerjasama dengan ‘Adud al-Daulah untuk menjadi gubernur di Hamdan.
‘Adud al-Daulah meninggal dalam usia 40 tahun. Kemudian posisinya di-gantikan oleh puteranya bernama Syams al-Daulah dan berkedudukan di Bag¬dad. Sementara itu, Syarf al-Daulah, putera ‘Adud al-Daulah berhasil mengua¬sai pro¬vinsi Fars dan Irak. Sepeninggal Syarf al-Daulah, kekuasaan di Irak dipegang oleh putera ‘Adud al-Daulah lainnya bernama Baha al-Daulah. Pada masa pe¬me¬rintah¬annya, situasi politik tidak stabil karena sering terjadi perebutan kekua¬sa¬an dan konflik internal di antara keturunan Buwaihi, sehingga tidak banyak upaya pe¬ngembangan peradaban Islam. Sepeninggal Baha al-Daulah, kekuasaan dinasti Buwaihiyah dipegang oleh 3 (tiga) orang puteranya; yaitu Sultan al-Daulah, Mu¬syarif al-Daulah, dan Jalal al-Daulah. Keadaan ini tidak membuat suasana politik menjadi aman, malah semakin memanas dengan terjadinya konflik internal da¬lam perebutan kekuasaan. Misalnya, pada 1020 M terjadi serangan yang dila¬ku¬kan oleh Musyarif al-Daulah untuk merebut kekuasan dari tangan Sultan alDaulah yang berkuasa di Irak sejak 1012 M. Setelah Musyarif al-Daulah meninggal pada 1025 M, maka Jalal al-Daulah menjadi amir al-umara. Meskipun begitu, konflik ti¬dak pernah usai, bahkan Jalal al-Daulah terlibat peperangan dengan putera Sultan al-Daulah bernama Abu Kalijar. Sepeninggal Jalal al-Daulah pada 1040 M, jabatan strategis dalam pemerintahan dinasti Buwaihiyah dipegang oleh Abu Kalijar. Pa¬da 1048 M, Abu Kalijar meninggal dan posisinya digantikan oleh puteranya ber¬nama al-Malik al-Rahim. Namun naas benar nasib al-Malik al-Rahimi, sebab pada pemberontakan dan kerusuhann yang terjadi di kota Bagdad, ia tertangkap dan ditahan dalam penjara hingga tewas. Dengan kematiannya, maka berakhirlah masa kekuasaan dinasti Buwaihiyah dan dimulainya kekuasaan baru dinasti Sal¬juk atau Salajikah.

Kemajuan yang dicapai Bani Buwaihiyah
Setelah berhasil memasuki kota Bagdad, penguasa Bani Buwaihiyah mu¬lai memidahkan pusat pemerintahannya ke kota Bagdad dari Syiraz. Di kota Bagdad mereka menjadi penguasa pemerintahan. Sementara para khalifah hanya sebagai kepala negara yang tidak memiliki kekuatan untuk menentukan ja¬lan¬nya pemerintahan pada waktu itu, bahkan para khalifah hanya sebagai boneka dari pengusa bani Buwaihiyah. Selama bani Buwaihiyah berkuasa, terdapat be¬berapa perkembangan menarik. Di antaranya dalam bidang politik, bidang ke¬a¬gamaan,, bidang ilmu pengetahuan, dan lainnya.
Dalam bidang politik, masa pemerintahan bani Buwaihiyah mampu mela-kukan konsolidasi politik dengan cara melakukan penyatuan kemblai wilayah-wilayah yang sudah terpecah menjadi satu di bawah kekuasaan Bagdad, mes¬ki¬pun penguasa di Bagdad bukan lagi bani Abbas, tapi bani Buwaihiyah. Berbagai cara dilakukan untuk itu, misalnya dengan memerangi mereka yang tidak mau tunduk pada Bagdad atau mereka yang mencoba berpihak pada lawan politik bani Buwaihiyah, bahkan tak jarang konflik internal antara keluarga Buwaihiyah sendiri, seperti perebutan kekuasaan anara ‘Adud al-Daulah dengan ‘Izzu al-Daulah pada 976 M.
