Senin, 07 September 2009

Sejarah Islam: Tradisi Agama dalam Dialektika Kebudayaan

Sejarah Islam:
Agama dalam Tradisi dan Dialektika Peradaban Dunia
Oleh: Murodi*


Sejarah Islam merupakan hasil dari setting yang selalu berubah yang dibentuk oleh tradisi Islam. Selain itu, ia juga merupakan hasil dari sebuah proses akomodasi atau akulturasi dari tradisi kultural lain yang telah ada sebelumnya. Berdasarkan pandangan ini, dan dalam konteks perbincangan mengenai peradaban Islam, Marshall G. S. Hodgson menekankan penting-nya melihat kesinambungan kultural yang terjadi pada tingkat agama, yang diekspresikan oleh umat Islam. Sebab peradaban, bagi Hodgson, merupakan pengelompokan yang relatif luas dari kebudayaan-kebudayaan yang saling berkaitan. Dan dalam peradaban Islam, jalinan berbagai kebudayaan itu disatukan dan diikat oleh kepercayaan Islam—cita-cita ilahiah tentang transformasi menuju kehidupan yang saleh (Marshall G. S. Hodgson, 2002: 118-136).

Kehadiran Islam telah membuat perbedaan dan perubahan besar dalam tatanan masyarakat dunia. Pada satu sisi, kehadiran agama Islam telah menciptakan masyarakat dengan karakteristik yang disebut Islami. Pada sisi lainnya, Islam juga melestarikan tradisi-tradisi yang lebih awal ke dalam bentuk-bentuk baru di bawah nama peradaban Islam. Cita-cita transformasi Islam ini setidaknya bisa dilihat dalam Al-Qur’an: ”Engkau telah menjadi umat terbaik yang pernah dimunculkan untuk umat manusia, seraya menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan, dan yang percaya kepada Tuhan” (QS. 3: 110). Meski demikian, tak ada penafsiran seragam dan gambaran ideal tentang bagaimana rupa dari ”masyarakat terbaik” tersebut (Marshall G. S. Hodgson, 2002: 99-100). Oleh karena itu, sejarah Islam merupakan rekaman ikhtiar terus-menerus umat Islam untuk membangun masyarakat yang baik sesuai dengan visi Islam tersebut.

Penjelasan di atas menegaskan satu hal penting bahwa Islam adalah agama yang menyejarah. Ia tumbuh di atas peradaban umat-umat sebelumnya. Islam menyerap berbagai tradisi agama yang telah ada dan memberinya bentuk baru yang lebih sesuai dengan nilai-nilai normatif Islam. Demikianlah sejarah Islam kemudian terbentuk. Ia merupakan jalinan antara realitas nyata yang dihadapi oleh kaum Muslim, sekaligus sebagai rekaman atas perjuangan umat Islam dalam menafsirkan sumber pokok Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis.

Kedua teks tersebut menjadi sentral dalam sejarah Islam. Seorang penulis Mesir, Nasr Hamid Abu Zaid, pernah mengutarakan bahwa peradaban Islam dan Arab sesungguhnya adalah peradaban yang berpusat di sekitar ”teks”. Ini karena begitu pentingnya teks, sehingga teks menjadi semacam paradigma atau cetak-biru (blueprint) yang mengarahkan hampir seluruh kehidupan umat Islam dalam sepanjang perjalanan sejarahnya. Karenanya, sejarah Islam selalu mengorbit kepada teks dalam dua sisi yang bertautan. Satu sisi berupa penafsiran dari teks menuju konteks atau realitas. Sisi lainnya adalah penyesuaian realitas terhadap nilai-nilai normatif yang terkandung dalam teks Islam.

Sebagai pegangan utama umat Islam, Al-Qur`an mengandung nilai-nilai normatif yang menjadi sumber pokok dan pedoman dasar dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Muslim. Selain itu, Al-Qur`an juga mengan¬dung kisah masa lalu manusia yang merupakan tamsil untuk diambil sebagai pelajaran dan teladan. Tentang ini Al-Qur’an menyebutkan: ”Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS. Yusuf: 111). Bahkan, pentingnya sejarah Islam tak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa sebagian besar dari isi kandungan Al-Qur’an adalah tentang sejarah (Taufik Abdullah [dkk., eds.], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, 2002: 266).

Sementara hadis atau sunnah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur`an. Pada masa Nabi hidup, segala bentuk persoalan keagamaan tidak perlu diperdebatkan, karena semua persoalan dapat dipertanyakan langsung kepada Nabi. Kepentingan akan hadis baru dirasakan setelah Rasulullah wafat. Masalah-masalah yang menyangkut hukum tidak semuanya dapat dirujuk kepada Al-Qur`an secara langsung, karena tidak semua ayat dalam Al-Qur`an secara jelas menetapkan suatu hukum. Dalam konteks inilah hadis menjadi sumber pokok kedua setelah Al-Qur’an, sebagai perincian, penegas, maupun penerang ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an (Taufik Abdullah [dkk., eds.], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, 2002: 266).

Bisa dipahami bila kemudian muncul pemikiran bahwa sejarah Islam tak bisa dilepaskan dari keberadaan Al-Qur’an dan hadis. Bahkan, histo¬riog¬rafi Islam bermula dari penulisan hadis-hadis Nabi, khususnya yang ber¬kenaan dengan perang-perang Nabi (al-maghazi). Penulisan al-maghazi ini membuka jalan bagi penulisan biografi Nabi (al-sirah). Dari sini kemudian penulisan sejarah Islam berkembang dan puncaknya terjadi pada masa dinasti Abbasiyah pada abad ke-9 dan 10 M, ketika penulisan sejarah Islam menjadi sebuah disiplin khusus (Badri Yatim, 1997: 41-42, 91).
Secara umum diakui kata Inggris history untuk sejarah, berasal dari bahasa Yunani istoria yang berarti ilmu. Dalam perkembangannya, kata Latin scientia yang lebih digunakan untuk menyebutkan ilmu: gejala-gejala, terutama hal-ihwal manusia, dalam urutan kronologis. Sementara kata history digunakan untuk menunjuk ’masa lampau umat umat manusia’. Pengertian ini masih terlalu umum. Untuk memperoleh pengertian yang lebih definitif, Badri Yatim mengutip Taufik Abdullah yang membatasi peristiwa masa lampau itu ke dalam empat hal: (1) pembatasan yang menyangkut dimensi waktu; (2) pembatasan yang menyangkut peristiwa; (3) pembatasan yang menyangkut tempat; dan (4) pembatasan yang menyangkut seleksi (Badri Yatim, 1997: 1-3).

Jadi, untuk dapat menjadi sejarah, masa lampau umat Islam harus memiliki kriteria-kriteria pembatasan tersebut: periode sejarah yang jelas, peristiwa yang menyangkut manusia, dilakukan di tempat tertentu, dan kepingan-kepingan masa lampau tersebut terkait dengan konteks historis tertentu yang menjadi perhatian sejarawan atau penulis sejarah. Dengan demikian, penulisan sejarah (historiografi) Islam merupakan usaha mere-konstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau umat Islam yang mengan¬dung batasan-batasan yang telah dikemukakan di atas.

Sementara mengenai Islam, setidaknya terdapat dua pengertian yang sejauh ini banyak dipakai para sarjana. Secara terminologis, kata islam (dengan huruf kecil), dalam bahasa Arab berarti tindakan penyerahan diri kepada Tuhan. Menjadi muslim berarti menerima pertanggungjawaban pribadi atas norma-norma tindakan yang dipandang memiliki kekuatan ketuhanan. Kata islam dengan demikian merujuk pada bentuk spiritual batin dari seorang pribadi yang punya kehendak baik. Pengertian ”Islam” (dengan huruf besar) kemudian merujuk secara lebih umum pada keseluruhan pola sosial dari sistem pemujaan dan kepercayaan yang bagi para pemeluknya yang saleh, tumbuh dari Islam pribadi dan dari para pemeluk individualnya (Marshall G. S. Hodgson, 2002: 101). Inilah Islam dalam pengertian histo¬risnya.

Dengan pengertian tersebut, maka sejarah Islam sesungguhnya terkait dengan berbagai aspek kehidupan umat Muslim yang diinsipirasikan dan diarahkan oleh nilai-nilai spiritual Islam. Oleh karena itu, selain aspek normatif dan historis ajaran Islam, faktor penting yang turut membentuk historiografi Islam adalah adanya kesadaran sejarah (historisitas) umat Islam. Historisitas merupakan tingkat kesadaran masyarakat mengenai masa lalu, yang terlihat dari paradigma berpikir masyarakat tentang pentingnya pengungkapan masa lalu secara obyektif. Pengungkapan sejarah masa lalu sangat ditentukan oleh kesadaran sejarah yang dimiliki masyarakat, karena bentuk mau¬pun cara pengungkapan masa lalu tersebut merupakan ekspresi kultural dan pantulan ke¬prihatinan sosial masyarakat yang menghasilkan sejarah itu sendiri (Taufik Abdul¬lah, 1985: xx; Sartono, 1982: 16).

Munculnya kesadaran sejarah umat Islam dibuk¬tikan dengan mun-culnya banyak sejarawan sejak masa klasik Islam. Mereka antara lain: Ibnu Ishaq (Sirah al-Nabawiyah li Ibn Ishaq), Ibnu Hisyam (Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hi¬syam), al-Thabary (Tarikh al-Thabary), al-Suyuthi (Tarikh al-Khulafa), dan lain seba¬gai¬nya. Di samping itu, kesadaran sejarah umat Islam terlihat dari kesadaran kaum Muslim bahwa Islam merupakan rangkaian dari agama-agama monoteistik sebelumnya. Ini menuntut umat Islam untuk memahami dan mempelajari bagaimana peradaban Islam terbentuk dan apa sum¬bang¬sihnya bagi tatanan peradaban dunia umumnya.

Dalam mengkaji peradaban Islam, Hodgson selalu mengingatkan untuk memberi perhatian yang besar pada masyarakat dan kebudayaan sebagai konteksnya, dalam hal ini umat Muslim. Kebudayaan Islam menjadi penting karena ia mewakili aspirasi dan pencapaian kreatif yang paling tinggi dari beratus juta manusia. Dengan mengkaji mereka, menurut Hodgson, kita jadi mengenal dan memahami diri kita sebenarnya dengan lebih baik, dulu dan sekarang—sebagai manusia (Marshall G. S. Hodgson, 2002: 141-142). Pada titik inilah, studi Islam meniscayakan sebuah kajian yang mendalam dan komprehensif atas sejarah Islam. Tanpanya, studi Islam akan berakhir hanya sebatas kajian atas teologi atau doktrin-doktrin Islam yang terlepas dari konteks sejarah masyarakatnya. Dengan memasukkan bahasan sejarah Islam, maka studi Islam akan meliputi kajian masyarakat Islam dan peradaban yang berhasil dibangunnya, dalam dialektika dengan kebu¬da¬yaan-kebudayaan lainnya di dunia.


Periode Muhammad

Muhammad lahir pada tahun 570 M di kota Mekkah, di bagian selatan jazirah Arab. Sebuah daerah yang pada saat itu paling terbelakang, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Muhammad lahir dari pasangan Abdullah (putra Abdul Muthalib, kepala suku Quraisy) dan Aminah binti Wahab (dari bani Zuhrah). Sejak lahir, Muhammad sudah dalam keadaan yatim. Karena, tiga bulan setelah pernikahan orangtuanya, sang ayah meninggal dunia dalam perjalanan dagang ke kota Yatsrib.
Tahun kelahiran Muhammad dikenal dengan nama tahun gajah. Karena pada tahun itu, seorang Gubernur Habsyi (Ethiopia) yang bernama Abrahah bersama pasukannya datang ke Mekkah dengan menunggang gajah untuk menghancurkan Ka’bah.

Setelah lahir, Muhammad tidak langsung diasuh oleh Aminah, ibu kandungnya. Empat tahun pertama dia diasuh oleh Halimah Sa’diyah. Baru setelah itu, selama kurang lebih dua tahun, Muhammad berada dalam asuhan ibu kandungnya. Menginjak usia enam tahun, Aminah meninggal dunia pada saat melakukan perjalanan ke Yastrib, tempat suaminya dikuburkan. Setelah itu, selama dua tahun Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Setelah kakeknya meninggal dunia, Muhammad diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Bersama pamannya, ia hidup sebagai penggembala kambing, dan kerap menemani pamannya yang seorang pedagang ke negeri Syam.