Sementara perkembangan dalam bidang keagamaan, dapat diketahui dari banyaknya mazhab atau aliran dalam Islam, baik fiqh maupun tauhid. Pada ma¬sa ini, misalnya, aliran Syi’ah (Zaydiyah) berkembang, meskipun masyara¬katnya mayoritas beraliran Sunni. Pemerintah bani Buwaihiyah tetap melakukan acara ritual keagamaan dan hari-hari besar Syi’ah. Selain itu, teologi Mu’tazilah ber¬kembang dengan subur pada masa bani Buwaihiyah. Perkembangan ini antara lain, karena kaum Mu’tazilah bekerjasama dengan kaum Syi’ah untuk menen¬tang kaum Sunni. Tetapi dalam analisis Harun Nasution, pengaruh Syi’ah dan pendukungnya se¬makin berkurang, terutama di masa masa akhir pe¬merintahan dinasti Buwaihiyah. Di samping itu,menjelang awal abad ke-11 M, paham Asy’¬ariyah menjadi mazhab yang jelas. Para teolog rasional di Irak telah menerima al-Asy’ary sebagai pemimpin mereka. Anggota paling terkemuka dalam alira ini adalah hakim al-Baqillani. Ia memiliki hubungan yang sangat baik dengan ‘Adud al-Daulah dan pernah menjadi duta Buwaihiyah menemui Kaisar Byzantium di Istambul pada 982 M.
Selain perkembangan aliran teologis Islam, juga terdapat perkembangan mazhab fiqh Hanbali. Pada masa ini, kaum Hanbaliyah dengan teologi mereka yang anti rasional, memiliki pengikut yang cukup banyak, terutama di Bagdad. Di antara aktivis dan cendekiawan yang berasal dari golongan ini yang berpe¬ngaruh pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyah adalah Ibn-Batta. Pada periode yang sama, muncul pula suatu kajian mengenai sekte-sekte bid’ah. Ka¬um Mu’tazilah telah memulai melakukan studi awal mengenai sekte-sekte, teru¬tama di kalangan Mu’tazilah sendiri. Di antara tokoh penting dalam masalah ini adalah Abu Mansur al-Bagdadi. Ia menulis sebuah buku berjudul al-farq bain al-firaq (perbedaan antara sekte-sekte). Meskipun pemerintahan bani Buwai¬hiyah penganut mazahab Syi’ah, menurut analisis Watt, penganut mazhab lain juga di¬berikan peluang dan ke-sempatan yang sama untuk hidup dan berkembang. Tidak ada pemakasaan bagi penganut Sunni untuk mengikuti mazhab Syi’ah.
Pada masa pemerinahan dinasti Buwaihiyah, terdapat perkembangan il¬mu pengetahuan yang cukup signifikan. Pada masa ini lahir beberapa ilmuan muslim terkemuka, seperti Ibn Sina (980-1037 M), al-Farabi (870- 950 M), Ali ibn Abbas al-Majusi (w. 904 M), Abu al-Qasim al- Zahrawi (w.1009 M) Abu Ali al- Hasan ibn al-Haitam (w. 1039 M). Ibn Sina, seorang filosuf dan ahli kedokteran terkemuka menciptakan teori kedokteran yang dituangkan ke dalam buku yang sangat monumental, yaitu al-Qanun fi al-Thib, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi bahan rujukan bagi ilmu kedokteran hingga abad ke-18 M. Karya ensikolpediknya ini mengilhami banyak ahli kedokteran untuk melakukan riset ilmu kedokteran, dan menjadi texbook bagi perguruan tinggi di Italia, Prancis, dan Inggris. Selain itu, ia juga mengarang buku al-Syifa, sebuah ensiklopaedia tentang fisika, metafisika, dan matematika. Karyanya ini berjumah sekitar 18 jilid. Dalam konteks ini, Watta dan Harun Nasution menilai bahwa Ibn Sina merupakan cerminan dari keadaan umum para ilmuan muslim dengan ke¬mampuan tinggi, dalam dan menguasai lebih dari satu disiplin ilmu. Ke¬ung¬gul¬anya dalam ilmu pengobatan adalah karena kemampuannya meng¬kom¬bi¬na¬sikan pengetahu¬an teoritis yang luas dan pemikiran sistematis dengan pengamatan klinis yang tajam.
Selain Ibn Sina, terdapat ilmuan terkenal lainnya yang hidpup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyah, yaitu al-Faraby (870-950 M). Dalam literatur Islam, ia dikenal sebagai seorang filosuf muslim kenamaan. Ia banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan melakukan interpretasi mendalam tentang filsafat Aristoteles. Sebagian karangannya sudah diter¬je¬mah¬kan ke dalam bahasa Latin. Pada periode yang sama dengan Ibn Sina, muncul pula seorang dokter kerajaan bernama Ali ibn Abbas al-Majusi (w.994 M). Selain sebagai seorang dokter istana pada masa ‘Adud al-Daulah, ia juga mengarang sebuah buku ilmu pengobatan yang dikenal di dalam bahasa Latin dengan nama Liber Regius, yaitu buku yang menjelaskan mengenai seni pengobatan yang sa¬ng¬at sarat dengan cara-cara pengobatan tradisional. ‘Ali ibn Abbas al-Majusi di du¬nia Latin dikenal dengan nama Maly Abbas. Pada masa ini, dunia kedok¬teran sedang mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Selain melahirkan ba¬nyak ilmuan kedokteran, juga meng¬ha¬sil¬kan teori, misalnya ilmu bedah dan instrumen bedah yang diciptakan oleh Abu al-Qasim al-Zahrawi (w.1009 M). Di dunia Barat, dia dikenal dengan nama Abul¬casis.
Selain ilmu kedokteran, pada masa ini juga para ilmuan berhasil me¬ne¬mu¬kan dan mengembangkan terori matematika. Salah seorang di antaranya adalah Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitam (w.1039 M). Ia merupakan seorang ahli mate¬ma¬tika kenamaan dan penemu rumus kuadrat. Selain itu, Al-Hazen, nama lain al-Hasan penemu optik dan teori cahaya. Ia melakukan berbagai eksperimen yang menghasilkan teori pembiasan cayaha yang melewati atmosfer bumi. Pada ma¬sa ini juga, para ilmuan muslim terus melakukan riset dan berbagai kegiatan eksperimen guna mengembangkan ilmu pengetahuan. Hasilnya, salah seorang ilmuan muslim bernama Abu Raihan al-Baituni (973-1048 M) menemukan teori bahwa bumi berputar pada porosnya, dan memupuskan asumsi bahwa bumi itu datar dan matahari yang mengitari bumi. Selain itu, ia juga melakukan ekspe¬ri¬men mengenai kecepatan suara dan kecepatan cahaya. Eksperimen lain yang di¬lakukanya adalah keberhasilannya menentukan berat dan kepadatan 18 macam permata dan metal.
Di samping perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains, pada masa ini juga terdapat perkembangan ilmu sastra. Di antara sastrawan ter¬kenal ketika itu adalah al-Hamdani (969-1008 M), Abu al-Farj al-Isfahani (w. 967 M), al-Mutanabbi (915-965 M), Abu ‘Ala al-Ma’arri (973-1057 M). Mereka adalah para sastrawan handal yang mampu mengembangkan imajinasi dalam pem¬bu¬atan sastra. Al-Hamdani misalnya, ia adalah seorang sastrawan yang me¬miliki kemampuan menguntai bait bait mengenai sebuah subyek yang rumit dan de¬ngan ritme tertentu, karena ia memiliki daya ingat yang sangat kuat, sehingga ia mampu mengingat ritme mana yang paling pas untuk sebuat bait syair. Kemam¬puannya ini diperlihatkan lewat beberapa karya tulisnya berupa pengolahan kata-kata yang terkumpul dalam sebuah kumpulan karya (maqamah). Dalam masa hidupnya, ia mampu menciptakan lebih kurang 400 maqamah, tetapi yang masih tersisa dan dapat diketemukan hanya sekitar 52 maqamah saja, selebihnya tidak dapat diketemukan. Kumpulan atau maqamah ini dianggap sebagai sebuah karya sastra yang paling mendekati sebuah karya novel. Sementara al-Isfahani, mampu menulis karya sasatra berupa kidung yang sangat monumental. Karya itu diberinama al-Aghani, yang menjadi sumber pengetahuan bagi peradaban bangsa Arab sebelum Islam.
Sementara al-Mutanabbi (915-965 M) sangat menguasai bentuk dan gaya sastra yang disenangi masyarakat Arab dengan memfokuskan pada masalah con¬tes atau isi syair, selain persoalan bentuk sastra yang ada. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia berhasil menciptakan al-Diwan (kumpulan sajak) yang di dalamnya tertulis nama Sayf al-Daulah, penguasa dinasti Buwaihiyah, sebagai bentuk penghargaan atas kepeduliannya dalam pengembangan ilmu penge¬ta¬huan dan satra Arab. Karya ini masih diketemukan hingga kini, dan dapat di¬akses di dalam literatur sastra Islam klasik yang dapat diwariskan hingga kini.
Sedang Abu al-‘Ala al-Ma’arri (973-1057 M), seorang sastrawan beraliran human¬isme Aleppo (Halb) dan pemikir kritis. Sebelumnya ia adalah pengikut dan pengagum al-Mutanabbi, tetapi kemudian ia mengembangkan kreatifitasnya sendiri hingga memiliki gaya sendiri dalam bersastra, seperti kritis, berani dan bebas, tanpa mengikuti pakem sastra yang sudah dan tengah berkembang saat itu. salah satu karya monumentalnya adalah Risalah al-Ghufran.