Bakat berdagang yang diturunkan dari sang paman membuatnya menjadi pedagang yang andal dan memperoleh keuntungan yang besar, sehingga menarik hati seorang saudagar perempuan yang kaya, yang telah lama menjanda, bernama Siti Khadijah. Khadijah kemudian melamar Muhammad. Muhammad menikah pada usia 25 tahun, sedangkan Khadijah berumur 40 tahun, lima belas tahun lebih tua dari Muhammad. Pernikahan mereka dikaruniai 2 orang putera dan 4 orang puteri: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum, dan Fatimah.

Kerasulan
Keadaan masyarakat Mekkah yang terbelakang (Jahiliyah), senang dengan kekerasan dan pertempuran, berjudi, meminum minuman keras, bertentangan dengan sikap dan pemikiran Muhammad tentang keesaan Tuhan. Ini yang membuatnya sering mengasingkan diri untuk bertafakur di Gua Hira, yang jaraknya beberapa kilometer di utara Mekkah. Dan di sinilah, Muhammad mendapatkan wahyu yang pertama melalui malaikat jibril, yaitu surat al-Alaq ayat 1-5. Kejadian ini terjadi ketika Muhammad berusia 40 tahun, bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M.

Setelah wahyu yang pertama, Muhammad tidak langsung berdakwah dan hanya memberitahukan kejadian tersebut kepada istrinya, Khadijah. Barulah pada wahyu kedua yang ia terima di tempat yang sama, yaitu surat Al Muddatstsir ayat 1-7, ia berdakwah secara diam-diam di lingkungan keluarga sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Di antara nama-nama mereka yang pertama menerima ajaran Muhammad adalah: Khadijah (istri), Ali bin Abi Thalib (sepupu), Abu Bakar (sahabat sejak kecil), Zaid (bekas budaknya), dan Ummu Aiman (pengasuhnya sejak ibunya masih hidup). Dengan cara diam-diam tersebut, belasan orang telah memeluk agama Islam.

Hijrah ke Madinah
Selama tiga tahun pertama, Muhammad hanya menyebarkan agama terbatas kepada teman-teman dekat dan kerabatnya. Namun, pada awal tahun 613 M, Muhammad mengumumkan agama Islam secara terbuka. Tentu saja, ajaran Muhammad yang bertolak belakang dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat jahiliyah Mekkah, mendapat tantangan hebat dan penolakan yang sangat.

Selain itu, para pemimpin Quraisy dan kaumnya, juga merasa tidak senang kalau harus tunduk kepada ajaran Muhammad. Menurut mereka, tunduk kepada ajaran Muhammad, berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy.

Semakin bertambahnya jumlah pengikut Muhammad, semakin keras tantangan yang dilancarkan kaum Quraisy. Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah berkembangnya ajaran Muhammad. Mulai dari cara diplomatik seperti mengirim Utbah bin Rabiah, seorang ahli retorika untuk membujuk Muhammad, sampai cara bujuk rayu dan ancaman kepada orang terdekat Muhammad, seperti Abu Thalib, paman Muhammad.

Bukan itu saja, kaum Quraisy pun melakukan pemboikotan terhadap Bani Hasyim selama 3 tahun dengan cara memutuskan segala hubungan jual beli dan komunikasi dengan mereka.
Karena berbagai cara yang dilakukan kaum Quraisy gagal¬, dan juga setelah melihat dua pendukung utama Muhammad meninggal dunia tidak lama setelah dihentikannya pemboikotan, yakni Abu Thalib dan Siti Khadijah, tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah mereka lakukan terhadap pengikut Muhammad, semakin gencar dan meningkat. Sebagian orang Islam disiksa, dianiaya, disingkirkan, dan diasingkan. Faktor inilah yang memunculkan ide dalam benak Muhammad untuk berhijrah (pindah) ke kota Yatsrib (di kemudian hari berganti nama menjadi Madinah), kota yang berjarak sekitar 200 mil (320 km) di sebelah utara Mekkah.

Namun, pendapat lain mengatakan, kedudukan umat Islam yang lemah, yang tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy, membuat Muhammad belum dapat membentuk suatu masyarakat mandiri dan kuat. Karenanya, Muhammad dan sahabatnya terpaksa meninggalkan Mekkah dan pindah ke Yastrib (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985: 88).

Pilihan Muhammad jatuh ke kota Yastrib bukan tanpa alasan. Sebelumnya, Muhammad telah mengadakan perjanjian dengan orang-orang Yatsrib di bukit Aqabah. Mereka datang untuk mengunjungi Ka’bah dalam suatu kegiatan tahunan, kemudian melihat ajaran Muhammad, lantas tertarik dan mengikutinya. Perjanjian yang dikenal dengan nama perjanjian Aqabah itu berisi, sumpah mereka untuk melindungi Islam, Rasulullah (Muhammad) dan orang-orang Islam Mekkah. Tahun selanjutnya, mereka datang lagi dan mengundang orang-orang Islam Mekkah untuk berhijrah ke Yatsrib. Muhammad akhirnya setuju untuk berhijrah ke kota itu.

Sejak itulah kota Yatsrib berganti nama menjadi Madinatun Nabi (Kota Nabi), atau sering pula disebut Madinatul Munawwarah (kota yang berca¬haya). Dan dalam perjalanannya, biasa disebut kota Madinah saja. Bukan itu saja, perpindahan itu pun menandai dimulainya kalender dalam Islam yang dikenal dengan nama Tahun Hijriyah.
Di kota ini, keadaan Muhammad dan umatnya mengalami perubahan yang besar. Umat Islam bebas beribadah dan bermasyarakat, mempunyai kedudukan yang baik, menjadi umat yang kuat, dan akhirnya menjadi negara dengan pemerintahan (khalifah) Islam di bawah pimpinan Muhammad. Dengan kata lain, Muhammad bukan saja seorang Rasul Allah, tetapi juga sebagai kepala negara (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985: 88).

Tentu saja, orang-orang Mekkah dan musuh-musuh Islam risau melihat Islam yang semakin kuat. Beberapa serangan pun mereka lancarkan dan akibatnya terjadi peperangan antara kedua belah pihak. Di antaranya, Perang Badar (2 H), Perang Uhud (3 H), dan Perang Khandaq (5 H).

Puncaknya adalah pada tahun 8 H, ketika Muhammad bersama 10.000 pasukan Islam datang ke Mekkah untuk melakukan ibadah umrah, namun dilarang masuk oleh penduduk Mekkah yang khawatir mendapat serangan. Kemudian, terjadilah perjanjian yang dikenal dengan nama perjanjian Hudaibiyah, yang beberapa isi perjanjiannya adalah genjatan senjata antara Mekkah dan Madinah, dan Muhammad serta pasukannya boleh masuk Mekkah dengan damai, namun ditangguhkan sampai satu tahun berikutnya.

Perjanjian diplomatik ini sangat menguntungkan umat Islam. Karena beberapa tahun setelah perjanjian ini, Mekkah dapat dikuasai. Muhammad dan pasukannya kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, memusnahkan semua berhala yang ada di sekeliling Ka’bah, memberikan amnesti umum, dan kemudian menegakkan agama Islam di Mekkah (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985: 50).


Masa Kemajuan Islam (650 M-1000 M)

Masa keemasan Islam ditandai dengan meluasnya ekspansi pasukan Islam dan integrasi di beberapa negara. Setelah semenanjung Arabia tunduk di bawah kekuasaan Islam pada masa Muhammad, ekspansi ke daerah-daerah di luar Arabia pun dimulai setelahnya, yaitu pada masa Khalifah Rayidin dan Dinasti Bani Umayyah. Sedangkan pada masa Dinasti Bani Abbas, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berkembang pesat.

Al-Khalifa al-Rasyidun
Sesudah Muhammad wafat pada tahun 11 H/632 M, kedudukannya sebagai Rasul tentulah tak tergantikan. Namun, kedudukan beliau sebagai kepala negara mesti digantikan oleh orang lain. Maka dikenallah dalam sejarah istilah Khalifah (Inggris: successor), kepala negara pengganti Nabi Muhammad (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985: 89).

Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah pertama berdasarkan musya-warah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, segera setelah Muhammad wafat. Musyawarah tersebut pun menjadi sumber perdebatan dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dan membentuk dua kelompok: Sunni dan Syi’ah.
Syi’ah percaya bahwa Ali Ibn Abi Thalib yang seharusnya meng-gan¬tikan Muhammad, sesuai dengan keputusan Rasulullah sendiri. Sedangkan Sunni percaya bahwa Muhammad tidak menunjuk langsung penggantinya dan lebih mengedepankan musyawarah.

Abu Bakar menjadi Khalifah selama 2 tahun. Pada tahun 13 H/634 M, ia meninggal dunia pada usia 63 tahun, dan dimakamkan di samping Rasulullah. Masa pemerintahan yang singkat banyak dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, yaitu menyelesaikan Perang Riddah (perang melawan kemurtadan), yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintahan Madinah. Dan Khalid ibn Al Walid ditunjuk menjadi jenderal dalam perang ini.

Setelah menyelesaikan urusan dalam negeri, barulah Abu Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Sassanid. Ia juga mengirim kekuatan ke luar Arabia di bawah Khalid ibn al-Walid dan berhasil menguasai al-Hirah, Irak, tahun 634 M. Setelah itu, Khalid ibn Al Walid diutus ke Suria untuk memperkuat pasukan Islam menguasai negeri tersebut.

Peran Abu Bakar lainnya adalah pelestarian teks-teks tertulis Al-Qur’an. Banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang tewas dalam perang Riddah membuatnya khawatir. Abu Bakar lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari Al-Qur'an, dan sahabat Zaid bin Tsabit ditunjuk menjadi ketua tim pengumpul. Setelah lengkap, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian, pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks Al-Qur'an yang dikenal hingga saat ini.

Kemudian, setelah Abu Bakar wafat, Umar Ibn al-Khattab menggan¬ti¬kannya. Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Se¬lama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Pada tahun 635 M, Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran Sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Selain itu, pada tahun 637 M, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhir¬nya mengambil alih kota tersebut.

Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dengan men¬contoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia, dan mengontrol dari dekat kebijakan publik. Pada masanya, pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Tahun 638 M, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Dan pada masanya juga, proses kodifikasi hukum Islam dimulai. Selain itu, sekitar tahun ke 17 H, tahun keempat kekuasaannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam mulai dihitung sejak saat peristiwa hijrah.

Umar Ibn al-Khattab mengakhiri pemerintahannya secara tragis. Ia dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak Persia yang masuk Islam, pada saat ia akan memimpin shalat Shubuh. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lu’lu’ yang merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara digdaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M.
Usman Ibi Affan selanjutnya menjadi khalifah yang ketiga selama 13 tahun (644-656 M). Pada masa pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik, sehingga ekspansi Islam keluar terhenti. Namun, jasa-jasa Usman dapat dilihat dari upayanya membangun bendungan, jalan, jembatan, masjid, dan memperluas masjid Nabi di Madinah.

Usman yang lemah tidak dapat menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh. Ia mengangkat kaum keluarganya menjadi gubernur di beberapa daerah menggantikan gubernur lama yang dipilih Usman. Politik nepotisme ini membuat rakyat kecewa dan para pendudukungnya berpaling.

Pencopotan gubernur mesir Amr bin ’Ash dari jabatannya, dan kemudian digantikan oleh Ibnu Abi Sarh, salah seorang anggota keluarga Usman, menimbulkan pemeberontakan. Akhirnya, pada tahun 35 H/655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang bergerak dari Mesir.

Peristiwa pembunuhan terhadap Usman menyebabkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang sudah menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah, meski Ali sendiri menolak. Tetapi, Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksanya, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Cara ini menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Pemerintahan Ali mewarisi kekacauan yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Bahkan, pada masanya, untuk pertama kalinya terjadi perang sesama umat Islam, yang dikenal dengan nama Perang Jamal. Pada peperangan ini, 20.000 pasukan Ali melawan 30.000 pasukan yang dipimpin Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang ini terjadi kerena Ali dianggap tidak mau menghukum para pembunuh Usman yang telah membunuhnya dengan zalim. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Tak lama berselang, timbul perlawanan dari gubernur Damaskus, Muawiyah, yang didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang kehilangan jabatannya. Pasukan Ali pun bergerak dan bertemu dengan pasukan Muawiyah di Siffin. Perang Siffin ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase).

Kekuasaan Ali jatuh karena kelicikan Amr bin Ash, tangan kanan Muawiyah yang mengkhianati perundingan dengan Abu Musa al-Asy’ari, utusan Ali. Keduanya sepakat untuk menjatuhkan Ali dan Muawiyah yang bertentangan. Namun, Amr mengatakan hanya setuju menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Muawiyah.