Dengan mengkaji perihal perkembangan yang terjadi pada masa pe¬me¬rin-tahan Dinasti Buwahiyah, dapat disimpulkan bahwa ter¬ko¬op¬tasinya pemerin¬tahan Bagdad di bawah kekuasaan dinasti Buwaihiyah bukan berarti pemerintah ini tidak mem¬perhatikan pengembangan ilmu pe¬nge¬tahuan, justeru pada masa ini, banyak bermunculan para ahli yang memiliki kontribusi besar dalam perkem¬bangan il¬mu pengetahuan dan sains modern kemudian. Salah satu con¬toh yang dapat dijadikan se¬bagai barometer adalah penemuan teori optik dan matematika oleh alhazen. Teorinya ini masih tetap dipertahankan hingga kini se¬bagai dasar pengem¬bang¬an ilmu optik modern. Keberhasilan eksperimen ini, se¬dikit banyak didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah dinasti Bu¬wai¬hiyah yang memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk melakukan riset da¬lam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan sains. Penemuan ini meru¬pakan hasil eks¬perimen umat Islam dalam pengem¬bangan ilmu pengetahuan dan sains yang kemudian dijadikan sebagai bahan referensi bagi pengembangan ilmu penge¬ta¬huan dan sains modern di dunia Barat. Para ilmuan ini telah memberikan kon¬tri¬busi yang sangat nyata besar ini, se¬mes¬tinya tidak menutup mata bangsa-bangsa Barat atas prestasi keilmuan dan sains yang mereka kembangkan di dunia Barat saat ini. Karena bagaimanapun, sum¬bangan umat Islam sangat berharga bagi pembentukan konsep dan teori dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan sains modern. Klaim-klaim besar yang mereka lakukan selama ini bahwa ilmu pengetahuan dan sains modern yang mereka kembangkan tidak memiliki akar historis dan keilmuan dari dunia Islam, merupakan sebuah sikap arogan dan ti-dak mengetahui akar historis sebenarnya, apalagi menghargai peran dan kon¬tri¬busi umat Islam.
Selain kemajuan ilmu pengetahuan dan sains, juga terdapat kemajuan da¬lam bidang pendidikan. Pada tahun 993 M, Abu Nashr Sabur ibn Ardasyir, wa¬zir Baha al-Daulah membangun sekolah di Bagdad yang dilengkapi dengan per¬pustakaan yang cukup besar. Kecintaan ilmuan muslim periode ini dalam me¬ngoleksi buku-buku, termasuk buku-buku berbahasa asing yang kemudian di¬terjemahkan ke dalam bahasa Arab, merupakan tradisi kaum intelektual mus¬lim ketika itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila pada masa itu terdapat salah satu akademi di kota Bagdad, meskipun kecil lembaga ini memiliki sekitar 10.000 buah buku di perpustakaan. Dengan referensi yang cu¬kup banyak dan mudah diakses oleh semua orang, maka perkembangan ilmu pengetahuan dan pertumbuhan lem¬ba¬ga-lembaga pendidikan Islam sangat mungkin tersebar ke berbagai pelosok wi¬la¬yah kekuasaan Islam. Keberhasilan ini, selain karena ada¬nya kebijakan pemerintah sebagai patron dalam pengembangan ilmu pe¬nge¬ta¬huan dan sains serta pembangunan lembaga-lembaga pendidikan Islam, juga adanya kreatifitas dan inovasi para ilmuan muslim dalam melakukan kajian dan pengembangan keilmuan Islam.

Kemunduran dan Kehancuran
Dinasti Buwaihiyah

Kekuasaan pemerintahan dinasti Buwaihiyah tampaknya tidak berjalan lama. Sebab pada 947 M terjadi krisis politik internal yang cukup lama, sekitar 11 tahun. Krisis ini disebabkan oleh perilaku Izzu al-Daulah, Bachtiar, yang ber¬pe¬rangai buruk dan suka berfoya-foya, sehingga tidak mampu menjalankan peme¬rintahan dengan baik. Bahkan untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari, se¬mua diserahkan kepada wazir yang kurang cakap. Pernaha suatu ketika ia m¬e¬ni¬pu khalifah pada saat melakukan kunjungan ke Ahwaz. Ia meminta uang secara paksa yang menurutnya akan dipergunakan sebagai biaya perlengkapan dan bantuan tentara Islam yang akan menyerang kekuasaan Byzantium, kenya¬ta¬an¬nya uang tersebut dipergunakan untuk berfoya-foya. Krisis politik ini bertambah runyam ketika Bachtiar memperlakukan tentara Turki secara semena-mena yang membuat tentara Turki marah. Perilaku Bachtiar yang suka ber¬fo¬ya-foya de¬ngan menggunakan uang negara menyebabkan keuangan negara se¬makin habis. Untuk menutupi hal tersebut, Bachtiar membebani masyarakat de¬ngan pajak yang berat. Kebijakan ini membuat masyarakat marah dan mem¬per¬parah krisis politik dan ekonomi. Pada saat yang sama, terdapat beberapa da-erah kekuasaan Bani Abbas, yang merupakan aset ekonomi dan politik bagi ke-kuasaan Bu¬wai¬hi¬yah, mencoba melepaskan diri dari pemerintahan Bagdad. Di antaranya adalah dinasti Imran ibn Syahin di Batimah, dinasti Majahiyah di Ya¬man, dinasti ‘Uqai¬liyah di Mosul, dinasti kaum Kurdi di Biyar Bakr, dinasti Mir¬dariyah di Aleppo (Halb), dan Saktikiyah di Ghaznah.
Kemudian pada masa Baha al-Daulah berkuasa (989-1012 M), terjadi perebutan kekuasaan di kalangan istana dan militer yang menyebabkan situasi sosial politik tidak stabil. Selain itu, di Mosul terjadi peralihan kekuaan dari Hamdaniyah ke kelarga nomaden Arab, yaitu Bani ‘Uqailiyah, dan Samaniyah yang menjadi negara vazal mulai runtuh dan jatuh ke tangan keluarga Ghaznawi dan Qarakhani. Para amir al-umara Bani Buwaihiyah, dengan seenaknya meng¬ganti khalifah Abbasiyah yang hanya sekedar simbol kekuasaan Islam. Salah satu contoh, Baha al-Daulah, atas usul seorang wazirnya mengganti khalifah al-Tha’i dengan al-Muqtadir bi Allah. Kebijakan ini membuat masyarakat Arab marah dan kemudian menghukum mati sang wazir. Keadaan ini memperparah situasi sosial dan politik umat Islam dan mempercapat proses kemunduran di¬nasti Buwaihiyah. Konflik horizontal yang bersifat politis dan ideologis yang ter¬jadi antara kaum Sunni dengan Syi’ah memperparah keadaan, sehingga dinasti Buwaihiyah terus melemah yang kemudian mengalami kehancuran.
Ketika Bani Buwaihiyah tidak mampu lagi mengendalikan situasi akibat konflik politik dan krisis ekonomi berkepanjangan, masyarakat mulai tidak ter¬ta¬rik untuk memberikan dukungan lagi. Mereka lebih tertarik untuk memberikan dukungan kepada Tughrul Bek, pemimpin Bani Saljuk yang telah menyatakan dirinya sebagai sultan di Nishabur, setelah menaklukkan Khurasan, Jurjan, Ta¬ba¬ristan, Hamadhan, Raiy, Isfahan, dan Azerbeizan. Kekuasaan yang dimiliki Tughrul Bek di wilayah Timur Bagdad pada 1041 M mendapatkan legitimasi be¬rupa pengakuan resmi dari khalifah al-Qaim, bahkan Tughrul Bek diberi ke¬kua¬saan sebagai gubernur pada daerah yang telah dikuasainya. Pengakuan ini men¬dapat respons yang tidak baik dari Bani Buwaihiyah, bahkan mereka berusaha memperkeruh keadaan dengan melakukan kerusuhan di kota Bagdad. Melihat keadaan ini, maka menjelang tahun 1055 M, seorang pembantu khaifah bernama al-Muslim, mengundang Tughrul Bek datang ke Bagdad untuk membantu khalifah dalam menyelesaikan krisis politik tersebut. Akhirnya, pada 19 Desember 1055 M bantuan datang dan Tughrul Bek memasuki kota Bagdad dan menangkap al-Malik al-Rahim, amir al-umara terakhir dari Bani Buwaihiyah dan memasukannya ke dalam penjara. Al-Malik al-Rahim, berada di penjara di pen¬jara lebih kurang 5 tahun dan wafat di tahanan. Dengan meninggalnya al-Malik al-Rahim, amir al-umara Bani Buwaihiyah terakhir, maka berakhirlah masa ke¬kuasaan dinasti Buwaihiyah, salah satu dinasti yang mampu menganeksasi Bag¬dad selama lebih kurang satu abad, mulai 943-1055 M.


Dinasti Ghaznawiyah (962-1186 M)

Dinasti ini didirikan pada 962 M oleh Sabuktakin, menantu Alptakin. Alp¬takin adalah seorang perwira Turki profesional di Bukhara, wilayah yang pernah menjadi daerah kekuasaan dinasti Samaniyah. Ketika itu, ia menganggap pen¬ting untuk melakukan ekspansi ke wilayah Afghanistan Timur dan mengangkat dirinya sebagai penguasa di daerah Ghazna. Kemudian pada 977 M tentara Tur¬ki di Ghazna mengangkat Sabuktakin sebagai pemimpin mereka. Dalam catatan sejarah, Sabukakin inilah yang kemudian dianggap sebagai pendiri dinasti Ghaz¬nawiyah. Kemudian setelah kematiannya, pada 998 M jabatan tersebut dise¬rah¬kan kepada anaknya bernama Mahmud ibn Sabuktakin.