Perundingan ini tidak menyelesaikan masalah, justru memecah umat Islam menjadi tiga golongan: Muawiyah, Syi’ah (pengikut Ali), dan Khawarij (orang yang keluar dari barisan Ali). Akibat perundingan tersebut kedudukan Ali semakin lemah, sedangkan Muawiyah bertambah kuat. Akhirnya, pada tahun 40 H/660 M, Ali tewas terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.

Kedudukan Ali sempat digantikan selama lebih kurang enam bulan oleh putranya al-Hasan, putera Ali. Namun tampaknya, al-Hasan pun tidak sekuat Muawiyah. Karena selalu mendapat teror dan tekanan dari kelompok Mu’awiyah supaya al-Hasan tunduk dan mau menyerahkan kekuasaannya pada Mu’awiyah. Tekanan politik itu pada akhirnya membuahkan hasil, setelah keduanya melakukan negosiasi yang cukup alot. Sehingga, pada tahun 41 H/661 M terjadi perdamain antara keduanya di Maskin, dengan tujuan mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, yaitu di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Peristiwa ini dalam catatan sejarah dikenal dengan sebutan ’Am al- Jama’ah.( Murodi: Rekonsiliasi Politik Umat Islam: Tinjauan Historis Peristiwa ’Am al-Jama’ah, Logos Wacana Ilmu, 2006). Dengan penyerahan kekuasaan ini, akhirnya secara de facto dan de jure, Mu’awiyah menjadi orang nomor satu di dunia Islam ketika itu. Dengan demikian, kedudukan Muawiyah semakin kuat.

Setelah itu, upaya Bani Umayah terusberusaha menumpas lawan politiknya, terutama
keluarga Ali Ibn Abi Thalib, seperti al-Husein, dalam sebuah peristiwa yang dikenal dengan peristiwa Karbala. Dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam politik Islam. ( Murodi: 2006).

Daulah Umayyah
Dinasti Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (661-743M). Pemerintahannya bersifat monarki (kerajaan turun temurun), meski istilah khalifah masih tetap digunakan.

Para khalifah yang berpengaruh pada dinasti Umayyah ini adalah: Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Yazid bin Muawiyah, Muawiyah bin Yazid, Marwan Ibnul Hakam, Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam, Abdul-Malik bin Marwan (685-705 M), al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), Yazid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), Hasyim bin Abdul Malik (724-743 M), dan Marwan II al-Himar.

Ekspansi yang terhenti pada masa Usman dan Ali, dilanjutkan pada masa Bani Umayyah, bahkan semakin luas. Wilayah kekuasaan Islam pada masa ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, Tunis, Qairawan, Khurasan, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, Pakistan, Purkmenia, Uzbek, Kirgis, dan Asia Tengah. Bahkan, angkatan lautnya mengadakan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel.

Ekspansi ke barat secara besar-besaran terjadi pada pada masa pemerintahan al-Walid yang berlangsung sepuluh tahun. Pada tahun 711 M, tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju Eropa, setelah Marokko dan Aljazair dapat ditundukkan. Selanjutnya, Cordova, Seville, Elvira, dan Toledo di Spanyol dapat ditaklukkan. Tiga pahlawan Islam yang paling berjasa dalam proses penaklukan Spanyol ini adalah: Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin Nushair.

Di zaman pemerintahan Abdul Malik, ekspansi dilanjutkan ke timur. Ia berhasil menguasai Balkh, Bukhara, Khawarizmi, Samarkand, bahkan sampai ke India. Sementara pada masa Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia menyerang Bordeau, Poitiers, dan kemudian menyerang Tours. Meskipun pada perang yang terakhir, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.

Selain ekspansi wilayah di atas, sistem administasi pemerintahan pun mengalami perubahan. Salah satu yang menonjol adalah pada masa Abdul Malik: perubahan bahasa administrasi negara dari bahasa Yunani dan Pahlawi ke bahasa Arab, serta dibuatnya mata uang yang berlaku di seluruh daerah yang dikuasai Islam pada tahun 659 M.

Untuk menguatkan pemerintahannya, Abdul Malik tidak segan-segan menumpas secara berdarah gerakan-gerakan Arab yang tidak setuju. Ini berbeda jauh dengan pemerintahan setelahnya, yaitu pada masa Umar bin Abdul Aziz yang malah mendamaikan kaum Syi’ah dan Khawarij (Marshall G.S. Hodgson, 2002: 17).

Sepeninggal Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid bin Abdul Malik. Namun, kehidupannya yang mewah dan ketakpeduliannya terhadap rakyat, menjadikan keadaan yang awalnya damai menjadi kacau. Keadaan ini berlanjut ke masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Bahkan pada saat itu, muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah.
Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Dalam perkembangan berikutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan dinasti baru: Bani Abbas. Meskipun Hisyam bin Abdul Malik seorang khalifah yang kuat dan terampil, dia tidak berdaya menghadapi gerakan oposisi yang terlalu kuat.

Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal tersebut makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Bahkan, Marwan II bin Muhammad al-Himar, khalifah terakhir Bani Umayyah yang melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.

Namun, ada seorang keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dan melarikan diri ke Spanyol (138H/755M), yaitu Abdurrahman I yang diberi gelar al-Dakhil (orang yang masuk Spanyol). Dan kemudian, ia berhasil mendirikan Dinasti Bani Umayyah di sana.
Di bawah pemerintahannya, Umat Islam Spanyol memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban: pemikiran filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra. Pembangunan fisik pun berkembang pesat. Ini ditandai dengan dibangunnya Masjid Cordova, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana al-Makmun, Masjid Seville, dan istana al-Hamra di Granada.

Pada abad ke-9, stabilitas Bani Umayyah terganggu dengan munculnya gerakan kristen fanatik. Puncaknya adalah ketika Ferdinand dan Isabella, pemimpin kerajaan kristen, mengalahkan Abu Abdullah, raja Umayyah yang terakhir dan berhasil mengusirnya ke Afrika Utara. Ini terjadi pada tahun 1492 M. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol.

Daulah Abbasiyah
Bani Abbasiyah atau Daulah Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M) adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Bagdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia.
Bani Abbasiyah dibentuk oleh keturunan dari paman Muhammad yang termuda, bernama Abbas. Pada masa kekuasaannya (750 M) ia memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Dinasti ini berkembang selama dua abad, tapi secara perlahan menurun setelah naiknya tentara bangsa Turki bentukan mereka sendiri. Kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat. Namun, jatuhnya Dinasti ini pada tahun 1258, lebih disebabkan serangan dari bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Bagdad dan tak menyisakan sedikit pun pengetahuan yang dihimpun di Perpustakaan Bagdad.

Secara politis, para khalifahn Bani Abbasiyah adalah tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Secara ekonomi, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi pada masa dinasti ini. Secara ilmu pengetahuan, periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Meskipun dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah dibangun oleh al-Abbas dan al-Mansur, namun puncak keemasan berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785M), al-Hadi (785-786), Harun al-Rasyid (786-809), al-Makmun (813-833M), al-Mu’tashim (833-842), al-Wasiq (842-847M), dan al-Mutawakkil (847-861M).

Masa pemerintahan al-Abbas hanya berlangsung selama 4 tahun. Baru di bawah pemerintahan penggantinya, al-Mansur (754-775 M), dinasti Abbasiyah tumbuh. Dalam pemerintahan, al-Mansur melaksanakan tradisi baru dengan mengangkat wazir yang memimpin kepala-kepala departemen. Bukan itu saja, pemerintahannya pun berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang lepas dan memantapkan keamanan di perbatasan. Sementara pada masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat, terutama di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan. Pada masanya, Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.

Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma'mun (813-833 M). Harun al-Rasyid banyak memanfaatkan kekayaan kerajaan untuk keperluan sosial, seperti pendirian rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada filsafat. Di bawah pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Bahkan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah Kristen dan penganut agama lain. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan besar. Pada masa al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Pada masa al-Mu’tashim, pengaruh Turki mulai masuk ke dalam istana. Pada awalnya mereka menjadi tentara pengawal kerajaan dan sangat berkuasa di istana. Namun pada akhirnya, yang memerintah bukan lagi khalifah, tetapi perwira dan tentara-tentara Turki tersebut. Ini berlanjut pada masa pemerintahan al-Watsiq, Al Mutawakkil, serta pada masa al-Musta’shim (1242-1256 M), penguasa Dinasti Abbasiyah yang terakhir.

Jatuhnya Baghdad dan Disintegrasi (1000-1250 M)

Perpecahan dalam bidang politik sebenarnya sudah dapat dilihat pada akhir kekuasaan Bani Umayyah. Namun, puncaknya terjadi pada zaman Dinasti Abbasiyah, terutama setelah para khalifahnya menjadi boneka tentara pengawal Turki yang berhasil mengambil kendali pemerintahan. Akibatnya, banyak daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Damaskus yang kemudian pindah ke Baghdad, melepaskan diri membentuk dinasti-dinasti kecil, seperti Kerajaan Idrisi di Marokko, Dinasti Hamdani di Suria, dan Dinasti Tahiri di Khurasan.

Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Bahkan, ini terjadi sejak awal berdirinya dinasti tersebut. Selain itu, pada masa Dinasti Abbasiyah ini persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia, dan Turki tampak jelas. Begitu juga perbedaan paham keagamaan, seperti Syi’ah dan Sunni.

Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki, pada tahun 945 M-1055 M, Dinasti Abbasiyah jatuh ke bawah kekuasaan Bani Buwaih. Khalifah-khalifah Abbasiyah masih tetap diakui, namun kekuasaan dipegang oleh sultan-sultan Buwaih. Kekuasaan Dinasti Buwaih kemudian direbut oleh Dinasti Saljuk.
Jatuhnya Asia Kecil ke tangan Dinasti Saljuk, membuat jalan ke Palestina bagi umat

Kristen di Eropa menjadi terhalang. Inilah yang menyebabkan pecahnya perang salib sampai dua kali dari tahun 1096 sampai sekitar tahun 1149, yang juga diikuti beberapa perang salib lainnya, meski tidak berhasil merebut Palestina dari Islam. Perpecahan dalam bidang politik juga berimbas pada perpecahan kebudayaan sehingga perpecahan di kalangan umat Islam menjadi semakin besar.


Sejarah 3 Kerajaan Islam

Setelah Khalifah Abbasiyah di Baghdad runtuh, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Keadaan politik Islam baru mengalami kemajuan kembali setelah munculnya tiga kerajaan besar: Usmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia.

Kerajaan Usmani

Asal-usul dari kerajaan ini adalah bangsa Turki dari Kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara negeri Cina. Pada abad 13, mereka mendapat tekanan dari bangsa Mongol sehingga memaksa mereka untuk mengungsi di dataran tinggi Asia Kecil.

Di sana, di bawah pimpinan Erthogul mereka mengabdi kepada Sultan Alauddin II dan membantunya melawan Byzantium. Untuk membalas jasa-jasa mereka, Raja Alauddin II menghadiahi sebidang tanah. Daerah tersebut berkembang pesat dan menjadikan Syukud sebagai ibu kota.

Pada tahun 1289, Erthogul meninggal dunia dan kemudian dilanjutkan oleh anaknya Usman, yang kemudian dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani. Sebagaimana ayahnya, Usman membantu Sultan Alauddin II dan berhasil menduduki benteng-benteng Byzantium.
Tahun 1300 M, kerajaan mongol menyerang Sultan Alaudin II dan Kerajaan Seljuk. Kekalahan ini membuat Usman menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerahnya. Sejak itulah kerajaan Usmani berdiri, dan pendirinya Usman dikenal dengan nama Usman I.

Untuk memperluas daerah kekuasaannya, ia menyerang dan menaklukkan kota Broessa, perbatasan Byzantium, tahun 1317 M. Kemudian, pada tahun 1326 M, kota tersebut dijadikan ibu kota pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Orkhan, anaknya (727-761 H/1326-1359 M), kerajaan ini menaklukkan Azmir (Smirna) tahun 1327 M, Thawasysanli (1330 M), Uskandar (1338 M), Ankara (1354 M), dan Galipoli (1356 M). Daerah ini adalah bagian dari benua Eropa yang pertama kali mereka duduki. Bahkan, pada masa setelahnya, yaitu masa Murad I, kekuasaan kerajaan Usmani di benua Eropa semakin meluas dengan menaklukkan Adrianopel yang kemudian dijadikan ibu kota pemerintahan.