Setelah kekuasaan dinasti Samaniyah runtuh, Mahmud ibn Sabuktakin memproklamirkan dirinya menjadi penguasa independen dengan sebutan Mah¬mud al-Ghaznawi. Ia terus berusaha memperluas wiayah kekuasaannya atas Khurasan dan wilayah sekitaranya. Di Khurasan ini ia mulai melakukan penye¬butan nama-nama khalifah Abbasiyah dalam setiap khutbah Jum’at, yang se¬be¬lumnya terabaikan. Hal itu terjadi karena perbedaan ideologi politik dan keagamaan, sebab dinasti Samaniyah berideologi Syi’ah, sementara Mahmud Ghaznawi Sunni. Sebagai imbalan atas penyebutan itu, khalifah Abbasiyah memberikan jabatan kepada Mahmud al-Ghaznawi sebagai gubernur di wilayah Khurasan dengan gelar Wali Amir al-Mukminin. Selain itu, ia juga memperoleh gelar Yamin al-Daulah dari khalifah al-Qadir, bahkan kemudian ia menyebut dirinya sebagai sultan.
Selama masa kepemimpinannya, ia berusaha memperoleh pendapatan melalui pajak dan pendapatan lainnya. Semua dikumpulkan, sehingga Mahmud memiliki kekayaan yang cukup yang dapat dipergunakan untuk melakukan per¬luasan wilayah ke anak benua India. Sekitar tahun 1001 M ia berhasil menak¬luk¬kan Kabul, Multan, Kashmir, dan Punjab. Setelah itu, kemudian ia melakukan ekspedisi ke lembah Gangga, dan baru pada 1025 M ia berhasil menaklukkan Gujarat, India. Selama masa kekuasaannya lebih kurang 32 tahun, dipergunakan untuk memperluas wilayah kekuasaan, sehingga ketika ia wafat pada 1030 M wilayah kekuasaannya meliputi Punjab dan lembah Indus di India, seluruh Af¬ghanistan dan Persia Timut. Sepeninggal Mahmud al-Ghaznawi, puteranya ber¬nama Mas’ud ibn Mahmud al-Ghaznawi menggantikan posisinya. Penggantian ini berada di luar skenarionya. Ia sebenarnya berkehendak agar pu¬tera tertuanya bernama Muhamad ibn Mahmud al-Ghaznawi menduduki ja¬batan sebagai sul¬tan, tetapi keinginan tersebut tidak diterima oleh kalangan militer, karena Mu¬ha¬mad dianggap kurang berpengalaman dalam melakukan ekspedisi, sementara Mas’ud ibn Mahmud al-Ghaznawi dianggap memiliki pengalaman karena sering mengikuti kegiatan ekspedisi yang dilakukan tentara, selain teng¬ah menjabat gubernur di propinsi Barat. Tetapi setelah ia berkuasa, justeru ma¬lah kurang mengindahkan nasihat dewan negara agar menghentikan sejenak usahanya untuk melakukan ekspedisi ke seluruh Anak Benua India, karena di Khurasan tengah terjadi gejolak yang dilakukan oleh orang-orang Saljuk. Akhir¬nya, setelah kian banyak orang-orang Saljuk yang masuk dan menguasai bebe¬ra¬pa wilayah Khurasan, ia kewalahan, sebab ia harus berhadapan dengan mereka. Usaha untuk mengatasi gejolak politik yang dilakukan tentara Saljuk tidak dapat dibendung, bahkan tentaranya mengalami kekalahan besar. Akibatnya lebih tra¬gis lagi, ia tewas di tangan pasukannya sendiri dalam perjalanan menuju Lahora, India. Konflik fisik antara pasukan Ghaznawiyah dengan Saljuk terus berlanjut hingga beberapa tahun lamanya.



Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Ghaznawiyah
a. Kemajuan Dinasti Ghaznawiyah

Pemerintahan dinasti Ghaznawiyah mengalami kejayaan pada masa pe-merintahan Mahmud al-Ghazna yang berkuasa selama lebih kurang 34 tahun. Kekuatan yang dimilikinya dapat dipergunakan untuk memperluas wilayah ke-kuasaan hingga mencapai wilayah India, hingga berhasil menaklukan Pesha¬war, Kashmir, dan Bathinda pada 1001-1004 M. Punjab dikuasai pada 1006 M, Kangra pada 1009, Baluchistan pada 1011-1012 M, kemudian Delhi pada 1014-1015 M. Wilayah yang luas dan sumber kekayaan yang melimpah, membuat eko¬nomi ne¬geri ini sangat kuat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran negeri.
Perhatian penguasa dinasti Ghaznawiyah, khususnya Mahmud al-Ghaz¬nawi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban tercermin dari usahanya yang konkret dengan mendirikan gedung-gedung sekolah dan lem¬ba¬ga-lembaga pendidikan lainnya, sehingga kota Ghazna menjadi pusat peng¬ka¬ji¬an ilmu pengetahuan yang dikunjungi banyak ilmuan. Salah seorang ilmuan ter¬kenal yang hidup pada masa Mahmud al-Ghaznawi adalah al-Firdausi (w.1020 M), seorang sastrawan yang sangat berjasa dalam kebangkitan kembal;i sastra Persia, dan juga pelopor perkembangan seni arsitektur. Ia diminta Mahmud al-Ghaznawi untuk menulis sebuah karya yaitu Ayahnamah. Karya ini menjadi se¬buah karya monumental pada masa itu. selain al-Firdausi, terdapat sastrawan terkenal lainnya di Ghazna, seperti Asadi Tusi, Asjadi dan Farukhi. Tokoh lain¬nya bernama Unsuri, seorang pemikir, ilmuan dan sastrawan yang menjadi guru besar di sebuah universitas yang dibangun Mahmud al-Ghaznawi. Di antara me¬reka yang terkenal dan berhasil menciptakan teori adalah al-Biruni (973-1057 M). Dalam catatan biografinya, ia pernah ikut serta bersama Mahmud al-Ghaznawi melakukan ekspedisi ke wilayah India dan mempelajari bahasa Sanskerta. Dari penelitiannya itu, ia menulis sebuah karya berjudul Tahqieq al-Hind (penelitian tentang India). Selain itu, ia juga menguasai ilmu kimia dan berhasil melakukan penelitian atau eksperimen tentang berat jenis beberapa zat kimia.
Dengan melihat data tersebut, dapat dipahami bahwa kemajuan ilmu pe-ngetahuan, sastra dan sebagainya merupakan sebuah kenyataan historis bahwa pemerintah sangat memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pe¬nge-tahuan dan peradaban Islam. Pemerintah selalu memberikan motivasi kepa¬da para ilmuan untuk melakukan riset guna memperoleh hasil maksimal. Bah¬kan Mahmud al-Ghaznawi tak segan mengajak para ilmuan untuk mengikuti ke¬giatan ekspansinya ke wilayah-wilayah lain, termasuk ke India. Di wilayah tak¬lukkan inilah para ilmuan melakukan riset sehingga menghasilkan karya yang monumental, seperti karya al-Firdausi dan al-Biruni.




b. Kemunduran Dinasti Ghazaniwiyah

Sepeniggal sultan Mahmud al-Ghaznawi, dinasti Ghaznawiyah menun¬jukkan tanda–tanda kelemahan. Hal itu disebabkan - antara lain, karena sumber pendapatan negara semakin berkurang, terlebih setelah Tughrul Bek, amir Saljuk, menguasai wilayah Khurasan, dan beberapa wilayah di bagian Timur memisah¬kan diri dari pemerintahan dinasti Ghaznawiyah. Pemisahan wilayah ini meru¬pakan fenomena politik yang tidak stabil, sehingga beberapa dilayah di bagian Anak Benua Inda mencoba mendirikan kerajaan-kerajaan Islam kecil. Sementara di bagian Utara dan bagian Barat, keluarga Khan dari Turkestan dan keluarga Saljuk dari Persia membagi-bagi wilayah kekuasaan Ghaznawiyah. Sedang pada bagian Tengah kelompok Ghuriyah dari Afghanistan melakukan serangan ter¬ha¬dap kekuasaan dinasti Ghaznawiyah.
Pada masa Mas’ud ibn Mahmud al-Ghaz¬nawi berkuasa, dinasti Ghaz¬na¬wiyah mengalami kemunduran luar biasa, karena wilayah Khurasan dan Kha¬warizm jatuh ke tangan Saljuk. Pada pertengahan abad ke-11 M, Mas’ud disi¬buk¬kan dengan peperangan melawan kekuatan Bani Saljuk yang mau menguasai Si¬jistan dan Afghanistan Barat. Dari 1040-1059 M, pertempuran terus berlangsung, antara dinasti Ghaznawiyah dengan Bani Saljuk. Perdamaian an¬ta¬ra dinasti Ghaznawiyah dengan Bani Saljuk baru terjadi setelah Ibrahim ber¬kua¬sa. Perjan¬jian itu berlangsung lebih kurang selama setengah abad. Dalam isi per¬janjian, Ibrahim harus menyarahkan wilayah Afghanistan Barat kepada Bani Sal¬juk, se¬hingga wilayah kekuasaan Ghaznawiyah hanya meliputi wilayah Af¬gha¬nistan bagian Timur dan India Utara.