Di masa Sultan Bayazid (1389-1402 M) wilayah kerajaan Usmani sudah sampai ke Yunani dan daerah-daerah Eropa Timur sampai ke perbatasan Hongaria.
Tahun 1402, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk menyerang Ankara dan mengalahkan kerajaan Usmani. Bayazid dan putranya, Musa, ditawan dan akhirnya wafat pada tahun 1403.

Akibat kekalahan tersebut, daerah-daerah kekuasaan Turki Usmani seperti Serbia dan Bulgaria memerdekan diri. Sementara itu, anak-anak Bayazid malah saling berebut kekuasaan. Baru setelah Sultan Muhammad I berkuasa (1403-1421M), kekacauan dapat diatasi.

Setelah Timur Lenk meninggal dunia, kerajaan Mongol dipecah dan dibagi-bagi kepada putra-putranya yang saling berselisih. Kesempatan ini digunakan Turki Usmani untuk lepas dari kekuasaan Mongol, meskipun perpecahan akibat perebutan kekuasaan juga terjadi di keluarga Usmani.
Setelah sepuluh tahun bertikai, akhirnya Muhammad berhasil memenangkan perebutan tersebut. Usaha pertamanya adalah perbaikan pemerintahan dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan. Usaha ini kemudian diteruskan oleh penggantinya Murad II (1421-1451 M), dan mencapai masa keemasannya pada masa Muhammad II (1451-1484 M).

Muhammad II berhasil mengalahkan Bizantium dan menaklukkan Konstantinopel dengan menduduki Istambul (1453 M). Pada masa Sultan Salim I (1512-1520M) perhatian diarahkan ke timur dengan menaklukkan Persia, Syria, dan Dinasti Mamalik di Mesir. Pada masanya juga, Kairo dapat dikuasai pada tahun 1517 M. Pada masa Sulaiman al-Qanuni (1520-1566 M), kekuasaan Turki Usmani sudah mencapai Asia Kecil, Armenia, Irak, Syria, Hijaz, Mesir, Yunani, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
Keberhasilan ekspansi Turki Usmani ditopang oleh kekuatan militer yang kuat. Bahkan, di bawah kekuasaan Orkhan, bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota.
Sementara anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk menjadi tentara.

Kekuatan angkatan lautnya dibenahi. Sehingga, pada abad ke-16, kerajaan Turki mengalami masa kejayaannya dan memiliki daerah kekuasaan yang luas, baik di Afrika, Eropa, maupun di Asia. Sistem pemerintahan diatur dengan baik. Sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh perdana menteri yang membawahi gubernur.

Literatur dalam bahasa Turki mulai muncul pada masa ini. Sehingga, pengarang-pengarang hebat seperti Fuzukli, Baki, Nedam, dan Syeck Ghalib muncul. Dalam bidang arsitektur, Sultan-sultan Turki mendirikan istana, masjid, benteng, dan fasilitas umum lainnya. Salah satu bangunan yang terkenal adalah Masjid Aya Sofia, dan Masjid Sulaimania di Istambul. Masjid dalam bentuk arsitektur Ottoman juga didirikan di luar Turki, seperti Masjid Muhammad Ali di Kairo, Mesir.

Sesudah Sulaiman al-Qanuni wafat, kerajaan Usmani tidak lagi memiliki Sultan yang andal. Di abad ke-17, Kerajaan Usmani mulai mengalami kemunduran. Terjadi pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri seperti di Suria dan di Lebanon, peperangan dengan negara-negara tetangga seperti dengan Syah Abbas di Persia, bahkan, tentara bentukan mereka sendiri melakukan pemberontakan.

Namun, kekalahan dengan negara-negara Eropa dan Rusia dibawah Peter Agung, membuat kerajaan Usmani kehilangan daerah kekuasaannya sedikit demi sedikit. Sesudah perang Dunia I, daerah kerajaan Turki tinggal mencakup Asia Kecil dan sedikit daerah di dataran Eropa Timur. Pada tahun 1942 M, Kerajaan Usmani lenyap dan digantikan dengan Republik Turki.

Kerajaan Safawi di Persia

Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat (Tarekat Safawiyah) yang berkembang di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Nama Safawiyah sendiri diambil dari nama pendirinya, yaitu Safi al-Din (1252-1334 M).

Kerajaan ini menyatakan Syi’ah sebagai mazhab negara, karena Safi al-Din sendiri adalah keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa al-Kazhim. Safi al-Din menikahi anak dari gurunya, Zahid al-Gilani yang ahli tasawuf dan telah mendirikan Tarekat Safawiyah. Setelah Zahid al-Gilani wafat pada tahun 1301 M, Safi menggantikan guru dan sekaligus mertuanya.

Pada awalnya, gerakan tasawuf ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Namun, pada perkembangan berikutnya, gerakan ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria, dan Anatolia. Pengaruh yang besar, membuat para pengikut tarekat ini berubah menjadi tentara yang teratur dan fanatik terhadap kepercayaan yang mereka anut, dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah.

Kecenderungan memasuki dunia politik mulai tampak pada saat gerakan ini dipimpin oleh Juneid (1447-1460 M), di mana ia menambahkan kegiatan politik dalam kegiatan keagamaan. Konflik perebutan kekuasaan pun terjadi antara Tarekat Safawi dengan penguasa Kara Koyunlu, suku bangsa Turki yang berkuasa di Ardabil. Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan ke suatu tempat.

Dalam pengasingan, Juneid mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu, dan diizinkan tinggal di istana Uzun Hasan, yang pada saat itu menguasai sebagian besar Persia. Dalam pengasingan pula, Juneid menghimpun kekuatan dan bergabung secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara raja.

Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Kemudian, pada tahun 1460 M, dia mencoba merebut Sircassia, namun gagal pula. Dia pun terbunuh dalam pertempuran.

Gerakan tersebut kemudian diteruskan oleh Haidar anaknya tahun 1476 M yang menikahi salah seorang putri Uzun Hasan. Haidar sendiri tewas terbunuh dalam perang melawan pasukan Sirwan di Sircassia yang dibantu oleh AK-Koyunlu sekutunya sendiri. Bahkan, Ali, Ibrahim, dan Ismail, dan ibunya ditangkap dan dipenjarakan selama empat tahun (1489-1493). Setelah bebas, mereka pindah ke Ardabil dan kembali diserang oleh penguasa AK-Koyunlu. Dalam serangan tersebut Ali terbunuh (1494M).

Selanjutnya kekuasaan gerakan safawi berada di tangan Ismail yang masih berumur tujuh tahun. Pasukannya bermarkas di Gilan sambil mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan pengikut mereka yang berada di Azerbaijan, Syria, dan Anatolia. Satuan pasukan ini mereka beri nama Qizilbash (Baret Merah).

Di bawah pimpinan Ismail, tahun 1501 M, Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK-Koyunlu, dan mampu menaklukkan Tabriz, ibukota AK-Koyunlu. Di kota ini, Ismail mengumumkan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga Ismail I.
Ismail I berkuasa selama 23 tahun (1501-1524M). Ambisi politik mendorongnya untuk menguasai daerah-daerah lainnya, seperti Turki Usmani yang membenci golongan Syi’ah.
Peperangan dengan Turki terjadi pada tahun 1514 M di Chaldiran, Tabriz. Dalam peperangan ini, Turki Usmani mengalahkan Ismail I, bahkan merebut Tabriz, daerah kekuasaan Ismail.

Permusuhan dengan Turki Usmani berlangsung lama, dari sepeninggal Ismail sampai ke masa pemerintahan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M), raja Safawi berikutnya.
Baru pada masa pemerintahan Safawi kelima, Abbas I (1588-1628M), Kerajaan Safawi mulai bangkit kembali. Pada masa pemerintahannya, Abbas mengadakan perubahan dalam kemiliteran dengan mengurangi dominasi pasukan Baret Merah, serta membentuk pasukan baru yang direkrut dari para budak dan tawanan perang.

Ia pun mengadakan perjanjian dengan kerajaan Turki Usmani I, meskipun ia harus merelakan sebagian daerah kekuasaannya di Azerbaijan, Georgia, dan sebagian di wilayah Luristan ke tangan Turki Usmani. Bukan itu saja, ia juga harus berjanji untuk tidak menghina tiga khalifah pertama dalam Islam.

Di bawah pemerintahan Abbas I, kerajaan Safawi mendapatkan puncak kejayaannya. Secara politik, ia berhasil menguasai kemelut di dalam negeri. Bahkan, ia pun dapat merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut kerajaan lain, termasuk dari kerajaan Turki Usmani.

Stabilitas politik pemerintahan Abbas I, berimbas pada perkembangan ekonomi masyarakatnya. Dengan menguasai kepulauan Hurmuz, Abbas I membangun pelabuhan sebagai jalur dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa diperebutkan Belanda, Inggris, dan Perancis, sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi.

Di bidang ilmu pengetahuan, tradisi keilmuan terus berlanjut. Pada masanya beberapa ilmuwan bermunculan, seperti Baha al-Din al-Syairazi (generalis ilmu pengetahuan), Sadar al-Din al-Syairozi (filosof), dan Muhammad Baqir bin Muhammad (filosof, sejarawan, teolog, dan seorang yang pernah melakukan observasi tentang kehidupan lebah).

Pembangunan fisik dan seni turut diperhatikan. Di Isfahan (ibu kota kerajaan Safawi) dibangun sekolah, rumah sakit, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan Istana Chili Sutun.

Kerajaan Safawi di Persia mendapat serangan dari raja Afghan, Mir Muhammad, yang menganut paham Sunni. Asfahan dapat dikuasai pada tahun 1722 M. Namun pada masa Sultan Syah Tahmasp II, Asfahan dapat dirampas kembali pada tahun 1730 M.
Pada tahun 1750, Karim Khan dari Dinasti Zand dapat merampas kekuasaan kerajaan Safawi di seluruh Persia, kecuali Khurasan. Namun, kekuasaan Dinasti Zand ini mendapat tantangan dari Agha Muhammad, Dinasti Qajar. Kemudian, Dinasti Qajar mengalahkan Dinasti Zand pada tahun 1794 M. Mulai saat itu sampai tahun 1925 M, Persia diperintah oleh Dinasti Qajar.

Kerajaan Mughal di India

Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahiruddin Babur (1482-1530 M), salah satu cucu Timur Lenk. Babur mewarisi daerah Ferghana dari ayahnya, Umar Mirza. Selanjutnya, ia berambisi kuat untuk dapat menaklukkan kota Samarkand yang merupakan kota penting di Asia Tengah pada saat itu. Dan berkat bantuan dari raja Safawi I, Ismail I, ia berhasil menaklukkan Samarkand pada tahun 1494 M. Selanjutnya, pada tahun 1504 M, ia menduduki Kabul, ibu kota Afganistan.

Setelah menaklukkan Kabul, Babur dan pasukannya bergerak ke India atas undangan Alam Khan dan Gubernur Lahore. Mereka meminta bantuannya untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim Lode yang sedang mengalami kekacauan.

Pada tahun 1525 M, Babur berhasil menguasai Punjab. Setelah itu, ia memimpin pasukannya menuju Delhi. Pada tanggal 21 April 1526 M, terjadi pertempuran antara pasukan Babur dengan pasukan Ibrahim Lode di Panipat. Pada pertempuran tersebut, Ibrahim beserta ribuan tentaranya terbunuh, sehingga Babur dapat memasuki kota Delhi dan mendirikan pemerintahannya di sana.

Setelah kerajaan Mughal berdiri di India, raja-raja Hindu di sana menyusun kekuatan untuk menyerang Babur. Namun, perlawanan ini dapat dipatahkan dan malah memperluas kekuasaan Babur.

Di Afganistan, muncul pula tantangan dari keluarga Ibrahim Lode, yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Lode, adik Ibrahim Lode. Pada tahun 1529 M terjadi pertempuran antara keduanya di Gogra dan dimenangkan oleh pasukan Babur.

Setelah 30 tahun memimpin Kerajaan Mughal yang beribukota di Delhi, Babur meninggal dunia dan posisinya digantikan anaknya, Humayun. Humayun memimpin selama sembilan tahun (1530-1539M). Pada masa pemerintahannya, negara banyak menghadapi tantangan dan pemberotakan. Di antaranya adalah pemberontakan Bahadur Syah (penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi), dan pada tahun 1540 M terjadi pertempuran dengan Sher Khan di Kanauj.

Humayun kemudian digantikan oleh anaknya, Akbar, yang masih berusia 14 tahun. Tapi, urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Khan, seorang Syi’ah. Pada masa Akbar inilah, kerajaan Mughal mencapai masa keemasannya.

Setelah Akbar dewasa, langkah awal yang dilakukannya adalah menyingkirkan Bairam Khan yang sudah sangat berpengaruh. Meskipun Bairam Khan memberontak, namun pada tahun 1561 M, ia dapat dilumpuhkan. Setelah urusan dalam negeri dapat diselesaikan, Akbar menyusun program ekspansi. Beberapa wilayah di India dapat ditaklukkan.
Wilayah yang sangat luas itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik.
Pemerintahan militeristik menjadikan sultan sebagai penguasa diktator. Pemerintahan daerah dipegang kepala komandan, sedangkan subdistrik dipimpin oleh komandan. Pejabat-pejabat sipil pun diharuskan mengikuti latihan kemiliteran.

Kemajuan yang dicapai Akbar masih terus berlanjut pada sultan-sultan berikutnya: Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1658-1707 M).
Perkembangan yang menonjol pada masa pemerintahan kerajaan Mughal adalah dalam bidang pertanian. Para petani diatur berdasarkan lahan pertanian dan membentuk komunitas petani yang dipimpin oleh seorang mukaddam. Dengan demikian, kerajaan berhak atas sepertiga dari hasil pertanian.

Hasil pertanian kerajaan Mughal yang terpenting adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila, dan bahan-bahan celupan. Hasil-hasil tersebut bukan hanya untuk kebutuhan dalam negeri, tapi juga diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara. Bahkan, pada tahun 1611 M dan 1617 M, Sultan Jehangir mengizinkan Inggris dan Belanda mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat.

Perkembangan seni dan budaya dapat dilihat dari karya sastera gubahan para penyair India seperti Malik Muhammad Jayazi dengan karyanya yang berjudul Padmavat. Pada masa Aurangzeb muncul seorang sejarawan bernama Abu Fadl. Karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya arsitektur yang indah dan mengagumkan, seperti, Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi, dan Istana indah di lahore.

Di bawah kepemimpinan Aurangzeb, terjadi pemberontakan-pemberontakan dari golongan Hindu yang merupakan mayoritas penduduk India, seperti pemberontakan Sikh di bawah pimpinan Guru Tegh Bahadur dan Guru Gobind Singh, pemberontakan golongan Rajput di bawah pimpinan Raja Udaipur.

Setelah Aurangzeb wafat, gelombang pemberontakan semakin kuat. Ini mengakibatkan beberapa wilayah yang jauh dari Delhi melepaskan diri dari kerajaan Mughal. Pada saat bersamaan, Inggris memainkan peranan dalam politik India tahun 1857 M. India pun akhirnya menjadi jajahan Inggris sampai tahun 1947 M.


Sejarah Islam Modern dan Kontemporer

Pada abad ke-19, umat Islam mengalami kemunduran. Ini berbanding terbalik dengan dunia Barat yang pada masa itu sedang mengalami kemajuan yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan modern. Di Barat, gerakan-gerakan pembaruan berusaha mengubah paham-paham, ajaran-ajaran, dan adat istiadat yang ada dalam agama Katolik dan Protestan untuk disesuaikan dengan ilmu pengetahuan.

Dalam Islam, ada pula pembaruan yang bertujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran agama dengan ilmu pengetahuan. Namun, ini tidak berkembang karena dalam Islam ada ajaran yang mutlak dan tidak bisa diubah-ubah. Pembaruan hanya boleh dilakukan dalam hal penafsiran dalam aspek teologi, hukum, politik, dan mengenai lembaga-lembaga (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985: 92).

Kerajaan Turki Usmani yang berkuasa di daratan Eropa dan beberapa negara Barat pernah melakukan pembaruan dalam bidang militer dengan mendatangkan ahli-ahli Eropa ke Istambul pada awal abad ke-18 M. Ini dilatarbelakangi oleh kalahnya Kerajaan Usmani dalam banyak peperangan dengan negara Eropa, yang penyebabnya adalah ketertinggalan mereka dalam teknologi militer. Namun, pembaruan ini banyak ditentang oleh golongan militer sendiri. Juga, ditentang oleh kaum ulama yang masih memandang curiga terhadap apa yang datang dari Barat, karena dianggap berlawanan dengan paham tradisional umat Islam ketika itu (Taufik Abdullah [dkk., eds.], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, 2002: 395).

Di Arab Saudi, muncul pembaru dalam bidang pemikiran agama yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787). Kemurnian paham tauhid pada waktu itu dirusak oleh hal-hal yang berbau bid’ah (sesuatu yang asing) seperti pujaan dan kepatuhan pada syekh-syekh tarekat yang berlebihan, atau ziarah ke kubur untuk minta pertolongan dan sebagainya. Menurut al-Wahhab, semua bid’ah itu harus dibuang dan umat Islam harus kembali kepada ajaran awal yang bersumber dari Nabi Muhammad, sahabat, para imam, dan ulama-ulama besar (mereka semua disebut salaf). Al-Wahhab tidak mempertahankan taklid dan membuka pintu ijtihad dengan tetap bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Gerakan pemikiran al-Wahhab mempunyai pengaruh besar terhadap pembaruan yang timbul berikutnya (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985: 94).

Pembaruan Islam di Mesir

Pada tanggal 2 Juli 1798, Napoleon Bonaparte datang ke Aleksandria (Mesir). Tujuan Napoleon ke Mesir adalah untuk menguasai Timur, terutama India. Dalam kedatangannya ke Mesir, Napoleon bukan hanya membawa tentara, namun juga membawa seribu orang sipil yang di antaranya adalah ahli-ahli ilmu pengetahaun. Selain itu, dia membawa dua set percetakan dengan huruf Latin, Arab, dan Yunani, juga alat-alat eksperimen ilmiah. Bukan itu saja, dalam rombongan Napoleon terdapat juga lembaga ilmiah yang bernama Institut d’Egypte yang tersusun dari empat bagian: ilmu alam, ilmu pasti, ekonomi dan politik, serta sastra dan kesenian.

Orang-orang Mesir dan para ulama boleh mengunjungi institut itu untuk menambah pengetahuan ahli Perancis dalam bahasa Arab dan agama Islam. Perpustakaan mereka bukan hanya memiliki buku-buku dalam bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku Islam dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki. Mereka pun sudah mempunyai alat-alat yang masih dipandang aneh oleh umat Islam, seperti kamera, alat-alat astronomi dengan teleskopnya, dan alat-alat eksperiman keilmuan lainnya.

Usaha Napoleon meneruskan ekspedisi ke India gagal di Palestina pada tanggal 18 Agustus 1799 M dan membuatnya harus kembali ke Perancis. Tahun 1801 M, Napoleon dan sebagian tentaranya kembali ke Eropa. Namun, sebagian tentara yang lain termasuk beberapa ahli yang dibawa Napoleon tidak mau kembali ke Perancis dan ingin tetap tinggal di Mesir.

Kemajuan Barat yang dibawa Napoleon membuat mata orang Islam terbuka dengan kemunduran yang mereka alami pada saat itu. Ini juga membuka mata para pemuka Islam di Mesir untuk mengadakan pembaruan. Usaha pembaruan di Mesir dimulai oleh Muhammad Ali Pasya (1765-1848 M). Dia memiliki para pembesar dan penasihat pemerintahan dari orang-orang yang mengalami ekspedisi Napoleon dan melihat perkembangan yang dibawanya. Selain itu, ahli-ahli Napoleon yang menetap di Mesir juga dijadikan penasihat pemerintahannya.

Ali Pasya juga mendatangkan para ahli dari Eropa untuk mengadakan pembaruan dalam bidang militer dan ekonomi. Bukan itu saja, Ali Pasya juga membangun sekolah-sekolah modern. Di antaranya: sekolah militer (1815M), sekolah teknik (1816M), sekolah kedokteran (1827M), sekolah pertambangan (1834M), dan sekolah pertanian (1836M). Selain itu, Ali Pasya mengirim pemuda Mesir belajar ke Eropa.

Pembaruan dalam bidang militer dan ekonomi, juga diikuti dengan perkembangan pemikiran dan gerakan pembaruan di Mesir. Di antara para pemikir pembaruan yang dihasilkan zaman ini adalah:

Rifa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi (1801-1873M)

Al Tahtawi adalah lulusan Universitas al-Azhar di Kairo. Tahun 1826 M, Al Tahtawi dikirim ke Paris untuk memimpin para pelajar Mesir yang ada di sana. Selama bertugas di sana, ia belajar bahasa Perancis sampai mahir. Sehingga, setelah ia kembali ke Kairo, ia diangkat menjadi guru penerjemah di sekolah kedokteran. Tahun 1836 M, sekolah penerjemah didirikan dan ia diangkat menjadi kepalanya.

Dalam hal pemikiran, al-Tahtawi berpendapat bahwa jalan menuju kesejahteraan adalah dengan berpegang pada agama dan budi pekerti. Untuk itu, dibutuhkan pendidikan yang universal, yang berlaku untuk semua, termasuk wanita. Ia juga berpendapat perlunya para ulama mengetahui ilmu modern, sehingga meraka mampu menyesuaikan syariat dengan kebutuhan zaman modern. Maka, menurutnya, pintu ijtihad harus kembali dibuka.

Di samping itu, al-Tahtawi adalah orang Mesir pertama yang menganjurkan patriotisme. Kata al-watan menurutnya adalah Mesir, bukan seluruh dunia Islam. Karenanya, dia tidak membenarkan perpecahan bangsa menjadi kelompok-kelompok kecil (Taufik Abdullah [dkk., eds.], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, 2002: 398).

Jamaluddin al-Afgani (1839-1897M)

Al-Afgani adalah tokoh pembaruan Islam yang berpindah-pindah tempat tinggal. Awalnya, ia tinggal di Afganistan dan sempat menjadi perdana menteri di sana. Tahun 1869 ia pindah ke India. Setelah tinggal selama dua tahun di sana, tahun 1871 ia pindah ke Mesir dan menetap di sana selama delapan tahun. Tahun 1879, al-Afgani membentuk sebuah partai politik nasional dengan slogan “Mesir untuk orang Mesir”. Pembentukan partai ini dipengaruhi oleh ide-ide al-Tahtawi yang sudah meluas di kalangan masyarakat Mesir. Selain itu, Afgani juga membangkitkan gerakan berpikir untuk mencapai kemajuan.

Menurut al-Afgani, kemunduran umat Islam dalam bidang politik disebabkan karena perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, pemerintahan yang absolut, dan kepemimpinan yang lemah dan tidak kompeten. Oleh karena itu, kebesaran nama al-Afgani terletak pada peranannya sebagai pembangkit kesadaran politik umat Islam dalam menghadapi Barat, dan memberikan jalan dalam menghadapi arus modernisasi. Untuk itu, dia banyak mendatangi negara-negara, baik negara Islam atau non-Islam, mulai dari Hijaz, Mesir, Yaman, Turki, Rusia, Inggris, dan Perancis (Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, 1984: 57).

Muhammad Abduh (1849-1905M)

Muhammad Abduh belajar di Universitas Al-Azhar. Ketika al-Afgani datang ke Mesir tahun 1871, Abduh menjadi muridnya yang setia dan banyak dipengaruhi oleh pemikirannya. Tahun 1877 Abduh menyelesaikan studinya dan menjadi pengajar di almamaternya.

Gagasan pembaruan Abduh terletak pada pandangannya bahwa Islam adalah agama yang rasional. Wahyu tidak membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal, dan jika ada, harus dicari interpretasi yang selaras dengan akal. Sehingga menurutnya, taklid harus dihapuskan dan ijtihad dihidupkan. Abduh juga berpendapat bahwa antara ilmu dan iman tidaklah bertentangan (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985: 98). Dalam bidang pendidikan, Abduh membuat pembaruan sistem pendidikan di Al-Azhar dengan memasukkan mata kuliah filsafat. Ia sangat rajin meniupkan jiwa modernisme di kalangan kaum intelektual Muslim yang sedang tumbuh pada saat itu.

Muhammad Abduh juga terlibat dalam politik di Mesir, sehingga membuatnya ditangkap dan diasingkan ke Perancis. Bersama Jamaluddin al-Afgani, Abduh menerbitkan majalah dalam bahasa Arab yang diberi nama al-Urwah al-Wustqa. Media ini bertujuan untuk mereformasi dan memodernisasi umat. Tahun 1886, Abduh diizinkan kembali ke Mesir (Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, 1984: 57)

Rasyid Rida (1865-1935M)

Rida adalah murid Abduh yang banyak menulis tentang Abduh dan ide-idenya. Pemikirannya pun turut dipengaruhi oleh Jamaluddin al-Afgani dan Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wustqa. Rida mulai menjalankan ide pembaruan Islam ketika masih berada di Syria. Namun, usahanya tersebut ditentang oleh pihak kerajaan Usmani, sehingga ia terpaksa pindah ke Mesir pada tahun 1898, dan menjadikannya dekat dengan Abduh.

Di Mesir, Rida menerbitkan majalah al-Manar yang pada edisi pertamanya ia sebutkan bahwa tujuan al-Manar adalah sama dengan tujuan majalah al-Urwah al-Wustqa, yakni mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi. Juga, untuk memberantas takhayul dan bid’ah yang masuk dalam kehidupan umat Islam.

Tahun 1899, Rida mengikuti perkuliahan tafsir di Al-Azhar dengan pengajarnya adalah Abduh. Kuliah Abduh kemudian dia catat dan disusunnya dalam bentuk karangan. Karangan tersebut dia konsultasikan kepada Abduh, sehingga setelah mendapat izin Abduh, ia terbitkan dalam majalah al-Manar. Dengan demikian, maka muncullah apa yang dikenal umum dengan nama Tafsir al-Manar, yang berisi tulisan Abduh (hingga ayat 121 Surat an-Nisa), dan selebihnya ditulis oleh Rida.

Rida juga menghargai kemampuan akal untuk ijtihad. Namun menurutnya, ijtihad hanya diperlukan untuk soal-soal kemasyarakatan. Ini yang membedakan dia dengan Abduh. Selain itu, Abduh lebih liberal dengan tidak mau terikat kepada salah satu mazhab dalam Islam. Sedangkan Rida, masih terikat dengan pendapat Ibnu Hambal dan Ibnu Taimiyah, karena satu mazhab dengannya (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985: 99).

Pembaruan Islam di Dunia Islam Lain

Di Kerajaan Usmani, pelopor pembaruan ialah Sultan Mahmud II (1808-1839M) pada abad ke-19. Ide-ide pembaruan diperoleh dari Sadik Rif’at, duta besarnya di Wina. Rif’at mengirim laporan-laporan kemajuan Eropa kepada Menteri Luar Negeri kerajaan di Istanbul. Sadik Rif’at sendiri banyak dipengaruhi oleh ide persamaan, persaudaraan, dan kebebasan yang ditimbulkan Revolusi Perancis.

Bidang militer menjadi fokus Sultan Mahmud II. Dia membentuk korps tentara baru tahun 1826 dengan mendatangkan pelatih tentara dari Mesir. Selanjutnya, dia melanggar tradisi kerajaan yang aristokrasi dan bersikap demokratis, misalnya dengan membatasi kekuasaan penguasa Usmani. Sultan Mahmud juga memisahkan urusan agama dengan urusan dunia dalam pemerintahannya. Untuk masalah pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, sedangkan masalah agama dipegang oleh syekh Islam.

Untuk menyebarkan ide pembaruan, Sultan Mahmud II menerbitkan surat kabar Takvim i Vekayi pada tahun 1831. Pembaruan yang dilakukan Sultan Mahmud II menjadi dasar bagi pembaruan kerajaan Usmani pada masa sesudahnya.

Pelanjut usaha pembaruan setelah Sultan Mahmud II dikenal dengan nama Gerakan Tanzimat. Tokoh-tokoh Tanzimat ialah Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, dan Mehmed Sadik Rifat Pasya.

Selanjutnya, pada pertengahan abad ke-19, muncul gerakan yang merasa tidak puas dengan pembaruan zaman Tanzimat. Mereka menuntut pembatasan kekuasaan Sultan lebih tegas lagi dan mengadakan konstitusi. Gerakan ini dikenal dengan nama Usmani Muda. Salah satu pemikir Usmani Muda yang terkenal ialah Namik Kemal (1840-1888 M).

Eksperimen pemerintahan konstitusional gagal karena dalam konstitusi Sultan masih mempunyai sifat otokrat. Maka timbullah golongan-golongan pembaru di Turki yang dikenal dengan nama Turki Muda dengan para pemikirnya antara lain Ahmad Riza (1859-1931 M), Pangeran Sabahuddin (1877-1948 M), dan Mehmed Murad (1853-1912 M).

Ide nasionalisme Turki pertama kali dicetuskan oleh Yusuf Akcura (1876-1933 M). Ide ini kemudian diperkuat oleh Zia Gokalp (1875-1924 M) dengan menganggap bahasa sebagai dasar nasionalisme. Selanjutnya, gerakan pembaruan berada di bawah pimpinan Kemal Attaturk dan membawa kepada sekulerisme di Turki Modern.

Bersamaan dengan kesadaran pembaruan di Turki, pemikir-pemikir Islam India juga sadar akan kelemahan umat Islam. Maka muncullah pemikir India ternama seperti Syah Waliyullah (1703-1762 M) yang ide-idenya dipengaruhi oleh Sayyid Ahmad Syahid (1752-1831 M). Pemikiran selanjutnya yang banyak mempengaruhi pembaruan di India adalah Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M).

Ide-ide pembaruan yang berkembang di Mesir juga masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20 melalui majalah Al-Imam yang diterbitkan di Malaysia oleh Said Muhammad Agil, Syekh Muhammad al-Kalali, dan Syekh Taher Jalaluddin. Al-Imam mengandung ide-ide pembaruan yang terdapat dalam majalah Al-Manar, yang diterbitkan oleh Rasyid Rida. Di Padang, pengaruh pemikiran pembaruan dapat dilihat dari penerbitan majalah Al-Munir tahun 1911 M oleh H. Abdullah Ahmad, H. Abdul Karim Amrullah, dan H. Muhammad Taib.

Pengaruh gagasan-gagasan modern makin nyata dengan didirikannya sekolah-sekolah Islam yang memasukkan ilmu pengetahuan Barat dalam kurikulumnya. Di Jakarta berdiri Jamiat Khair pada tahun 1901 M. Kemudian, Syekh Ahmad Surkati mendirikan sekolah Al-Irsyad dan menerbitkan majalah Al-Zahirah, yang menyiarkan ide-ide pembaruan.

Puncak dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia adalah berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912 M. Didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menjadi organisasi modern Islam terbesar yang memiliki pengaruh luas di Indonesia. Di Bandung, Ahmad Hassan mendirikan Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923. Muhammadiyah dan Persis lebih bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Sementara dalam bidang politik, berdiri Sarekat Islam pada tahun 1912 dengan Oemar Said Tjokroaminoto sebagai pemimpin utamanya (Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1985: 109-110).

Politik di Dunia Islam Kontemporer

Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, kekuatan Eropa memberi pengaruh besar pada tiga pusat kekuasaan di Timur Tengah: Mesir, Usmaniyah, dan Iran. Wilayah itu dibagi dalam bentuk negara mandat di tingkat regional. Dalam perkembangannya, Kerajaan Usmani kemudian dipecah menjadi enam negara: Turki, Syria, Lebanon, Palestina, Irak, dan Transyordania. Sementara Arab Saudi dan Yaman kemudian muncul menjadi entitas politik tersendiri. Pada masa antara dua perang dunia, Inggris dan Perancis mendominasi wilayah Timur Tengah. Inggris kembali menguasai Mesir pada 1914. Oleh karena itu, gerakan utama politik Arab sesungguhnya ditujukan untuk memperoleh kemerdekaan dari kekuasaan asing.

Sejarah kontemporer Timur Tengah bermula ketika kemerdekaan diberikan kepada bangsa-bangsa di wilayah itu setelah Perang Dunia II. Berakhirnya dominasi Inggris dan Perancis diikuti dengan diperolehnya kemerdekaan negara-negara di daerah itu: Turki, Iran, Mesir, Irak, Transyordania, Syria, dan Lebanon. Sementara Arab Saudi memperoleh kemerdekaan penuh di bawah kekuasaan Ibnu Sa’ud yang membangun negaranya atas dasar ajaran kaum muwahhidun yang berasal dari Muhammad bin Abd al-Wahhab (wahabi).

Dari tahun 1952-1967 dunia Arab diwarnai kepemimpinan Presiden Mesir Jamal Abdul Nasser. Sementara persoalan Palestina menjadi faktor yang menentukan corak perkembangan di negara-negara Timur Tengah. Selan itu, muncul pemimpin-pemimpin kuat lain di Timur Tengah. Pada tahun 1970, Hafiz al-Asad merebut kekuasaan di Syria, dan pada tahun 1971, Saddam Hussein merebut kekuasaaan di Irak.

Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi perkembanagn politik di Timur Tengah. Pertama, pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza setelah perang 1967 menyebabkan lahirnya nasionalisme Palestina dan terbentuknya organisasi-organisasi

Palestina yang berjuang untuk mendirikan negara Palestina merdeka. Kedua, bangkitnya aktivisme politik yang berdasarkan Islam yang sesungguhnya bukan hal baru, tetapi muncul dengan kekuatan baru. Ideologi gerakan ini terutama berakar pada pemikiran tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimun, seperti Sayyid Qutb dan Said Hawwa (Syafiq Mughni [ed.], An Anthology of Contemporary Middle Eastern History, tt: 7).

Revolusi Iran tahun 1979 memberi pengaruh luas pada dunia Islam. Keberhasilan revolusi itu memberi dorongan kepada umat Islam di mana saja yang kecewa dengan model pembangungan model Barat untuk menginginkan kembalinya institusi Islam yang menjamin lahirnya pemerintahan yang adil dan makmur. Yang terpenting, keberhasilan revolusi Iran menghancurkan dominasi Amerika Serikat di Teluk Persia.

Berbagai ketegangan mewarnai hubungan antarnegara di Timur Tengah sebagai akibat dari perdamaian Mesir-Israel, perang Irak-Iran, invasi Irak atas Kuwait, persoalan Palestina, dan invasi Amerika Serikat atas Irak. Namun, satu-satunya persoalan paling pelik di Timur Tengah adalah konflik di Palestina, khusunya setelah berdirinya negara Israel pada tahun 1948, akibat kekalahan negara-negara Arab dalam perang Arab-Israel. Hingga saat ini, ketegangan Israel-Palestina masih terus berlangsung.



Kronologi Sejarah Islam


570 M : Muhammad lahir di kota Mekkah, di bagian selatan jazirah Arab.
611-613 M : Muhammad mendapatkan wahyu yang pertama melalui malaikat Jibril, yaitu surat al-Alaq ayat 1-5, dan Surat al Muddatstsir 1-7. Setelah mendapatkan wahyu tersebut, Muhammad mulai berdakwah.
622 M : Muhammad beserta pengikutnya hijrah dari Mekkah ke Yastrib (sekarang Madinah).
631 M : Setelah hampir sembilan tahun hijrah, Muhammad kembali ke kota Mekkah dengan damai dan dapat menaklukkan kota Mekkah. Setahun sebelumnya, Muhammad dan penduduk Mekkah mengadakan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah.
632-661 M : Muhammad wafat di Madinah. Dan, mulai saat itu mulailah Islam dipimpin oleh sahabat-sahabat Nabi yang dikenal dengan nama Khalifah Rasyidin. Mereka itu adalah Abu Bakar Siddik, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
634 M : Ekspansi kekuasaan Islam ke luar Arabia dan dapat menaklukkan al-Hirah, Irak, dan Syria dibawah Jenderal Khalid al-Walid yang ditunjuk Khalifah Abu Bakar.
635 M : Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, kekuasaan Islam semakin luas dengan menguasai Persia, Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara, dan Armenia.
660-661 M : Terjadi pertempuran antara Ali dan Muawiyah (Gubernur Damaskus) yang berujung pada peristiwa tahkim (arbitrase) dan berujung pada naiknya Muawiyah menjadi khalifah. Setahun sesudahnya, Muawiyah menumpas habis keturunan Ali, peristiwa ini dikenal dengan nama Peristiwa Karbala.
661-743 M : Dinasti Bani Umayyah berkuasa dan pemerintahannya bersifat monarki (kerajaan turun-temurun), meski istilah khalifah masih tetap digunakan.
685-705 M : Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengarabkan administrasi pemerintahan dengan mengubah bahasa administrasi negara dari bahasa Yunani dan Pahlawi ke bahasa Arab. Serta dibuatnya mata uang yang berlaku di seluruh daerah yang dikuasai Islam.
705-715 M : Al-Walid bin Abdul Malik menaklukkan Spanyol dan India, juga merupakan orang pertama yang menaklukkan Transoxania. Tiga pahlawan Islam yang paling berjasa dalam proses penaklukan Spanyol ini adalah: Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin Nushair.
717-720 M : Umar bin Abdul Aziz mendamaikan kaum Syi’ah dan Khawarij.
724-750 M : Yazid bin Abdul Malik menggantikan Umar bin Abdul Aziz. Namun, kehidupannya yang mewah dan ketakpeduliannya terhadap rakyat, menjadikan keadaan yang awalnya damai menjadi kacau. Keadaan ini berlanjut ke masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Bahkan pada saat itu, muncul satu kekuatan baru dari kalangan Bani Hasyim dan mampu menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah pada tahun 750 M. Marwan II, khalifah terakhir Bani Umayyah ditangkap dan dibunuh di Mesir.
755-1492 M : Keturunan Bani Umayyah yang bernama Abdurrahman al Dakhil, keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos, mendirikan dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Kekuasaan Islam di Spanyol berakhir dikalahkan kerajaan Kristen.
750-1258 M : Kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak).
775-785 M : Pada masa al-Mahdi, perekonomian mulai meningkat, terutama di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan. Pada masanya, Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
786-809 M : Khalifah Harun al-Rasyid memerintah. Ia banyak memanfaatkan kekayaan kerajaan untuk keperluan sosial. Di samping itu, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya.
813-833 M : Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada filsafat. Di bawah pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan.
833-842 M : Pada masa al-Mu’tashim, pengaruh Turki mulai masuk ke dalam istana. Ini berlanjut pada masa pemerintahan al-Watsiq, Al-Mutawakkil, serta pada masa al-Musta’shim (1242-1256 M), penguasa Dinasti Abbasiyah yang terakhir.
1000-1250 M : Masa disintegrasi di mana daerah-daerah kekuasaan Islam melepaskan diri membentuk dinasti-dinasti kecil. Penyebabnya adalah tentara pengawal Turki berhasil mengambil kendali pemerintahan dan terjadi perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan.
1300 M : Kerajaan Usmani berdiri, dan pendirinya Usman dikenal dengan nama Usman I.
1389-1402 M : Sultan Bayazid II berkuasa. Ia memperluas daerah kekuasaan Kerajaan Usmani di Eropa dengan menaklukkan sebagian dari Yunani dan daerah-daerah di Eropa Timur sampai ke perbatasan Hongaria Salonika.
1453-1566 M : Muhammad II berhasil mengalahkan Bizantium dan menaklukkan
Konstantinopel dengan menduduki Istambul. Pada masa Sultan Salim I perhatian diarahkan ke timur dengan menaklukkan Persia, Syria, dan Dinasti Mamalik di Mesir. Pada masa Sulaiman al-Qanuni, kekuasaan Turki Usmani sudah mencapai Asia Kecil, Armenia, Irak, Syria, Hijaz, Mesir, Yunani, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
1501 M : Dinasti Safawi berdiri di Persia dan raja pertamanya adalah Ismail I.
1588-1628 M : Di bawah pemerintahan Abbas I, kerajaan Safawi mendapatkan puncak kejayaannya. Secara politik, ia berhasil menguasai kemelut di dalam negeri. Bahkan, ia pun dapat merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut kerajaan lain, termasuk dari kerajaan Turki Usmani. Pembangunan fisik dan seni turut diperhatikan. Di Isfahan (ibu kota kerajaan Safawi) dibangun sekolah, rumah sakit, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan Istana Chili Sutun.
1750 M : Muncul gerakan Wahabiyah di Saudi Arabia yang dilancarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
1798-1801 M : Napoleon menduduki Mesir.
1722-1925 M : Dinasti Safawi ditaklukkan dan berpindah-pindah kekuasaan, sampai akhirnya diperintah oleh Dinasti Qajar.
1922 M : Mesir secara resmi memperoleh kemerdekaan dari Inggris.
1924 M : Kekhalifahan Turki Usmani dihahupskan digantikan dengan Republik Turki.
1930 M : Berdiri Liga Muslim di India.
1932 M : Irak merdeka secara resmi.
1945 M : Indonesia memperoklamasikan kemerdekaannya dari Belanda.
1946 M : Syria, Yordania, dan Libanon.
1947 M : Pakistan memperoleh kemerdekaannya dari Inggris.
1948 M : Negara Israel terbentuk di Timur Tengah akibat kekalahan negara-negara Arab dalam perang Arab-Israel.
1951 M : Libia merdeka dari Perancis.
1956 M : Sudan dan Marokko memperoleh kemerdekaannya dari Perancis.
1957 M : Malaysia memperoleh kemerdekaan dari Inggris.
1962 M : Aljazair secara resmi merdeka dari Perancis.
1967 M : Perang Arab-Israel II, yang dimenangkan oleh Israel.
1979 M : Revolusi Iran menggulingkan Syah Reza Pahlevi yang didukung Amerika Serikat.
1979 M : Invasi Uni Soviet ke Afganistan.
1984 M : Brunei Darussalam memperoleh kemerdekaannya.
1980-1988 M : Perang Teluk I antara Irak melawan Iran.
1991 M : Perang Teluk II antara Irak-Kuwait.
1992 M : Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Azerbaijan memerdekakan diri setelah pecahnya Uni Soviet.
1992 M : Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia.
2001 M : Invasi Amerika Serikat ke Afganistan memburu Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda yang dituduh mendalangi serangan terhadap menara kembar WTC, New York pada tanggal 11 September 2001.
2003 M : Invasi Amerika Serikat ke Irak menggulingkan Saddam Hussein.



































Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik (dkk., eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).
Burhanudin, Jajat, “Islamic Knowledge, Authority and Political Power: The Ulama in Colonial Indonesia,” disertasi Ph.D, (Leiden: Universiteit Leiden, 1997).
Hidayat, Komaruddin, dan Gaus AF, Ahmad, Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, Jakarta: Mizan, 2006).
Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Jilid Pertama: Masa Klasik Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Buku Kedua: Peradaban Khalifah Agung, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Madjid, Nurcholish (ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Mughni, Syafiq [ed.], An Anthology of Contemporary Middle Eastern History, (Indonesia-Canada Islamic Higher Education Project, tt).
Murodi, Rekonsiliasi Politik Umat Islam: Tinjauan Historis Peristiwa ‘Am al-Jama’ah, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2006).
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jilid 1), (Jakarta: UI-Press, 1985).
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jilid 2), (Jakarta: UI-Press, 1985).
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980)
Stoddard, L., Dunia Baru Islam, (Jakarta: Menteri Koordinator Kesejahteraan RI, 1966).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: LSIK dan RajaGrafindo Persada, 1993).
Yatim, Badri, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).




• Murodi adalah Guru Besar Sejarah Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dinasti al-Ayyubiyah

DINASTI AL-AYYUBIYAH:
Pembentukan, Pertumbuhan
dan Perkembangan


A. Pembentukan dan Perkembangan Dinasti al-Ayyubiyah..

Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyar¬bakr, dan Yaman. Berdirinya Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan ke¬kua¬sa¬an Ima-duddin Zangi, seorang atabeg (panglima) Tutusy, penguasa Dinasti Seljuk di Aleppo (Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imaduddin diangkat sebagai penguasa Aleppo, Mosul, al-Jazirah, dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun (512H/ 1118 M-522H/1128M).

Dalam catatan sejarah, Imaduddin dikenal sebagai salah seorang panglima yang mengerahkan kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia me¬ninggal, kekuasaan Imaduddin terbagi di antara dua putranya, Nuruddin, yang me¬nguasai utara Syam dan menjadi penerus ayahnya dalam menghadapi tentara Salib, dan Saifuddin Gazi yang menguasai Mosul dan daerah lain di Irak. Dalam perkem¬bangan selanjutnya, Nuruddin berhasil memperluas ke¬kua¬saannya, yang mem¬ben¬tang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepe¬mimpinan keluarga Imaduddin Zangi jatuh ketangan anaknya, Ismail.

Tercatat dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Zangi, terdapat seorang bernama Bahruz yang hidup di sebuah kota di Azerbaijan, dan kemudian berpindah ke Irak untuk bekerja kepada Sultan Seljuk, Mas’ud bin Giyatuddin. Bahruz diberikan kekuasaan sebagai gubernur di wilayah Baghdad, dan diberikan iqta’ di kota Takrit. Dalam mengelola iqta’ di kota itu, ia di bantu oleh seorang Kurdi yang bernama Syadi dan dua anaknya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. Ketika meninggal, Syadi digantikan oleh Najmuddin sebagai gubernur di Takrit. Di kota inilah Salahuddin la¬hir dari ayahnya, Najmuddin.

Pengaruh Najmuddin dilatarbelakangi oleh kekuasaan Imaduddin Zangi, yang membantu Sultan Mas’ud dalam mengahadapi khalifah Abbasiyah, al-Mustarsid. Ke¬tika perlawanan itu gagal, Imaduddin mundur ke Tarkit. Di kota inilah ia men¬dapat dukungan dari Najmuddin. Dalam aliansinya dengan kekuasaan Imaduddin, Naj¬mud¬din berhasil memperluas pengaruhnya. Ia ditunjuk menjadi penguasa Baala¬bek. Ke¬ti¬ka Imaduddin terbunuh, terjadi pertentangan dikalangan keluarganya untuk merebut puncak kekuasaan. Akhirnya Nuruddin, salah seorang putra Imaduddin, bersekutu dengan Syirkuh, yang kemudian berhasil menguasai Aleppo dan Damaskus. Di sam¬ping itu, ia berpandangan bahwa Mesir sangat penting untuk menghadapi tentara Sa¬lib. Karena itu, di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin, pasukan Nuruddin me¬nyerang Mesir pada tahun 559H/1163M. Serangan ini berakhir dengan kegagalan aki¬bat campur tangan tentara Salib. Serangan kedua kemudian dilancarkan pada tahun 562 H/1166 M. Dalam pertempuran ini, Nuruddin mengalahkan tentara Salib, akan tetapi akhirnya kedua pihak sepakat untuk membebaskan Mesir.

Meskipun demikian, serangan ke tiga dilaksanakan pada atahun 564H/1168 M sebagai jawaban atas permintaan khalifah al-Adid untuk melawan tentara Salib. Ke-menangan atas tentara Salib dalam pertempuran itu melapangkan jalan bagi tampilnya Salahuddin sebagai wazir bagi khalifah Fatimiyah. Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan te¬tap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah ditandai dengan penagkuan
Salahuddin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan penggantian Qadi Syi’ah dengan
Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Salahuddin mendapat pe¬ngakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan. Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para penguasa setempat sebagai pemim¬pinnya.

Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga diha¬bis¬kan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahuddin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melan¬car¬kan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. Dalam peperangan ini, pasukan Perancis dapat dikalakan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga bulan berikutnya, tepatnya pada bulan Oktber 1187 M, pada saat itulah suara azan meng¬ge¬ma kembali di Mesjid Yerussalem.

Jatunya pusat kerajaan Haatin ini memberi peluang bagi Salahuddin al-Ayyubi untuk menakkan kota-kota lainya di Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat di¬taklukkan pada taun 1189 M, sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, An¬tha¬ki¬yah,Tyre an beberapa kota kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib. Setelah perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua pasukan hidup dalam keadaan damai.Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian damai secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan da¬erah pedalaman dikuasai oleh kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gang¬guan terhadap umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Salahuddin al-Ayyubi hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun.

Dalam catatan sejarah, Salahuddin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, meng¬gali terusan, seta mendirikan seklah dan masjid. Salah satu karya yang sangat monu¬mental adalah Qal’ah al-Jabal, sebuah benteng yang dibangun di Kairo pada tahun 1183.
Secara umum, para Wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib al-Isfahani. Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian juga dikenal sebagai penulis biografinya. Setelah Salahuddin al-Ay¬yubi meninggal, daerah kekuaannya yang terben¬tang dari sungai Tigris hingga su¬ngai Nil itu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al-Malik al-Afdhal Ali, putera Salahuddin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab), dan al-Adil, adik Salahuddin, memperoleh kekuasaan di al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-‘Adil berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tung¬gal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-‘Adil yeng bergelar Saifuddin itu me¬ng¬u¬tamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman. Sejak itu, se¬ring terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah.

Kemudian al-Kamil Muhammad, putera al’Adil, yang menguasai Mesir (615– 635 H/1218–1238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah me¬naklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan ayah¬nya.Tentara Salib memang ampaknya terus berusaha menaklukan Mesir dengan ban¬tuan Italia.penaklukan Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri itulah mereka akan dapat menguaai jalur peragangan Samudera Hindia melalui Laut Merah. Setelah hampir dua tahun (November 1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara salib dengan pasukan Mesir, tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara Sali un¬tuk meningalkan Dimyati. Di samping memberikan perhatian seius pada dalam bi¬dang politikdan mliter, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang mem¬be¬rikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya ang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan-lahan per¬ta¬nian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Erpa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup beragama antra umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik.

Pada masa it kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah ada tahun 1240–1249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nl ditaklukan kembali oleh tentara alib ang dipimpin oleh Raja Louis IX ari Perancis. Ketika pa¬suk¬an Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat dikalakan oleh pasukan Ayyubiyah pada April 1250. Raja Louis IX dan beberapa bangsawan Perancis ditawan, tetapi ke¬mu¬dian mereka dibebaskan kembali setelah Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan makanan sebagai bahan tebusan.

Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan digantikan oleh putera mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah di¬panggil pulang dari Mesopotamia (Sutiah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghidari kevakuman kekuasaan, sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu ti¬rinya yaitu Sajaratuddur. Akan tetapi, ketika Turansyah akan mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dai para Mamluk, amba sahaya yang dimiliki tuannya, yan tidak menyenanginya. Belum genap satu tahun uransyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para mamluk tersebut atas perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sa¬jaratddur menyatakan dirinya sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang ber¬samaan, seorang pemimpin Ayubiyah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyataka dirinya sebagai sultan Ayyubiyah meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa kedauoatan atau kekuasaan yang riel. Kekuasaan yang sebenarnya justeru bera¬da di tangan seorang mamluk bernama Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk (1250-1257 ). Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M, beakhirlah masa pemerintahan dinasti al-Ayubiyah, dan kekuasaan beralih ke pmerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517 M)

B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan al-Azhar
Al-Azhar didirikan oleh seorang panglima dinasti Fatimiyah bernama Jauhar al-Katib al-Siqili pada tahun 970 M. atas perintah khalifah al-Muiz Lidin illah, seba¬gai tempat ibadah (masjid) yang sekaligus tempat melakukan propaganda ajaran Syi’ah dan lambang kepe¬mim¬pinan spiritual umat Islam. Sebelumnya, masjid al-Azhar ber¬nama masjid al-Qahirah atau al-Jami’ al Qahirah, yang di zaman modern ini di¬kenal dengan al-Azhar. Pembangunan masjid ini di mulai pada tanggal 4 April 970M/24 Jumadi al-Ula tahun 359 H dan selesai pada tanggal 7 Ramadhan 361H/22 Juni 972 M. dan pada tanggal itu pula dires¬mi¬kan sebagai masjid yang dapat dipergunakan se¬bagai tempat peribadatan. Bentuk peresmian itu ditan¬dai dengan pelaksanaan shalat Jum’at bersama. Luas bangunan masjid ini menurut perkiraan para sejarawan sekitar 6356 kaki. Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa masjid al-Qahirah dalam perjalanan se¬jarahnya berubah nama menjadi masjid al-Azhar. Menurut sebahagian para ahli, seperti Saniyah Qura’ah mengatakan bahwa penamaan tersebut berawal dari usulan Ya’kub Ibn Killis, seorang wazir khalifah al-Aziz billah, untuk merubah nama masjid tersebut. Penamaan yang diusulkan itu dinisbatkan dengan nama istana khalifah, al-Qhusur al-Zahirah, atau dikaitkan dengan nama putri Nabi Muhammad Fatimah al-Zahrah.

Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penamaan tersebut dikait¬kan dengan nama sebuah planet (Venus) yang memiliki cahaya cemerlang. Penamaan tersebut jelas mempunyai maksud tertentu yang diingini para pendiri dan pelindung masjid al-Azhar. Diharapkan masjid ini membawa sinar terang dan kejayaan umat Is¬lam yang dapat menyinari dunia. Harapan itu dapat disaksikan dalam perjalaana se¬ja¬rah masjid ini saat fungsinya digandakan, tidak lagi hanya sebagai tempat ibadah dan propaganda ajaran Syi’ah, tetapi berfungsi pula sebagai Madrasah Tinggi di Kairo, Mesir.
Setelah al-Azhar resmi menjadi masjid negara, kegiatan ilmiah pertama kali dilakukan ketika para ilmuan yang terdiri dari para Fuqoha terkenal dan pejabat pemerintahan Fatimiyah berkumpul di al-Azhar untuk mendengarkan ceramah umum (Studium Generalle) yang disampaikan oleh Abu al-Hasan Nu’man Ibn Muhammad al-Qirawaniy yang bergelar Hakim Agung (Qadi al-Qudat) dinasti Fatimiyah. Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober 975M/Shafar 365H. Dalam acara stadium generalle itu, al-Qirawaniy menguraikan tentang prinsip-prinsip fiqh Syi’ah yang terdapat di dalam kitab al-Ikhtishar. Kitab ini berisikan propaganda Syi’ah, tujuan dan sasarannya. Ke¬gi¬atan kuliah umum ini merupakan awal proses terbentuknya Kuttab (tempat belajar) dan Halaqah (lingkaran study) di al-Azhar.

Dalam perjalanan sejarah berikutnya, al-Azhar terus difungsikan sebagai pusat kegiatan belajar, baik di Halaqah atau di Kuttab yang berada di al-Azhar itu. Para pe¬ng-ajarnya berasal dari Bani Nu’man yang mengajar di tempat tersebut sampai tahun 369M/979M, saat Halaqah itu berubah menjadi sebuah lembaga Tinggi yang memiliki sistem pendidikan tinggi, ketika Ya’kub ibn Killis menjadi wazir dan memimpin lem¬baga tersebut. Hal itu terjadi setelah Ibn Killis memberikan ceramah umum yang di¬hadiri oleh para ulama dan umara. Da¬lam kesempatan itu Ibn Killis melihat ada ke¬seriusan mereka untuk terus mengkaji bidang-bidang ilmu seperti fiqh, sastra dan sebagainya. Untuk itu, Ibn Killis tahun 988 M/378H, memohon kepada khalifah al-Aziz bi Allah untuk memperhatikan 37 orang faqih yang me¬lakukan kajian ilmiah di al-Azhar setelah shalat jum’at hingga datang waktu ashar. Atas pe¬rmintaan itu, al-Aziz membuatkan mereka tempat tinggal dekat al-Azhar. Untuk me¬menuhi kebutuhan mereka sehari-hari, Ya’kub Ibn Killis memberikan sebagian uangnya untuk me¬reka.
Para fuqoha ini merupakan guru-guru pertama yang mengajar di al-Azhar. Sejak saat itulah al-Azhar tampak kelihatan karakteristikya sebagai sebuah lembaga ilmiah sebenarnya, yang memiliki cirri akademis. Hal itu semua terjadi karena perhatian serius dari khalifah al-Aziz dan wazirnya Ibn Killis, yang selalu memperhatikan ke¬hidupan ilmu dan ilmuan. Pe¬ristiwa ini dinilai Hasan Langgulung sebagai suatu tin¬dakan yang tepat dan bijaksana, karena tindakan itu merupakan bukti kepedulian penguasa terhadap perkembangan al-Azhar untuk menemukan ciri-ciri akademik dan ilmiah dengan sistem belajar klasikal secara umum dan metode diskusi, dan ini merupakan awal dari timbulnya sistem pendidikan tinggi di al-Azhar.

Dengan demikian, al-Azhar dalam perjalanan sejarahnya mengalami perubah¬an-perubahan sangat penting bagi pertumbuhan ilmu dan kemajuan hasil yang dica¬painya, saat masjid itu mengalami penambahan fungsi, dari hanya sekedar tempat iba¬dah dan pusat propaganda ajaran Syi’ah, menjadi sebuah lembaga atau madrasah ting¬gi dengan sistem baru. Peristiwa itu terjadi pada masa kepemimpinan khalifah al-Aziz billah dan wazir Ya’kub Ibn Killis tahun 988M/399H. Kedatangan para ulama dan pencari ilmu untuk belajar di al-Azhar, karena tertarik dengan sistem yang digunakan Ibn Killis. Literatur yang dijadikan ba¬han kajian adalah kitab al-Iktishar, karya Abu Nu’man, yang berisi tentang doktrin dan pro¬paganda Syi’ah. Kitab Da’aim al-Islam fi al-Hakak wa al-Haram, karya Abu Nu’man dan Kitab al-Risalah al-Waziriah, karya Ibn Killis. Dua kitab yang disebut belakangan meru¬pa¬kan kitab yang menjadi bahan rujukan utama pada masa khalifah al-Zahir. Mereka yang mem¬perlajari dan mengaha¬pal kitab tersebut, di jamin biaya hidupnya oleh Khalifah.

Kelompok-kelompok studi yang terdapat di al-Azhar pada masa dinasti Fa¬thi¬miyah, menurut Dodge ada tiga kelompok. Pertama, kelompok yang terdiri dari murid yang semata-mata mendengar, membaca dan menjelaskan al-Qur’an. Kedua, mereka yang duduk melingkar mengelilingi guru, dan guru duduk di lantai. Guru itu men¬diktekan dan menjawab per¬ta¬nya¬an-pertanyaan yang diajukan murid-murid (al-Mujawirin) mengenai pelajaran yang diberikan. Ketiga, kelompok yang sudah dianggap mampu untuk menjadi tenaga pengajar dan menjadi propagandis-propagandis.

Hubungan antara guru dengan murid, terjalin begitu akrab. Guru sangat dihormati dan dimuliakan, tidak hanya oleh para murid, juga dihormati penguasa, karena kedudukan dan peranannya sebagai ilmuan. Oleh karena itu mereka sering disebut sebagai al-Janib al Syarif, al-Imami, al-‘Alimi, ‘Umdat al-Muhaqqiqien, dan Facr al-Mudarrisin.

Sebagai penghargaan khalifah Fatimiyah kepada para guru al-Azhar, mereka mendapat tunjangan rutin dari pemerintah, begitu juga para murid yang belajar di sana. Sistem ini berlangsung hingga pada masa al-Hafidz. Pada masa kekuasaan khalifah al-Hafidz li Dinillah (1130-1149M), al-Azhar mengalami pengembangan fisik. Pada masanya di bangun Maqsurat Fatimah (Serambi Fatimah). Akan tetapi, pada waktu al-Adid berkuasa (1160-1171 M), terjadi konflik intern. Syirkuh, salah seorang menteri yang ambisius yang bekerjasama dengan Salahuddin al-Ayyubi, bersama-sama berusaha mengendalikan keadaan pemerintahan. Akan tetapi setelah al-Adid meninggal dunia, terjadi masa kekosongan kekuasaan (Vacum of Power). Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Salahuddin al-Ayyubi untuk mengambil kekuasaan.

C. Al-Azhar Pada Masa Pemerintahan Dinasti al-Ayyubiyah.

Segera setelah dinasti Fatimiyah runtuh (1171M) Salahuddin al-Ayyubi meng-hapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai penguasa baru atas Mesir, dengan nama dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini lebih berorientasi ke Baghdad, yang Sunni. Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Salahuddin berkuas, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijak¬an itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh lagi diper¬gunakan untuk shalat Jum’at dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, me¬nu¬rut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi’ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu maz¬hab Sunni.

Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak menge¬lu¬arkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafi’i. Di antaran fatwa yang dike¬luarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jum’at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah Jum’at dalam satu kota yang sama. Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum’at dan ke¬giatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Salahuddin ber¬ku¬a¬sa sampai khutbah Jum’at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.

Meskipun begitu, pentupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari pa¬ra penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di ham¬pir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan uni¬ver¬sitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyat al-‘Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat al- ‘Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendi¬ri¬nya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.

Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pu¬sat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-gu¬ru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut.

Keadaan demikain tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sul¬tan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Salahuddin al Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/ 589H. Beliau mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang di¬a¬jarkannya meliputi mantiq dan Bayan. Kedatangan al- Baghdadi menam-bah semangat bebe¬ra¬pa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara merka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi ter¬kenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Man¬faluti, Syeikh Jama al-Din al-Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan. Selain mengajar mantiq dan bayan, al-Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar ke¬dok¬teran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al-Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tem¬pat-tempat lain. Ini me¬ru¬pakan upaya al-Baghdadi untuk memberikan informasi dan seka¬ligus menso¬sialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir

Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa be¬rikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali ke¬pada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pem¬be¬lajaran dan penyebaran ajaran mazhab Suni adalah al-Azhar.