Selain faktor eksternal, kemunduran dinasti Ghaznawiyah juga dise¬bab¬kan oleh konflik internal keluarga. Konflik itu disebabkan oleh perebutan ke¬kua¬saan antara Muhamad dengan Mas’udal-Ghaznawi, hingga menimbulkan per¬tempuran. Dalam pertempuran, Mas’ud tewas terbunuh. Namun kematian Mas¬’ud tidak diterima oleh anaknya, yaitu Maudud ibn Mas’ud al-Ghaznawi. Untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, ia melakukan penyerangan terhadap keluarga Muhamad dan membunuh mereka, kecuali Abd al-Rahim, yang dike¬tahui Maudud termasuk orang yang tidak setuju atas pembunuhan Mas’ud ibn Mahmud al-Ghazna, ayah Maudud. Sejak saat itu, Maudud ibn Mas’ud al-Ghaz¬nawi mengambil alih kekuasaan menjadi sultan. Namun sepeninggal Mau¬dud, konflik internal itu muncul kembali, hingga dalam sejarah diketahui telah terjadi per¬a¬lihan kekuasaan yang silih berganti antara keluarga Maudud ibn Mas’ud.
Situasi politik semakin kacau setelah terjadi konflik internal dalam perebutan kekuasaan. Misalnya, setelah Maudud meninggal, puteranya bernama Mas’ud II ibn Maudud menggantikan posisinya. Tetapi, dalam perjalanan se¬lan¬jutnya, kekuasaan Mas’ud II direbut oleh pamannya sendiri, yaitu Ali ibn Mas¬’¬ud I. Jabatan Ali ibn Mas’ud I juga direbut kembali oleh Abd al-Rasyid ibn Mah¬mud. Kekuasaan Abd al-Rasyid ibn Mas’ud ini juga diambil alih oleh Tughrul, bekas ajudan dan pengawal pribadi Maudud ibn Mas’ud al-Ghaznawi. Tetapi, nasib naas menimpa Tughrul, karena ia sendiri tewas di tangan tentaranya sen¬diri yang tidak setuju atas usahanya merebut kekuasaan dari tangan Abd al-Ra¬syid ibn Mas’ud. Setelah itu, mereka kemudian mengangkat Fakhruzad ibn Mas¬’du I sebagai sultan Ghaznawiyah. Kemudian ia digantikan oleh saudaranya ber¬nama Ibrahim ibn Mas’ud I. Ibrahim digantikan lagi oleh Mas’ud III. Sepe¬ning¬gal Mas’ud III, dinasti Ghaznawiyah benar-benar mengalami kelemahan, karena konflik internal terus terjadi hingga akhirnya dinasti ini mengalami kehancuran.

C. Kehancuraan Dinasti Ghaznawiyah

Sepeninggal Mas’ud III, kekuasaan jatuh ke tangan anaknya bernama Syirzad dengan mengalahkan saudara-saudaranya, Arslan Syah dan Bahram Syah. Setelah berkuasa selama satu tahun, Syirzad digulingkan oleh Arselan Syah. Tapi setelah ia berkuasa lebih kurang 2 tahun, kekuasananya juga digu¬lingkan oleh Bahram Syah. Untuk merebut kembali kekuasaan itu, Arslan Syah melakukan serangan balik, tapi serangan tersebut dapat dipatahkan Barham Syah, dan Arslan Syah kemudian ditangkap dan dibunuh. Setelah Bahram Syah, posisinya digantikan oleh Khusrav Syah, puteranya sendiri. Setelah Khusrav Syah, jabatan sultan dipegang oleh Khusrav Malik, putera Khusrav Syah. Ia me¬rupakan sultan Ghaznawiyah terakhir yang menyaksikan kekuasaannya di¬ca¬bikcabik oleh pasukan Ghurriyah dari Afghanistan. Kemudian Syihabuddin dari Ghur memaksa Khusrav Malik di Lahore untuk membayar pajak kepadanya. Bahkan dalam sejarah diketahui Khusrav Malik bersama anaknya, Malik Syah ditahan dan dibunuh oleh Syihabuddin Ghurri. Dengan peristiwa tragis itu, maka berakhirlah kekuasaan dinasti Ghaznawiyah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dinasti Ghaznawiyah yang didirikan oleh Mahmud al-Ghaznawi mengalami pasang surut. Dinasti ini pernah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Mahmud al-Ghaznawi. Hal ini dapat dibuktikan lewat luasnya wilayah kekuasaan hingga mencapai anak benua India. Tetapi, setelah sekian lama berkuasa, dinasti ini mengalami masa kemunduran karena konflik internal berkepanjangan hingga akhirnya unsur luar masuk dan menguasa istana hingga akhirnya kekuasaan dinasti Ghaznawiyah mengalami masa kehancuran setelah jatuh ke tangan bangsa Ghur dari Afghanistan, terutama setelah Syihabuddin Ghurri membunuh sultan terakhir, yaitu Khusrav Malik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar