Senin, 18 Januari 2010

Rekonsiliasi Politik Umat Islam: Tinjauan Historis Peristiwa 'am al-Jama'ah

BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang Masalah

Menurut Lapidus, konflik dan perpecahan politik di kalangan umat Islam sudah terjadi hampir sejak masa-masa awal perkembangan Islam. Hal ini dapat dilihat dari adanya perpecahan di kalangan elite Arab yang mengancam keutuhan pemerintahan Islam. Perpecahan ini semakin kentara ketika pucuk pimpinan pasca kekhalifahan Umar jatuh ke tangan Uthmn (634-656 M). Pada masa ini, Uthmn mengeluarkan kebijakan yang kurang populer,seperti pembagian kekuasaan pada klan Umayah dan klan Makah lainnya, dengan mengabaikan para sahabat dan kelompok Madinah. Padaha hal itu tidak terjadi pada masa Khalifah Umr ibn al-Kha¯¯ab. Selain itu, masih menurut Lapidus, penerapan sistem yang bersifat sentralistikdan menguasai seluruh pendapatan propinsi dan mengangkat juru hitung sawafi dari kalangan kerabat sendiri, menimbulkan protes dari umat Islam. Kebijakan lain yang juga cukup berpengaruh terhadap melemahnya dukungan politik terhadap pemerintahan Khalifah Uthmn adalah kebijakannya berupa pemberian ijin bagi para sahabat yang ingin ke luar dari Madinah, sehingga banyak di antara mereka kemudian menetap di Basrah dan Kufah.4

Kebijakan-kebijakan tersebut pada akhirnya, menurut Lapidus menimbulkan konflik internal umat Islam yang menyebabkan ia terbunuh pada tahun 35 H/656 M. Kematian khalifah Uthmn, masih menurut Lapidus, malah memperkeruh situasi Politik.5 Sebab penggantinya, yaitu Al ibn Abi °lib (656-661 M) tidak mendapat dukungan dengan suara bulat, termasuk dukungan °alah, Zubeir dan Aishah, walau belakangan mereka menyatakan bai’at juga.6 Mereka memposisikan diri sebagai kelompok oposisi, sehingga Al berusaha merangkul mereka masuk ke dalam jamaah. Sementara itu, muncul kelompok lain di bawah pimpinan Muwiyah yang juga menolak melakukan bai’at atas Al sebelum ia berhasil mengusut tuntas tragedi kematian Uthmn. konflik ini berujung pada sebuah pertempran di Siffin yang diselesaikan lewat tahkim yang berkibat melemahnya dukungan terhadap Al dan menguatnya posisi Muwiyah.

Setelah Al wafat, konflik terjadi lagi antara Muwiyah dengan al-asan setelah ia dibaiat oleh para pendukung setia Al, hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menyatakan perdamaian di Maskin. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan istilah m al-jamah.

Peristiwa m al-jamah7 (rekonsiliasi umat Islam) di Maskin,8 dekat kota Madin, Kufah pada tahun 41 H/661 M, merupakan salah satu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Karena sejak saat itu, umat Islam—paling tidak sebagian kelompok pimpinan al-asan ibn Al dan kelompok pimpinan Muwiyah ibn Ab Sufyn— telah bersatu kembali di bawah satu kepemimpinan tunggal, yaitu kepemimpinan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Peristiwa m al-jamah itu ditandai dengan adanya pengakuan al-asan ibn Al atas kekuatan dan kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn, dan pengakuan Muwiyah ibn Ab Sufyn atas kekuatan yang dimiliki al-asan ibn Al yang telah menyatakan setia kepada Muwiyah dengan berbagai konpensasi yang diberikan Muwiyah kepada al-asan, berupa materi dan perlindungan baik untuk diri dan keluarganya maupun para pendukungnya. Pengakuan itu, hemat penulis, dirasakan sangat penting tidak hanya untuk Muwiyah ibn Ab Sufyn, juga bagi masyarakat muslim secara keseluruhan. Sebab, dengan pengakuan itu, posisi Muwiyah semakin kuat karena mendapat legitimasi dari pihak “lawan politik” dan para pendukungnya. Selain itu, sejak pengakuan itu terjadi masyarakat Islam memiliki pemimpin defenitif yang menjadi pemimpin tertinggi umat Islam.

Meskipun mendapat respons beragam, terutama dari pihak al-asan ibn Al, ada yang menolak dan ada pula yang menerimanya, rekonsiliasi politik ini menjawab”teka-teki”mengenai siapa sebenarnya yang menjadi pemimpin umat Islam secara defenitif, setelah khalifah Al ibn Ab °lib. Dalam catatan sejarah diketahui bahwa sepeninggal khalifah Al ibn Ab °lib pada pada 15 Ramadhan tahun 40 H/24 Januari 661 M, tidak ada penguasa (khalfah) defenitif yang menjadi pemimpin politik tertinggi atas dunia Islam. Dengan demikian, masa itu dapat disebut sebagai masa kekosongan kekuasaan (vacuum of power).

Berdasarkan data yang diperoleh, masa transisi itu berlangsung lebih kurang sekitar 6 (enam) bulan lamanya, yakni sejak meninggalnya khalifah Ali ibn Ab °lib pada 15 Ramadan 40 H/24 Januari 661 M hingga terjadinya peristiwa  pada bulan Rabiul Akhir 41 H/661 M. Jadi, selama itu pula umat Islam belum memiliki pemimpin (khalifah) defenitif yang menjadi penguasa tertinggi atas dunia Islam. Kalau pun ada, misalnya Muwiyah ibn Ab Sufyn, hanya mendapat pengakuan dari penduduk Damaskus,9 dan al-asan ibn Al, juga hanya mendapat pengakuan dari para pendukungnya di Kufah, Basrah, Madinah, dan sebagian penduduk Parsi.10 Dengan demikian, dalam masa ini tampaknya ada dua kekuatan yang saling berebut pengaruh dari masyarakat muslim agar mau menerimanya menjadi pemimpin mereka. Tetapi tidak ada pemimpin tunggal yang dapat menyatukan umat Islam di bawah seorang pemimpin yang legitimed. Karenanya wajar kalau kemudian masing-masing di antara kedua tokoh ini, yakni al-asan ibn Al dan Muwiyah ibn Ab Sufyn, mengklaim diri sebagai seorang pemimpin yang legitimate, karena mendapat pengakuan dari masyarakat pendukung masing-masing. Persoalannya adalah siapa kemudian yang mendapat pengakuan terbesar dari kedua tokoh tersebut. Muwiyahkah atau al-asan ibn Al.

Berdasarkan data yang penulis peroleh dari al-°ahabr,11 diperoleh sejumlah data pendukung; al-asan misalnya, memperoleh dukungan sekitar 17 orang, terdiri dari keluarga dan sahabat atau tabiin. Begitu juga Muwiyah, ia memperoleh dukungan dengan jumlah 24 orang yang kebanyakan adalah keluarganya sendiri dan beberapa orang sahabat dan tabiin. Hal ini menunjukkan adanya kekuatan pendukung yang hampir sama besar. Hanya saja, kalau dilihat dari segi geografis, Kufah dan Basrah, merupakan dua kota yang paling dekat dengan Madinah yang memungkinkan para sahabat lebih banyak yang bermigrasi ke sana, ketimbang ke Damaskus.

Meskipun secara teoritis tampak ada kekosongan kekuasaan, tetapi berdasarkan beberapa keterangan yang berhasil dihimpun oleh “sejarawan awal,” seperti al-°abr,12 al-Suy¯,13 Ibn Saad,14 dan lain-lain, bahwa setelah kematian khalifah Al ibn Ab °lib, para pendukung setia al-khalifah al-rasyidah keempat ini, melakukan sumpah setia (baiat) kepada al-asan ibn Al. Hanya saja, pengakuan itu tidak mendapat respons positif dari Muwiyah dan para pendukungnya di Damaskus, karena dianggap tidak legitimated dan tidak mewakili seluruh aspirasi umat Islam, terutama masyarakat yang berada di luar kota Kufah, Basrah, Madinah, dan sebagian masyarakat Parsi. Muwiyah ibn Ab Sufyn secara terang-terangan menolak pengangkatan tersebut, bahkan ia menganggap dirinya sebagai wasi Uthmn ibn Affn yang berhak atas tahta tersebut. Selain itu, masyarakat Damaskus dan para sahabatnya di Syiria seperti ‘Amr ibn al-’As, telah menganggapnya sebagai seorang amr al-mukminn dan khalifah di Syam,15 bahkan penduduk Homs atas perintah Syurahbil ibn al-Samt al-Kindi—setelah ia mendapat surat dari Muwiyah—beramai-ramai menyatakan baiat dan mengakuinya sebagai khalifah. Posisi Muwiyah semakin kuat setelah memperoleh kemenangan diplomatis dalam perisitwa tahkim di Adhruh, Dawmat al-Jandal pada tahun 659 M. Dalam konteks ini al-°abr meriwayatkan bahwa, masyarakat pendukung Muwiyah di Ily, Syam membaiatnya sebagai khalifah dan mereka menyebutnya sebagai amir dan setelah Al meninggal, Muwiyah dipanggil dengan sebutan khalifah.16

Penolakan ini memiliki implikasi pada semakin memanasnya atmosfer dan konstalasi perpolitikan umat Islam ketika itu. Kenyataan itu semakin diperkeruh dengan datangnya usulan dari salah seorang sahabat al-asan ibn Al bernama Qays ibn Saad ibn Ubdah untuk menyerang basis kekuatan Muwiyah ibn Ab Sufyn di Damaskus, karena dianggap ”tidak mau tunduk” kepada al-asan ibn Al.17 Usulan ini mendapat sokongan kuat dari Abd Allh ibn Abbs dan Ubaid Allh ibn Abbs. Bahkan Abd Allah ibn Abbs, seperti ditulis al- Baldzur dalam Ansb al-Asyrf, mendukung dan menganjurkan al-asan ibn Al untuk memerangi musuh-musuh al-asan dan merapatkan barisan dengan mendekati para sahabat serta al al-bait guna memperoleh dukungan kuat.18 Saran tersebut diterima dan kemudian al-asan mempersiapkan berbagai keperluan untuk menghadapi kemungkinan terjadi konflik fisik dengan pasukan Muwiyah. Untuk itu, Qays ibn Saad dan Abd Allah ibn Abbas pergi menuju Damaskus dan berhenti di Maskin, sedang al-asan ibn Al pergi menuju Madain. Sementara Muwiyah dan pasukannya juga berangkat dari Damaskus menuju Kufah untuk menghadang kekuatan Qays ibn Saad, dan singgah di Manbaj.19 Belum sempat terjadi kontak fisik atau peperangan, tersebar isu kematian Qays ibn Saad yang menyebabkan melemahnya keinginan al-asan ibn Al untuk meneruskan rencana serangan tersebut.20 Bahkan al-asan ibn Al kemudian merencanakan untuk melakukan perdamaian dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Rencana itu kemudian terwujud, setelah terjadi negosiasi antara utusan al-asan ibn Al dengan Muwiyah yang ditandai dengan pengakuan al-asan ibn Al atas kepemimpinan Muwiyah ibn Ab Sufyn yang dalam sejarah dikenal dengan sebutan  pada tahun 41 H/661 M di Maskin, seperti disinggung pada bagian terdahulu.

Pengakuan itu kemudian diikuti oleh para pendukungnya di kota Kufah, Irak dan Madinah. Sementara penduduk Basrah, enggan melakukan sumpah setia kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn, karena mereka beranggapan bahwa Muwiyah adalah musuh, dan al-asan telah berkhianat dengan menyatakan tunduk kepada Muwiyah, karenanya kemudian mereka menyatakan keluar dari jama’ah al-Hasan dan membentuk atau bergaung dengan jama’ah lain, seperti Khawarij dan sebagainya. Sejak saat itu, kubu al-asan ibn Al terpecah akibat pengakuan al-asan ibn Al kepada Muwiyah, ada yang pro dan yang anti al-asan. Meskipun begitu, peristiwa kontroversial ini, hemat penulis, telah mengakhiri masa transisi dan kekosongan kekuasan pasca kekhalifahan Al ibn Ab °lib, karena umat Islam telah memiliki seorang pemimpin definitif dan menjadi pimpinan jama’ah mereka, karenanya peristiwa ini dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan ‘am al-jama’ah, yaitu bersatunya umat Islam di bawah kepemimpinan Mu’awiyah. Sementara mereka yang tidak mengakui atau tidak mau berjama’ah dengan Mu’awiyah, masuk ke dalam kategori kelompok oposisi atau non jama’ah.

Dengan pengakuan ini, tentu saja jabatan tertinggi umat Islam secara de jure dan de facto berada di tangan Muwiyah ibn Ab Sufyn, suatu jabatan penting yang telah lama dinantikan Bani Umayah. Dalam konteks ini, Marshall G.S. Hodgson, mengatakan, terlepas dari apakah perolehan kekuasan itu dilakukan secara terpaksa atau tidak, yang jelas pada akhirnya Muwiyah diterima sebagai khalifah umat Islam.47 Di bawah kepemimpinannya, ia kemudian menunjuk anaknya, Yazid sebagai putera mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Kebijakan ini dianggap oleh para pendukung al-asan sebagai sebuah pelangaran, karena Mu’awiyah telah mengkhianati perjanjian yang semestinya setelah ia, masalah kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada umat, siapa yang paling layak menjadi pemimpin. Penunjukkan ini, atas saran al-Mughrah ibn Syubah, menandai era baru sistem pemerintahan Islam, yaitu berdirinya dinasti baru, yaitu Dinasti Bani Umayah yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Dalam kata lain, peristiwa  yang terjadi di Maskin pada tahun 41 H/661 M—seperti ditegaskan pada bagian terdahulu—memiliki dampak politis dengan terbentuknya jama’ah baru di bawah kepemimpinan Mu’awiyah dan terciptanya sebuah ekuilibrium, yaitu terciptanya sebuah “ketenangan sosial-politik” walau hanya berlangsung sementara. Tetapi setelah itu, dan dalam jangka waktu cukup lama, peristiwa ‘amal-jama’ah malah membuat suasana politik pemerintahan Bani Umayah tidak aman, karena kelompok oposisi semakin memperkuat gerakan untuk melawan kekuatan komunitas Mu’awiyah.

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, masalah utama yang menjadi fokus penelitian disertasi ini adalah Rekonsiliasi Umat Islam: Tinjauan Historis Atas Persitiwa Amu al- Jamaah 661 M. Kajian ini hanya terbatas pada masa transisi, yaitu pada masa al-asan ibn Al dan awal pembentukan dinasti bani Umayah, tidak mencakup secara keseluruhan peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Kalaupun ada, hanya merupakan keterangan semata. Pembatasan ini dipandang perlu, karena kalau tidak dikhawatirkan akan melebar ke berbagai persoalan yang muncul pada masa Bani Umayah. Selain itu, yang dimaksud dengan rekonsiliasi dalam disertasi ini adalah rujuknya dua kelompok yang bertikai guna menjelaskan masalah secara damai (jamah).

Dari pokok masalah tersebut, kiranya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.Bagaimana reaksi masyarakat muslim atas peristiwa Rekonsiliasi dalam
 tersebut?
2.Apakah  dapat menyelesaikan konflik internal umat
Islam antara para pendukung al-asan ibn Al dengan para pendukung
Muwiyah ibn Ab Sufyn dan menciptakan sebuah suasana ekuilibrium?
3.Implikasi politik dan teologi dari peristiwa .


C.Tujuan dan Sumber Penelitian.

Pentingnya penelitian ini dilakukan karena; pertama, untuk mengetahui secara benar mengenai perkembangan sejarah perpolitikan umat Islam setelah meninggalnya khalifah Al ibn Ab °lib pada 661 M, khususnya mengenai kepemimpinan al-asan ibn Al dan segala persoalan yang terjadi pada masa-masanya di Kufah, Basrah dan Madinah. Dari kajian ini, diharapkan dapat diungkap persoalan-persoalan penting tentang situasi dan kondisi obyektif umat Islam saat itu. Kedua, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat secara seksama mengenai sikap dan reaksi umat Islam, khususnya Muwiyah ibn Ab Sufyn dan para sekutunya atas pengangkatan al-asan ibn Al menjadi pemimpin tertinggi umat Islam. Ketiga, untuk mencari argumentasi yang sangat kuat mengenai upaya-upaya penyelesaian berbagai konflik yang tengah melanda umat Islam pasca-kekhalifahan Al ibn Ab °lib, baik yang dilakukan al-asan ibn Al sendiri maupun langkah-langkah strategis yang dilakukan Muwiyah untuk meredakan konflik umat Islam yang telah cukup lama berlangsung. Keempat, untuk mengetahui dampak politis dan teologis dari peristiwa  yang terjadi pada masa itu.

Adapun sumber primer48 dan sekunder penelitian yang dipergunakan dalam penulisan disertsi ini adalah sebagai berikut:
1. Tarkh al-°abr, Tarkh al-Umm wa al- Mulk, karya Abu Jafar Muammad
ibn Jarir al-°abr(224-310 H),
2.°abqat al-Kubr li Ibn Saad, karya Muammad ibn Saad ibn Muni al-Zuhr
(168-230 H),
3. Al-Isbah f al-Tamyz al-Sahbah, karya Shib al-Dn al-Fqih Amad
ibn Al ibn Muammad ibn Muammad ibn Al al-Kinan al-Asqalan,
dikenal dengan sebutan ibn ajar al-Ashqalan, (773-852 H)
4. Al-Istiab f Marifah al-Ashb, karya Ab Umar ibn Yusuf ibn Abd
Allh ibn Muammad ibn Abd al-Barr. (ed) Ali Muammad al-Bijw
5. Tarkh al-Khulaf, karya Jala al-Din al-Suy¯.
6. Ansab al-Asyrf, karya Amad ibn Yahya ibn Jabr al-Balzur.
7. Al-Immah wa al-Siysah, Muhamd ibn Abd Allh ibn Muslim ibn Qutaybah
al-Dinwar.( 213-276 H)

Sumber-sumber tersebut sangat penting, meskipun dalam pengamatan sementara penulis para ahli tersebut belum mengungkap secara sistematis kronologi peristiwa , apalagi penjelasaan secara komprehensif. Karenanya, karya-karya tersebut masih memerlukan analisis lebih jauh guna menjelaskan makna yang terkandung dari peristiwa sejarah ini (). Di antara karya klasik yang cukup bagus menjelaskan masalah ini adalah karya Ibn Saad (168-230 H) al-Tabqat al-Kubr; al-Tabqat al-Khamsah.49 Karya ini dalam pengamatan sementara yang penulis lakukan, belum memberikan kajian yang komprehensif dan kritis mengenai kejadian di Maskin tersebut, yaitu peristiwa . Ibn Saad hanya menyajikan data-data “mentah”atau data-data baku yang memerlukan analisis kritis lebih dalam lagi. Sehingga data-data yang ada di dalam buku tersebut dapat berbicara banyak dan mampu menjelaskan makna di balik semua peristiwa tersebut. Hal ini, tentunya sekali lagi, membuka peluang bagi siapa saja untuk melakukan kajian mendalam mengenai masa-masa transisi yang terjadi pada masa al-asan ibn Al.

Hal yang sama juga terdapat dalam karya Ibn Qutaybah al-Dinwar, (213-276 H), al-Immah wa al-siysah. Ia tampaknya hanya ingin menyajikan data-data sejarah para imam atau para penguasa Islam dengan tidak memberikan analisis yang mendalam dan komprehensif mengenai perjalanan sejarah politik umat Islam, khususnya yang berkaitan dengan peristiwa . Ia hanya memberikan paparan data–data mentah yang masih memerlukan analisis tajam dan kritis. Namun ada hal penting yang bisa dipelajari di sini, yaitu bahwa Ibn Qutaybah mencoba merangkai peristiwa sejarah secara sistematis dengan data berupa teks-teks yang memerlukan kajian mendalam. Hanya saja ia tidak mengurai dengan jelas dan komprehensif mengenai peristiwa Am al-Jama-ah, karena ia sendiri tidak mem fokuskan pada kajian peristiwa tersebut.

Sementara al-°abr (224-310 H) dalam karyanya berjudul Tarkh al-°abar, yang populer disebut °arkh al-Umm wa al-Mulk—banyak mendasarkan narasinya pada informan Kufah. Al-°abr telah berusaha menjelaskan kronologis peristiwa perdamaian yang terjadi antara al-asan ibn Al dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn yang diawali dengan proses pengangkatan atau pembaiatan terhadap al-asan ibn Al. Tetapi ia belum menjelaskan secara detail mengenai prosesi penyerahan tersebut yang kemudian berdampak pada pengakuan masyarakat muslim (Kufah dan Madinah) kepadanya sebagai orang nomor satu di dunia Islam.

Selain itu, tampaknya ia juga belum memberikan analisis yang kompre¬hensif mengenai dampak positif dan negatif bagi percaturan politik dan agama dari peristiwa  yang terjadi pada 661 M/41 H. Meskipun begitu, buku ini tetap menjadi rujukan utama dalam melakukan kajian ini, karena ia mengandung banyak informasi yang berkaitan dengan fokus kajian disertasi ini.

Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh para penulis di atas, Ibn Abd al-Barr dalam karyanya al-Istiab fi Marifat al-Ashab, berusaha memberikan penjelasan mengenai prosesi perdamaian yang terjadi pada masa al-asan ibn Ali. Ia memulainya dengan penjelasan mengenai sosok kepribadian al-asan yang digambarkan olehnya memiliki kepribadian yang hampir sama dengan kakeknya, Muhamad Saw, yaitu menyukai kedamaian dan ketentraman. Ia tidak memiliki ambisi kuat untuk menjadi orang nomor satu di dunia Islam setelah ayahnya meninggal pada 661 M / 41 H.

Begitu juga apa yang dilakukan oleh al-Balazury. Pada buku pertama dalam karyanya Ansab al-Asyraf, justeru hanya memaparkan klan Bani Abd Syam yang di dalamnya terdapat biografi dan sosok Muwiyah ibn Ab Sufyn, termasuk upaya yang dilakukannya dalam memperoleh kekuasaan dari tangan al-asan ibn Al yang dilakukannya melalui rekonsiliasi.

Meskipun begitu, buku–buku klasik ini tetap menjadi rujukan utama dalam melakukan kajian ini, karena literatur–literatur tersebut mengandung banyak data dan informasi yang berkaitan dengan fokus kajian disertasi ini.
Selain karya-karya tersebut di atas, dalam proses penulisan atau pene¬litian nanti, akan diuapayakan mendapatkan lebih banyak lagi sumber primer yang akan dijadikan sebagai bahan referensi.

E. Metodologi Penelitian
Penulisan disertasi ini merupakan sebuah penelitian sejarah dengan menggunakan metode penelitian sejarah atau metode sejarah.50 Dengan metode ini diharapkan dapat mengumpulkan dan mengungkap sumber-sumber sejarah secara efektif, melakukan penilaian atau kajian kritis dan menyajikan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.

Karena disertasi ini merupakan penelitian sejarah klasik, maka penelitian yang dilakukan adalah bersifat kepustakaan (library research). Sebab, sumber data yang dipergunakan dalam kajian ini merupakan buku-buku, baik karya ilmuan klasik mau pun ilmuan modern dan kontemporer dari kalangan muslim sendiri atau karya-karya non-muslim yang dianggap memiliki pandangan obyektif dalam melihat sejarah Islam. Data-data tersebut akan dijadikan bahan rujukan primer dan sekunder. Sementara karya-karya atau artikel lain yang membahas mengenai sejarah umat Islam masa-masa al-khulaf al-rsyidn dan Ban Umayah, akan dijadikan bahan sekunder bahkan tersier. Sumber-sumber primer yang dipergunakan dalam penulisan disertasi ini adalah al-°abr. Karya ini dapat dijadikan bahan rujukan utama karena karya ini merupakan sumber yang dapat ditemukan dan paling dekat dengan peristiwa yang menjadi obyek kajian disertasi ini. Selain itu, karena ini memuat data-data yang relatif banyak tentang tokoh-tokoh yang tidak disebut oleh al-°abr secara rinci terutama mengenai data biografi mereka. Karena itu untuk memperoleh data-data biografi tersebut penulis menggunakan karya-karya para ulama hadits seperti Ibn Saad, Ibn Hajar, dan lain-lain. Dengan demikian data-data yang diperoleh menjadi semakin jelas informasinya.

Selain pendekatan sejarah, penelitian untuk memperoleh data penting dalam proses penulisan disertasi ini adalah juga pendekatan historiografis. Pendekatan ini penulis anggap penting dan relevan, karena kajian atau analisis yang akan dilakukan dilihat dari perspektif sejarah. Artinya, peristiwa rekonsiliasi umat Islam yang dilakukan pada masa itu harus dikaji melalui penyisiran fakta-fakta yang terdapat dalam catatan sejarah Islam klasik, khususnya pada masa antara kekhalifahan Al ibn Ab °lib, al-asan ibn Al dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam proses penelitian disertasi ini. Di antara langkah-langkah yang penulis akan tempuh dalam penelitian ini adalah:
1. Mengumpulkan dan membaca buku-buku karya ilmuan dan sejarawan muslim
setingkat Ibn Saad atau al-°abr , mengenai sejarah para tokoh politik
yang terlibat dalam peristiwa rekonsiliasi,dan mengenai setting sosial
politik yang melatar belakangi proses rekonsiliasi itu, yang kemudian
dikelompokkan dalam topik-topik tertentu. Penggunaan karya al-°abr
sebagai sumber primer di dalam mencari data mengenai mereka yang terlibat
atau mengetahui tentang , dapat
dipertanggungjawabkan, karena di dalam karya itu terdapat banyak data yang
diperoleh dan ditulis dari berbagai sumber-sumber yang dapat dipercaya.
Sebab, al-°abr menyajikannya dalam bentuk berita-berita yang berasal
dari berbagai sumber sebagai bahan konfirmasi, baik pendapat dari sahabat
maupun tabiin.
2. Mendeskripsikan analisis historis yang dilakukan para sejarawan (politik)
mengenai data-data atau fakta-fakta yang telah dikelompokkan di atas,
3. Menganalisis data-data atau fakta-fakta historis tersebut,
4. Membuat kesimpulan-kesimpulan.

Dengan menggunakan metodologi di atas, diharapkan diperoleh analisis obyektif mengenai peristiwa rekonsiliasi dan terbebas dari penilaian subyektif.

D.Telaah Kepustakaan
Dalam penulisan disertasi ini, yang dimaksud dengan telaah kepustakaan adalah upaya menelaah terhadap karya-karya ilmuan atau sejarawan klasik khususnya mengenai peristiwa m al-Jamah. ²m al-Jamah yang terjadi di Maskin pada tahun 661 M/41 H, merupakan suatu peristiwa penting di dalam perjalanan sejarah umat Islam pasca kekhalifahan Al ibn Ab °lib, yaitu pada masa al-asan ibn Al. Peristiwa ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah kejadian biasa yang tidak memiliki pengaruh apapun dalam perjalanan sejarah umat Islam sesudah al-Khulaf al-Rsyidn, apalagi kalau dikaitkan dengan proses berdirinya dinasti Bani Umayah di Damaskus pada tahun-tahun sesudahnya.

Meskipun masa-masa pemerintahan al-asan ibn Al sangat singkat dan proses rekonsiliasi menimbulkan pro dan kontra, kajian mendalam dan komprehensif mengenai masa-masa transisi ini belum dilakukan oleh banyak ahli secara serius. Padahal peristiwa itu mengandung makna dan mata rantai yang sangat penting bagi perjalanan sejarah politik dan kekuasaan sesudahnya. Data kepustakaan klasik yang ada, seperti disinggung pada bagian terdahulu—yang sementara ini penulis ketahui--masih memerlukan analisis kritis, tidak hanya gambaran secara kronologis dari peristiwa , juga uraian komprehensif mengenai episode sejarah tersebut.

Selain literatur klasik yang memang belum memberikan porsi yang besar untuk melakukan kajian tentang masa-masa transisi di era al-asan dan proses perdamaian yang dilakukan dalam masa rekonsiliasi (), literatur yang agak belakangan juga masih jauh dari apa yang diinginkan dalam menjelaskan mata rantai peristiwa perjalanan sejarah politik umat Islam, khususnya peralihan masa kekuasaan dari al-asan ke Muwiyah ibn Ab Sufyn yang menandai berdirinya dinasti Bani Umayah. Salah satu contoh dari kenyataan di atas adalah apa yang dilakukan oleh Ahmad Syalaby dan Hasan Ibrahim Hasan. Kedua sejarawan ini belum memberikan penjelasan yang memuaskan mengenai peristiwa rekonsilasi politik antara al-asan dan para pengikutnya dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn yang didukung oleh para sekutu setianya. Ahmad Syalabi bahkan hanya memberikan penjelasan yang sangat singkat mengenai era al-asan dan prosesi yang dilakukan dalam rekonsiliasi tersebut. Dia hanya memfokuskan kajiannya, terutama pada buku kedua, mengenai dinasti Bani Umayah, tidak menjelaskan secara detail mengenai peristiwa  yang merupakan mata rantai dari perjalanan sejarah politik umat Islam pasca Al ibn Ab °lib.

Ternyata, apa yang dilakukan oleh kedua sejarawan tersebut di atas, juga dilakukan oleh P.K. Hitti, dalam History of The Arabs (1970), Carl Brocklemen dalam History of The Islamic Peoples, dan W. Montgomery Watt, dalam What Is Islam? dan the Majesty that Was Islam (1979). Hanya saja mereka telah melakukannya dengan lebih baik melalui kajian kritis dengan pendekatan multidimensi, sehingga data-data yang ada mengenai era al-asan—meskipun tidak banyak–telah memberi¬kan bantuan yang cukup signifikan untuk melakukan kajian lebih mendalam mengenai hal tersebut di atas. Watt dalam buku What Is Islam, telah berusaha menjelaskan berbagai doktrin Islam yang sedikit banyak memberikan andil dalam proses pembentukan pemikiran politik dan ketatanegaraan yang muncul dan dikembangkan dalam Islam pada masa Muhamad dan para al-Khulafa al-Rasyidin sesudahnya. Hanya saja, uraian mengenai peristiwa , tidak mendapat porsi lebih dari harapan banyak pihak yang menghendaki adanya penjelasan konprehensif dan menarik mengenai hal tersebut di atas.

Sementara itu, kajian sejarah politik Islam yang dilakukan oleh sarjana muslim di Indonesia yang berkaitan dengan sejarah politik Islam klasik-yang menurut penulis-cukup bagus dan relevan dijadikan sebagai bahan referensi adalah karya Munawir Sjadzali (1992), mantan Menteri Agama RI. Ia menulis secara baik dan sistematis mengenai sejarah pemikiran politik dan ketetanegaraan dalam Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Ia berusaha memberikan penjelasan secara konprehensif mengenai perjalanan sejarah politik Islam dan elemen-elemen politik atau partai-partai yang pernah ada dalam sejarah politik Islam saat itu. Hanya saja, ia belum memberikan uraian secara konprehensif mengenai sejarah politik era al-asan dan proses rekonsiliasi yang ada saat itu. Padahal ini merupakan sesuatu yang amat penting bila ingin melihat perjalanan sejarah politik Islam, terutama masa-masa transisi dari masa al-Khulafa al-Rasyidun ke masa Muwiyah ibn Ab Sufyn. Melihat kenyatan ini, maka penulis melihat terdapat peluang besar untuk melakukan kajian tersendiri mengenai masalah ini.

Selain itu, sepengetahuan penulis, kajian mengenai era al-asan dan proses rekonsiliasi pada masa itu, baik yang dilakukan para sarjana muslim dan non muslim dalam bentuk skripsi, tesis atau disertasi di Indonesia, belum ditemukan. Kalaupun ada, biasanya mereka melakukan kajian mengenai perkembangan peradaban Islam pada masa-masa Nabi Muhamad, al-Khulafa al-Rasyidun, Bani Umayah, dan sebagainya. Salah satu tesis yang membicarakan tentang persoalan politik Islam, khususnya masalah musyawarah dilakukan oleh Zul Asry (1985) dan Imam ibn Hajar (1999). Keduanya mencoba memberikan kajian kritis mengenai sistem pemerintahan Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidun dengan fokus kajian soal syura. Sementara itu, Mahmudin Siregar (1998) melakukan kajian untuk disertasinya mengenai peranan Muawiyah ibn Ab Sufyn dalam perubahan sistem khilafah bercorak demokrasi ke sistem khilafah bercorak monarchi. Siregar mencoba menarik benang merah mengenai mekanisme perubahan sistem pemerintahan tersebut pada masa al-Khulafa al-Rasyidun dan masa Muwiyah, dan tidak memberi¬kan penjelasan penting mengenai masa transisi di era al-asan ibn Al. Selain itu, Siregar hanya mencoba memfokuskan pada masa pemerintahan Muwiyah ibn Ab Sufyn yang mengangkat Yazid ibn Muwiyah sebagai putera mahkota. Perubahan inilah yang menjadi fokus kajian disertasi yang dilihat dari kacamata sosio-historis.

Oleh karena itu, tampaknya terbuka peluang lebar untuk melakukan kajian komprehensif mengenai Rekonsiliasi Umat Islam () pada era al-asan ibn Al dalam perspektif historis. Meskipun masa al-asan hanya berlangsung singkat, lebih kurang enam bulan, tetapi ia memiliki makna penting di dalam melihat perjalanan sejarah politik kekuasaan umat Islam, terutama masa-masa transisi dari sistem pemerintahan al-Khilafah al-Rasyidah ke sistem pemerintahan al-mulk (kerajaan) pada masa Muwiyah dan sesudahnya.

Dalam kata lain, bahwa kajian disertasi ini berusaha memberikan sumbangan pemikiran kesejarahan mengenai moment yang begitu penting dalam sejarah sosial politik Islam yang selama ini kurang mendapat perhatian dan porsi yang propor¬sional dan sewajarnya atau bahkan terabaikan, yaitu peristiwa . Sangat diharapkan, kajian disertasi ini juga diupayakan agar mampu merajut kembali benang merah sejarah sosial politik umat Islam yang terputus. Sebab selama ini, hemat penulis, kebanyakan buku-buku atau bahan rujukan yang ada tidak menja¬dikan peristiwa  sebagai fokus kajian sejarah sosial politik umat Islam, padahal ia merupakan masa transisi yang mengandung banyak makna dan kejadian penting yang mampu menghantarkan Muwiyah ibn Ab Sufyn menjadi khalifah. Selain itu, peristiwa ini juga menciptakan suasana baru di kalangan umat Islam, yaitu sebuah keseimbangan (equilibrium) sosial politik di kalangan masyarakat Islam.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa usai peristiwa tersebut, terdapat gejolak sosial politik baru, terutama ketika Muwiyah ibn Ab Sufyn mengangkat anaknya, Yazd ibn Muwiyah sebagai putera mahkota. Hanya saja, peristiwa tersebut tidak menjadi fokus kajian disertasi ini. Kalaupun ada, hal itu hanya merupakan penjelas saja sebagai dampak dari kebijakan kepemimpinan Muwiyah ibn Ab Sufyn.

E.Sistematika Penulisan

Kajian tentang m al-jamah dan upaya-upaya rekonsiliasi umat Islam pasca Al ibn Ab °lib akan dibagi menjadi tujuh bab. Pada bab pertama akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan dan sumber penelitian, metodologi penelitian. Pada bab kedua akan dibahas mengenai latar belakang sosial-politik umat Islam pasca Uthmn ibn Affn dengan sebab-sebab timbulnya pemberontakan anti Uthmn, kelompok penentang kebijakan Uthmn, terbunuhnya Uthmn ibn Affn, jabatan kekhalifahan yang diperebutkan, tahkim dan kemenangan politik Muwiyah.

Kemudian bab ketiga akan membahas mengenai Muwiyah dan al-asan dalam upaya masing-masing untuk memperkuat posisi. Bab ini akan dibagi menjadi beberapa sub bab, diawali dengan tragedi terbunuhnya Al dan menguatnya posisi Muwiyah, penobatan al-asan dan respons Muwiyah, pro-kontra penobatan al-asan. Selanjutnya, bab keempat akan membahas mengenai fakta perdamaian antara al-asan dengan Muwiyah, dengan sub judul; Muwiyah dan al-asan: usaha merebut pengaruh massa muslim, mereka yang berada di belakang al-asan dan Muwiyah. Selanjutnya dibahas mengenai ‘Am jama’ah sebuah ekuilibrium dan reaksi umat Islam atas peristiwa .

Pada bab lima akan dibahas mengenai langkah-langkah strategis yang dilakukan kedua belah pihak, baik al-asan maupun Muwiyah pasca m al-jamah. Bab keenam akan dibahas mengenai implikasi politik dan teologis dari peristiwa m al-jamah. Pada bagian ini akan dikaji apakah peristiwa m al-jamah memiliki implikasi politik yang semakin memperkeruh suasana perpolitikan Bani Umayah atau malah sebaliknya, selain akan melihat apakah peristiwa m al-jamah ini memiliki benang merah dengan mata rantai aliran teologis Islam, al al-sunnah wa al-jamah atau tidak. Kemudian pada bab ketujuh, merupakan kesimpulan dari keseluruhan isi disertasi ini.

Endnotes
4 Lihat Fuad Jabali, “A Study of Companion of the Prophet: Geographical Distribution and Political Aligments”, Disertasi (Montreal: McGill University, 1999), hal. 159-165.
5 Lapidus, A History, hlm. 56.
6 Lihat Fuad Jabali, “A Study of Companion of the Prophet, hal. 3-4.
7 Orang yang pertama kali menggunakan istilah ini menurut Ab Umar Ibn Ysuf Ibn Abd Allh ibn Muhamad Ibn Abd al-Barr, adalah Muwiyah sendiri. Ibn Abd al-Barr dalam al-Ishabah menjelaskan masalah ini dalam konteks pembahasan mengenai biografi Muwiyah ibn Ab Sufyn. Ia menjelaskan bahwa pada tahun 41 H/661 M, Muwiyah terlibat suatu perseteruan dengan al-Hasan yang sudah terpilih sebagai seorang khalifah baru.Tetapi proses dan hasil pengangkatan itu tidak mendapat pengakuan Muwiyah, sehingga ia berusaha untuk melakukan berbagai cara agar kekuasaan itu jatuh ke tangannnya. Akhirnya, usaha itu memperoleh hasil dengan diadakannya suatu perjanjian antara Muwiyah dengan al-asan. Peristiwa itu dalam sejarah dikenal dengan sebutan Am al-Jamah. Karena pada tahun itu, dua kubu yang bertikai berhasil melakukan perdamaian dan umat Islam bersatu kembali di bawah satu khalifah. Lihat, Ab Umar Ibn Yusuf Ibn Abd Allh ibn Muam¬mad Ibn Abd al-Barr, (selanjutnya disebut al-Barr), Al-Istib f Marifah al-Asb, J.3, ((Editor) Al Muammad al-Bijw, (Beirut: Dar el-Jail,1992), hlm, 1416. Peristiwa ini dapat juga disebut dengan suatu peristiwa rekonsiliasi antara kedua orang atau kubu yang bertikai yang diselesaikan lewat kompromi dan jalan damai.
8 Maskin merupakan sebuah tempat indah yang terletak di dekat sungai Tigris. Di sinilah al-Hasan ibn Al memberikan sinyal kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn untuk untuk menyelesaikan konflik intern umat melalui jalan damai. Lihat.Muhamad Ibn Saad al-Zuhr (selanjutnya disebut Ibn Saad), °abaqat al-Kubr; al-°abaqat al-Khamsah min al-¢ahbah, J.1.Editor. Muammad Samil al-Sulm, (Mesir: Maktabah al-Sadieq), hlm. 321. Lihat pula Jall al-Dn al-Suy¯ (selanjutnya disebut al-Suy¯), Tarkh al-Khulaf (Beirut: Dr el-Fikr,1974), hlm. 178-179. Lihat pula, al-Barr, al-Istiab J.1. hlm.385.
9 Abu Jafar Muhamad ibn Jarir al-°abr (selanjutnya disebut al-°abr ), Tarkh al-Umam wa al-Mulk, J. 3, ( Beirut: Muassasah al-alami li al-Matbuat, 1879), hlm. 121-123
10 Al-°abr, Tarkh, J. 4. hlm, 121-123
11 Dalam konteks penelusuran data-data mengenai tokoh-tokoh tersebut penulis hanya merujuk ke sumber utama, yaitu Tarkh al-°abr, karya al-°abr. Penggunaan sumber ini, karena karya ini dianggap karya sejarah yang cukup valid dan dekat dengan sumber data yang ditulis. Meskipun sumber lain kemungkinan masih dapat ditemukan data-data lain, seperti al-°abaqat Ibn Saad, khususnya al-°abaqat al-Khamsah.
12 Al-°abr, Tarkh . J. 4. hlm. 558-559.
13 Al-Suy¯, Tarkh al-Khulaf, hlm.178-181.
14 Ibn Saad, °abaqat al-Khamsah, J. 1. hlm, 319-320.
15 Lihat Abu Muammad Abd Allh ibn Muslim ibn Qutaybah al-Dinwar (selanjutnya disebut al-Dinwar) al-Immah wa al-Siysah, J.1. (Kairo: Muasassah al-Halabi wa Syirkah li al-Nasyr wa al-tawzi, 1962 ) hlm, 74.
16 Al-°abr, Tarkh, J.4, hlm, 123.
17 Ibn Saad, Tabqat al-Khamsah, J.1. 320.
18 Al-Baldzur, Ansb al-Asyrf, J.2. (Beirut: al-Matbaah al-Katolikiyah, 1979 M/1400 M), hlm, 51.
19 Manbaj adalah kota tua di pinggir Damaskus selatan, perbatasan Irak. Lihat, al-Baldzur, Mujam al-Buldan, J.5. hlm, 205.
20 Ibn Saad, °abaqat, J. 1. hlm, 320
47 Marshall G.S.Hodgson,The Venture of Islam,J.1. (Chicago:Chicago University press, 1974), hlm. 216.
48 Meskipun secara teoritis atau menurut defenisi, karya-karya tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai sumber primer, karya-karya ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan utama karena karya-karya ini merupakan sumber yang dapat ditemukan dan paling dekat dengan peristiwa yang menjadi obyek kajian ini. Sementara sumber-sumber yang ada sudah terekam di dalam karya-karya tersebut. Dengan demikian, karya ini bisa dimasukkan sebagai bahan rujukan utama dalam proses penulisan disertasi ini.
49 Buku ini sebenarnya sama, hanya saja terbit pada tempat dan waktu berbeda. Untuk al-°abaqat al-Khamisah, khusus menjelaskan mengenai al-asan dan al-usein, yang tidak atau kurang tergambar dengan jelas pada karya sebelumnya.
50 Yang dimaksud metode sejarah di sini adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses itu disebut historiografi (penulisan sejarah). Dengan menggunakan metode sejarah dan historiografi yang sering dipersatukan dengan nama metode sejarah. Sejarawan berusaha merekonstruksi sebanyak-banyaknya dari masa lampau manusia. Lihat Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah, diterjemahkan Nugroho Notosusanto (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1975), hlm, 32




BAB II
LATAR BELAKANG SOSIAL POLITIK UMAT ISLAM
PASCA UTHMN IBN AFFN


Dalam bab ini, penulis tidak bermaksud memberikan uraian secara mendetail mengenai perjalanan panjang sejarah hidup khalifah Uthmn ibn Affn, mulai awal keterlibatannya dalam sejarah politik kekuasaan pada jaman Nabi hingga ia masa khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b. Juga tidak berpretensi memberikan analisis mendalam mengenai proses pemilihan dan pengangkatannya menjadi khalifah. Karena pada bagian ini, penulis hanya akan memfokuskan penelitian pada situasi sosial politik, terutama pada masa-masa akhir kepemimpinannya, yang dalam pandangan banyak sejarawan menjadi masa yang amat kritis, karena masa itu merupakan masa-masa yang banyak menimbulkan fitnah atau pemberontakan di kalangan umat Islam. Situasi ini, hemat penulis, menjadi pemicu banyaknya timbul fitnah di kemudian hari, misalnya fitnah yang terjadi pada masa khalifah Al dengan Muwiyah, antara Muwiyah dengan l-asan, antara kelompok Khawrij dengan kelompok lainnya, dan seterusnya.

Meskipun begitu, untuk melihat situasi tersebut, tampkanyak tidak mungkin meng¬abaikan secara keseluruhan masa-masa awal kepemimpinannya, sebab dari situ akan dapat dilihat perbedaan mendasar mengenai kebijakan-kebijakan khalifah Uthmn ibn Affn antara masa awal dengan masa-masa akhir kepemimpinanya. Kesemua itu hanya akan dijadikan sebagai latar belakang timbulnya persoalan yang terjadi di kemudian hari.

A. Sebab-sebab Timbulnya Pemberontakan Anti Uthmn
Setelah Umar ibn al-Kha¯¯b meninggal, kepemimpinan umat Islam berpindah tangan ke Uthmn ibn Affn. Ia berkuasa selama lebih kurang 12 tahun, yaitu mulai dari tahun 24-36 H/ 644-656 M. Pada paruh pertama pemerin¬tahannya, kebijakan yang dijalankan merupakan kelanjutan dari kebijakan politik khlaifah Umar ibn al-Kha¯¯b (13-24 H/634-644 M). Namun pada paruh selanjutnya, pengaruh keluarga mulai mendominasi keputusan-keputusan yang diamblinya. Ketetapan yang diberlakukan sering bertentangan dengan hal-hal yang seharusnya dilaksanakan dalam mengendalikan pemerintahan. Di antaranya adalah pemberhen¬tian hampir semua gubernur yang diangkat khalifah Umar, yang kemudian digantikan oleh para pejabat baru yang masih terhitung kerabatnya. Akibat dari tindakan ini adalah munculnya kekecewaan, ketidak¬puasan, dan kegelisahan di kalangan sebagian besar masyarakat. Keadaan ini semakin memuncak, setelah para gubernur baru berlaku sewenang-wenang, seperti Ibn Sarah di Mesir. Kekisruhan politik ini mulai dimanfaatkan oleh orang-orang atau kelompok tertentu yang tidak menyukai kepemimpinan Uthmn ibn Affn. Di antara mereka yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Abd Allh ibn Saba (Sabaiyah). Ia mulai melakukan propaganda ke tengah-tengah masyarakat dengan teori wisayah, yaitu bahwa sebenarnya Nabi Muammad meninggalkan wasiat yang menetapkan Al ibn Ab °alb sebagai penggantinya. Dengan ajaran ini, berarti yang berhak memegang jabatan khilafah adalah Al ibn Ab °alb, dan. Uthmn ibn Affn yang masa itu tengah memegang jabatan, dinilainya sebagai perampas hak Al. Provokasi ini berhasil memperngaruhi massa yang kala itu tidak merasa puas dengan berbagai kebijakan khalifah Uthmn. Mereka mulai melakukan gerakan perlawanan guna menentang kepemimpinan khalifah Uthmn. Pemberontakan ini berujung pada peristiwa pembunuhan khalifah Uthmn ibn Affn.

Menurut Muammad Amhazun, dalam bukunya Tahqq Mawqif al-Sahbah f al-Fitnah, menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya pemberontakan anti Uthmn ibn Affn, di antaranya pertama, adalah perbedaan karakter kepemimpinan, kedua, perbedaan visi politik, ketiga, adanya perubahan sosial dan kemakmuran, dan keempat, pengaruh gerakan Sabaiyah.1

Seperti didinggung pada bagian terdahulu bahwa bahwa sepeninggal khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b (13-24 H/634-644 M), kekuasaan pemerintahaan dipegang oleh khalifah Uthmn ibn Affn (24-36 H/644-656 M). Perbedaan karakter keduanya membawa perubahan sikap mereka terhadap rakyat. Khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b terkenal sebagai seorang yang berpendirian keras, tegas dalam bertindak, baik untuk dirinya maupun untuk bawahannya. Sementara khalifah Uthmn ibn Affn dikenal sebagai seorang lemah lembut dan lebih halus dalam bersikap, sampai-sampai Uthmn sendiri berdoa,”mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepadanya dan orang yang berlaku seperti Umar”.2 Karena itu, seperti diketahui bahwa pada periode pertama masa pemerintahannya, ia disukai rakyat karena kelembutan dan sikapnya yang lunak kepada rakyat, setelah sebelumnya Umar bersikap keras dan tega kepada mereka. Karena sikapnya ini, ada yang menggambarkan kecintaan rakyat kepada Uthmn bagaikan cintanya kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari catatan Ibn Qutaybah dalam karyanya al-Marif. Dalam konteks ini, Ibn Qutaybah mengatakan bahwa aku mencintaimu dan Tuhan, cinta kaum Qurays dan Uthmn.3 Tidak diketahui secara pasti siapa yang membuat ungakapan tersebut. Hal psti yang dapat dikatakan di sini adalah mereka kemungkinan besar adalah para pendukung setia Uthmn. Namun, sikap lembut yang diperlihatkan khalifah Uthmn ibn Affn ini membuat adanya perbedaan mencolok antara dirinya dengan Umar ibn al-Kha¯¯b, terutama dalam menangani masalah-masalah sosial dan politik. Sikap tersebut bukan tidak disadari Uthmn, ia sebenarnya menyadari semua itu, karena ia berkeinginan semua persoalan akan dapat diatasi dengan kelembutan. Hanya saja kemudian sikap lemah lembutnya ini menjadi bumerang bagi perjalanan karier politik pemerintahannya, terutama ketika kebijakannya dipengaruhi kerabat dekatnya. Kenyataan lain, seperti diungkap al-°abr, bahwa meskipun ia lemah lembut, bukan berarti ia tidak menyadari sikapnya ini. Uthmn sendiri telah menyadarinya ketika ia berkata kepada kelompok penentang pada saat ia menjebloskan mereka ke dalam tahanan. Ia berkata kepada mereka tahukah kalian mengapa kalian menentangku, yang mendorong kalian menentangku adalah karena sikapku ini.4

Ketika muncul keinginan para sahabat dan kerabatnya agar Uthmn membunuh para pembangkang, ia menolak permintaan tersebut. Karena menurut¬nya, mereka belum termasuk ke dalam kategori kafir dan Uthmn memaafkan mereka. Khalifah Uthmn, menurut al-°abr, membiarkan dan memaafkan para pembangkang dengan maksud memberikan pelajaran kepada mereka. Kami akan memberikan pelajaran kepada mereka, dan kami tidak akan menghukum seseorang kecuali jika ia melakukan pelaggaran atau jelas-jelas menjadi kafir.5 Kemungkinan hal serupa tidak akan terjadi pada masa khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b, sebab ia akan selalu berlaku tegas bagi mereka yang melanggar dan memberontak.

Dengan mengetahui kenyataan di atas, dapat dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya pemberontan anti Uthmn pada masa pemerin¬tahannya adalah karena sikapnya yang lemah lembut dan karakternya yang berbeda dengan khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b. Karena sikapnya ini, banyak dimanfaatkan oleh mereka yang tidak suka terhadap berbagai kebijakan khalifah Uthmn ibn Affn, yang berakhir pada kamatian.

Selain perbedaan karakter kepemimpinan yang dimiliki kedua khalifah itu, juga terdapat perbedaan visi politik mengenai penyebaran sahabat. Pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b, terdapat larangan bagi para pemuka Qurays dari golongan Muhajirin untuk pergi ke luar wilayah, kecuali dengan ijin dan untuk waktu tertentu.6 kebijakan itu dikeluarkan khalifah, antara lain, karena ia khawatir terjadinya malapetaka yang menimpa mereka, selain akan sulit melakukan komunikasi dengan mereka. Sementara khalifah Uthmn memberikan kebebasan kepada mereka untuk pergi meninggalkan Madinah. Dalam konteks ini, al-Syabi, seperti dikutip al-°abr mengatakan ketika Uthmn berkuasa, ia memberi kelonggaran kepada mereka, merekapun pergi ke berbagai negeri, sehingga mereka menjauh dari masyarakat. Sikap Uthmn ini lebih mereka sukai daripada sikap dan kebijakan Umar ibn al-Kha¯¯b.7

Pertanyaan yang patut dikemukakan di sini adalah, apa dasar pertimbangan kedua pemimpin umat Islam tersebut dalam mengeluarkan kebijakan itu. Salah satu dasar pertimbangan adalah dampak perluasan wilayah menjadi salah satu faktornya. Banyak tokoh Qurays memperoleh harta kekayaan dari wilayah taklukkan, kemudian mereka menetap di situ dan menjauh dari masyarakat. Mereka tinggal di situ dalam waktu yang relatif cukup lama, bahkan menurut al-°abr, ada yang sampai tujuh tahun lamanya, karena banyak penduduk yang senang berada di bawah kepemimpinan orang Qurays.8
Dalam satu riwayat, seperti disebutkan al-°abr ketika Uthmn berkuasa, ia tidak mengambil kebijakan untuk melarang para sahabat pergi meninggalkan kota Madinah. Ketika mereka mulai tertarik dengan dunia, banyak orang tidak menyukai tindakan mereka. Saat itulah Uthmn merasa sedih, sebab banyak penduduk yang mulai tidak suka dengan mereka. Di sinilah awal munculnya persoalan yang meninpa khalifah Uthmn.9

Perbedaan visi politik khalifah Uthmn dengan khalifah Umar dalam kebijakan pemberian ijin para sahabat pergi meninggalkan Madinah, berdampak pada melemahnya dukungan politik pada khalifah, sehingga ketika terjadi pemberontakan yang menentang berbagai kebijakan politiknya, khalifah seolah berada sendirian dan tidak banyak mendapat dukungan dari para sahabat, karena mereka berada jauh di luar kota Madinah. Faktor ini juga merupakan salah satu penyebab munculnya pemberontakan anti Uthmn.
Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah adanya perubahan sosial yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Uthmn ibn Affn. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa khalifah Uthmn ibn Affn terdapat perkembangan-perkembangan penting dalam kehidupan negara Islam. Khalifah Uthmn memerintah negara Islam setelah berkembang dari negara dengan wilayah terbatas (the city state ) di Madinah, kemudian meluas ke jazirah Arabia, menjadi negara besar yang bersifat internasional yang wilayah kekuasaannya menjangkau Iraq, Syam, Mesir, Afrika, Armenia, Persia dan sebagian pulau-pilau di Laut Tengah (Mediterania Sea),10 satu wilayah kekuasaan yang sangat luas melebihi luasanya wilayah masa kekuasaan sebelumnya.

Perluasan wilayah tersebut sangat berpengaruh pada keadaan negara, karena semakin kompleksnya masyarakat. Selain itu, perluasan itu menandai adanya satu generasi muslim baru (muallaf) yang hidup pada masa pemerintahan khalifah Uthmn ibn Affn. Mereka berasal dari berbagai suku dan latar belakang tradisi dan agama yang berbeda. Masyarakat muslim membaur dengan masya¬rakat setempat, baik lewat perkawinan maupun lewat pergaulan hidup sehari-hari, dan sebaliknya. Dari pergaulan ini terjadi interaksi sosial yang melahirkan generasi baru muslim yang berbeda dengan generasi awal Islam. Contohnya adalah pembauran antara suku-suku Arab yang berasal dari Utara dengan yang berasal dari Selatan, seperti suku Rabiah dengan suku Mudhar dengan suku-suku dari Hejaz dan Najd.11 Mereka amat berbeda dengan generasi muslim pertama. Generasi muslim pertama memiliki kelebihan dengan kekuatan iman dan pemahaman yang benar terhadap inti ajaran Islam, serta kepatuhan mereka terhadap peraturan Islam secara menyeluruh. Karena mereka memper¬oleh pengetahuan dan ajaran agama langsung dari Rasul Allah Saw. Sementara pada generasi baru, tampaknya, kenyataan itu tidak seperti pada generasi awal. Akibatnya, ketika wilayah kekuasaan Islam semakin besar, banyak di antara mereka yang memiliki ambisi pribadi, fanatisme kesukuan dan golongan untuk menjadi penguasa. Oleh karena itu, ketika mereka berkuasa prilaku mereka ada yang menyalahi norma-norma ajaran Islam.

Akibatnya, rakyat tidak menyukai mereka dan bahkan berusaha melakukan gerakan perlawanan, seperti yang akan dijelaskan pada bagian lain. Kenyataan ini bukan tidak diketahui khalifah Uthmn. Dalam pengamatan Amhazun, mengutip pendapat Ibn Asakir dalam kitab Tarkh Dimasq, mengatakan bahwa untuk mengatasi persoalan itu khalifah Uthmn mengirim surat kepada para gubernurnya untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan adanya gerakan perlawanan dari masyarakat. Dalam suratnya itu khalifah Uthmn menyatakan bahwa rakyat telah menyebarkan hujatan yang mengarah pada kerusuhan. Persoalan itu timbul menurut khalifah karena tiga hal; yaitu mengejar keduniaan (kesenangan duniawi), ambisi kekuasaan dan kedengkian.12 Dalam riwayat al-Madaini, sebagaimana penuturan Uthmn yang dikutip Amhazun,13 bahwa Uthmn mengeluh atas terjadinya perubahan kondisi sosial umat Islam saat itu. Karena perubahan itu berdampak pada kurang patuhnya masyarakat generasi baru terhadap pemerintahan Islam yang berada di bawah kekuasaanya.

Persoalan perubahan masyarakat Islam, juga terungkap dalam surat yang dikirim gubernur Kufah, Said ibn al-As. Ia menjelaskan kondisi masyarakat Kufah yang tengah resah, karena banyak orang salih (baik) terkalahkan. Mereka yang berkuasa adalah orang-orang yang tidak baik. Ini menandakan bahwa persoalan sosial muncul karena adanya sekelompok orang dengan menggunakan kekuatan kelompoknya untuk menguasai kelompok tertentu, sehingga masyarakat menjadi resah. Keadaan ini tentu saja sangat berpengaruh pada keadaan dan stabilitas sosial politik Islam pada masa pemerintahan khalifah Uthmn ibn Affn.

Sebenarnya proses asimiliasi dan hasilnya sangat bernilai positif bagi perkembangan Islam, karena dengan begitu Islam semakin banyak dianut dan penyeberannya tidak lagi hanya menggunakan kekuatan, bisa dilakukan melalui pendekatan sosial dan kebudayaan. Hanya saja pada waktu itu, mereka yang menjadi generasi baru, dalam analisis Amhazun, belum memiliki pendidikan yang cukup, juga belum mampu menghayati jiwa semangat Islam seperti yang ada pada generasi awal Islam, baik Muhajirin mapun Ansar. Selain itu, masih menurut Amhazun, ketika terjadi pemberontakan (fitnah) kelompok generasi pertama Islam, tidak mampu mengatasi berbagai gejolak sosial politik yang tengah melanda umat Islam ketika itu, karena generasi baru tersebut lebih banyak dari generasi awal Islam. Akibatnya, gelombang fitnah yang terjadi ketika itu tidak dapat dibendung, apalagi mereka yang melakukan gerakan perlawanan anti Uthmn berdatangan dari berbagai belahan wilayah Islam yang lain yang berasal dari berbagai suku dan kabilah.14 Kenyataan ini, menurut Ahmazun lebih jauh, diperkeruh dengan banyaknya daerah yang baru ditaklukkan, di mana para mawla (mantan budak) belum terbebas dari tradisi jahiliyah mereka. Di antara penyebabnya adalah tidak adanya keseimbangan antara gerakan perluasan horizontal pada penaklukan-penaklukan dengan perluasan vertikal, berupa peningkatan pendidikan dan pemahaman al-Quran dan al-Sunnah kepada masyarakat. Gerakan jihad seharusnya didampingi oleh para juru dawah dan diikuti oleh para pengajar untuk mengajarkan agama kepada masyarakat. Karena jika tidak, akan berakibat pada labilnya barisan Islam danmemperbesar jurang pemisah anatara para pejuang (tentara) penakluk dengan penduduk daerah-daerah yang ditaklukkan. Hal ini memunculkan fenomena negatif yang pada gilirannya sangat berpengaruh pada solidaritas barisan serta kesatuan politik dan pemerintahan Islam.15

Akan tetapi, hemat penulis, fenomena negatif tersebut—untuk saat itu— sulit dihilangkan dengan cepat, meskipun dibarengi dengan usaha gigih dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Hal itu disebabkan karena ekspansi wilayah berlangsung secara cepat dan meluas, sementara kemampuan sumber daya manusianya dalam bidang pendidikan dan pengajaran tidak memadai dengan besarnya jumlah penduduk di daerah-daerah tersebut. Begitu juga waktu yang relatif singkat tidak cukup untuk menanamkan pendidikan dan pengajaran Islam ke dalam diri mereka, sehingga—di samping faktor-faktor lain—ikut menjadi penyebab munculnya persoalan-persoalan sosial politik dan sosial keagamaan, yang pada gilirannya akan menciptakan instabilitas politik pemerintahan khalifah Uthmn ibn Affn.

Faktor penting lainnya yang juga sangat berperan dalam kemunculan gerakan perlawanan anti Uthmn adalah merebaknya pengaruh kelompok Sabaiyah, yang dimotori oleh Abd ibn Saba. Seperti diketahui bahwa di dalam buku-buku lama sejarah Islam, terdapat cerita yang bermacam-macam mengenai kegiatan rahasia yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat Mawali. Mereka seolah menjadi muslim yang sangat salih bila dilihat dari luar, tetapi sebenarnya ia menyembunyikan sesuatu untuk memecah belah umat Islam dari dalam. Caranya adalah dengan menyebar ajaran yang menyesatkan, seperti yang dilakukan oleh orang Abd Allh ibn Saba, yang dijuluki Ibn al-Sawda (si anak hitam). Ia adalah seorang Yahudi berasal dari Sana (Yaman). Para sejarawan klasik seperti al-°abr menyebutnya sebagai otak berbagai kerusuhan dan penye¬bab fitnah.16

Sebenarnya ketokohan Abd Allh Ibn Saba tidak perlu dibesar-besarkan, tetapi juga tidak boleh dianggap sepele. Kalau dibesar-besarkan, dikhawatirkan akan terjadi penilaian yang berlebihan, seolah ia merupakan faktor penentu dalam kerusuhan (fitnah), pada masa khalifah Uthmn ibn Affn,; dan bila dianggap sepele, ternyata banyak cerita mengenai peran yang telah dimainkannya pada masa itu. Karena ia hanya merupakan orang yang secara kebetulan melakukan kegiatan provokasi dalam waktu yang tepat, terutama pada masa-masa akhir pemerintahan khalifah Uthmn ibn Affn.

Hal yang pernah dilakukan Ibn Saba adalah menyebarkan paham dan keyakinan yang diakuinya bersumber dari kepercayaan lamanya, yaitu agama Yahudi. Akan tetapi ia tidak berani menyandarkannya kepada Rasul, dan juga tidak mengatakan dari beliau. Ia membawa paham wasaya,17 dengan maksud menyusup ke dalam tubuh masyarakat muslim, agar ia dapat meruntuhkan kesatuan dan persatuan umat Islam, memprovokasi massa dan menamankan benih-benih kebencian di antara umat Islam. Hal itu yang merupakan salah satu faktor penyebab terbunuhnya khalifah Uthmn ibn Affn, dan umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok.18 Ibn Saba tidak berani menyandarkan ajarannya itu kepada Rasul Allah, karena semua gerak-gerik dan aktivitasnya dipantau oleh para sahabat, dan menolak kebohongan yang dipropagandakannya kepada umat.

Konsep wasi yang disebarkan Ibn Saba berpengaruh pada sebagian masyarakat yang tengah kehilangan kendali ketika itu. Masyarakat yang tidak suka pada pemerintahan Uthmn mulai melakukan gerakan perlawanan menentang kekuasaan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Saat itu merupakan moment yang tepat bagi Ibn Saba untuk menjalankan aksinya memprovokasi massa guna menggulingkan pemerintahan yang dipimpim khalifah Uthmn ibn Affn. Dalam aksinya, seperti dikutip al-°abr, ia berorasi di hadapan para pemberontak, menghasut mereka untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan khalifah Uthmn ibn Affn.19

Kelompok ini menjadikan Mesir sebagai basis kekuatan mereka. Di sini ia membentuk barisan penentang Uthmn dan mengarahkan massa menuju Madinah. Banyak isu yang dilontarkan ketika itu, seperti ketidaksukaan mereka atas gubernur Mesir, Ibn Sarah, yang diangkat Uthmn yang ternyata masih ada hubungan saudara dengan khalifah. Usaha memprovokasi massa dilakukan, sehingga massa yang terpengaruh mulai mempersiapkan diri menuju Madinah. Hanya saja, ketika mereka tiba di Madinah, sahabat mempertanyakan kedatangan mereka, sebab dikhawatirkan kedatangan mereka karena termakan isu yang disebarkan Ibn Saba. Dalam kesempatan itu, Malik al-Asytar al-Nakhai meragukan kedatangan mereka, sebab “jangan-jangan Ibn Saba telah menipu Uthmn dan kalian.”20 Kedatangan kelompok ini ke Madinah untuk meng¬klarifikasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Mesir, dan meminta Uthmn untuk menjelaskannya. Kalau khalifah berkilah dan tidak mampu memberikan penjelasan, mereka akan terus melakukan perlawanan hingga pemerintahan Uthmn tumbang. Setelah berdemonstrasi, mereka kembali ke daerah masing-masing dan berjanji akan datang kembali pada bulan Syawwal tahun 35 H (655 M) tahun itu juga.21

Pada waktu yang disepakati, akhirnya mereka datang kembali ke Madinah sebagai jamaah haji. Seperti diceritakan Saif, yang dikutip al-°abr, Saif menjelaskan bahwa pada tahun 35 H penduduk Mesir datang ke Madinah dalam empat kelompok, masing-masing dipimpin oleh seorang pemimpin, sedikitnya jumlah mereka sekitar 600 orang. Selain itu, penduduk Kufah dan Basrah juga datang ke Madinah.22 Kedatangan mereka selain untuk berhaji, juga untuk menemui para sahabat, seperti Al, °alah, dan Zubeir di Madinah meminta penjelasan mengenai kebijakan-kebijakan khalifah Uthmn ibn Affn. Mereka mendapat jawaban yang tidak memuaskan, lalu mereka kembali ke tempat masing-masing dan merencanakan tindakan berikutnya. Namun, sebelum mereka tiba di Mesir, para pemberontak yang berasal dari Mesir dikejutkan oleh penemuan surat yang berisi perintah untuk membunuh para pemberontak yang kembali dari Madinah. Membaca surat tersebut, mereka tidak jadi kembali ke Mesir, justeru berbalik arah dan kembali menuju Madinah untuk meminta penjelasan lebih jauh kepada Al dan Uthmn. Ketika Al ditanya, ia menjawab tidak tahu, mereka menuju rumah Uthmn dan menanyakan hal yang sama, dan mereka mendapatkan jawaban yang sama. Akhirnya mereka berkesimpulan bahwa ada rencana busuk dari penguasa untuk membunuh mereka. Karena itu, sebelum mereka dibunuh, para pemberontak mengepung dan kemudian membunuh khalifah Uthmn ibn Affn pada tahun 36 H.23

Dengan penjelasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa kelompok Abd Allh ibn Saba dengan berbagai move politiknya, menemukan momen yang tepat untuk melakukan gerakan perlawanan anti Uthmn. Kelompok ini bukan faktor utama munculnya gerakan anti Uthmn, sebab banyak faktor lain yang mungkin lebih dominan, di antaranya ketidakpuasan Bani Hasyim atas kekhalifahan Uthmn ibn Affn, seperti akan dijelaskan pada bagian berikut.

Selain ketiga faktor penyebab kemunculan gerakan anti Uthmn ibn Affan yang telah disinggung pada bagian di atas, masih terdapat banyak faktor penye¬bab lainnya, salah satunya, seperti ditulis Haekal dalam karyanya Uthmn ibn Affn. Dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa di antara faktor penyebab terjadi¬nya perseteruan di antara umat Islam pada masa khalifah Uthmn adalah, pertama, adanya persaingan keras antara Bani Hasyim dengan Bani Umayah, yang me¬mang sudah ada sejak sebelum Islam. Kedua, ketidakpuasan orang-orang Arab atas dominasi Qurays, dan ketiga, timbulnya perasaan dominasi Arab atas non-Arab.24

Dalam sejarah klasik masyarakat Arab diketahui bahwa jauh sebelum masyarakat Arab memeluk Islam, terdapat persaingan antar suku, di antaranya adalah persaingan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayah. Setelah mereka menjadi Muslim, persaingan itu sempat terkubur. Tetapi setelah Rasul wafat, mulai terlintas dalam pikiran Bani Hasyim mengenai kepemimpinan, bahwa merekalah yang harus menjadi pengganti Muammad. Hanya saja, tampaknya pikiran semacam ini ketika itu tampaknya masih setengah hati atau malu-malu, karena kedua khalifah yaitu Abu Bakar dan Umar mampu menjalankan pemerintahan dengan baik, sehingga keinginan untuk memperoleh kekuasaan untuk sementara dapat ditahan.25

Keadaan demikian menjadi berubah ketika khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b terbunuh (13-24 H/634-644 M). Pada masa itu, timbul keinginan untuk mengangkat salah seorang sahabat, tetapi tampaknya khalifah Umar tidak melihat ada kelebihan masing-masing, bahkan mereka memiliki ambisi yang besar untuk menjadi khalifah. Oleh karena itu, untuk memilih calon pemimpin yang akan menggan¬tikannya kelak, ia memutuskan untuk membentuk semacam dewan yang akan memilih calon yang tepat yang akan menggantikan kedudukannya. Akhirnya, Uthmn terpilih menjadi khalifah pada tahun 24 H/644 M. Terpilihnya Uthmn sekali lagi menimbulkan ketidaksenangan di kalangan Bani Hashim. Meskipun begitu, kelompok Bani Hashim mengakui kekhalifahan Uthmn ibn Affn.26 Persaingan ini menurut K Ali, turut mem¬perlemah kekuatan Uthmn dan menjadai sebab utama kegagalannya dalam masa akhir pemerintahannya.27

Ketidak senangan Bani Hasyim menyerahkan kekuasaan kepada pihak Bani Umayah mempunyai dampak yang dalam sekali terhadap pemerintahan khalifah Uthmn. Begitu juga ketidaksenangan kabilah-kabilah Arab di luar Qurays terhadap Qurays berdampak kurang baik bagi pemerintahan Uthmn ibn Affn. Kaum Muhajirin dan Ansar serta veteran perang yang telah mening¬galkan Makah dan Madinah dan sudah menetap di Sham, atau mereka yang telah meninggalkan Yaman dan Najd atau kabilah-kabilah Arab yang lain di selatan dan timur semenajung Arabia pergi ke Irak dan menetap di sana, mereka mempertanyakan posisi dan kelebihan-kelebihan Qurays. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan semakin menggelisahkan, karena mereka tidak puas atas kenyataan sosial yang ada. Kenyataan yang tidak dapat mereka bantah adalah bahwa mereka lebih awal masuk Islam, namun apakah kemudian hal itu dapat dijadikan alasan untuk membenarkan kekhalifahan monopoli Qurays?28 Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penyebab salah satu faktor munculnya ketidakpuasan di kalangan masyarakat muslim.
Mereka berang¬gapan monoploi kekuasaan pada satu kabilah, merupakan satu bentuk domi¬nasi Qurays atas suku-suku lainnya.

Di samping adanya ketidakpuasan orang-orang Arab atas dominasi Qurays, masih ada faktor ketiga yang juga sangat berpengaruh dalam politik pemerintahan khalifah Uthmn, yaitu perasaan adanya superioritas dan dominasi Arab terhadap non Arab. Kelompok masyarakat non Arab, seperti Persia, Yahudi dan penganut agaman Nasrani, merasakan adanya dominasi itu. Dalam pandangan masyarakat non Arab, menurut Haekal, sebelum Islam, masyarakat ini tidak memiliki kekuasaan apa-apa, tetapi setelah Islam berkem¬bang dan menguasa beberapa wilayah di luar Hejaz, mereka mulai menjadi penguasa lokal yang semua didominasi Arab. Hal ini menimbulkan kecem¬buruan masyarakat non Arab, yang pada akhirnya mereka melakukan gerakan perlawanan atas pemerintahan khalifah Uthmn ibn Affn.29 Faktor-fektor tersebut merupakan penyebab melemahnya kekuasaan pemerintahan khalifah Uthmn yang membawa pada kehancuran ditandai dengan meinggalnya khalifah Uthmn pada tanggal 12 Dzul Hijjah 35 H. 30

B.Kelompok Penentang Kebijakan Khalifah Uthmn ibn Affn.
Sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu bahwa banyak faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan perlawanan anti Uthmn ibn Affn. Faktor-faktor tersebut tidak begitu saja muncul kepermukaan apabila tidak ada kelompok atau orang yang berada di balik semua itu. Kemunculan kelompok ini disebabkan oleh berbagai kebijakan khalifah yang dianggap telah keluar dari tradisi sebelumnya, misalnya pengangkatan kerabatnya dalam jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, seperti pengangkatan al-Walid ibn Uqbah, yang suka mabuk-mabukan, sebagai gubernur Kufah, menggantikan posisi Saad,31 yang menuai protes dari masyarakat Kufah; penempatan pencopotan Amr ibn al-As dari jabatan gubernur Mesir dan posisinya digantikan oleh Abd Allh ibn Saad, yang merupakan sepupunya, menuai protes dari para pendukung Amr ibn al-Ash, tudingan pemborosan dan sebagainya32 Berbagai kebijakan inilah yang dituding oleh banyak pihak sebagai sebuah penyeleweangan dalam masa pemerintahan khalifah Uthmn ibn Affn.

Protes massa tidak hanya datang dari masyarakat umum, juga dari orang yang cukup disegani, °alah, Zubeir, Aishah, Ammar ibn Yassar, Amr ibn al-As, Abu Dzar, Abd al-Ramn ibn Auf, Abd Allh ibn Masud, al-Miqdad ibn al-Aswad, Hujr ibn Adi, Hshim ibn U¯bah, Saal ibn Hunaif, Ab Ayub al-Ansr, dan Jabr ibn Abd Allh al-Ansr.33 Mereka mengkritik berbagai kebijakan khalifah yang dianggap telah menyimpang dari tradisi, seperti kritikan yang dilakukan oleh Abd al-Rahman ibn Auf. Ia mengkritik kebijakan khalifah yang mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf dan membakar mushaf lainnya. Tindakan ini menurut Abd al-Rahman telah melanggar tradisi Nabi.34 Papadahal, tindakan pengumpulan al-Quran menjadi satu mushaf dan membakar mushaf lainnya adalah atas usulan Hudzaifah ibn al-Yaman, karena ia melihat bila tidak dilakukan, maka al-Quran akan terdistorsi.

Kritikan yang dilakukan oleh para sahabat tersebut di atas terhadap berbagai kebijakan khalifah Uthmn ibn Affn, tidak beraksud membunuhnya. Hanya saja peristiwa itu membuka ruang bagi upaya mereka yang tidak suka untuk melakukan perlawanan dan pembangkangan terhadap khalifah, sehingga situasi semakin tak menentu. Penduduk Madinah menghendeaki agar Uthmn bertobat dan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya kepada masyarakat, kalau tidak mereka akan memerangi Uthmn.35 Apabila Uthmn tidak mau melakukannya, maka penduduk Madinah mengancam akan mengganti Uthmn dengan sahabat Nabi yang lain.36Ancaman penduduk Madinah membuat gusar khalifah, untuk itu kemudian ia mengirim surat kepada Muwiyah agar membantunya dalam menyelesaikan krisis politik yang tengah dihadapinya. Khalifah Uthmn menjelaskan bahwa penduduk Madinah telah menjadi kafir dan tidak mau patuh lagi kepadanya.37 Dalam konstalasi politik yang semakin memanas ketika itu, tentu saja Muwiyah berada di belakang Uthmn dan berusaha membelanya. Tidak hanya itu, Muwiyah kemudian menuding bahwa penduduk Madinah, yang mayoritas kaum Ansar, telah berkonspirasi dengan penduduk Mesir, Kufah dan Basrah untuk menjatuhkan khalifah Uthmn ibn Affn. °alah pun tidak lepas dari tudingan itu, sebab ia berada di sisi Uthmn ketika ia dikepung dan ketika pasokan air dan makanan tidak diijinkan masuk oleh para pemberontak, °alah dianggap orang yang paling bertanggungjawab dalam masalah tersebut.38

Selain penduduk Madinah yang tidak suka atas kebijakan Uthmn di masa-masa akhir kekuasaannya, juga terdapat penduduk daerah lain yang melakukan pemberontakan, misalnya Mesir, Kufah dan Basrah. Bahkan tidak jarang dalam gerakan demonstrasi itu dipimpin langsung oleh sahabat, seperti digambarkan oleh al-°abr bahwa dalam pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Mesir berjumlah sekitar 600 orang (sich) dan dibagi ke dalam empat rombogan, ternyata dipimpin oleh sahabat Nabi bernama Amr ibn Budail ibn Warqa al-Khuz.39 Kedatangan mereka kembali ke Madinah sebenarnya untuk meminta konfirmasi mengenai surat yang dibawa oleh kurir misterius yang isinya memerintahkan gubernur Mesir Abd Allh ibn Saad ibn Ab Sarah untuk membunuh para pembangkan setibanya di Mesir. Kurir dan surat misterius ini membuat khalifah Uthmn pusing, bahkan menurut al-Dinwar, ia mengeluh kepada Al bahwa kepalanya pusing karena memikirkan perbuatan masyarakat terhadap dirinya.

Gerakan kelompok anti Uthmn yang berasal dari penduduk Kufah dipimpin oleh al-Asytar al-Nukha.40 Kelompok ini juga melakukan tuntutan yang sama, yaitu mencopot al-Walid ibn Uqbah yang mereka nilai telah menyalahi ketentuan syariat, karena ia suka mabuk-mabukan. untuk kepen¬tingan umum, akhirnya al-Walid ibn Uqbah dicopot dan digantikan posisinya oleh Said ibn al-As. Kemudian Uthmn menghukum al-Walid.41 Pertanya¬annya adalah apakah setelah tuntutan mereka dipenuhi, apakah mereka menghentikan gerakan demonstrasinya itu? Ternyata tidak. Mereka kembali lagi ke Madinah setelah mendapat berita dari kelompok lainnya dari Mesir, bahwa mereka akan dihukum karena memberontak.42 Situasai politik semakin memanas ketika penduduk Mesir datang kembali ke Madinah dan mengepung rumah kediaman khalifah Uthmn yang menyebabkan Uthmn kemudian terbunuh pada 12 Dzul Hijjah 35 H.

Hal penting yang patut dipertanyakan dalam konteks ini adalah di mana para sahabat dan tabiin lain, apakah mereka terbawa arus dengan ikut terlibat dalam perlawanan terhadap Uthmn. Dalam catatan al-Dinwar, meskipun sahabat lain, seperti °alah, Zubeir, Aisyah dan lain-lain yang telah disebutkan pada bagian terdahulu bersikap tidak mendukung Uthmn, masih terdapat sahabat dan tabiin yang mendukung Uthmn, di antara mereka adalah Abd Allh ibn Umar, Marwan ibn al-Hakam, l-asan ibn Ali, Abd Allh ibn Sallam, Abu Hurairah dan al-Mughrah ibn Syubah.43

Para sahabat dan tabiin tersebut berusaha melindungi khalifah dari berbagai kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Salah seorang sahabat ber¬nama Abu Hurairah meminta ijin kepada khalifah agar ia melakukan perlawanan. Einginan tersebut tidak direstui dan Abu Hurairah diminta menanggalkan pedangnya. Sementara al-Mughirah ibn Syubah menyarankan agar khalifah pergi meninggalkan Madinah menuju Makah atau Syam. Tapi kedua tawaran tersebut ditolak Uthmn dengan tegas. Aku tidak akan pergi ke Makah, karena aku mendengar Nabi bersAbda, apabila ada orang Qurays berlindung di Makah, ia berdosa, dan bila pergi ke Syam, Madinah adalah tempat hijrahku, di sini dekat dengan kuburan Nabi.44 dialog ini menggambarkan bahwa situasi apapun, Uthmn tetap akan bertahan di Madinah dan tidak akan meninggalkan kota itu. Sebab bila ia pergi ke Makah atau Syam, berarti ia telah lari dari amanah.

Dengan memperhatikan penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pada masa pemerintahan khalifah Uthmn ibn Affn, terutama masa-masa akhir kekuasanya, para sahabat terpecah menjadi beberapa kelompok dalam menentukan sikap mereka terhadap khalifah Uthmn, ada yang pro Uthmn, dan ada yang kontra. Mereka yang pro Uthmn tentu saja mereka yang memperoleh keuntungan terutama dalam posisi politik pemerintahan, ada pula yang menentang karena tidak suka atas kebijakan khalifah yang dianggap keterlaluan. Selain itu, masih ada kelompok sahabat yang tetap mendukung khalifah Uthmn dan melindunginya dari berbagai kemungkinan terburuk yang akan menimpanya. Bahkan Al ibn Ab °lib berusaha melindunginya dan memerintahkan kedua anaknya, l-asan dan al-usein tetap berada di dalam rumah Uthmn guna memberikan bantuan atau perlindungan.

Gelombang protes anti Uthmn ibn Affn ketika itu tidak dapat dibendung, karena para pemberontak sudah tidak sabar untuk menurunkan khalifah dan menggantinya dengan sahabat yang lain. Karena keinginan mereka tidak terpenuhi, akhirnya ada kelompok orang yang masuk dan membunuh khalifah pada 18 Dzulhijjah 35 H. Terbunuhnya khalifah Uthmn membuka lembaran hitam dalam sejarah perpolitikan umat Islam. Sebab sejak saat itu, benih-benih permusuhan di dalam tubuh umat Islam terus tumbuh, bahkan persoalan fanatisme yang sudah lama terkubur, muncul kembali, terutama permusuhan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayah, atau antara penduduk Syam dengan penduduk Madinah, Kufah dan Basrah.

C. Terbunuhnya Uthmn ibn Affn:
Konflik Internal Umat Islam yang Berkelanjutan
Sikap dan aksi keberatan, protes serta penentangan terhadap khalifah Uthmn ibn Affn, perlahan namun pasti, kian menguat. Sebagian orang juga sudah berani secara terang-terangan berdiri di hadapan Uthmn dan menentangnya. Untuk mengatasi hal itu, tampaknya Uthmn mau tidak mau harus menggunakan kekerasan, agar para pemberontak tidak lancang menentangnya. Bahkan ketika kritikan itu disampaikan kepadanya, menurut al-°abr, Uthmn malah berbuat tidak terpuji dengan memukul salah seorang sahabat Nabi.45 Tindakan Uthmn itu tentu saja memancing perlawanan yang kian kuat dari mereka. Urwan ibn Zuberi, seperti dikutip al-°abr, mengatakan, “aku melihat Uthmn masuk masjid.” “Beberapa orang kemudian mengerumumi Uthmn sambil melontarkan kata-kata kasar, nasal, yang artinya si tua bodoh. Kemudian Uthmn naik mimbar dan mulai berbicara. Tapi timbul protes keras dari mereka dan menyuruh Uthmn turun dari mimbar.46 Salah seorang yang memprotes itu adalah Jahjah ibn Saad al-Ghifari menyuruhnya turun dengan kata-kata kasar, “turunlah hai nasal.“ Lalu ia meng¬ambil tongkat Uthmn dan mematahkannya dengan lutut kanannya hingga ia terluka.47 Sejak saat itu, Uthmn tidak pernah ke masjid lagi hingga ia terkepung di rumahnya hingga tewas mengenaskan.

Ketika protes para pemberontak semakin mengeras, sebagian orang Kufah dan Mesir berangkat ke Madinah. Rombongan itu dipimpin oleh empat orang, yaitu Abd al-Rahman ibn Udais al-Balw, Saudan ibn Humran al-Murd, Amr ibn al-Hamq al-Khuz dan Ibn al-Nibba.48 Sebelum pergi ke Madinah, Ibn al-Nibba, dititipi sepucuk surat yang ditulis warga Mesir untuk disampaikan kepada khalifah Uthmn (tidak diketahui apa isi surat tersebut). Tapi yang jelas, menurut al-°abr, mereka menyampaikan catatan atau pesan tentang pentingnya melaksanakan perintah Allh, dan menghukum para pejabat yang berlaku tidak adil, seperti Ibn Ab Sara.49

Krisis kepercayaan masyarakat Mesir atas kepemimpinan Ibn Ab Sarah menjadi pemicu ketidaksenangan masyarakat atas kepemimpinan Uthmn ibn Affn. Bahkan kemarahan mereka semakin menjadi ketika mereka menemukan sepucuk surat kaleng yang dibawa oleh orang misterius yang isinya meme¬rintahkan membunuh para pemberontak setibanya di Mesir. Surat yang sama juga dikirim ke Kufah dan Basrah.50 Ringkasnya, para pemberontak yang sedianya akan kembali ke tempat masing-masing berbalik arah menuju Madinah penuh dengan kemarahan. Kedatangan mereka kali ini untuk mempertanyakan isi perintah yang terdapat di dalam surat kaleng tersebut dan menuduhnya untuk membunuh mereka. Dari semua tuduhan yang diarahkan kepada khalifah Uthmn, tidak satupun yang dapat dibenarkan khalifah, meskipun stempel dan legalitas surat atas nama khalifah. Karena merasa tidak puas atas jawaban tersebut, akhirnya para pemberontak mengepung khalifah Uthmn di¬kediamannya selama lebih kurang 40 hari.51 Sehingga tepat pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 35 H, al-khalifah al-Rasyidah ke-3 ini wafat di tangan pemberontak ketika sedang membaca al-Quran surat al-Baqarah. Tidak diketahui siapa nama pembunuhnya, hanya saja ada sumber yang mengatakan bahwa pembunuh khalifah Uthmn ibn Affn adalah Saudan ibn Humran, berasal dari Tujib, Mesir. 52

Ada hal penting yang patut diketahui dalam tragedi pembunuhan khalifah Uthmn ibn Affn, yaitu terbunuhnya Uthmn dilakukan oleh berbagai suku yang berasal dari wilayah Mesir, Kufah dan Basrah yang telah bersekongkol untuk menjauhkannya dari jabatan khilafah. Mereka, menurut Ibn Saad, adalah para perusuh yang bersekongkol dalam melakukan kejahatan.53 Selain menurut Ibn Saad, al-Dzahabi menilainya sebagai tokoh-tokoh pembuat makar, dan sebagainya.54

Pertanyaan yang patut dikemukakan dalam konteks ini adalah mengapa mereka begitu tega melakukan tindakan anarkis dan pembunuhan terhadap sahabat dan menantu Nabi ini? Bukankah ia sahabat yang begitu rela mengorbankan harta dn jiwanya untuk kepentingan penyebaran Islam? Apakah tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepadanya dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang benar? Tampaknya pertanyaan-pertanyaan ini tidak digubris oleh para pemberontak, sebab mereka sudah sangat marah dengan berbagai data yang mereka peroleh, mulai dari perilaku para gubernurnya, seperti Ibn Sarah, dan sebagainya yang telah menyakiti hati dan perasaan masyarakat Mesir. Hal terpenting bagi para pemberontak adalah pengadilan atas para pelaku kejahatan harus segera dilaksanakan Uthmn, atau Uthmn sendiri yang turun dari jabatan.

Sebenarnya, target para pemberontak bukanlah khalifah Uthmn, melainkan, seperti apa yang dikemukakan oleh Ibn Kasir dalam al-Bidyah, adalah harta di bait al-ml. Para pemberontak, setelah mereka membunuh khalifah Uthmn ibn Affn, menyerbu ke bait al-ml dan mengambil harta yang ada di dalamnya.55 Apapun target dan sasaran yang ingin dicapai oleh para pemberon¬tak, tindakan anarkis dan pembunuhan itu mestinya tidak boleh terjadi. Sebab peristiwa tersebut membuat cacat perjalanan sejarah umat Islam, karena konflik dan perselisihan terus berlangsung. Hal ini dapat dilihat, misalnya setelah Al ibn Ab °lib dilantik sebagai khalifah keempat menggantikan kedudukan Uthmn ibn Affn, konflik itu tidak mereda, bahkan semakin mengeras. Sebagai contoh, perselisihan antara Al, °alah dan Zubair yang berujung pada Perang Jamal. Penolakan Muwiyah untuk mengakui kekhalifahan Al berbuntut pada peristiwa tahkim yang menyebabkan terpecahnya kekuatan umat Islam menjadi beberapa kelompok, seperti Khawrij, Syiatu Al, pendukung Muwiyah dan sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut selalu berusaha menjatuhkan bahkan mengalahkan dan membunuh lawan politiknya, seperti yang terjadi pada diri khalifah Al dan seterusnya.

Peristiwa pembunuhan khalifah Uthmn ibn Affn pada 36 H/ 656 M, merupakan tragedi berdarah kedua yang menimpa pemimpin tertinggi umat Islam, setelah terbunuhnya khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b pada 24 H/644 M. Konflik internal umat Islam pasca Uthmn ibn Affan semakin menjadi, sebab terdapat kelompok atau orang-orang yang tidak mau mengakui kekhalifahan Al sebelum tuntutan mereka terpenuhi, yaitu mengadili dan menghukum para pemberontak atau para pembunuh. Dalam hal ini tampaknya para sejarawan sepakat bahwa perbedaan pendapat antara Al dengan Muwiyah, sebagaimana perbedaan antara Al dengan kelompok °alah, Zubeir dan Aisyah, di sisi lain. Faktor penyebabnya adalah tuntutan mendahulukan qisas atas para pembunuh Uthmn, karenanya °alah, Zubeir dan Aisyah tidak akan pergi ke Basrah, kecuali untuk menuntut qisas tersebut. Dalam konteks ini, al-°abr, meriwayat¬kan bahwa usai mengerjakan umrah, Aisyah kembali ke Madinah, namun sebelum tiba ke tujuan, ia mendapat berita tentang kematian khalifah Uthmn.

Kemudian ia kembali ke Makah karena khawatir tidak merasa aman, lalu ia menuntut qisas atau darah Uthmn.56 Kemudian °alah, Zubeir dan Aisyah bertemu di Basrah dan meminta masyarakat untuk mengusut tuntas kasus terbunuhnya khalfah Uthmn dan menegakkan kitab Allah.57 Mereka melakukan itu karena pemerintahan Al dianggap tidak segera dapat menyelesaikan kasus yang mencoreng citra umat Islam. Akibatnya, banyak masyarakat muslim di Basrah yang tertarik dengan ajakan para sahabat ini, sehingga mereka bersepakat untuk menyelesaikan kasus terbunuhnya khalifah Uthmn dan menegakkan kitab Allah. Sebenarnya, bukannya khalifah Al tidak mau menyelesaikan semua kasus tersebut, hanya saja ia menunggu waktu yang tepat, karena ia sendiri mneyadari bahwa di dalam barisannya terdapat para pemberontak, dan jika ia lakukan, maka perpecahan semakin menjadi. Karena itu ia mencoba menunda dan menyelesaikan secara bertahap persoalan-persoalan yang tengah dihadapi umat Islam.
Tetapi keinginan masyarakat beda, mereka ingin segera menyelesaikannya, sehingga akhirnya terjadi konflik fisik dalam perang unta (waqat al-jamal) yang terjadi pada tahun 36 H/657 M yang melibatkan Aisyah.58

Tantangan untuk segera menyelesaikan kasus terbunuhnya Uthmn juga datang dari Muwiyah. Tantangan ini memperpanjang konflik internal umat Islam, yang tidak semestinya terjadi. Muwiyah, seperti telah disinggung, tidak akan melakukan baiat kepada Al sebelum ia menyelesaikan tugas utamanya yaitu menangkap para pembunuh Uthmn lalu diserahkan kepada Muwiyah untuk dieksusi (qisas).59 Penolakan ini terus berlanjut hingga akhirnya terjadi konflik fisik antara Al dengan Muwiyah dalam perang Siffin pada tahun 38 H/657 M. Konflik kedua tokoh ini dicoba diselesaikan lewat tahkim, yang ternyata juga tidak membuahkan hasil memuaskan bagi kedua belah pihak. Mengenai masalah ini (tahkim) akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Dengan melihat perseteruan yang terjadi di antara umat Islam pasca khalifah Uthmn ibn Affn, dapat dikatakan bahwa peristiwa terbunuhnya Uthmn menyebabkan konflik internal umat Islam berkepanjangan, yang tidak mudah diselesaikan pada waktu itu. Umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok, dan masing-masing kelompok mengkalim dirinya paling benar, sehingga konflik terus berlanjut dan tidak berkesudahan, mungkin hingga kini.

D.Jabatan Khilafah :
Mahkota yang Diperebutkan
Setelah terbunuhnya khalifah Uthmn ibn Affn, para sahabat dari Muhajirin dan Ansar, termasuk °alah dan Zubeir mendatangi Al ibn Ab Talib dan meminta kesediaannya untuk menjadi khalifah pengganti Uthmn.60 Kedatangan °alah dan Zubeir kepada Al terdorong oleh kehendak umat, dan mereka adalah massa pemberontak yang mempelopori pembaiatan terhadap Al ibn Ab °lib.61 Di antara alasan mengapa mereka memilih Al, seperti dikatakan ibn Qutaibah al-Dinawary, karena Al lebih berhak dan karena kedekatannya dengan Nabi dalam hubungan kekerabatan. Pada mulanya Al menolak, dan mengatakan kepada massa ketika itu, tinggalkan aku dan cari yang lain. Karena masalah ini bukan urusan kalian, tetapi urusan para tokoh ahl al-shr bersama ahl al-Badr. Siapa saja yang disetujui oleh tokoh-tokoh itu, dialah yang berhak menjadi khalifah. Karena itu, kami akan berkumpul dan memba¬hasnya.62

Akan tetapi, karena adanya desakan massa yang membutuhkan seorang pemimpin dalam situasi kritis seperti itu, akhirnya Al menerima tawaran itu, selain tidak ada sahabat yang mau menerima tawaran jabatan khilafah. Maka dibaiatlah Al di masjid di hadapan kaum Muhajirin dan Ansar pada tanggal 18 Dzulhijjah 35 H (17 Juni 656 M).63 Pembaiatan ini dilakukan oleh para sahabat, seperti °alah ibn Ubaid Allh dan Zubeir ibn al-Awam. Keduanya melakukan baiat setelah dipaksa oleh yang lain atau melakukannya setengah hati. Begitu juga sahabat Saad ibn Ab Waqqas dan Abd Allh ibn Umar melakukan baiat setelah umat Islam melakukannya.

Penobatan Al ibn Ab °lib sebagai khalifah bukan tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, beberapa orang sahabat nabi dari kelompok Ansar (nufairan yasiran) menolak melakukannya, mereka adalah assan ibn Sabit, Kaab ibn Mlik, Maslamah ibn Mukhallid, Abu Said al-Khudr, Muammad ibn Maslamah, al-Numan ibn Busyair, Zaid ibn Sabit, Rafi ibn Khudaij, Fudhalah ibn Ubaid, dan Kaab ibn Ujrah. Mereka disebut kelompok Uthmniyyah, para pendukung Uthmn.64 Alasan penolakan mereka, menurut al-°abr cukup beragam. assan ibn Sabit, misalnya, ia adalah seorang penyair (sastrawan), dia tidak akan peduli atas peristiwa yang terjadi. Zaid ibn Sabit, punya kepentingan lain, ia menolak karena ia adalah orang kepercayaan Uthmn untuk mengurusi departeman keuangan dan bait al-ml, karena itu ketika Uthmn terbunuh, ia berbicara di hadapan massa, wahai masyarakat muslim, jadilah penolong Allah. Ucapan itu dibalas Abu Ayyub al-Ansari, bahwa ucapannya itu hanya akan mendatangkan banyak musuh. Sementara Kaab ibn Malik, dia adalah kepercayaan Uthmn untuk menjadi petugas pengumpul sadaqah. Karenanya tidak mungkin saat itu ia begitu mudah menyatakan sumpah setia kepada orang yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa terbunuhnya khalifah Uthmn ibn Affn65

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penobatan Al sebagai khalifah saat itu masih dianggap kontroversial, karena tidak mendapat dukungan bulat dari masyarakat, bahkan ada sebagian tokoh Madinah seperti Qudamah ibn Madzun, Abd Allh ibn Sallam dan al-Mughirah ibn Syubah, tidak melakukan baiat, malah justeru pergi meninggalkan Madinah menuju Syam.66

Berbeda dengan penduduk Kufah dan Madinah, orang-orang Basrah malah menginginkan °alah menjadi khalifah, sedang penduduk Makah menginginkan Zubeir ibn al-Awwam. Tetapi kemudian masyarakat Basrah juga menyatakan baiat kepada Al. Sementara itu, Muwiyah ibn Ab Sufyan sebagai gubernur Syam tidak bersedia atau menolak melakukan baiat kepada Al, bahkan dengan terbuka Muwiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah , karena menganggap dirinya lebih berhak dan lebih pantas menggantikan Uthmn ibn Affn.67 Dalam beberapa keterangan yang dicatat al-°abr, al-Dinawary, Muwiyah adalah orang yang paling berhak menuntut balas atas kematian Uthmn dan mengendalikan pemerintahan, karena ia adalah wali-nya.68 Muwiyah dan kelompoknya tidak mau menyatakan baiat kepada Al, menurut al-Farsyi, awalnya bukan karena ia membangkang (bughat) atas perintah Al untuk menyatakan baiat, tetapi karena ia menghendaki terlebih dahulu agar Al menangkap dan menghukum pembunuh Uthmn. Apabila Al tidak mampu melakukannya, maka ia tidak mau tunduk kepada Al.69

Dengan demikian, dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa apapun alasan yang dikemukakan Muwiyah saat itu untuk tidak tunduk kepada Al, hal pasti yang dapat dijelaskan di sini adalah bahwa Muwiyah sebenarnya hanya mengulur waktu menunggu saat yang tepat untuk memperoleh kedudukan sebagai khalifah. Sebab, dia melihat tampaknya tidak mungkin ketika itu Al menangkap dan menghukum para pemberontak yang membunuh khalifah Uthmn ibn Affn, karena mereka adalah orang-orang yang mengantarkan Al menjadi khalifah. Selain itu, kursi kekuasaan dan jabatan khilafah merupakan mahkota yang harus direbut dari tangan orang yang cukup diperhitungkan karena mendapat dukungan dari para sahabat dan tokoh-tokoh penting ketika itu. Karena itu ia mencoba mengulur ulur waktu menunggu saat yang tepat guna mengambil alh kekuasaan tersebut, karenanya ia tidak melakukan kudeta meskipun secara militer dan massa, ia memiliki kekuatan dan pendukung yang relatif cukup banyak di wilayah Syam. Padahal, dalam berbagai propaganda yang dilakukannya, ia selalu menganggap dirinyasebagai wali Uthmn dan berhak menuntut balas atas kematian Uthmn serta berhak pula menjadi penggantinya. Muwiyah dan kelompok pendukungnya, terutama Amr ibn al-As, dalam keterangan al-Dinawary dan analisis Watta, melakukan propaganda kepada pendukungnya di Syam bahwa Muwiyahlah orang yang paling berhak menduduki jabatan khilafah, karena ia adalah walinya. Hal ini didasari atas sebuah ayat yang menyatakan bahwa siapa yang terbunuh secara aniaya, maka kami menjadikan walinya sebagai penguasa. Dasar inilah yang dijadikan argumen Muwiyah dan para pendukungnya untuk menolak kekhilafahan Al, dan mengklaim dirinya sebagai wali Uthmn ibn Affn.70

Sebenarnya, penolakan Muwiyah untuk tidak melakukan baiat kepada Al ibn Ab °lib, tidak mengurangi kekhalifahan Al, sebab Al telah mendapat pengakuan dari para sahabat, baik dari Muhajirin atau Anshar. Meskipun begitu, ia tetap mengakui kesenioran Al dan kedekatannya dengan Nabi. Persoalan yang terjadi di antara keduanya, dan ini yang menjadi penyebab keengganan Muwiyah melakukan baiat adalah tuntutan Muwiyah kepada Al agar segera menangkap dan menyerahkan mereka kepada Muwiyah untuk diqisas, setelah itu baru ia akan membaiat Al. Tetapi kenyataan yang terjadi saat itu adalah Al belum mau melakukan tuntutan Muwiyah karena situasinya belum tepat. Hal ini kemudian dijadikan alasan bagi Muwiyah untuk menentang Al.

Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya problem yang menjadi penghambat Muwiyah untuk tidak mengakui kekhalifahan Al awalnya adalah persoalan qisas, bukan semata masalah khilafah. Hal ini seperti diungkap oleh al-°abr bahwa Muwiyah dan para pendukungnya dari Syam berpendapat bahwa Al harus terlebih dahulu melakukan qisas terhadap pembunuh Uthmn, barulah mereka akna ikut baiat.71 Apabila tidak dilakukan, maka pedang akan bicara. Begitu surat jawaban yang dikirim Muwiyah kepada Al, setelah Al mengirim surat dan mengutus sahabatnya bernama Basyir ibn Ab Masud al-Ansari.72 Jawaban ini tentu saja mengecewakan Al yang sebenarnya menginginkan agar Muwiyah mau membaiatnya dan bekerjasama dengan Al dlam menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi.

Karena tidak mendapat jawaban positif dari Muwiyah, akhirnya Al mengirim sahabat bernama Jarir ibn Abd Allh menemui Muwiyah di Syam. Isi surat itu antara lain mengajak kembali Muwiyah untuk taat dan mengakui kekhilafahannya, bila tidak maka ia akan memerangi Muwiyah dan mereka yang tidak mau tunduk di bawah kepemimpinannya. Bahkan dalam surat itu dijelaskan, bahwa sebenarnya Muwiyah tidak berhak atas jabatan itu, sebab dia adalah termasuk salah seorang tulaqa, yaitu orang yang dibiarkan tetap hidup bebas pada waktu fath al-Makkah.73
Dengan memahami surat tersebut, dapat diketahui bahwa sebenarnya jabatan khilafah hanya Al yang berhak memegangnya saat itu, setelah mendapat pengakuan dari °alhah, Zubeir dan masyarakat muslim lainnya, baik di Madinah, Makah maupun Kufah dan Basrah. Sementara Muwiyah sendiri tidak memiliki hak atas jabatan itu, meskipun ia mengatakan bahwa ia adalah wasinya Uthmn, bukan berarti ia berniat merebut jabatan itu dari tangan Al. Meskipun begitu, bukan berarti Muwiyah tinggal diam, dengan berbagai cara dan usaha dilakukannya untuk memperoleh jabatan tersebut, termasuk melawan kekuatan Al di Siffin yang diselesaikan lewat tahkim (masalah ini akan dibahas tersendiri), yang menandai kekalahan Al dalam berdiplomasi dan berpolitik. Usaha untuk menggabungkan kekuasa¬annya dengan kekuasaan Al baru tercapai setelah l-asan mengakui kekuasan yang ada pada Muwiyah dalam peristiwa am al-jamaah 661 M.


E. Tahkim dan Kemenangan Politis Muwiyah
Pada sub bagian ini, penulis tidak bermasud menjelaskan perang Siffin secara detail, tetapi hanya bagian-bagian kecil saja dari peristiwa tersebut. Sebab yang menjadi fokus dari sub bab ini adalah persoalan tahkim dan dampak politisnya bagi posisi Muwiyah ibn Ab Sufyan. Sebagaimana diketahui bahwa perselisihan yang terjadi antara khalifah Al ibn Ab °lib dengan Muwiyah berujung pada konflik fisik yang terjadi dalam perang Siffin (38 H/657 M). Pertempuran itu berawal dari penolakan Muwiyah atas kekhalifahan Al ibn Ab °lib. Sebegaimana telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa Muwiyah dan para pengikutnya akan mengakui kekhilafahan Al apabila Al telah menyelesaikan tugas utamanya menangkap dan mengadili para pem-berontak dan pembunuh khalifah Uthmn. Penolakan ini jelas mengindikasikan bahwa Muwiyah termasuk salah seorang pembangkang yang mesti diperangi. Namun sebelum jalan perang dilaksanakan, Al terlebih dahulu mengirim Jarir ibn Abd Allh al-Bujali untuk bertemu Muwiyah di Syam, dan menyampaikan pesan Al agar Muwiyah mengakui kekhalifahannya, tapi Muwiyah menolaknya.

Karena menolak, maka Al kemudian mempersiapkan sekitar 5000 tentara untuk menyerang Muwiyah. Mendengar berita itu, Muwiyah kemudian bermusyawrah dengan para pendukungnya, seperti Amr ibn al-As. Hasilnya, Amr menyarankan agar Muwiyah mempersiapkan pasukan guna membendung kekuatan Al yang tengah menuju Kufah.74

Akhirnya kedua pasukan bertemu di daerah Siffin.75 Pada sat itu Al masih berusaha melakukan cara terbaik guna meyelesaikan konflik tersebut dengan cara lain, selain peperangan. Untuk itu, ia mengirim tiga orang utusan menghadap Muwiyah untuk mengajaknya agar ia tunduk di bawah kekuasaan khalifah Al ibn AbÃŒ Talib, demi persatuan umat Islam. Tetapi, seperti disinggung bagian sebelumnya, ajakan tersebut disambut dingin oleh Muwiyah dan para pendukungnya. Muwiyah baru akan mengakui kekhilafahan Al bilamana Al mampu menyelesaikan kasus tragedi pembunuhan khalifah Uthmn ibn Affn. Jawaban ini tentu saja menimbulkan kekecewaan Al, karena sebenarnya ia menginginkan semua persoalan dilakukan dengan cara-cara damai, bukan kekerasan, apalagi peperangan. Akan tetapi, melihat gelagat yang tidak baik, maka peperanganpun tidak dapat dihindari.

Kemudian pada hari kedua pertempuran, Muwiyah tampaknya mulai terdesak. Karena itu, atas anjuran Amr ibn al-As, Muwiyah menempuh cara tipu muslihat dengan memerintahkan pasukannya yang ada pada garis depan agar mengangkat al-Quran dengan ujung tombak, sebagai pertanda peperangan harus segera dihentikan untuk dicari jalan keluar yang lebih baik yang didasari atas kitab suci al-Quran.76 Dengan cara ini, peperangan nyaris terhenti dan keputusan selanjutnya diserahkan kepada dua orang juru runding masing-masing. Keputusan apapun yang dihasilkan oleh juru runding (arbiter) tidak dapat dibantah.

Dari pihak Al, Abu Musa al-Asyari dipilih sebagai wakil juru runding, setelah sebelumnya terjadi perdebatan di antara kelompok pendukung Al, karena Al menghendaki agar Abd Allh ibn Abbas sebagai juru runding, tapi diprotes karena ia masih saudara dekat Al. Sementara dari pihak Muwiyah, Amr ibn al-As yang ditunjuk sebagai juru runding. Apabila kedua juru runding tersebut tidak dapat mencapai kata sekapakat, maka keputusan diserahkan kepada sebuah komisi yang terdiri dari 800 orang, dengan perhitungan suara terbanyak. Ide perundingan ini sangat mengecewakan sebagian pendukung khalifah Al. Mereka mengecam kebijakan khalifah yang berkenan menerima tawaran perundingan di tengah pertempuran yang hampir dimenangkannya, meskipun sebenarnya sebagian lainnya yang mengusulkan agar khalifah Al menerima tawaran damai tersebut. Sebagian pasukan Al yang kecewa atas kenyataan ini menyatakan diri keluar dari barisan Al (Khawrij). Kelompok ini kemudian melakukan tindakan teror terhadap kelompok Al dengan melakukan gerakan pengacauan di beberapa tempat.

Dalam perundingan yang dijalankan di Adruh, Dawmat al-Jandal tahun 659 M. Dalam sejarah diketahui bahwa orang yang pertama tampil ke depan adalah Abu Musa al-Asyary dan Amr ibn al-As, keduanya bersepakat untuk memutuskan bahwa Al dan Muwiyah, keduanya harus melepaskan klaim sebagai khalifah, dan harus dipilih orang lain untuk menjabat sebagai khalifah. Berbeda dengan apa yang telah disetujui Amr ibn al-As, yang mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Al, dan menolak penjatuhan Muwiyah.77

Bagaimanpun, peristiwa tersebut sangat merugikan Al dan mengun¬tung¬kan Muwiyah, sebab yang yang menjadi khalifah sebenarnya adalah Al, sedang Muwiyah hanya sebagai gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Al sebagai khalifah. Dengan tahkim ini, kedudukan atau posisi Muwiyah telah naik menjadi khalifah tidak resmi, sementara Al berada dalam posisi yang kalah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau keputusan tersebut ditolak Al, dan ia tidak mau meletakkan jabatannya sampai akhirnya ia meninggal pada tahun 661 M,78 yang dalam analisis Lapidus, sebuah sikap yang tidak ada gunanya sama sekali.79

Dengan mencermati sekilas peristiwa tahkim sebagaimana disebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa posisi Al jatuh, sementara posisi Muwiyah menguat. Menguatnya posisi Muwiyah karena ia, menurut analisis Lapidus, banyak mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat Arab yang memandang bahwa Muwiyah memiliki kekuatan yang tangguh dan mampu menjalankan pemerintahan bersama dengan kaum elite muslim Arab. Sementara posisi Al, karena melakukan kebijakan yang tidak populer ketika itu, seperti mencopot para gubernur yang diangkat Uthmn, dan sebagainya, semakin melemah dan mengalami keterpurukan setelah peristiwa tahkim.80

Kemenangan politis Muwaiyah dalam peristiwa tahkim meluruskan jalan karier politiknya. Sebab kemudian banyak migran Arab yang tidak setuju atas berbagai kebijakan khalifah Al, mendukungnya untuk terus mencapai kedudukan tertinggi dalam jabatan pemerintahan Islam, yaitu khalifah, dan ia baru berhasil menggapainya setelah mendapat pengakuan dari para pendukung Al melalui tangan l-asan dalam sebuah fakta perdamaian yang terjadi di Maskin tahun 661 M, lebih kurang setelah enam bulan Al meninggal dunia.


end notes

1 Muammad Ahmazun ( selanjutnya disebut Ahmazun), Tahqieq Mawaqif al-Sahabah fi al-Fitnah: Min Riwayat al- Imam al-°abr wa al-Muhaddisin, ( Riyadh : Maktabah al-Kausar, 1994M/1415 H), hlm. 210-220. Lihat pula Muammad Husein Haekal ( selanjutnya disebut Haekal), n ibn Affn, , bab 4, hlm, 114-130

2 Abu Jafar ibn Jarr al-°abr ( selanjutnya disebut al-°abr), al-Umam wa al-Mulk, J.4. ( Beirut: Muassasah al-Alam al-Islami li al-Matbuah, 1989) , hlm, 362. lihat Jalal al-Dn al-Suy¯i (selanjutnya disebut al-Suy¯i),Tarkh al-Khulaf, ( Beirut : Dar el-Fikr, 1974 M/1394H), hlm, 146-147
3 Lihat Abd Allh ibn Muslim Ibn Qutaybah, al-Marif, ( Beirut: Dar el-Kutub al-Ilmiah, 1407 H), hlm, 83.
4 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 251.
5 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 346.

6 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 397
7 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 398.
8 Al-°abr, Tarkh. J.4. hlm, 398.
9 Al-°abr, Tarkh. J.4. hlm, 397.

10 Lihat Khalifah ibn al-Khayyat, Tarkh Khalfah, (ed). Akram al-Umari, ( Beirut: Dr el-Qalam, 1397 H), hl, 157-167. Lihat pula Muammad Salih Amad al-Farasi, Fasl al-Khitb f Mawqif al-Ashb R A, ( Mesir: Dar el-Salam, 1996 M/1416 H), Cet. I, hlm. 48-60.
11 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 45.
12 Amhazun, Taqq. hlm, 223.
13 Amhazun, Taqq,, hlm, 224

14 Ahmazun, Taqq, hlm. 224.

15 Ahmazun, Taqq, hlm, 224-223

16 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 378

17 Tidak hanya itu, ia juga mengatakan bahwa akan terjadi reinkarnasi pada diri Muammad. Ia mengatakan sungguh aneh bila ada orang yang berkeyakinan bahwa Isa akan bangkit kembali, sementara Muammad tidak. Hal itu didasari atas firman Allah QS al-Qasas ayat 85, padahal Muammad lebih berhak reinkarnasi ketimbang Isa. Ia juga mengkalim adanya wasiat Nabi kepada Al dengan mengatakan, ada seribu Nabi, dan setiap Nabi mempunyai wasi, penerima wasiat. Al adalah wasi Muammad. Lalu ia mengatakan Muammad adalah penutup para Nabi dan Al adalah penutup para wasi. Lihat al-°abr, Tarkh, J.3. 378-79,.
18 Al-°abr, Tarkh, J.3. 379. Lihat Ibn Kasir, al-Bidyah wa al-Nihyah,, J.7. (Beirut : Dr el-Fikr, 1398 H), hlm, 183.

19 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 380.
20 Al-°abr, Tarkh, J.3. hl, 381.

21 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 382.
22 Al-°abr, Tarkh, J.3, hlm, 385-99, Lihat pula al-Baladzury, Ansab al-Asyraf, hlm,1.

23 Al-°abr, Tarkh, J. 3, hlm, 399-415.
24 Muammad Husein Haekal, Uthmn ibn Affn,( terj) Al Audah, ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002), hlm, 114-115.
25 Muammad Husein Haekal, Isman ibn Affn,( terj) Ali Audah, ( Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002), hlm, 114-115. Lihat pula, Syed Mahmudunnaser, Islam dalam Konsepsi dan Sejarahnya ( Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm,. 190-191.

26 Haekal, n ibn Affn, hlm, 115
27 K.Ali, A Study of Islamic History (Sejarah Islam: Tarikh Pra Modern, (terj), ( Jakarta: Srigunting, 1997), hlm. 129.
28 Haekal, n ibn Affn, hlm, 115.
29 Haekal, n ibn Affn, hlm, 116. lihat al-Farsi, Fasl al-Khitab, hlm, 53-60.
30 Lihat Ibn Saad, al-Tabaqat al-Kubra, J.3. ( Beirut: Dar el-Fikr, 1985), hlm, 31-32. lihat pula Balyaev, Arabs, Islam and the Caliphate in the Eaerly Middle Ages, ( London: Pall Mall Press, 1969), hlm, 144.

31 Al-°abr, Tarkh. J.3. 311-313. lihat Al-Farsi, Fasl al-Khitb. hlm,78.
32 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 312-315. Al-Farsi, Fasl al-Khitb, hlm, 82-84.
33 Muammad ibn Abd al-Rahman ibn Muslim ibn Qutaybah al-Dinwar, (selanjutnya disebut al-Dinwar), al-Immah wa al-Siysah, J.1. (ed) Taha Muammad al-Zaini, (Kairo: Muassasah al-Halaby wa al-Syirkah li al-Nasyr wa al-Tawz), 1967 M/1387 H), hlm, 35-37.
34 Mengenai pengumpulan mushaf menjadi satu dan membakar yang lain, para ulama menganggap khalifah n debagai seorang pemimpin yang arif, karena ia telah mengakhiri perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dan menyatukan mereka dalam satu mushaf. Pernyataan ini seperti dikemukakan Ahmazun Masalah pengumpulan al-Quran adalah peristiwa spektakuler, pekerjaan itu sangat monumental karena mengakhiri perbedaan pendapat di dalamnya sangat banyak. Oleh karena itu, janji Allah untuk menjaga al-Quran seperti yang diterangkan di dalam al-Quran terwujud di tangannya. Lihat Ahmazun, Tahqieq, hlm, 290
35 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 403.
36 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 409.

37 Al-°abr, Tarkh. J.3. hlm, 204.
38 Al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 40-41.
39 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 402-403.
40 Al-Dinwar, al-Immah, J.1, hlm, 40.
41 Ahmazun, Tahqieq, hlm, 279.
42 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 403.

43 Al-Dinwar, al-Immah . J.1. hlm, 40.
44 Al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 40.

45 Al-°abr,Tarkh. J.3. hlm, 408, al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 33-34.
46 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 399.
47 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 400.
48 Al-°abr, Tarkh, .3. hlm, 405.
49 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 405-406 lihat pula al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 35-38.
50 Al-°abr, Tarkh. J.3. 406.
51 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 404.
52 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 423
53 Ibn Saad, Tabaqat al-Kubr, J.3. 71. Lihat pula Muhyi al-Dn Yahy ibn Syarf ibn Murya al-Naww dalam Syara Saih Muslim, Juz 15 (Beirut: Dr Iy al-Truth al-Arabi, tt), hlm, 148-149.
54 Lihat Muammad ibn Amad ibn n al-Dzahabi, Duwal al-Islm,J.1 (ed) Fuhaim Muammmad Syal¯u¯ (Kairo: al-Haiah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1974 ), hlm, 12.

55 Ismail ibn Umar ibn Kasir al-Quraishi, al-Bdyah wa al-Nihyah, J.6. (Beirut: Dr el-Fikr, 1397 H), hlm, 189.
56 Al-°abr, Tarkh. J.3. hlm, 441-442.
57 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 442.
58 Al-°abr, Tarkh, J.3. 457-458. Lihat pula al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 51..

59 Al-°abr, Tarkh, J.3.
60 Abu al-asan Al ibn Muammad al- Jazury al-Syaibany ( selanjutnya disebut Ibn al- Asir), al-Kamil fi al-Tarkh, J.3, (Beirut : Dar eirut : 1965), hlm, 190-191. Menurut al-°abr, dari Muammad ibn al-Hanafiah berkata: ketika n terbunuh, aku bersama Uby, ia berdiri dan masuk ke rumahnya, lalu datanglah para sahabat Rasul Allah Saw dan mereka berkata: sesungguhnya n telah terbunuh, dan keharusan bagi umat memiliki seorang imam, dan hari ini kami tidak menemukan seseorang yang paling berhak atas urusan ini kecuali Anda, tidak ada yang lebih unggul dari Anda dan tidak juga ada orang yang lebih dekat dengan Rasul Allah, kecuali Anda. Lalu Al menjawab, jangan begitu, aku lebih baik menjadi wazir (pembantu) daripada menjadi amir ( raja). Kemudian mereka menjawab, tidak, demi Allah, kami tidak akan mengerjakan apapun sebelum kami membaiatmu. Al berkata, kalau kalian mau, lakukan itu di dalam masjid, karena aku tidak mau pembaiatan terhadapku dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dan aku juga tidak mau melakukannya kecuali atas ridla umat Islam. Kemudian Salim ibn Ab al-Jada dan Abd Allh ibn Abbas berkata, sebenarnya aku terpaksa pergi ke masjid, karena takut terjadi kekacauan. Tapi akhirnya aku pergi juga karena Al bersikeras pembaiatan itu harus di masjid. Ketika Al masuk, kaum Muhajirin dan Ansar mengikutinya lalu melakukan baiat atas Al ibn Ab °alib. Lihat, al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 450. Dalam riwayat lain melalui Abu al-Malih berkata: setelah n terbunuh, Al pergi ke pasar, saat itu hari Sabtu, tanggal 18 Dzulhijjah, orang banyak mengikutinya dari belakang dan menaruh harapan padanya, tapu rupanya Al masuk ke perumahan Bani Amiribn Madzbul dan ia meminta kepada pemilik rumah untuk menutup pintu. Namun orang-orang yang mengikutinya mengetuk pintu dan masuk pula °alah dan Zubeir dalam romobogan itu, kata mereka, “ wahai Al, ulurkan tanganmu, maka berbaiatlah °alah dan Zubeir kepada Al. Lihat al-°abr, Tarkh, J.3, hlm, 451.
61Jurzi Zaidan, Tarkh Tamaddun al-Islm, J.1. (Mesir: Dr el-Hill, tt), hlm, 83. Lihat pula al-Dinwar, al-Immah, J.1, hlm, 46-48. Bandingkan dengan al-Farsi, Fasl al-Khitab,hlm. 106-107.
62 Al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 46-47.
63 H.A.R. Gibb, The Encyclopaedia Islam, ( Leiden: E.J. Brill, 1986), hlm, 382.
64 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 452. lihat Muammad Khudary Bek, Muhadarat al-Tarkh al-Umm al-Islamiah, J.2. (Kairo: al-Istiqamah, 1370 J), hlm, 49.lihat pula Gibb, The Encyclopaedia, hlm, 382.

65 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 452.
66 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 452
67 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 558. lihat al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 47. Bahkan dalam Tarkh al-°abr jilid 4, halaman 123, beberapa hari setelah kematian kkhalifah n, Muwiyah dibaiat di Ilya, Palestina, sebagai khalifah, dan penduduk Syam memanggilnya dengan sebutan amir al-mukminin.

68 Al-Dinwar, al-Immah. J.1. hlm, 48-49.
69 Al-Farsh, Fasl al-Khitb, hlm, 107-108. lihat QS al-Isra ayat 33.

70 Lihat al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 49 Lihat Watt, the Formative Period off Islamic Thought, (terj), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm 13..

71 al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 438.
72 Basyir ibn Ab Masud ibn Uqbah ibn Amr al- Ansari , meriwayatkan hadis dari bapaknya, Abu Masud al-Madani al-Ansari. Dia adalah orang Madiniah, tabiin dan siqah. Bukhari, Muslim dan Abu Hatim al-Razi mengatakan ia siqah. Lihat Bukhari, al-Tarkh al-kabir, J.2. hlm, 104.

73 lihat al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 84-85.

74 al-°abar, Tarkh, J.3. hlm, 562-564. Lihat, al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 110-112. lihat pula, al-Farsh, Fasl al-Khitab, hlm, 111-113.
75 Al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 126-127.

76 Al-°abr, Tarkh, J.3. hlm, 562. lihat , Ira M. Lapidus, a Historyof IslamicSociety, ( Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm, 57

77 Lihat al-°abr, Tarkh, J. 3, hlm, 49-70

78 Al-°abr, Tarkh, J.4. 110-122. lihat al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 137
79 Lapidus, aHistori, hlm, 57.
80 Lihat Lapidus, a History, hlm, 57-58.



BAB III

MU²WIYAH DAN AL-ASAN:
USAHA MEMPERKUAT POSISI MASING-MASING


Pada bagian ini, penulis akan berusaha memfokuskan diri pada pembahasan mengenai usaha masing-masiang kelompok, baik kelompok l-asan maupun kelompok Muwiyah dalam memperkuat posisi masing-masing. Hal ini dianggap penting karena kedua tokoh ini memiliki kelompok pendukung yang bersikeras memperkokoh posisi orang yang ditokohkan, Muwiyah misalnya, yang memang sejak perselisihan dengan Al hingga tahkim, sebebenarya telah mendapatkan kedudukan yang cukup kuat, bahkan dalam catatan al-°abr, ia telah dibaiat oleh Amr ibn al-As dan penduduk Ilya, Syam, sebagai khalifah dan mereka menyebut Muwiyah sebagai amir al-mukminin.1

Tetapi, karena masih ada kekuatan pendukung Al, meskipun katakan saja tidak sekuat kelompok Muwiyah, al-asan masih tetap diperhitungkan oleh kelompok Muwiyah, karena ia mendapat dukungan dari sekelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam, baik dari penduduk Madinah, Kufah dan Basrah. Dalam catatan sejarah ditemukan bahwa kedua kelompok ini tampaknya bersikeras untuk terus bersiteru dalam memperebutkan pengaruh dari kalangan masyarakat guna memperoleh dukungan politik dan pengakuan atas jabatan khilafah yang diperebutkan masing-masing. Selain kedua kelompok tersebut, kiranya ada kelompok lain yang juga perlu dikaji secara bersamaan, seperti kelompok sparatis dan kelompok netral dari kalangan sahabat dan tabiin. Hanya saja dalam pembahasan disertasi ini, baik secara parsial maupun secara keseluruhan, penulis tidak akan memberikan uraian dan analisis mengenai kelompok Khawrij yang juga memiliki tokoh sendiri untuk dijagokan sebagai seorang khalifah. Sebab, penulis khawatir akan tidak fokusnya tulisan disertasi ini. Ada kemungkinan akan dibahas bila ada waktu dan kesempatan dikemudian hari.

Oleh karena fokus penulisan disertasi pada bagian ini hanya berkisar pada usaha kedua kelompok tersebut di atas dalam memperluas pengaruh dan memperkuat posisi masing-masing, maka hemat penulis, penelusuran mengenai usaha kedua kelompok dan tentu saja para pendukung masing-masing, perlu dilakukan untuk melihat perkembangan politik yang terjadi kemudian, khususnya yang berkaitan dengan masalah peta perdamaian antara al-asan dengan Muwiyah yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan Am al-Jamah.

A. Terbunuhnya Al dan Menguatnya Posisi Muwiyah

Berbagai kebijakan khalifah Al yang dianggap kurang populer ketika itu, banyak menimbulkan protes di kalangan umat Islam, khususnya bagi gubernur lama yang diangkat Uthmn. Sebab salah satu kebijakan Al dalam langkah pertamanya adalah mengganti para gubernur yang diangkat Uthmn, karena ia berasumsi merekalah yang seharusnya bertanggungjawab atas tragedi berdarah tersebut. Salah seorang gubernur yang menjadi simbol perlawanan terhadap Al ketika itu adalah Muwiyah. Dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki, ditambah dengan provokasi yang dilancarkan bersama para sekutunya, Muwiyah berhasil menarik simpati massa, sehingga ia berhasil mempengaruhi mereka guna melakukan perlawanan terhadap khalifah Al.
Muwiyah dan para sekutunya akan mengakui kekhilafahan Al setelah khalifah tersebut menyelesaikan tugas utama dan kewajiban yang mendasar, yaitu mencari dan menghukum para pembunuh Uthmn. Muwiyah dan para sekutunya menginginkan agar Al menjalankan hukum Qisas terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan lain sebagai bagian dari kebijakan yang akan diambilnya.2 Keinginan tersebut tampaknya tidak dengan segera diselesaikan Ali, bahkan dalam pandangan Muwiyah dan para sekutunya, ada kesan Al sengaja tidak mau melakukannya. Hal ini dapat dilihat dari keinginan khalifah Al untuk mengganti semua pejabat yang diangkat pada masa khalifah Uthmn ibn Affn.3

Kebijakan tersebut tentu saja ditentang Muwiyah dan para sekutunya, dan kelompok ini terus berusaha melakukan konsolidasi dengan menggunakan isu kematian Uthmn dan hukum qisas yang harus dijalankan pemerintah Ali. Provokasi ini, sekali lagi menggunakan istilah ini, berhasil menarik simpati massa, sehingga pada Januari 659 M, terjadi sebuah konflik fisik dalam perang Siffin. Sebagaimana disinggung pada bagian sebelumnya bahwa perang ini diselesaikan lewat tahkim (arbitrase), yang hasilnya ditolak Al karena dianggap merugikan posisi khalifah. Tidak hanya itu, pasukan Al yang kebanyakan dari kelompok ahl al-qurra (penduduk Kufah dan Basrah) meninggalkannya, dan membentuk kelompok tersendiri yang kemudian dikenal sebagai kelompok Khawrij.

Terpecahnya pasukan Al memperlemah barisannya sendiri, karenanya ketika ia harus berhadapan dengan pasukan Muwiyah, Al tidak memiliki pasukan yang prima lagi, karena sebagian telah meninggalkannya dan menjauh dari krisis politik tersebut. Kelompok ini menolak hasil tahkim yang dianggapnya tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Quran. Kelompok ini mengajak Al untuk tobat dan meneruskan peperangan melawan kekuatan Muwiyah, tetapi permintaan tersebut tidak diterima Ali. Dua anggota kelompok Khawrij bernama Zurah ibn Barj al-° dan Hurqus ibn Zuhair al-Sadi, berkata kepada Ali, tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bertobatlah atas kesalahanmu dan kembalilah kepada keputusan semula. Mari kita memerangi musuh sampai Allah memberikan kemenangan kepada kita. Namun Al tidak mau melakukannya.4 Dialog seterusnya, menurut al-°abr, Hurqus menjelaskan bahwa keputusanmu itu merupakan dosa yang harus ditobati. Kemudian Al menjawab bahwa itu bukan dosa, melainkan ketidakberdayaan pemikiran dan tindakan yang lemah. Aku telah menjelaskan kepada kalian tentang tindakan yang harus diambil, tetapi kalian menentanganya. Kemudian Zurah berkata, kalau engkau tidak meninggalkan tahkim, maka kami akan membunuhmu.5

Dialog di atas mengindikasikan bahwa keputusan Al menerima tahkim—yang sebenarnya adalah atas usul mereka sendiri—adanya pertentangan di dalam barisan Al—yang kemudian menyatakan keluar dari barisan Al (Khawrij) ketika khalifah Al tidak mau menerima usul mereka. Mereka kemudian mengancam akan membunuh siapa saja yang terlibat di dalam peristiwa tahkim, termasuk Al sendiri, karena dianggap telah berdosa.

Karena begitu kecewa, akhirnya kelompok Khawrij pergi ke Kufah meninggalkan Ali,dan Al berjuang dengan sisa pasukan yang ada untuk melawan kekuatan Muwiyah. Sementara Al berjuang, kelompok Khawrij menyusun rencana untuk melenyapkan mereka yang dianggap berdosa dalam peristiwa tahkim. Menurut ibn Saad, bahwa tiga orang Khawrij bernama Abd al-Ramn ibn Muljam, Burak ibn Abd Allh al-Tamm, dan Amr ibn Bakr al-Tamm, membentuk persekutuan, bertempat di Makah. Tujuannya adalah untuk membunuh khalifah Al ibn Ab °lib, Muwiyah ibn Ab Sufyn dan Amr ibn al-As.6

Dari ketiga sasaran yang menjadi target pembunuhan kelompok Khawrij, hanya Al ibn Ab °lb yang dapat mereka bunuh. Khalifah Al ibn Ab °lb dibunuh oleh Abd al-Ramn ibn Muljam pada tanggal 19 Ramadhan 40 H/ 24 Januari 661 M ketika tengah melaksanakan shalat subuh.7 Al dibunuh dengan pedang beracun milik ibn Muljam. Sementara Muwiyah ibn Ab Sufyn hanya terluka. Untuk mengobati lukanya, al-°abr menceritakan Muwiyah memanggil seorang dokter bernama al-Saidi. Ketika dokter itu datang, ia meminta Muwiyah untuk memilih dua pilihan, bila tidak segera diobati, ia akan mati, namun bila diobati, ia akan mandul (tidak dapat memiliki keturunan lagi). Kemudian ia memilih pilihan kedua. Muwiyah beralasan, ia sudah memiliki Yazd, dan itu sudah cukup.8

Meninggalnya Al ibn Ab °lb menambah catatan hitam dalam sejarah Islam. Karena peristiwa ini menimbulkan dampak politis yang sangat besar bagi persatuan umat Islam, di mana kelompok-kelompok bertikai saling berebut pengaruh untuk mencapai kekuasaan. Akan tetapi, meninggalnya khalifah Al membuka peluang besar bagi Muwiyah untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, yaitu menjadi khalifah. Hanya saja masih ada kendala di hadapan Muwiyah yang harus diselesaikannya, yaitu masalah pengangkatan al-asan ibn Al sebagai pengganti ayahnya, yang meskipun pengangkatan ini masih kontroversial, karena kurang mendapat dukungan massa Islam, terutama di Syam—tetap saja merupakan pekerjaan yang tidak mudah yang harus diselesaikan Muwiyah ibn Ab Sufyn.

B. Penobatan al-asan dan Respons Muwiyah

Berbeda dengan proses pengangkatan para khalifah terdahulu, khususnya pada saat pemilihan Uthmn ibn Affan, yang dipilih melalui dewan yang terdiri dari 6 (enam) orang yang mewakili masyarakat muslim kala itu, pengangkatan al-asan ibn Al tidak melalui seleksi yang dilakukan oleh dewan, melainkan penunjukan langsung yang dilakukan oleh para pendukung setia Al ibn Ab °lb (Syiatu Al).9

Seperti diketahui bahwa wafatnya khalifah Ali ibn Ab °lb pada bulan Ramadhan 41 H/661 M, mengakibatkan kekosongan kekuasaan (vacuum of power), selain kemarahan di kalangan pendukung dan keluarga Ali ibn Ab °lb. Karena umat Islam, sekali lagi, kehilangan tokoh besar yang dapat memberikan perlindungan dan panutan sekaligus. Pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok sparatis (Khawrij) melalui tangan ibn Muljam, merupakan pukulan berat bagi kekuatan umat Islam, khususnya kekuatan barisan pendukung Al ibn Ab °lb. Kejadian itu sekali lagi membuktikan, bahwa perpecahan di kalangan umat Islam pasca kekhalifahan Uthmn ibn Affan dan Al ibn Ab °lb semakin melebar dan persoalan serta agenda umat Islam semakin banyak.

Melihat situasi seperti itu, tampaknya sebagian umat Islam, terutama para pengikut setia Al ibn Ab °lb berusaha keras untuk mengendalikan situasi dan kepemimpinan dengan mengangkat al-asan ibn Al sebagai khalifah, pengganti kedudukan ayahnya. Proses pengangkatan itu dilakukan di hadapan banyak orang, umumnya adalah para pendukung ayahnya, Al ibn Ab °lb. Menurut ibn Abd al-Barr, mereka yang melakukan sumpah setia (baiat) antara lain Qays dengan jumlah sekitar 40.000 orang (sic), jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran saat itu,10 dan orang yang pertama melakukan baiat adalah Qays ibn Saad, salah seorang jenderal perang pada masa kekhalifahan Al ibn Ab °lb, yang kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Al ibn Ab °lb lainnya.11 Pengangkatan ini bukan merupakan hasil rekayasa para pendukung Al sebelumnya, tetapi karena tindakan spontanitas masyaarkat untuk mengangkat al-asan ibn Al sebagai pemimpin mereka. Mereka menyadari bahwa al-asan ibn Al adalah seorang figur yang dapat diandalkan saat itu. Maka mereka secara bersama-sama membaiat al-asan ibn Al sebagai khalifah pada bulan Ramadhan tahun 41 H/661 M.

Ada sebuah sumber yang mengatakan bahwa pengangkatan al-asan ibn Al sebagai khalifah karena wasiat yang pernah diucapkan Al sebelum ia meninggal. Misalnya seperti apa yang diungkapkan oleh al-Allamah Syaikh Zainuddin Ab Muammad Al ibn Yns bahwa sebelum meninggal Al ibn Ab °lb telah berwasiat kepada al-asan untuk menggantikan kedudukannya. Dalam analisisnya dia mengatakan bahwa tidak berapa lama setelah ia ditikam oleh ibn Muljam, Al memanggil kedua anaknya. Ketika keduanya tiba di hadapan Al, ia berkata:



“Dengarkanlah hai anakku, aku ingin melepaskan (jabatan khilafah malam ini, karena aku terkena tikaman), maka kemarilah dan dengarkanlah perkataanku ini. Kamu hai al-asan aku wasitakan padamu untuk menjalankan tanggungjawab ini setelah aku meninggal nanti. Sedang kamu hai al-usein, bantulah kakakmu, dengarkan apa yang ia katakan. Ikutilah perintahnya. Bila ia meninggal, kamulah yang melanjutkannya.12

Dasar inilah yang kemudian dijadikan argumentasi oleh para pendukung Al ibn Ab °lb untuk memilih dan mengangkat al-asan ibn Al menjadi khalifah pengganti ayahnya. Sementara menurut versi lain, seperti al-°abr, ibn Saad, ibn ajar al-Asqalan, dan al-Suy¯, tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai wasiat tersebut dari Al ibn Ab °lb. Al–°abr hanya menyebutkan bahwa ketika Al ibn Ab °lb tengah terbaring sakit, ia didatangi oleh Jundub ibn Abd Allh. Keti¬ka itu Jundub bertanya kepada Al berkenaan dengan penggantinya kelak, siapakah yang paling layak di antara kedua anak Ali, apakah al-asan atau usein ibn Al.


“Disebutkan bahwa Jundub ibn Abd Allh masuk ke rumah Ali (ketika Ali tengah terbaring sakit). Lalu Jundub bertanya kepada Al. Ya Amir al-mukminin. Sesungguhnya kami merasa kehilangan Anda. Tetapi, tentu kami tidak melupakan Anda. Oleh karena itu, kami akan melakukan sumpah setia (baiat) kepada al-asan. Kemudian Al menjawab. Aku tidak menyuruh kalian melakukan itu, dan juga tidak melarang. Karena kalian lebih mengetahui (siapa yang paling layak menjadi pemimpin kalian: Pen.)13

Permohonan ijin untuk melakukan sumpah setia (baiat) kepada al-asan ibn Al untuk menjadi khalifah yang dilakukan oleh Jundub, sebenarnya membingungkan Al ibn Ab °lb. Ia berada pada sisi dilematis. Menjawab silakan pilih Hasan, ia akan menuai protes dari banyak pihak. Menjawab tidak, juga demikian. Karena itu, jawaban Al tampaknya sengaja diambangkan dan semuanya diserahkan kepada umat Islam untuk memilh dan menentukan siapa yang paling layak untuk menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) saat itu.

Jadi, dengan demikian dapat dikatakan bahwa Al ibn Ab °lb tidak pernah sedikitpun memberikan wasiat kepada al-asan mengenai jabatan khilafah itu. Al hanya menjawab singkat pertanyaan Jundub. Meskipun begitu, tampaknya jawaban “aku tidak melarang dan juga tidak menyuruh”,sebenarnya bisa diinterpretasikan oleh Jundub bahwa sebenarnya Al telah memberikan sinyal kepadanya bahwa al-asan boleh dipilih, juga boleh tidak. Semua diserahkan kepada Jundub dan umat Islam yang menentukan kemudian. Akan tetapi, sebenarnya jawaban itu bermakna ganda yang sebenarnya bisa ditafsirkan macam–macam oleh Jundub. Karena itu, kemudian tanpa berpikir panjang, akhirnya Jundub memanggil al-asan dan al-usein untuk mendapatkan penjelasan mengenai rencana mereka, yaitu meminta al-asan ibn Al agar bersedia menjadi khalifah, menggantikan kedudukan ayahnya.

Dalam kesempatan itu Jundub meminta kepada al-asan dan al-usein untuk mendengarkan ucapannya. Setelah keduanya menghadap, Jundub kemudian mengucapkan kalimat pengantar yang berisi untuk selalu bertaqwa kepada Allah, berkata benar, jujur, mengasihi anak yatim, membela yang benar dan orang-orang yang dilalilimi. Setelah itu barulah Jundub membacakan surat (ditulis Jundub sendiri), kepada al-asan ibn Ali:

“Jundub membacakan surat (wasiat) itu kepada kepada al-asan. Aku berwasiat kepada diri dan keluargaku untuk selalu bertaqwa kepada Allah SWT. Mendirikan shalat tepat pada waktunya. Membayar zakat pada tempat yang benar. Memperbaharui wudlu. Karena shalat itu tidak boleh dikerjakan kecuali dalam keadaan suci. Orang yang tidak membayar zakat shalatanya tidak akan diterima. Aku juga berwasiat kepadamu untuk selalu memohon ampun (istighfar) kepada Allah. Jangan membuat orang marah.
Perbanyaklah silaturahim. Lemah lembutlah kepada orang yang tidak tahu.Perdalamlah ilmu pengetahuan agama.Teguh pendirian.Memelihara (isi dan kandungan) al-Quran. Berbuat baiklah dengan tetangga.Amar maruf nahyi munkar, dan jauhilah perbuatan jahat. Setelah Al wafat, barulah wasiat itu dibacakan.Berikut wasiatnya.”Bismi Allah al–Ramn al-Ram. Ini merupakan surat wasiat yang diberikan Al ibn Ab °lb kepada Jundub. Beliau berwasiat bahwa tiada tuhan selai Allah Yang Maha Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muammad adalah seorang hamba yang menjadi utusan-Nya.Beliau diutus dengan hidayah dan dengan membawa agama yang benar (hak) untuk membuktikan kebenaran agama yang dibawanya kepada agama-gama lain, meskipun tidak disukai oleh orang-orang musyrik. Karena itu,sesungguhnya shalatku, jalan hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan alam semesta yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena semua itu aku diperintahkan dan karena aku adalah seorang muslim. Kemudian aku wasiatkan kepadamu ya al-asan dan semua anak-anak dan keluargaku untuk selalu bertaqwa kepada Tuhanmu. Janganlah kalian mati, kecuali dalam keadaan muslim. Berpegang teguhlah kepada agama Allah dan jangan bercerai berai. Karena aku pernah mendengar Abu al-Qasim (Muammad Rasul Allah) berkata bahwa memperbaiki hubungan yang (hampir) putus itu lebih baik daripada melakukan shalat dan puasa. Perhatikan kerabat dekatmu yang memiliki tali silaturahim. Pereratlah tali silaturahim, niscaya Allah akan mempermudah hisab-Nya. Allah selalu bersama anak-anak yatim. Janganlah kamu biarkan mulut-mulut mereka kosong dan janganlah kehadiran kamu menjadi beban mereka. Demi Allah, sesungguhnya Allah selalu mengingatkan bahwa ada hak tetangga kalian....Laksanakanlah shalat, karena shalat adalah tiang agama.... Demi Allah, berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Laksanakan zakat, karena zakat itu dapat memadamkan kemurkaan Allah...Demi Allah kamu harus berada di dalam lindungan (agama) Nabimu. Jangan kalian berbuat lalim di antara kalian. Pereratlah persahabatan dengan para sahabat Nabi... Demi Allah, berbuat baiklah dengan fakir miskin, ajaklah mereka bergabung dalam kehidupan kamu. Demi Allah... shalat, shalat. Jangan kamu takut demi menegakan agama Allah, meskipun diejek oleh orang-orang...berkatalah yang baik kepada masyarakat, seperti yang diperintahkan Allah kepada kamu. Jangan meninggalkan amar maruf nahyi munkar.... Awas, jangan kalian bercerai berai. Saling tolong menolonglah dalam berbuat taqwa, dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.Takutlah kepada Allah, karena siksa-Nya sangat pedih. Semoga Allah menjaga kalian dan ahl al-bait. Aku menitipkan kalian kepada Allah dan keselamatan kalian”. Setelah itu, Al tidak mengucapkan apa-apa, kecuali kalimat Lailaha Illa Allah, hingga ajal menjemputnya pada bulan Ramadhan tahun 40 H.

Kalau kita teliti secara seksama, kalimat demi kalimat—kalau benar kalimat itu keluar dari mulut Al ibn Ab °lb sebagai wasiat—tampaknya tidak disinggung mengenai estafeta kepemimpinan yang diberikan khalifah Al kepada al-asan, puteranya. Tidak ada kalimat yang berbunyi”Aku mewasiatkan kepadamu untuk menggantikan posisiku kelak sebagai khalifah”. Ungkapan dalam kalimat di atas merupakan ungkapan kalimat secara umum yang kemungkinan berlaku umum pula pada saat itu. Perintah untuk selalu bertaqwa, melaksanakan shalat, zakat, puasa, ber-silah al-rahim, menyayangi anak–anak yatim, berbaik sangka dan bertetangga yang baik, berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, melaksanakan amar maruf nahyi munkar, dan sebagainya, merupakan perintah yang diajarkan Nabi Muhammad Saw, kepada seluruh umat Islam.

Oleh karena itu, sejauh ini, penulis belum menemukan kalimat inti persoalan yang isinya berupa penyerahan kekuasaan kepada al-asan ibn Al. Apalagi, misalnya, kalimat yang mengatakan aku mohon kepadamu hai Jundub dan umat Islam, untuk memilih dan mengangkat puteraku al-asan sebagai khalifah penggantiku kelak. Kalimat sebelumnya yang pernah keluar dari mulut khalifah Al ibn Ab °lb ketika ia didatangi oleh Jundub agar Al mengijinkannya untuk melakukan baiat kepada Hasan, tidak keluar kata–kata yang memerintahkan secara eksplisit kepada Jundub: silakan pilih al-asan, karena ia adalah anakku dan aku memandang ia telah memenuhi syarat untuk dipilih menjadi khalifah penggantiku.” Kalimat seperti itu, sampai sejauh ini belum penulis temukan. Karenanya, hemat penulis sekali lagi, tampaknya tidak mungkin Al ibn Ab °lb memberikan wasiat tersebut melalui Jundub ibn Abd Allh kepada al-asan untuk menggantikan posisi Al ibn Ab °lb. Sebab, ia bukanlah salah seorang sahabat besar yang masuk dalam struktur dewan pemilihan yang dibentuk pada masa khalifah Umar ibn al-Kha¯¯ab.15

Dengan demikian, tampaknya pendapat yang diungkapkan oleh Allamah Syaikh Zainuddin, perlu diklarisifikasi dari berbagai sumber mengenai otentisitas atau keaslian sumber tersebut. Karena, menurut hemat penulis, dari data–data yang penulis temukan hingga saat ini, termasuk al-°abr, ibn Saad, dan lain–lain, tidak ada yang menyinggung secara jelas mengenai penobatan al-asan ibn Al berdasarkan wasiat Al ibn Ab °lb, apalagi wasiat dari Nabi Muammad Saw. Karena kalau hal itu dilakukan, maka citra Islam dan kepemimpinan umat Islam dengan sistem dan mekanisme yang telah disepakati, semuanya sia–sia, karena diabaikan hanya dengan wasiat. Dalam kata lain, Al ibn Ab °lb telah betindak terlalu tergesa–gesa atau dalam bahasa kasarnya terlalu gegabah mengangkat puteranya sendiri sebagai khalifah. Selain itu, kalau memang itu wasiat, dapat dipastikan masyarakat akan protes, tidak hanya Muwiyah ibn Ab Sufyn, juga masyarakat kebanyakan dan terutama kelompok sparatis (Khawrij) yang memang tidak suka terhadap kepemimpinan Al dan orang–orang yang ada di sekitar Al. Lebih jauh lagi, bila hal itu benar, berarti Al ibn Ab °lb bukanlah seorang khalifah Islam yang memegang amanat dan menerima aspirasi umat Islam, melainkan sebagai seorang raja, di mana estafeta kepemimpinan tidak ditentukan oleh masyarakat, melainkan pewarisan. Dalam kata lain, asumsi penulis adalah benar, bahwa Al ibn Ab °lb orang pertama yang menerapkan sistem monarchi, bukan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Al ibn Ab °lb dapat disebut sebagai “pengkhianat demokrasi”yang telah dibangun oleh para khallifah pendahulunya.
Dari data-data tersebut dapat ditegaskan di sini bahwa proses peng-ang¬katan al-asan ibn Al sebagai khalifah lebih disebabkan oleh situasi politik umat Islam yang sangat kritis yang membutuhkan seorang pemimpin setelah meninggalnya Ali.16 Oleh karena itu, perdebatan apapun yang terjadi saat itu, yang jelas bahwa realitas politik menunjukkan bahwa sepeninggal Al ibn Ab °lb, sebagian penduduk Kufah, Basrah dan Madinah melakukan sumpah setia (baiat) kepada al-asan untuk memegang jabatan khalifah, menggantikan kedudukan ayahnya yang tewas terbunuh di tangan ibn Muljam, yang berasal dari kelompok orang-orang yang tidak suka atas kebijakan Al yang melakukan takm. Kemungkinan besar ia merupakan orang suruhan dari kelompok Khawrij, kelompok yang telah menyempal dari barisan Al ibn Ab °lb dan membuat barisan tersendiri untuk menentang kebijakan tersebut dan mengancam akan membunuh mereka yang terlibat dalam peristiwa takm, karena kebijakan takm tidak didasari atas petunjuk al-Quran. Target mereka adalah menghancurkan kekuatan Al ibn Ab °lb dan Muwiyah, sehingga kelompok Khawrij tampil sebagai pemimpin dalam percaturan politik umat Islam saat itu. Tapi sayang, ternyata sepeninggal Ali, al-asan yang diangkat menjadi khalifah, bukan kelompok mereka. Di sinilah problem puncak akumulasi persoalan politik Islam pasca kekhalifahan Al ibn Ab °lb. Karena ternyata, umat Islam, khususnya pendukung Al telah memiliki calon kuat untuk menduduki jabatan khilafah. Sementara kelompok Muwiyah menginginkan Muwiyah yang menjadi khalifah, bukan orang lain.

Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, bahwa orang yang pertama kali melakukan sumpah setia (baiat) kepada al-asan ibn Al adalah Qays ibn Saad ibn Ubadah. Dia melakukan itu karena melihat situasi sosial politik umat Islam yang tidak terkendali setelah kematian khalifah Al ibn Ab °lb. Perpecahan semakin menjadi, sementara dalam situasi seperti itu dibutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat diandalkan. Karenanya, Qays melakukan baiat kepada al-asan17—meskipun al-asan ibn Al sendiri tidak memiliki kualifikasi kepemimpinan dan belum teruji kepemimpinannya atau tidak bisa diandalkan—tindakan Qays ibn Saad didasari atas argumentasi dan realitas politik, bahwa dirinya adalah pengikut setia Al ibn Ab °lb yang pernah ditugaskan untuk melakukan perluasan wilayah ke Khurasan dan sekitarnya. Sementara itu, tidak mungkin baginya untuk melakukan baiat kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn, yang sudah jelas musuh besar Al dan para pengikutnya, termasuk dirinya. Jadi dengan demikian, pengangkatan al-asan ibn Al oleh Qays lebih kuat nuansa politiknya, ketimbang motif ekonomi dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, meskipun al-asan ibn Al bukan satu-satunya figur yang dapat dipercaya untuk menjadi khalifah, tindakan Qays ibn Ubdah ini tetap diikuti oleh penduduk Kufah, Basrah dan sebagian penduduk Persia. Mereka mengakui al-asan ibn Al sebagai khalifah mereka yang akan memimpin masyarakat muslim. Akan tetapi, setelah al-asan ibn Al terpilih, ternyata ia tidak melakukan kebijakan yang cukup berarti untuk menyelesaikan kasus–kasus dan persoalan umat dengan kekuasaan yang dimilikinya, melainkan ia berjalan sendiri dengan mengungkapkan keinginannya kepada Abd Allh ibn Abbas dan al-usein untuk menyerahkan kekuasaan itu kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn. Tindakan itu dilakukan karena ia sendiri punya prinsip untuk menyelesaikan semua persoalan umat Islam yang tengah dilanda krisis kepemimpinan itu, hanya dengan cara–cara damai melalui Islah. Tindakan al-asan ini tentu saja mengecewakan para pendukung setianya sendiri, termasuk al-usein ibn Al yang memang sejak awal tidak menyukai sepak terjang politik Muwiyah dan ia memiliki pandangan berbeda dengan kakaknya dalam menyelesaikan berbagai persoalan umat Islam saat itu. al-usein sendiri sebenarnya berkeinginan untuk menyelesaikannya lewat peperangan—untuk menghacurkan kekuatan Muwiyah—sesuatu yang kurang disukai oleh al-asan sendiri.

Selain itu, hemat penulis, tampaknya al-asan sendiri setengah hati menerima jabatan itu, karena ia merasa tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi seorang pemimpin. Pengangkatan tersebut, dalam analisis penulis lebih jauh, lebih disebabkan oleh sikap emosional dan tindakan tergesa–gesa yang dilakukan oleh sekelompok pendukung Al ibn Ab °lb. Mereka melakukan itu karena khawatir kalau umat Islam tidak mempunyai seorang khalifah yang memimpin mereka. Oleh karena itu, pilihan mereka jatuh kepada al-asan ibn Al karena, hemat penulis, sekali lagi lebih disebabkan oleh cara pandang kelompok tersebut yang menilai al-asan cukup layak dan memiliki kapabilitas untuk menjadi seorang pemimpin, tanpa melakukan–apa yang dikenal sekarang dengan istilah–fit and profer test, untuk mengetahui sejauh mana kemampuan yang dimiliki al-asan sebagai calon khalifah.

Jadi bukan hanya karena ia adalah putera Al ibn Ab °lb dan cucu Rasul Allah Saw, sehingga mereka berpandangan positif mengenai kepribadian dan leadershif al-asan ibn Al. Tetapi juga harus dilihat latar belakang dan kemampuannya dalam berkiprah di dunia politik praktis, apakah selama ini ia pernah terlibat langsung dalam politik atau tidak. Karena bila tidak maka ia tidak memiliki pengalaman dan
kemampuan berinteraksi dengan sesama atau lawan politiknya.

Dalam catatan sejarah, ternyata setelah ia menjadi pemimpin lebih kurang 6 (enam) bulan kemudian ia melakukan perdamaian dengan Muwiyah dan mengakui kekhalifahannya. Hal itu dilakukannya karena ia tidak menghendaki adanya perpecahan umat Islam atau karena ia memang tidak mampu menjadi khalifah atau kemungkinan karena teror yang dilakukan oleh kelompok–kelompok yang tidak suka kepadanya ia menyerahkan kekuasaan (khilafah) kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn pada tahun 41 H/661 M. Peristiwa itu dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan Am al-Jamah.

Prosesi penyerahan kekuasaan ini membuat marah para pendukung al-asan ibn Al, dengan ejekan yang menyakitkan, misalnya menghina orang Mukmin ()dan sebagainya.18
Akan tetapi, apapun alasannya, yang jelas bahwa kelompok pendukung setia Al (Syiatu Ali) telah memilihnya sebagai khalifah, meskipun al-asan hanya berkuasa lebih kurang enam bulan. Tindakan yang dilakukannya semata demi ke¬maslahatan umat Islam. Hanya saja, ada sisi negatif dari tindakan itu, yaitu pene¬rimaan uang sebagai konpensasi dari proses penyerahan kekuasaan tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi kritikan pedas para pendukung Al, termasuk Qays ibn Saad, dan dari kelompok Khawrij, seperti Sulaiman ibn ¢urad, dan lain-lain.

Sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu bahwa realitas politik yang terjadi pasca-kekhalifahan Al ibn Ab °lb, tampaknya kurang disenangi Muwiyah. Sebab, setelah khalifah Al ibn Ab °lb wafat, masyarakat Kufah, Basrah, sebagian penduduk Parsi, serta didukung oleh para sahabat besar, seperti Abd Allh ibn Abbas dan al-usein ibn Al, Muammad al-anfiyah, dan Jundub ibn Abd Allh, telah sepakat melakukan pembaiatan terhadap al-asan ibn Al sebagai khalifah. Ketidaksenangan Muwiyah, seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, merupakan refleksi dari kekecewaannya terhadap kepemimpinan khalifah Al ibn Ab °lb dan keturunannya yang dianggap gagal melakukan klarifikasi dan penyelidikan atas terbunuhnya khalifah Uthmn ibn Affan, selain karena Muwiyah sendiri memiliki agenda politik tersendiri berupa keinginannya untuk tetap berkuasa dan menjadi orang nomor satu di dunia Islam.

Bentuk ketidaksenangan lain mulai diwujudkan Muwiyah ibn Ab Sufyn dengan cara menyusun kekuatan untuk ”menantang” penguasa baru tersebut. Taktik dan strategi yang dimainkan Muwiyah merupakan suatu upaya politik untuk mencapai puncak kekuasaan menjadi khalifah. Untuk kepentingan itu, Muwiyah dan para sekutunya menyusun kekuatan guna membendung arus massa pendukung al-asan ibn Al, terutama masyarakat Kufah dan Basrah yang masih setia kepada Al ibn Ab °lb. Bentuk itu dilakukan Muwiyah karena ia sendiri menyadari bahwa Hasan—meskipun belum memiliki banyak pengalaman, keterampilan dalam memimpin—dianggap sebagai batu sandungan yang menghalangi keinginannya tersebut. Adalah wajar kalau Muwiyah melakukan itu, karena dalam sejarah hidup dan karier politiknya, ia telah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam masalah kepemimpinan dan mengatur pemerintahan. Hal ini dapat dibuktikan dari banyak pihak, terutama mereka yang memiliki pandangan dan ambisi yang sama untuk mendapatkan posisi penting tersebut, seperti Amr ibn al–Ash, al–Mughrah ibn Syubah dan lain-lain, mau melakukan apa saja untuk mendukung dan mengangkat Muwiyah sebagai pimpinan mereka, termasuk merebut kekuasaan khilafah dari tangan al-asan ibn Al.19

Mendengar berita bahwa Muwiyah tengah mempersiapkan pasukan itu, Qays ibn Saad ibn Ubdah dan Ubaid Allh ibn Abbs menyarankan agar al-asan melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang oleh pasukan Muwiyah. Usulan tersebut, meskipun dengan berat hati, karena al-asan sendiri sebenarnya ingin menyelesaikan semua persoalan termasuk konflik antara dirinya dengan Muwiyah dengan cara–cara damai–akhirnya usul itu diterima al-asan ibn Al dengan cara mengirim pasukan sebanyak 12.000 (sich) orang di bawah pimpinan Qays ibn Saad.20Pasukan ini berangkat ke Damaskus untuk melakukan serangan terhadap pasukan Muwiyah. Namun ternyata, kedatangan mereka telah dinanti-nantikan oleh pasukan Muwiyah, sehingga kedua pasukan tersebut bertemu di suatu tempat bernama Madain.21 Di tengah ketegangan, lagi-lagi Muwiyah mencoba mengecoh lawan dengan menyebarkan isu kematian Qays, sebagai bagian dari strategi perang urat syaraf (psy war) melalui opini publik yang dilakukan pihak Muwiyah. Ternyata, perang opini ini sangat efektif untuk menjatuhkan semangat perang lawan Muwiyah, sehingga al-asan ibn Al tanpa melakukan penyelidikan secara seksama, telah mengambil sebuah langkah untuk menghentikan gerakan pasukannya dan ingin menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara-cara damai.22

Di satu pihak, yakni pihak Muwiyah, penyebaran isu tersebut sangat efektif untuk melemahkan kekuatan lawan dan membangkitkan semangat juang pasukan Muwiyah dan untuk memenangkan konflik tersebut. Sementara di pihak al-asan, isu itu memiliki dampak psikologis yang sangat efektif, karena dapat mempengaruhi semangat juang pasukannya yang pada akhirnya mereka enggan untuk melanjutkan pertempuran melawan pasukan Muwiyah.23 Dengan demikian, strategi kelompok Muwiyah yang melakukan perang urat syaraf (psy war) telah berhasil mengecohkan kekuatan lawan, sehingga ia berhasil mempengaruhi massa pendukung al-asan ibn Al untuk tidak lagi melanjutkan pertempuran.

Akibatnya, pasukan al-asan yang semula sangat mendukung gerakan al-asan melawan kekuatan Muwiyah malah berbalik tidak menyukai al-asan. Bahkan al-°abr mengatakan bahwa para pendukung al-asan melakukan tindakan kekerasan dengan menyerbu masuk ke rumah al-asan dan merusak kehormatan dan merampas harta bendanya, sehingga mereka berani merampas permadani yang sedang diduduki al-asan ibn Al. Sehingga al-°abr memandang bahwa perbuatan mereka sangat biadab, karena menghianati pemimpinnya sendiri.24

Perbuatan itu dilakukan karena mereka sudah kehilangan kendali dengan isu tewasnya Qays. Dalam konteks ini, menurut hemat penulis, sebenarnya mereka sangat berharap agar al-asan ibn Al mau melakukan tindakan pengecekan atas tersebarnya informasi tersebut. Tetapi karena tidak ada tindakan konkret dari al-asan, maka mereka berbuat seperti itu. Padahal dalam situasi seperti itu, dibutuhkan seorang pemimpin perang yang mampu memberikan semangat juang bagi pasukannya dan melakukan klarifkasi atas tersebarnya isu tersebut.

Tetapi apa yang dilakukan al-asan ibn Ali, sebagai seorang khalifah pilihan mereka? Ternyata ia tidak mampu melakukan tindakan konkret dan melakukan klarifikasi mengenai benar tidaknya khabar kematian itu. al-asan sendiri tampaknya tidak mampu mengatasi berbagai gejolak yang terjadi pada masanya. Bagaimanapun, tekanan Muwiyah-baik fisik ataupun non fisik melalui teror—terhadap al-asan ibn Al berupa penghujatan atau tepatnya penghinaan yang dilakukan Muwiyah dan sekutunya terhadap Al ibn Ab °lb dan keluarganya, membuat putera Al dan cucu Nabi ini, tidak mampu mengatasi serangkaian problem sosial politik yang tengah dihadapinya. Hal itu disebabkan karena ia bukanlah tipe seorang pemimpin yang memiliki kemam¬puan memimpin (leadership) seperti para khalifah sebelumnya, terutama khalifah Umar ibn al-¯¯. Al sendiri yang dikenal di kalangan pengikutnya sebagai seorang pemimpin”kharistamtik”dan memiliki “segudang ilmu”, tidak mampu mengatasi gempuran dan serangan Muwiyah, apalagi dirinya. Hal inilah yang membuat al-asan merasa lelah sendiri. Satu-satunya keistimewaan yang dimiliki al-asan adalah bahwa ia adalah anak Al ibn Ab °lb dan salah seorang cucu kesayangan Nabi Muhammad.

Dukungan sebagian masyarakat Arab kepadanya lebih disebabkan oleh faktor geneologis tersebut, bukan karena keahlian atau profesionalisme kepemimpinan (leadership) yang dimilikinya. Selain itu, juga disebabkan oleh karena para pendukung Al tidak memiliki calon lain yang lebih layak untuk diangkat sebagai khalifah yang memimpin mereka. Karenanya wajar kalau kemudian banyak pendukungnya yang mencoba”melarikan diri”dan tidak lagi memberikan dukungan penuh kepada Hasan. Dalam kata lain, al-asan dijadikan penyangga (buffer) untuk kepentingan mereka. Hal itu dapat dilihat dari perilaku mereka yang hengkang ketika mendengar isu terbunuhnya Qays yang menjadi tokoh andalan mereka.25

Dalam mengatasi gejolak dan krisis politik seperti itu,tampaknya al-asan ibn Al tidak punya pilihan lain kecuali melakukan negosiasi dengan Muwiyah untuk mengakhiri perseteruan antara mereka. Untuk kepentingan itu, al-asan mengirim surat kepada Muwiyah melalui Amr ibn Salmah al-Arhab26 yang berisi perdamaian. Al-asan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Muwiyah dengan beberapa persyaratan antara lain; menyerahkan harta Bait al-Mal kepadanya sebagai bentuk perjanjiann dengan Muwiyah. Tidak lagi mencaci maki bapaknya serta keluarganya. Muwiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah Dar Ibjirad kepada al-asan setiap tahun.27

Selain itu, setelah Muwiyah berkuasa nanti, masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk memilihnya. Al-asan juga menuntut agar Muwiyah tidak menarik sesuatu dari penduduk Madinah, Hijaz dan Irak, karena hal itu telah menjadi kebijakan ayahnya, Al ibn Ab °lb, sejak ia masih berkuasa.28 Semua permintaan tersebut disanggupi oleh Muwiyah ibn Ab Sufyn. Untuk memenuhi semua persyaratan itu, al-asan ibn Al mengutus seorang sahabatnya bernama Abd Allh ibn al-Harits ibn Nauval menghadap Muwiyah. Sementara Muwiyah mengutus orang-orang kepercayaannya, seperti Abd Allh ibn Amir ibn Kurayz dan Abd al-Ramn ibn Samurah ibn abb ibn Abd al-Shams untuk menyampaikan pesan kepada Hasan. Utusan Muwiyah tiba di Madain dan memberikan semua permintaan Hasan.29

Untuk itu, al-asan kemudian mengirim surat kepada Muwiyah agar mereka bertemu di suatu tempat, yaitu Maskin. Keduanya bertemu di tempat yang telah disepakati. Di sinilah al-asan ibn Al menyerahkan kekuasaan kepada Muwiyah dengan menyatakan sumpah setia (baiat) kepada Muwiyah. Usai pembaiatan, al-asan ibn Al dan Muwiyah ibn Ab Sufyn pergi menuju kota Kufah. Di kota inilah kemudian al-asan meminta para pengikutnya untuk melakukan sumpah setia (baiat) seperti yang telah dilakukannya.30 Permintaan tersebut dipenuhi dan baiat dilakukan untuk mendukung kepemimpinan Muwiyah.

Keberhasilan Muwiyah memperoleh pengakuan di Kufah merupakan bukti kepiawaian Muwiyah dalam memainkan peran politiknya sebagai seorang yang sangat ahli dalam bidang ini. Dengan demikian, ia telah menggapai cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi al-asan ibn Al sebagai khalifah. Setelah berhasil memperoleh pengakuan dari al-asan dan para pendukungnya di kota Kufah dengan kompensasi besar berupa uang sejumlah satu juta dirham yang diberikan kepada al-asan ibn Al, Muwiyah kemudian pergi ke kota Basrah meminta agar penduduk kota tersebut melakukan hal yang sama seperti saudara-saudara mereka di Kufah. Harapan Muwiyah agar penduduk kota Basrah mau melakukan Baiat kepada Muwiyah gagal, karena mereka menolak untuk melakukannya. Penolakan mereka didasari atas kenyataan bahwa harta yang tersimpan di Bait al-mal merupakan harta umat Islam yang diperolehnya dari hasil peperangan (fai) dan tidak akan diberikan kepada siapapun, termasuk kepada al-asan ibn Al.31 Dengan demikian, mereka tidak mau melakukan perintah al-asan untuk membaiat Muwiyah sebagai pemimpin mereka.

Dalam kata lain, kecepatan Muwiyah ibn Ab Sufyn bereaksi dengan tidak mau melakukan baiat kepada al-asan ibn Al, serta kemampuannya melakukan konsolidasi kekuatan massa pendukungnya merupakan suatu upaya strategis untuk memenangkan pertarungan. Berbagai tuntutan yang dimajukan al-asan sebagai bentuk konpensasi dari penyerahan kekuasan, dipenuhi Muwiyah ibn Ab Sufyn dengan tanpa banyak pertimbangan. Kejelian dan kecekatannya ini sekali lagi menunjukkan bahwa Muwiyah adalah tipe seorang pemimpin politik. Bagi seorang politisi seperti Muwiyah, tuntutan apapun akan dipenuhinya, asal keinginannya untuk mendapatkan kekuasaan dari al-asan ibn Al terpenuhi.

Diterimanya jabatan khilafah dari tangan al-asan ibn Al pada tahun 41 H/61 M, membuktikan sekali lagi bahwa secara de facto dan de jure Muwiyah telah menjadi khalifah, orang nomor satu di dunia Islam. Setelah itu, terdapat usaha yang dilakukannya untuk tetap mempertahankan kekuasaan itu dengan cara mengangkat Yazd, puteranya sebagai putera mahkota, setelah ia berkuasa lebih kurang delapan tahun (49 H) yang akan menggantikan kedudukannya kelak sebagai khalifah. Usahanya ini, sebenarnya melanggar isi perjanjian damai yang dilakukannya dengan al-asan ibn Al, yang–antara lain mengatakan bahwa setelah kepemimpinannya kelak, masalah khilafah akan diserahkan kepada umat Islam untuk menentukan siapa yang paling berhak untuk menjadi khalifah—tetapi bagi Muwiyah, hal itu bukan masalah, karena pada saat itu ia telah menyatakan diri sebagai penguasa yang berhak untuk menentukan siapa yang menjadi pemimpin umat Islam kelak.

C.Pro Kontra Penobatan al-asan

Tindakan Jundub ibn Abd Allh terhadap al-asan ibn Al yang kemudian berimplikasi terhadap pembaiatan umat Islam, seperti apa yang dilakukan oleh Qays ibn Saad ibn Ubadah dan para pengikutnya, ternyata mendapatkan respons yang beragam. Kelompok Abd Allh ibn Abbas, Husein ibn Al dan Saad ibn Ubadah, menyetujui pengangkatan al-asan ibn Al sebagai khalifah. Kenyataan ini dapat dilihat dari sikap mereka yang antusias ketika mendengar al-asan akan dinobatkan sebagai khalifah, mereka langsung menyatakan sumpah setia (baiat) kepada al-asan. Hal itu sangat wajar dan bisa dipahami, karena mereka adalah pendukung setia Al ibn Ab °lb yang tentu saja tidak menginginkan jabatan strategis itu jatuh ke pihak lain, apalagi pihak yang selama ini tidak menyukai berbagai kebijakan Al ibn Ab °lb. Selain itu, tentu saja, mereka kemungkinan mempunyai kepentingan tersendiri, antara lain, orang seperti Qays ibn Saad yang pro—Ali, tidak menginginkan jabatannya yang ketika itu sebagai jenderal kepercayaan Al ibn Ab °lb untuk memimpin ekspedisi ke wilayah Azerbeijan dan wilayah sekitarnya, hilang dengan pindahnya kekuasaan ke pihak yang tidak suka kepadanya.

Pertanyan lain yang patut dimajukan di sini adalah mengapa orang seperti Qays ibn Saad, Abd Allh ibn Abbas dan al-usein sendiri, ditambah dengan dukungan masyarakat muslim Kufah, Basrah, Madinah, dan sebagian penduduk Parsi, mau melakukan baiat kepada al-asan ibn Ali? Jawaban yang bisa menjelaskan persoalan tersebut di atas adalah bahwa kelompok pendukung setia Al ini posisi dan sikapnya sudah sangat jelas, mereka tidak menginginkan jabatan strategis itu jatuh ke pihak musuh mereka, yang selama ini dengan jelas menentang kebijakan Al ibn Ab °lb. Musuh yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah Muwiyah ibn Ab Sufyn dan para pendukung setianya yang memang sejak lama menginginkan jabatan tersebut. Keinginan kelompok ini dapat dilihat misalnya, setelah khalifah Uthmn ibn Affan meninggal, masyarakat Syria dan sekitarnya telah melakukan sumpah setia kepada Muwiyah untuk diangkat menjadi khalifah.32

Keinginan masyarakat para pendukung setia Muwiyah merupakan bentuk dari keberhasilan usaha Muwiyah ibn Ab Sufyn dan para pendu¬kungnya dalam membentuk opini publik dan memprovokasi masyarakat untuk melakukan balas dendam atas kematian Khalifah Uthmn ibn Affan. Momen yang selalu dianggap penting diangkat ke permukaan untuk menarik simpati masyarakat muslim di belahan utara tersebut. Dengan demikian, ketika itu sudah ada dualisme kepemimpinan, satu di Selatan dan satunya lagi di Utara. Hanya saja, kepemimpinan Muwiyah tidak mendapatkan legitimasi dari para sahabat yang pernah tergabung ke dalam kelompok enam atau dewan yang dipilih khalifah Umar ibn al–¯¯, seperti °alah dan Zubeir. Kedua orang ini, justeru meminta Al ibn Ab °lb untuk menggantikan posisi khalifah Uthmn, yang kemudian Al ibn Ab °lb mau menerima jabatan itu.

Hal lain yang diharapkan dapat menjelaskan pertanyaan di atas adalah bahwa–baik penolakan Muwiyah dan para pendukungnya terhadap kekha¬lifahan Al, maupun terhadap al-asan ibn Al, boleh dibilang merupakan perseteruan antara kelompok masyarakat kota dengan kelompok masyarakat Arab bukan kota. Karena itu, ketika masyarakat muslim yang berada di bagian Selatan melakukan sumpah setia kepada al-asan ibn Al sebagai khalifah, masyarakat Utara menolak untuk melakukannya. Karena mereka beranggapan bahwa mereka telah memiliki seorang pemimpin yang dalam pandangan mereka cukup bijaksana, yaitu Muwiyah ibn Ab Sufyn, sikap masyarakat tersebut juga sesuatu hal yang wajar, karena mereka telah lama berada di bawah kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn yang berkuasa untuk wilayah itu selama lebih kurang 20 tahun.

Oleh karena itu, dalam konteks ini dapat dipahami bahwa adalah hal yang wajar kalau kemudian penobatan al-asan ibn Al sebagai khalifah, menimbulkan reaksi yang beragam dari kalangan masyarakat, seperti ada kelompok yang menerima, ada yang menolak dan ada juga yang bersikap abstain mengambil posisi diam. Kelompok terakhir inilah yang tampaknya lebih banyak, ketimbang kelompok pertama dan kedua. Karena kedua kelompok di atas memiliki kepentingan politik masing–masing, sementara kelompok terakhir tidak memiliki kepentingan politik (political interest) seperti yang diharapkan kedua kelompok tersebut di atas.

Sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu bahwa realitas politik yang terjadi pasca-kekhalifahan Al ibn Ab °lb, tampaknya kurang disenangi Muwiyah. Karena setelah khalifah Al ibn Ab °lb wafat, sebagian masyarakat Kufah, Basrah, dan sebagian penduduk Parsi, serta didukung oleh para sahabat , seperti Abd Allh ibn Abbas dan Husein ibn Ali, Muammad al-anafiyah, dan Jundub ibn Abd Allh, telah mengangkat al-asan ibn Al sebagai khalifah. Ketidaksenangan Muwiyah, seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, bukan merupakan sikap spontanitas yang terjadi ketika itu, melainkan salah satu bentuk refleksi dari kekecewaannya terhadap Al ibn Ab °lb dan orang-orang dekatnya yang dianggap tidak mau melakukan penyelidikan atas terbunuhnya khalifah Uthmn ibn Affan. Selain itu, tampaknya Muwiyah sendiri memiliki agenda politik untuk berkuasa sebagai khalifah.

Salah satu bentuk reaksi dan ketidaksenangan Muwiyah ibn Ab Sufyn atas
pengangkatan al-Hasan adalah menyusun kekuatan untuk menantang penguasa baru tersebut, dan bahkan berambisi untuk merebut kekuasaan dan pengaruh masyarakat muslim pendukung al-Hasan. Untuk kepentingan itu, Muwiyah dan para pendukungnya menyusun kekuatan guna membendung arus massa pendukung al-asan ibn Al, terutama masyarakat Kufah dan Basrah yang masih setia kepada Al ibn Ab °lb, agar mereka tidak memberikan dukungan yang kuat kepada al-Hasan. Sebenarnya, tanpa melakukan konsolidasi politik dan bahkan militer, Muwiyah mampu mengalahkan kekuatan al-Hasan. tetapi, seperti dikatakan ibn Sa’ad, ia masih tetap menghormati al-Hasan sebagai orang yang ditokohkan. Mu’awiyah sendiri tampaknya menghendaki jalan damai, tetapi karena desakan dari sahabatnya seperti Amr ibn al-Ash, al-Mughirah ibn Syubah dan lain-lain, akhirnya ia mengerahkan kekuatan menuju Kufah guna menyelesaikan persoalan politik antara dirinya dengan al-asan ibn Ali.33

Ketika mendengar berita tersebut, Qays ibn Saad ibn Ubdah dan Ubaid Allh ibn Abbas menyarankan agar al-asan melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang oleh pasukan Muwiyah. Usulan tersebut diterima al-asan ibn Al yang kemudian di bawah komando Qays pasukan tersebut berangkat menuju Damaskus.34 Namun ternyata, kedatangan mereka telah dinanti-nantikan oleh pasukan Muwiyah, sehingga kedua pasukan tersebut bertemu di suatu tempat bernama Madain.35 Belum sempat terjadi pertempuran, tersebar isu kematian Qays. Tidak diketahui secara pasti siapa penyebar isu tersebut, yang jelas bahwa isu ini kemungkinan besar disebarkan oleh orang-orang Muwiyah atau orang yang tidak suka atas kepemimpinan al-Hasan. Isu kematian Qays ini sangat efektif dalam mengecoh kekuatan pasukan al-Hasan. hal ini terbukti kemudian al-asan ibn Al tanpa melakukan penyelidikan secara seksama, telah mengambil sebuah langkah untuk menghentikan gerakan pasukannya dan ingin menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara-cara damai.36 Di satu pihak, yakni pihak Muwiyah, penyebaran isu tersebut sangat efektif untuk melemahkan kekuatan lawan dan membangkitkan semangat juang pasukan Muwiyah dauntuk memenang¬kankonflik tersebut. Sementara di pihak al-asan, isu itu memiliki dampak psikologis yang sangat efektif, karena dapat mempengaruhi semangat juang pasukannya yang pada akhirnya mereka enggan untuk melanjutkan pertempuran melawan pasukan Muwiyah.37 Dengan demikian, strategi kelompok Muwiyah yang melakukan perang urat syaraf (psy war) telah berhasil mengecohkan kekuatan lawan, sehingga ia berhasil mempengaruhi massa pendukung al-asan ibn Al untuk tidak lagi melanjutkan pertempuran. Akibatnya, para endukung al-asan yang semula sangat mendukung gerakan al-asan melawan kekuatan Muwiyah malah berbalik tidak menyukai al-asan. Bahkan al-°abr mengatakan bahwa para pendukung al-asan melakukan tindakan kekerasan dengan menyerbu masuk ke rumah al-asan dan merusak kehormatan dan merampas harta bendanya, sehingga mereka berani merampas permadani yang sedang diduduki al-asan ibn Al.38

Dari perdebatan yang telah disinggung pada bagian terdahulu, terdapat satu hal penting yang perlu mendapatkan penjelasan secara proporsional, yaitu bagaimana sikap kelompok sparatis (Khawrij) terhadap penobatan atas diri al-asan. Apakah mereka menerima atau menolak.

Sebagaimana diketahui bahwa kelompok Khawrij merupakan salah satu kelompok yang berasal dari barisan Al. Kelompok ini menyatakan diri keluar dari barisan Al setelah mereka menolak hasil tahkim yang dilakukan antara Al dengan Muwiyah. Kelompok ini tetap bersikeras bahwa hasil tahkim tidak dapat dijadikan dasar hukum yang kuat di dalam menentukan sikap politik dan keagamaan mereka. Kelompok ini hanya menginginkan agar semua persoalan yang akan diputuskan didasari atas ketentuan Allah. Sebab segala ketentuan yang tidak didasari atas semua ketentuan Allah, maka mereka termasuk orang kafir dan orang lalim. Dengan demikian, boleh dibunuh.
Dalam masalah khilafah, tampaknya kelompok ini, seperti dituturkan oleh Ab Zahrah, lebih bersifat demokratis. Pengangkatan khalifah akan sah jika berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syariat, serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan atau penyimpangan. Jika ia menyimpang, maka ia wajib dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.39 Selain itu, persyaratan yang dimajukan oleh kelompok ini dalam masalah khilafah adalah bahwa masalah khilafah bukan hak monopoli Qurays, siapapun dapat diangkat menjadi khalifah asal memenuhi kriteria seperti jujur, adil dan menjalankan syari’at Islam dan sebagainya.

Dengan mengacu pada pendapat di atas, dan didasari atas penelusuran data dari sumber al-°abr, tidak ditemukan adanya suatu penentangan, penolakan atau penerimaan atas pengangkatan al-asan ibn Ali yang dilakukan kelompok Khawrij. Hanya saja bila dikaji kembali dari sikap mereka tentang pengangkatan khilafah seperti dijelaskan di atas, tampaknya dapat dipahami bahwa kelompok Khawrij yang dimotori oleh al-Barak ibn Abd Allh, jelas mereka tidak menyukai proses pengangkatan tersebut, apalagi al- al-asan adalah Qurays. Ketidakjelasan sikap mereka terhadap al-asan dapat dipahami karena ketika al-asan dibaiat, situasi sosial dan politik masih belum mereda, karena masih terdapat banyak kelompok yang bertikai.

Ketidaksenangan mereka baru mulai ditampakkan ketika al-asan ibn Al mengakui kekhilafahan Muwiyah dan menyatakan sumpah setia untuk mendukung kekuasaan Muwiyah. Bahkan ada sebagian kelompok ini yang kemudian mengejek al-asan dengan kata-kata yang melecehkan al-asan, misalnya penghina umat Islam, pecundang dan sebagainya, seperti yang dilontarkan Sulaiman ibn Surad kepadanya.40 Ketidaksenangan mereka semakin bertambah setelah mereka mengetahui bahwa al-asan ibn Al beserta keluarganya dan para pendukungnya pulang ke Madinah dengan membawa sejumlah dana kompensasi yang diberikan Muwiyah kepadanya. Setelah itu tidak ada lagi tindakan atau sikap protes kelompok Khawarij atas penobatan al-asan ibn Al.


End notes

1 Ab Jafar Muammad ibn Jarr al-°abr, Tarkh al-Umam wa al-Mulk, J.3, (Beirut: Muassasah al-Alami li al-Matbuat, 1879 ) hlm, 558. al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 123.
2 Lihat Ibn ajar al-Asqalan, al-Isabah f Marifht al-Sahbah, J. 2 (Beirut: Dr el-Kiatb al- Arabi, tt), hlm, 508.
3 Muammad Khudar Bek, Tarkh al-Umam al-Islmiah, J.2. (Kairo: Maktabah al-Islmiah, 1974) hlm, 51.
4 Al-°abr, Tarkh, hlm, 49-52. Lihat Ab Muammad ibn Abd Allh ibn Muslim ibn Qutaibah al-Dinwar (selanjutnya disebut al-Dinwar) al-Immah wa al-Siysah, J. 1. (ed) Taha Muammad al-Zain, (Kairo: Muassasah al-Halaby wa al-Shirkah li al-Nashr wa al-Twaz”, 1967 M/1387 H), hlm, 111-112 lihat Jall al-Dn al-Suyt (selanjutnya disebut al-Suyt),Tarkh al-Khulaf (Beirut: Dr el-Fikr, 1974 M/1394H), hlm,163.
5 Al-°abr, Tarkh, J. 3, hlm. 49-52.
6 Muammad Ibn Saad ibn Mania al-Zur(selanjutnya disebut Ibn Saad, Tabaqat al-Kubra, J.3 (Beirut: Dr Sadir, tt), hlm. 35-38. Lihat pula al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 110-111.
7 Al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm, 137.
8 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 115.
9 Proses penunjukan ini, meskipun tidak merefresentasikan seluruh aspirasi masyarakat muslim, paling tidak,peristiwa itu membuktikan adanya upaya sekelompok masyarakat muslim tertentu,misalnya kelompok pendukung setia Al (Syiatu Al),untuk memilih calon pemimpin mereka. Karena tidak merefresentasikan kelompok kebanyakan, sangat wajar kalau kemudian terdapat pihak yang tidak menyetujui apalagi mendukung proses pengangkatan tersebut. Hal ini dapat dilihat, misalnya penolakan Muwiyah Ibn Ab Sufyn yang dengan tegas tidak mau melakukan baiat kepada al-asan. Hal ini akan dijelaskan pada bagian lain dalam bab ini.Lihat, Jall al-Dn al- Suy¯,Tarkh al-Khulaf, (Beirut: Dr el-Fikr, 1974),hlm, 178–180. lihat pula Ibn Saad, al-°abaqat. 1, hlm, 385– 386.
10 Abu Umar Yusuf Ibn Abd Allh Ibn Muammad Ibn Abdi al-Bar (selenjutnya disebut al-Bar), al-Istiab f marifah al-ashb, J.1. (Ed), Al Muammad al-Bijw (Beirut: Dr el-Jail, 1992), hlm.385. Lihat pula, al-Dinwar, al-Immah, J.1. hlm. 140.
11 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm.121.
12 Al-Allamah al-Mutakallim al-Syaikh Zainuddin Ab Muammad Ibn Yns al-Amily,al-Shirat al-Mustaqim ila al-Mustahaqqiy al-Taqdim,J.2.(Teheran:Maktabah al-Murtadlawiyah Tt),h.160.Kutipan ini diambil dari sebuah naskah yang sudah diedit menjadi buku ini. Naskah ini berasal dari sebuah catatan yang bersumber dari syaikh Abu Jafar al-Qumy yang disampaikan kepada Tamim Ibn Buhlul kemudian kepada Ubaidillah Ibn al-Fadl kepada Jabir al-Jafi kepada Abu Sufyn Ibn Layli kepada Ashbagh Ibn Nabateh.Lihat pula,Qadli al-Numan, al-Ujuzat al-Mukhtarah, editor Iismail K.Husein Poonawala, (Montreal: McGill University), 1970.), h. 178-179.Kedua sumber ini merupakan versi Syiah yang menjadikan Al Ibn Ab °lb dan keturunannya merupakan orang-orang yang paling berhak mendapatkan hak khilafah sesudah Rasul Allah.
13 Al-°abr, Tarkh, J. 4. hlm, 112 – 113.
15 Nama lengkapnya adalah Jundub ibn Abd Allh ibn Sufyn al-Bujali.Terkadang ia dinisbatkan kepada kakeknya, sehingga disebut Jundub ibn Sufyn. Ia pernah bermukim di Kufah kemudian pindah ke Basrah. Ia datang ke dua kota tersebut bersama Mushab ibn al- Zubair. Banyak penduduk Basrah, seperti al-asan ibn Ab al-asan, Muammad ibn Sirin, Anas ibn Sirin, Abu al-Sawwar al-Adw, Bakr ibn Abd Allh al-Muzn, Yns ibn Jubair al-Bahl, Safwan Ibn Muraz al-Mazn dan Ab Imran al-Juwni yang menerima hadis darinya. Sementara penduduk Kufah yang menerima hadis darinya adalah Abd al-Mlik ibn Umair, al-Aswd ibn al-Qays dan Salmah Ibn Kuhail. Lihat ibn Abd al-Barr, al-Istib .1.. hlm, 256-257. Lihat pula ibn Hajar, al-Ishbah J.1. hlm, 250.

16 Lihat al-°abr, Tarkh, J.4. 113-114t. Lihat pula Ibn Saad, al-Thabaqat .J. 3., hlm, 33-39.

17 Secara teoritis dan legal formal, pengangkatan seoarang khalifah Islam baru dinyatakan sah bila mendapat pengakuan dari para sahabat besar.Tetapi pada saat itu,para sahabat besar telah tersebar ke berbagai daerah,sehingga pada saat itu agak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengakuan dari mereka. Karena itu, Muwiyah menolak kepemimpinan al-asan karena ia diangkat oleh para pendukung Al yang sebagian besar dianggap pemberontak oleh Muwiyah pada masa Uthmn Ibn Ali.Tetapi untuk kasus Hasan,tampaknya situasi kritis dan untuk mengisi kekosongan kekuasaan, al-asan diakui oleh para pengikut setia ayahnya, termasuk Qays Ibn Saad Ibn Ubadah.

18 Al-°abr, Tarkh J.4. hlm, 126.

19 Keinginan Muwiyah untuk memperoleh posisi tertinggi dalam jabatan khilafah, telah dilakukannya jauh sebelum khlaifah Al terbunuh.Pasca kematian khalifah Uthmn Ibn Affan, penduduk Syam(Syria) secara massif melakukan baiat kepada Muwiyah.Karenanya wajar kalau kemudian Muwiyah mendapat angin untuk merebut jabatan khilafah tidak hanya dari Ali, juga dari tangan al-asan Ibn Ali.Banyak cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan, di antaranya dengan melakukan persiapan tempur guna mengalahkan al-asan Ibn Al dan merebut jabatan khilafah dari tangannya. Lihat Ibn Qutaybah, AL-imamah J.1. hlm, 74.

20 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm. 178.
21 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm. 122.
22 Al-°abr, Tarkh J.4. hlm, 122

23 Kasus yang sama juga pernah terjadi pada masa kepemimpinan Al Ibn Ab °lb, di mana sebagian pasukannya pergi meninggalkan Al dan pasukannya yang masih setia untuk terus bersiteru dengan Muwiyah.Pada masa Al menyempalnya pasukan Al lebih disebabkan oleh ketidaksenangan mereka atas hasil yang dicapai dalam proses penyelesaian perang Shiffin dalam sebuah pertemuan yang dikenal dengan sebutan Tahkim.Mereka kemudian mengelompokkan diri yang kini dikenal sebagai kelompok Khawrij.Sementara pada masa kepemimpinan al-asan Ibn Ali, para pengikutnya mulai tidak suka kepada al-asan karena mau menyerahkan kekuasaan begitu saja kepada Muwiyah, meskipun Muwiyah akan memberikan kompensasi yang cukup untuk kehidupan masa depan al-asan dan keluarganya serta para pendukung setianya. Tapi, kebanyakan para pendukung al-asan mulai meninggalkan al-asan setelah ia”memaksa”mereka untuk melakukan baiat kepada Muwiyah. Hal ini mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain saat itu yang paling menguntungkan, kecuali melakukan apa yang diminta Hasan.
24 Al-°abr, Tarkh al-Umam. J.4, hlm,122. lihat pula, Muammad Ibn Saad Ibn Mani Ibn Saad, al-Thabaqat J.1. hlm, 321. Ibn Saad mencatat bahwa setelah pasukan al-asan mendengar kematian Qays Ibn Saad, langsung menyerbu ke kamar al-asan, mereka menyerang dan melukainya kemudian merebut selendangyang sedang dipakainya. Bahkan salah seorang dari Bani Asad bernama Ibn Uqayshar menyerangnya dengan senjata beracun, tapi gagal. Dijelaskan bahwa Ibn Uqayshir adalah salah seorang dari kelompok Khawrij yang berhasil menyelinap ke kediaman al-asan Ibn Al.
25 Ibn Saad, °abaqt, J. 1. hlm, 321.
26 Amr Ibn Salmah IbnUmairah Ibn Muqtil Ibn Arhab al-Hamdan. Ia termasuk orang terhormat, baik tutur katanya terpercaya (siqah) dan sedikir bicara. Ibn Saad memasukannya dalam al-°abaqt al-Ul yang berasal dari kelompk tabiin dari penduduk Kufah.
27 Ibn Saad, °abaqat, J.1. hlm. 322.
28 Al- Suyuthy, Tarkh, hlm, 179.
29 Al-°abr, Tarkh J..4. 122

30 Ibn Saad, °abaqt J. 1. hlm, 322.
31 Ibn Saad, °abaqt, J. 1. hlm, 322

32 Al-Dinwar, al-Immah hlm, 74.

33 Ambisi Muwiyah untuk memperoleh posisi tertinggi dalam jabatan khilafah, telah dilakukannya jauh sebelum Al terbunuh.Pasca kematian khalifah Uthmn Ibn Affan, penduduk Syam(Syria) secara massif melakukan baiat kepada Muwiyah.Karenanya wajar kalau kemudian Muwiyah mendapat angin untuk merebut jabatan khilafah tidak hanya dari Ali, juga dari tangan al-asan Ibn Ali.Banyak cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan, di antaranya dengan melakukan persiapan tempur guna mengalahkan al-asan Ibn Al dan merebut jabatan khilafah dari tangannya. Lihat al-Dinawary, al-Imamah. J.1. hlm, 74.
34 Al-Dinawary, al-Imamah, J.1. hlm. 178.
35 Al-°abr, Tarkh J.4., hlm. 122.

36 Al-°abr, Tarkh J.4. hlm, 122
37 Kasus yang sama juga pernah terjadi pada masa kepemimpinan Al Ibn Ab °lb, di mana sbagian pasukannya pergi meninggalkan Al dan pasukannya yang masih setia untuk terus bersiteru dengan Muwiyah.Pada masa Al menyempalnya pasukan Al lebih disebabkan oleh ketidaksenangan mereka atas hasil yang dicapai dalam proses penyelesaian perang Shiffin dalam sebuah pertemuan yang dikenal dengan sebutan Tahkim.Mereka kemudian mengelompokkan diri yang kini dikenal sebagai kelompok Khawrij.Sementara pada masa kepemimpinan al-asan Ibn Ali, para pengikutnya mulai tidak suka kepada al-asan karena mau menyerahkan kekuasaan begitu saja kepada Muwiyah, meskipun Muwiyah akan memberikan kompensasi yang cukup untuk kehidupan masa depan al-asan dan keluarganya serta para pendukung setianya. Tapi, kebanyakan para pendukung al-asan mulai meninggalkan al-asan setelah ia”memaksa”mereka untuk melakukan baiat kepada Muwiyah. Hal ini mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain saat itu yang paling menguntungkan, kecuali melakukan apa yang diminta al-asan.

38 Al-°abr, Tarkh al-Umam. J.4, hlm, 122. lihat pula, Muammad Ibn Saad Ibn Mani Ibn Saad, al-Thabaqat Tabaqat J.1. , hlm, 321. al-Zuhri mencata bahwa setelah pasukan al-asan mendengar kematian Qays Ibn Saad, langsung menyerbu ke kamar Hasan, mereka menyerang dan melukainya kemudian merebut selendangyang sedang dipakainya.Bahkan salah seorang dari Bani Asad bernama Ibn Uqayshar menyerangnya dengan senjata beracun, taapi gagal. Dijelaskan bahwa Ibn Uqayshir adalah salah seorang dari kelompok Khawrij yang berhasil menyelinap ke kediaman al-asan Ibn Ali.

39 Muammad Abu Zahrah, Tarkh al-Mazahib alIislamiyah fi al-siyasah wa al-aqaid, ( Kairo : Maktabah al-Adab, tt), hlm, 87-90

40 Al-°abr, Tarkh al-Umam. J.4, hlm, 126.



BAB IV

AM AL-JAM²’AH:
FAKTA PERDAMAIAN ANTARA AL-ASAN IBN AL¡
DENGAN MU²WIYAH IBN AB SUFY²N


Pada bagian ini, penulis akan memfokuskan pada pembahasan mengenai rangkain peristiwa am al-Jamah yang terjadi pada tahun 661 M. Rangkaian itu mulai dari usaha al-asan dan Muwiyah dalam memperkuat posisi mamsing-masing, kemudian siapa saja yang ada di belakang mereka dan usaha perdamaian yang dilakukan antara al-asan ibn Al dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Selain itu, dalam bab ini juga akan dibahas mengenai kenyataan sejarah apakah perdamaian itu membawa implikasi pada situasi ekuilibrium dan bagaimana reaksi masyarakat muslim atas peristiwa tersebut. Untuk lebih jelas mengenai hal ini, berikut uraiannya.

A. Muwiyah dan al-asan:
Usaha merebut Pengaruh Massa Muslim

Pada bagian terdahulu telah dipaparkan bahwa Muwiyah ibn Ab Sufyn adalah seorang gubernur Syam yang diangkat khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b. Sejak masa itu hingga masa kekuasaan Al ibn Ab °lib, Muwiyah adalah seorang gubernur Syam yang menjabat begitu lama, lebih kurang 20 tahun. Selama masa-masa kekuasaannya di Syam, banyak hal yang telah dilakukannya, di antaranya adalah usaha Muwiyah dalam pengembangan wilayah kekuasaan Islam. Pengaruh Muwiyah semakin kuat setelah saudaranya, Yazd ibn Sufyn meninggal dunia kemudian Umar ibn al-Kha¯¯b mengangkatnya menjadi penguasa Damaskus. Menurut ibn Askir, Umar ibn al-Kha¯¯b memasrahkan Damaskus kepada Muwiyah, karena ia dipandang mampu mengatasi berbagai persoalan yang ada di kota tersebut.1 Bahkan kehebatan Muwiyah juga berkat andil Umar, karenanya ia kemudian menjadi orang yang dianggap berjasa dalam pengembangan wilayah kekuasaan Islam, baik pada masa khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b maupun pada masa Uthmn ibn Affn.

Ketika khalifah Uthmn ibn Affn terbunuh akibat konflik dan krisis kepercayaan, Muwiyah, seperti dikatakan al-°abr dan al-Dinwar bahwa dirinya telah menjadi seorang amir di Syam.2 Pada periode kekhilafahan Uthmn ibn Affn, Damaskus dipandang sebagai wilayah atau zona amannya. Dia mendeportasi para hufadz Kufah bersama Ab Dzar ke luar dari Kufah. Muwiyah juga mengusir mereka dari Damaskus hanya demi mempertahankan posisinya dan juga untuk mencegah pengaruh mereka pada publik. Damaskus sudah dipersiapkan oleh Muwiyah, sementara pada periode kakuasaan Bani Umayah, komitmen dan dedikasi kuat warga Damaskus kepada mereka dengan jelas memperlihatkan fakta ini.

Ketika Al berkuasa, Muwiyah melakukan gerakan perlawanan. Sejak memberontak dan memprovokasi masyarakat untuk menentang Al, dukungan utama bagi Muwiyah berupa hubungan keluarga Muwiyah dengan Uthmn (wasi),di samping pernyataan di depan publik bahwa Muwiyah adalah kerabat sangat dekat Uthmn. Sebagai kerabat yang sangat dekat, ia memiliki kewajiban untuk menuntut balas atas kematian Uthmn. Dukungan formal utama ini lambat laun berubah menjadi pengalihan jabatan khilafah dari Uthmn ke Muwiyah. Pengalihan ini didasari atas hubungan keluarga. Untuk mewujudkan pengalihan jabatan khilafah berdasarkan hubungan darah ini, Muwiyah sendiri sangat penting perannya. Berbagai usaha dilakukannya, klaim bahwa dirinya adalah pemilik tanah negeri Syam dengan kalimat “bumi ini milik Allah, dan aku adalah khalifah-Nya”,3 kemudian penolakannya untuk mengakui kekhilafahan Al, dan mempengaruhi massa untuk membantunya dalam mengambi alih kekuasaan. Kenyataan ini dapat dilihat misalnya ketika perang Siffin yang diselesaikan lewat tahkim. Proses penyelesaian lewat tahkim ini, sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, menempatkan Muwiyah pada posisi yang diuntungkan, bahkan kemudian ia berhasil merebut simpati massa untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan al-asan ibn Al dalam peristiwa am al-Jamah di Maskin tahun 661 M/41 H.

Semua keberhasilan Muwiyah dalam merebut simpati massa juga adalah berkat jasa Amr ibn al-As, selain Muwiyah sendiri memang terkenal dengan sebutan orang yang cerdik dalam permainan politik. Orang-orang yang berada di belakang Muwiyah juga sebagai tokoh yang dapat diandalkan, selain Amr ibn al-As.4 Di antara mereka adalah adalah Amr ibn Sufyn al-Muhrib,5 saudara Muwiyah dari jalur Abd Syam, Umairah ibn Yasrabi al-Dhabb,6 Abd Allh ibn Amir ibn Kurayz,7 Abd Allh ibn Amr ibn al-As,8 Abd al-Raman ibn Samurah ibn Habb,9 Ab Bakrah,10 al-Mughrah ibn Syubah,11 al-Wald ibn Uqbah,12 Busr ibn Ab Artah,13 Habb ibn Syihb al-Sham,14 Humran ibn Aban,15 Khald ibn al-As ibn Hisham,16 Kharjah ibn Khuzfah,17 Marwan ibn al-akam,18 Sa’id ibn al-As,19 Utbah ibn Ab Sufyn,20 Ziyd ibn Abhi,21 dan beberapa tokoh terkenal lainnya yang dapat dipengaruhi dan kemudian mendukung Muwiyah. Dalam pandangan Muwiyah, orang seperti Ziyd juga perlu mendapatkan perhatian dan kedudukan khusus di pemerintahan. Sebab, Ziyd ibn Abhi, meskipun sedikit memiliki pengaruh keluarga atau klan, karena Ziyd diberitakan tidak mempunyai ayah yang jelas—yang kemudian orang mengenalnya dengan sebutan Ziyd ibn Abhi—tetap saja menjadi orang yang sangat diperhitungkan oleh Muwiyah, bukan hanya karena reputasinya, juga karena dari penelusuran silsilah atau asal usulnya, ternyata Ziyd diketahui anak seorang ibu yang sebenarnya budak Ab Sufyn yang berasal dari Thaif yang beralih ke tangan al-Harth ibn Kaldah sebelum Ziyd lahir. Karenanya, Ziyd juga sering disebut dengan Ziyd ibn Ab Sufyn.22

Ketika Al ibn Ab °lib berkuasa, Ziyd ditunjuk sebagai wakil gubernur Basrah dengan tugas khusus di Persia bagian selatan. Karenanya ketika Al wafat, dan kemudian al-asan memberikan kekuasaan kepada Muwiyah dalam peristiwa Am al–Jama’ah di Maskin tahun 661 M/41 H, ia pindah ke Persia dan ”menyembunyikan” diri di sana. Hal itu dilakukan karena ia merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena ia telah menolak keinginan dan ajakan Muwiyah agar Ziyd mau bergabung bersamanya yang telah mengakuinya sebagai saudara seayah.23

Akan tetapi dengan kepiawaian Muwiyah, akhirnya Ziyd mau juga bergabung dengan Muwiyah, bahkan Muwiyah mengikatnya dengan ikatan perkawinan antara puteri Muwiyah dengan putera Ziyd bernama Muammad ibn Ziyd. Dengan cara–cara seperti itu, akhirnya Ziyd mau menyatakan bersedia bergabung dan secara otomatis mengakui keberadaan khalifah Muwiyah ibn Ab Sufyn. Hal tersebut dilakukan Muwiyah karena ia melihat potensi besar yang dimiliki Ziyd dalam masalah kemiliteran dan keteguhannya dalam mempertahankan prinsip yang dimilikinya. Selain itu, bekerjasama dengan Ziyd ibn Abihi akan sangat menguntungkan Muwiyah dalam usahanya mempertahankan keutuhan wilayah kekuasaan yang dimilikinya.

Untuk itu, Muwiyah ibn Ab Sufyn telah mempersiapkan posisi penting dan sangat strategis dalam sebuah jabatan birokrasi, yaitu sebagai gubernur Basrah dan propinsi–propinsi Persia selatan. Dia menjalankan pemerinatahannya dengan tegas, tapi adil, dan propinsi–propinsi di bawah pemerintahannya relatif lebih aman dan makmur. Ketika ia baru tiba di tempat tugasnya, Basrah, ia mengucapkan pidato yang sangat mengagumkan dan sekaligus menggetarkan sendi–sendi orang yang berusaha menentang kekuasaannya atau kekuasaan Muwiyah. Pidatonya itu dikenal dengan pidato batra, karena tidak dimulai dengan ucapan basmallah. Isi pidatonya sangat tegas dan menelanjangi kejahatan-kejahatan penduduk Basrah. Ia mengeluarkan ancaman–ancaman keras terhadap mereka yang tidak patuh. Dalam pidatonya itu, ia juga bersumpah bahwa ia tidak hanya akan menghukum mereka yang berdosa, juga menghukum tuan lantaran dosa hamba sahaya, dan seterusnya.24

Dengan melihat sederet nama yang berhasil masuk (afiliasi) ke dalam kelompok Muwiyah, maka dapat dikatakan bahwa Muwiyah telah berhasil menarik simpati massa dan merebut hati mereka, sehingga mereka ini mau berjuang guna mewujudkan impian Muwiyah menjadi orang nomor satu di dunia Islam saat itu. Keberhasilan ini tidak hanya disebabkan karena masyarakat dan mereka yang bergabung ke dalam kelompok Muwiyah tengah membutuhkan figur pemimpin, tetapi juga karena kepiawaian Muwiyah dalam memberikan janji-janji berupa kedudukan atau posisi penting dalam pemerintahannya, bila mereka mau bersatu memperjuangkan keinginan Muwiyah. Hal lain yang menjadi pengerat persatuan kelompok ini adalah kehebatan Muwiyah dalam memprovokasi massa dengan menggunakan argumentasi politik berupa tuntutan mereka atas darah Uthmn dan ia adalah salah seorang wasi Uthmn yang berhak memperoleh kedudukan tertinggi dalam jabatan pemerintahan Islam. Dalam hal ini, sekali lagi, menurut al-Dinwar tampaknya Muwiyah tidak menggubris pendapat Al yang mengatakan bahwa Muwiyah adalah al-tulaq,25 yang tidak memiliki hak untuk menjadi khalifah. Buat Muwiyah dan para pendukungnya, doktrin (bila dapat disebut seperti itu) tersebut tidak begitu penting. Hal terpenting bagi mereka adalah bagaimana merebut kekuasaan yang sudah di depan mata tersebut.

Hal lain yang perlu dicatat dalam konteks ini adalah bahwa mereka yang bergabung dengan Muwiyah adalah mereka yang tidak sepaham dengan kebijakan Al dalam perang Siffin,26 orang seperti Amr berada dalam barisan Muwiyah dan berkat strategi diplomatik yang dilakukannya, Muwiyah berhasil menjadi penguasa (khalifah) meskipun tidak diterima oleh Al, sebuah usaha, menurut Lapidus, sia-sia, karena tidak mendapat dukungan kuat bahkan pasukan atau barisan Al menyempal menjadi beberapa kelompok yang sangat merugikan pihak Al.27
Pertanyaannya kemudian, apakah kelompok ini masih tetap solid pada saat al-asan dan pasukannya mengklaim diri sebagai khalifah yang sah?Jawabannya tentu dapat diterka. Mereka tetap solid, dan mendukung keinginan Muwiyah untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan al-asan. Hal itu terbukti dalam keterlibatan mereka pada fakta perdamaian antara al-asan ibn Ali dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn, yang dalam sejarah dikenal sebagai peristiwa ám al-jama’ah pada tahun 661 M/41 H.

Pertanyaan kemudian adalah, apakah al-asan ibn Ali juga melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan Muwiyah, terutama dalam usahanya merekrut massa agar masuk (berafiliasi) ke dalam barisannya? Tampaknya agak sulit untuk menjelaskannya. Tapi hal pasti yang dapat dijelaskan di sini adalah bahwa setelah khalifah Al ibn Abi °lib wafat pada tanggal 19 Ramadhan 40 H/ 24 Januari 661 M, penduduk penduduk Kufah, Basrah dan Madinah, merapat ke barisan Al, dan mereka melakukan bai’at atas diri al-asan, seperti disinggung pada bagian terdahulu. Hanya saja, apakah merapatnya mereka ke dalam barisan Al atau al-asan merupakan hasil kerja keras al-asan dalam usahanya merebut simpati massa muslim? Jawabannya tidak. Sebab, sejak masa ayahnya atau bahkan sebelumnya, al-asan tidak terlibat langsung dalam percaturan politik praktis, sehingga tidak memiliki pengalaman yang cukup baik dalam permainan politik. Al-asan justeru mendapat dukungan dari para pendukung Al, seperti Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah al-Khazraji,28 Jundub ibn Abd Allh,29 Abd Allh ibn Abbs,30 Ubaid Allh ibn Abbs,31 Ubaid Allh ibn Ziyd,32 Amr ibn Salmah al-Arhab,33 dan saudara-saudara al-asan, seperti al-usein ibn Al,34 dan lain-lain. Mereka inilah yang melakukan konsolidasi dengan kelompok Al lainnya, sehingga kelompok al-asan memiliki kekuatan untuk menandingi kekuatan Muwiyah, walaupun sebenarnya tidak mampu menandingi kekuatan Muwiyah, karena mereka yang berafiliasi dengan kelompok Muwiyah, dalam analisis Lapidus, adalah kaum aristokrat Arab yang memiliki pengaruh cukup kuat di msyarakatnya, dan tentu saja mereka adalah sekelompok orang yang tidak setuju dengan berbagai kebijakan Al, seperti disinggung pada bagian terdahulu. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian menjadi backing kuat bagi Muwiyah maupun al-asan.

B.Mereka yang Berada di Belakang al-asan
Perseteruan politik yang terjadi antara al-asan ibn Al bn Ab °lib dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn, setelah kematian Al, tidak akan menjadi persoalan yang krusial manakala masing-masing kelompok tidak mendapat dukungan kuat. Sebab, kanyataan menunjukan bahwa situasi politik pasca khalifah Al ibn Ab °lib semakin tidak menentu. Karena suasananya memang sudah kacau sejak Al naik tahta, dan ia tidak mampu menyelesaikannya. Hal itu ditandai dengan kemunculan kelompok pendukung Al ibn Ab °lib yang kemudian mencalonkan al-asan ibn Al sebagai khalifah pengganti Al.35 Pengangkatan ini tidak mendapat pengakuan dari kelompok Muwiyah ibn Ab Sufyn yang memang sejak lama menghendaki kedudukan dan jabatan politis sebagai orang nomor satu di dunia Islam.36

Kemunculan kedua kelompok besar ini dengan agenda dan tujuan politik masing-masing, semakin memperkeruh suasana politik pasca khalifah Al. Sebab keduanya berusaha mengajukan argumentasi masing-masing untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan. Di satu sisi, al-asan ibn Al yang telah mendapatkan pengakuan dari sebagian umat Islam yang berasal dari penduduk Kufah dan penduduk Persia, seperti dukungan dari Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah, tidak mendapat dukungan kuat dari penduduk Syria dan para pendukung Muwiyah.37 Di sisi lain, Muwiyah juga tidak mendapat legalitas kekuasaan dari para pendukung Al yang telah melakukan sumpah setia kepada al-asan untuk diangkat menjadi khalifah.38 Di sinilah letak permasalahannya. Muwiyah tetap pada pendiriannya untuk melakukan penyelididikan atas kematian Uthmn dan berusaha merebut hati massa Islam yang berada di luar wilayah Syria dengan didukung oleh orang-orang yang cukup dikenal dalam dunia politik Islam saat itu, seperti Amr ibn al-As, dan lain-lain.

Sementara itu, al-asan yang telah mendapatkan dukungan kuat dari para pendukungnya dan bahkan telah menyatakan sumpah setia, juga tidak ingin bergeming meskipun kemudian ia menyerah. Ia ingin melakakukan hal terbaik bagi kepentingan umat Islam yang tentu saja sepaham dengan dirinya. Untuk itulah al-asan ibn Al dengan tekad kuat untuk melakukan pemberantasan terhadap mereka yang tidak mau mengakui dirinya sebagai khalifah. Hanya saja pertanyaan yang patut dikemukakan di sini adalah: apakah ia memiliki kekuatan penuh untuk merealisasikan semua itu? Dari mana saja ia mendapatkan dukungan militer, dan seterusnya.

Oleh karena itu, hal yang patut dilihat dalam konteks ini adalah siapa orang-orang yang berada di belakang al-asan ibn Al. Mengapa mereka mau berjuang bersamanya untuk mempertahankan kedudukan al-asan yang telah mereka angkat sebagai khalifah. Hal ini menjadi semakin penting mengingat al-asan tidak mungkin mampu melakukan semua itu sendirian, karena ia dikenal oleh masyarakat luas kala itu bukan sebagai seorang pemimpin yang memiliki keterampilan kepemimpinan (leadership), melainkan sebagai seorang cucu Rasulullah Saw dan anak Al ibn Ab °lib,39 tokoh yang sangat dihormati di kalangan para pendukungnya. Sementara ia sendiri tidak memiliki catatan penting dalam perjalanan kariernya sebagai seorang politisi atau sebagai seorang pemimpin umat Islam. Hal ini sekali lagi menunjukan bahwa kenaikan al-asan bn Al ibn Ab °lib sebagai khalifah, bukan atas keinginan pribadinya untuk mempertahankan kekuasaan yang pernah dipegang oleh ayahnya, tapi ada semacam rekayasa dari kelompok tertentu, terutama mereka yang ingin mempertahankan status quo dan melanggengkan geneologi politik kekuasaan Al ibn Ab °lib yang berasal dari klan Ban Hashm yang mendapat dukungan kuat dari kelompok Persia atau dalam kata lain kelompok Mawli.40

Dukungan kelompok ini boleh jadi semakin kuat karena adanya ketidaksenangan kelompok tersebut kepada kelompok Muwiyah yang ingin mempertahankan trah aristokrasi Arab. Dalam kata lain, dukungan yang berasal dari kelompok masyarakat Persia dan Kufah ini menggambarkan adanya konflik internal umat Islam (Arab dan Mawli) di kalangan elit politik Islam saat itu. Kelompok Mawli tidak memunculkan nama tokoh mereka lebih disebabkan karena dalam status sosial mereka masih dikategorikan sebagai kelas kedua dari kelas sosial Islam yang ada saat itu. Sehingga mereka hanya menyalurkan aspirasi politik mereka lewat seorang tokoh yang menurut mereka cocok dan mampu mengemban aspirasi kelompok mereka, seperti kepada al-asan ibn Al. Meskipun teori ini tidak sepenuhnya benar, tetapi kenyataan sejarah menunjukan bahwa pada masa itu kebanyakan kelompok Mawli menyalurkan aspirasinya kepada al-asan ibn Al, bukan kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn.

Hal penting lainnya yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam konteks kajian ini adalah keterlibatan al-usein ibn Al, saudara kandung al-asan, yang berada di belakang kekuatan al-asan.41 Semula ia enggan membicarakan masalah suksesi kepemimpinan setelah ayahnya terbunuh. Apalagi memproklamirkan dirinya sebagai khalifah pengganti ayahnya. Karena itu, ketika ada sekelompok orang yang sebagian besar adalah pendukung ayahnya mendatangi dirinya dan memintanya untuk menerima jabatan khilafah, ia menolak tawaran itu. Penolakan ini didasari atas sebuah realitas politik bahwa al-asan ibn Al masih hidup42 dan Muwiyah ibn Ab Sufyn dengan kelompok pendukungnya tidak menyenangi apabila keluarga Al bermain dalam politik praktis. Karena itu permintaan penduduk Kufah ditolak dan ia menyarankan agar mereka pergi ke al-asan ibn Al, kakaknya ,untuk dimintai kesediaannya menjadi khalifah.

Dalam tradisi Arab yang sangat paternalistik, ketokohan Al ibn Ab °lib yang dianggap sebagai”pemimpin kharismatik”oleh para pendukungnya, juga kemungkinan besar dimiliki oleh anak keturunannya—padahal secara teoritis, kepemimpinan kharismatis tidak dapat diwariskan, melainkan berdasarkan sebuah proses perjalanan panjang dari sebuah kepemimpinan seserorang. Karena itu, kedatangan penduduk Kufah dan Persia ke al-asan menurut penilaian mereka sudah tepat. Mengingat ia adalah keturunan Al dan cucu Rasulullah Saw. Namun, ternyata harapan mereka tidak bisa diwujudkan dengan baik oleh al-asan, karena dalam perjalanan politik kemudian, al-asan menyerahkan kekuasaan kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn di Maskin pada tahun 41 H/661 M dan mengakui kekuasaan Muwiyah dengan membai’atnya sebagai khalifah43 Penyerahan kekuasaan ini mendapat respons beragam dari para pendukung al-asan (masalah ini akan dibahas tersendiri dalam sub bab berikutnya).

Dengan kata lain, keterlibatan al-usein dalam persoalan ini lebih disebabkan karena adanya unsur keluarga. Ia mau memberikan bantuan kepada al-asan karena ia adalah adik kandung. Meskipun keduanya memiliki pandangan yang berbeda dalam penyelesaian konflik internal umat Islam saat itu, ia tetap memberikan dukungan kepada al-asan. Al-asan—setelah mendengar panglimanya bernama Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah tewas di tangan pasukan Muwiyah— ia ingin menyelesaikan persoalan politik umat Islam diselesaikan dengan cara-cara damai dengan berbagai konpensasi yang ditawarkan. Sementara al-usein menginginkan sebaliknya, yaitu semua persoalan politik umat Islam, terutama konflik elit politik diselesaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan tradisi Arab pra Islam, yaitu peperangan.44 Hanya saja ia juga berpikir, tidak mungkin mengalahkan kekuatan Muwiyah yang begitu besar di Damaskus, sebuah kekuatan massa pendukung yang sudah lama berada di bawah pengaruh Muwiyah. Sementara kekuatan ”khalifah” baru tidak sebanding dengan kekuatan militer Muwiyah. Oleh karena itu, semua persoalan kemudian diserahkan kepada al-asan, terserah cara apa yang akan dipergunakannya untuk menyelesaikan konflik dan krisis politik umat Islam saat itu.

Oleh karena mendapat dukungan yang relatif cukup besar dari al-usein, maka al-asan terus melaju untuk”menaklukkan” kekuatan Muwiyah di Damaskus. Kepercayaan diri al-asan semakin bertambah manakala ada sahabat Nabi Muhammad Saw bernama Abd Allh dan Ubaid Allh ibn Abbs,45 memberikan dukungan kuat atas usahanya untuk menyelesaikan konflik politik internal umat Islam, agar keadaan menjadi aman dan tentram.

Dalam jajaran sahabat, Ubaid Allh ibn Abbs dikenal sebagai salah seorang sahabat yang memiliki peran penting di dalam proses perjalanan sejarah umat Islam. Ia ter¬masuk salah seorang gubernur Yaman yang diangkat Al ibn Ab °lib.46 Dalam konteks ini, dapat dibilang ia merupakan salah seorang arsitek untuk sebuah kekuasaan politik pemerintahan Islam, karena ia temasuk salah seorang pendukung kuat al-asan ibn Al untuk menjadi khalifah, bahkan ia sendiri juga termasuk salah seorang yang mengusulkan kepada al-asan agar khalifah mengatasi krisis atau konflik elite politik dengan cara memerangi Muwiyah di Damaskus.47

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kenaikan al-asan ibn Al menjadi khalifah mendapat dukungan kuat dari orang-orang yang berada di belakangnya. Meskipun pengaruh mereka dalam bidang politik tidak sekuat pengaruh para pendukung Muwiyah, tetapi realitas politik sekali lagi menunjukan bahwa para pendukung al-asan ibn Al juga bukan orang sembarangan, terutama al-usein ibn Al, Abd Allh ibn Abbs, Ubaid Allh ibn Abbs dan Qays ibn Sa’ad al-Khazraji,48 salah seorang keturunan tokoh besar Ansar, yaitu Sa’ad ibn Ubadah dari suku Khazraj. Mereka adalah sahabat dekat Al dan lawan politik Muwiyah ibn Ab Sufyn.

Oleh karena itu tak heran kalau al-asan ibn Al terus pada pendiriannya untuk menerima jabatan khilafah dan memimpin umat Islam, karena ia mendapat dukungan kuat dari orang-orang terdekat Nabi Muhammad yang memiliki reputasi cukup baik dan moralitas yang tidak dapat diragukan lagi. Dukungan inilah yang menebalkan hati dan semangat al-asan untuk tetap menerima usulan Qays ibn Sa’ad untuk melakukan serangan militer ke wilayah Damaskus, karena Muwiyah dianggap telah melakukan perlawanan dan persekongkolan dengan para pembangkang lainnya untuk merebut kekuasaan dan berusaha menjadi orang nomor satu di dunia Islam saat itu. Meskipun dalam perkembangan kemudian, ternyata al-asan tidak mampu menandingi kekuatan Muwiyah dan upaya-upaya yang dilakukan kelompok Muwiyah untuk menjatuhkan mental dan semangat kelompok al-asan dengan menyebarkan informasi kematian Qays ibn Sa’ad (meskipun kenyataannya tidak demikian, sebab ternyata Qays masih tetap hidup).

Penyebaran informasi kematian Qays yang dilakukan oleh kelompok tertentu, dalam hal ini bisa jadi kelompok Muwiyah, merupakan sebuah upaya bagus yang cukup efektif, karena kemudian al-asan ibn Al malah mengajak Muwiyah untuk menyelesaikan perseteruan tersebut dengan cara-cara damai.

Dengan kata lain, keberadaan dan peran yang dimainkan oleh tokoh- tokoh yang berada di belakang al-asan ibn Al, bukanlah orang yang tidak memiliki reputasi politik dan kepemimpinan di dalam perjalanan hidupnya. Mereka bahkan pernah memainkan peranan yang sangat penting di dalam proses perjalanan sejarah perpolitikan umat Islam. Lebih dari itu, mereka adalah representasi dari kelompok elite politik yang mewakili masyarakat kebanyakan yang tidak suka atas sepak terjang kepemimpinan Muwiyah ibn Ab Sufyn, baik pada masa kepemimpinannya di Damaskus sebagai gubernur tiga periode, maupun menjelang peralihan kekuasan pada masa kepemimpinan transisi al-asan ibn Al.

Meskipun mereka memiliki reputasi yang relatif cukup baik di dalam bidang kemiliteran dan sebagainya, tetapi sekali lagi, kelompok ini tidak mampu menandingi kekuatan kelompok Muwiyah. Ketidakmampuan ini kemungkinan disebabkan oleh kehebatan Muwiyah dalam mengatur strategi politiknya, sehingga dengan kepiawaian yang dimilikinya ia malah mampu menarik simpati para lawan politiknya. Selain itu, seperti ditegaskan pada bagian terdahulu mengenai biografi Muwiyah, ia termasuk salah seorang Arab yang memiliki kecerdasan, dan mampu memanfaatkannya dengan baik, selain ia juga memiliki sikap yang sangat tegas bahkan kejam bila tengah berhadapan dengan kekuatan lawan politiknya.

C.Mereka yang Berada di Belakang Muwiyah.

Perseteruan berkelanjutan antara Muwiyah ibn Ab Sufyn dengan keluarga Al ibn Ab °lib yang memperebutkan posisi strategis—khususnya soal khilafah—dalam pemerintahan Islam saat itu, terus berjalan hingga masa pemerintahan transisi pada masa al-asan ibn Al (41H/ 661M). Dengan menghembuskan isu yang hampir sama, Muwiyah mencoba merebut hati massa muslim lainnya agar ia mendapat dukungan kuat. Berbagai cara telah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, misalnya dengan mengusung isu kematian khalifah Uthmn ibn Affn dan keterlibatan orang-orang Al di belakang peristiwa tersebut, ketidakmampuan Al ibn Ab °lib dan keluarganya serta para pendukungnya untuk mengungkap kasus tersebut, hingga beredarnya informasi keengganan Muwiyah mengakui kekhilafahan al-asan, dan lain lain. Isu-isu tersebut sengaja disebarluaskan oleh para sekutu Muwiyah, guna melemahkan kekuatan lawan politiknya, terutama para pendukung al-asan. Usaha ini ternyata cukup efektif, karena kebanyakan penduduk Syria dan sekitarnya mendukung kebijakkan Muwiyah untuk menuntut balas dan mengusut tuntas kematian khalifah Uthmn ibn Affn dan menangkap para pelakunya untuk diadili.

Usahanya itu tidak hanya terbatas pada upaya melemahkan kekuatan lawan melalui penyebaran informasi yang belum tentu kebenarannya, dan propaganda politik yang dilakukannya,juga melalui upaya penyebaran penghinaan terhadap Al ibn Ab °lib dan keluarganya yang dilakukan oleh Marwan ibn al-Hakam dalam setiap khutbah Jum’at ketika ia menjadi gubernur di Madinah tahun 47 H,49 atau pertemuan yang dihadiri Muwiyah atau oleh para pendukungnya. Upaya ini dalam perjalanan sejarahnya kemudian ternyata cukup efektif di dalam melemahkan kekuatan al-asan ibn Al, sehingga ia berusaha untuk mencari cara lain guna mengatasi berbagai persoalan politik dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn dan para pengikutnya dengan cara-cara damai. Suatu usaha yang tidak mendapat dukungan kuat dari para pendukung al-asan sendiri, bahkan ia menuai protes dari beberapa orang yang semula mendukung mati-matian kepemimpinannya. Hal ini akan dibahas tersendiri pada bagian lain dalam bab ini.

Keberhasilan Muwiyah ibn Ab Sufyn dalam proses pencapaian kekuasaan dan cara-cara yang dilakukannya, tentu saja tidak dilakukannya sendirian, khususnya perolehan kekuasaan dari tangan al-asan ibn Al pada masa rekonsiliasi (Am al–Jama’ah) pada tahun 41 H/661 M di Maskin. Ia, tentu saja, mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak, misalnya dukungan dari Amr ibn al–As, Utbah ibn Ab Sufyn, Abd Allh ibn Amir, dan Abd al-Rahman ibn Samurah ibn Habib ibn Abd Syams, sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu. Mereka inilah yang boleh dibilang pendukung setia gerakan Muwiyah di dalam pencapaian tujuan tersebut. Selain mereka, tentu saja masih banyak orang yang terlibat atau melibatkan diri di dalam proses penyelesaian perseteruan antara Muwiyah ibn Ab Sufyn dengan al-asan ibn Al yang klimaksnya terjadi pada peristiwa am al-Jamah pada Jumadi al-akhir tahun 41 H/661 M.

Keberadaan kelompok pendukung ini sangat penting, karena mereka banyak memainkan peranan yang cukup siginifikan di dalam proses pencapaian tujuan Muwiyah ibn Ab Sufyn yang diawali dengan prosesi penyerahan kekuasaan dari tangan al-asan ibn Al ke tangan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Dalam perjalanan sejarah politik umat Islam, khususnya pasca-kekhalifahan Uthmn ibn Affn, orang seperti Amr ibn al-As, secara tidak langsung boleh dibilang sebagai salah”seorang arsitek” bagi proses pembentukan dinasti Bani Umayah, terutama setelah ia menggabungkan diri dengan Muwiyah. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam peristiwa tahkim. Di dalam peristiwa ini, Amr ibn al-Ash, yang dikenal sebagai seorang politisi” kawakan”, mampu mempengaruhi massa, terutama pendukung Al dengan kemampuan diplomatisnya untuk meletakkan senjata sambil menunggu keputusan proses penyelesaian konflik bersenjata tersebut. Kemampuan diplomatisnya ini ditunjukkan ketika ia terpilih sebagai delegasi yang mewakili kelompok Muwiyah untuk menyelesaikan perseteruan antara Muwiyah dengan Al yang diwakili oleh Ab Musa al-Asy’ary. Dalam persitiwa tersebut, ia menampakan kemampuannya dengan keberhasilannya”menanggalkan” jabatan khilafah dari tangan Al dan menetapkan Muwiyah sebagai pemimpin umat Islam.50 Hal ini menandai awal keberhasilan Muwiyah dalam meniti karir politiknya sebagai pemimpin umat Islam.

Meskipun hasil di Dawmat al-Jandal ini tidak diterima oleh Al ibn Ab Thalib dan para pendukung setianya, kenyataan sejarah menunjukan bahwa peristiwa tersebut mempengaruhi kinerja kepemimpinan khalifah Al, karena tidak sedikit para pendukung khalifah Al yang kemudian menyempal dan menuding khalifah Al tidak mampu di dalam mengatasi krisis politik internal yang tengah terjadi. Kelompok sempalan (sparatis) ini yang kemudian menamakan dirinya sebagai kelompok khawarij, menjatuhkan sangsi kepada para pelaku tahkim sebagai orang”kafir dan orang lalim”, yang tidak mendasari semua keputusannya kepada al-Qur’an. Kenyataan sejarah ini menunjukan sekali lagi bahwa keberadaan kelompok khawarij membuat pemikiran khalifah Al ibn Ab Thalib akhirnya terpecah, sehingga ia tidak hanya memfokuskan diri pada kelompok Muwiyah yang dengan jelas menjadi musuh utama, tetapi juga kepada kelompok sempalan ini. Dalam perkembangan berikutnya, kelompok separatis khawarij yang dikenal sebagai kelompok yang tidak merasa puas atas proses dan hasil dari penyelesaian krisis politik dan konflik bersenjata ini melalui tahkim,—suatu sikap politik yang sangat tidak konsisten karena pada awalnya merekalah yang menginginkan hal itu—, seringkali melakukan gerakan bawah tanah untuk menciptakan suasana ketidakstabilan pemerintahan, baik pada masa khalifah Al ibn Ab Thalib, pada masa al-asan ibn Al maupun pada masa kekhalifahan Bani Umayah.

Kemunculan kelompok khawarij ini boleh dibilang akibat dari kekecewaan mereka atas peristiwa tahkim yang salah satu aktornya adalah Amr bn al-As. Kondisi ini, dalam pengamatan penulis, sengaja diciptakan oleh Amr ibn al-As, agar suasana politik menjadi tidak menentu, sehingga ia bisa memainkan peranan politiknya bersama para sekutu Muwiyah lainnya untuk mencapai target akhir, yaitu menjatuhkan kekuasaan Al dan menguasai dunia politik umat Islam.

Namun kenyataan politik sesudah kejatuhan kekhalifah Al ibn Ab °lib berbicara lain. Sebab setelah kematian khalifah Al, sebagian pengikut setia Al beramai-ramai mendukung dan mengangkat al-asan ibn Al sebagai khalifah. Meskipun pengangkatan ini dianggap tidak sah atau illegal oleh para penentang Al ibn Ab °lib, terutama kelompok Muwiyah, karena dianggap tidak mendapat dukungan umat Islam. Namun realitas politik menunjukan bahwa al-asan ibn Al adalah seorang khalifah yang sah menurut para pendukung Al dan al-asan.
Selain Amr ibn al-As, tokoh lain yang juga memainkan peranan penting di dalam proses penyerahan kekuasaan dari tangan al-asan ibn Al kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn adalah U¯bah ibn Ab Sufyn, Abd Allh ibn Amir dan Abd al-Ramn ibn Samurah, seperti disebutkan pada bagian sebelumnya. Mereka ini dianggap orang-orang yang paling berjasa di dalam proses peralihan kekuasaan tersebut. Tokoh seperti Abd al-Ramn ibn Amir dan Abd al-Ramn ibn Samurah, paling tidak, di dalam biografi singkat yang telah dipaparkan dalam catatan kaki, memiliki reputasi baik di dalam pemerintahan, paling tidak pada masa al-Khulaf al-Rsyidn, hingga akhirnya turut pula di dalam masa pemerintahan awal dinasti Ban Umayah (661-750 M).

Oleh karena itu, keberadaan dan peran mereka di dalam masa-masa transisi dan masa awal pemerintahan dinasti Ban Umayah, tidak bisa diabaikan, selain karena kemampuan yang mereka miliki, juga karena mereka adalah kerabat dekat dan berasal dari kelompok elite aristokrasi Qurays yang masih memiliki pengaruh besar di dalam sistem perpolitikan saat itu. Apalagi ketika mereka diberi kepercayaan oleh Muwiyah ibn Ab Sufyn—sebagai salah seorang tokoh sentral dalam percaturan politik umat Islam ketika itu—untuk mewakili dirinya pada saat-saat krisis politik umat Islam, khususnya pada masa al-asan ibn Al, menjadi delegasi untuk membicarakan persoalan penyerahan kekuasaan dan segala bentuk kompensasi yang akan diminta al-asan ibn Al, termasuk kompensasi politik dan keamanan keluarga dan para sahabat al-asan kemudian.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berada di belakang Muwiyah ibn Ab Sufyn, baik menjelang dan pada saat peralihan kekuasaan dari tangan al-asan ibn Al ke tangan Muwiyah ibn Ab Sufyn, bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah representasi dari kelompok masyarakat aristokrasi Arab dan masyarakat kebanyakan yang memiliki pengaruh pada massa masing-masing, sehingga usaha yang ingin dicapai oleh Muwiyah dan kelompoknya dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang mereka inginkan, terutama Muwiyah ibn Ab Sufyn yang sejak lama memimpikan jabatan strategis sebagai orang nomor satu di dunia Islam.

D.Am al-Jamah: Sebuah Ekuilibrium dan Media Pemersatu?
Dalam perjalanan sejarah umat Islam, terdapat satu masa dan peristiwa yang kurang mendapatkan perhatian secara proporsional, terutama masa-masa transisi dari masa Al ke al-asan dan Muwiyah. Masa yang dimaksud mengandung sebuah peristiwa penting yang—paling tidak untuk sementara waktu—dapat mempersatukan barisan umat Islam yang pernah bercerai berai akibat perseteruan, peristiwa tersebut dalam sejarah Islam dikenal dengan peristiwa am al-Jamah. Peristiwa ini mengandung pro kontra antara pendukung dan penentang masing-masing pihak. Mereka yang mendukung tentu saja berasal dari kelompok Muwiyah ibn Ab Sufyn yang memang sudah sejak lama memimpikan untuk menjadi penguasa nomor satu di dunia Islam. Sementara mereka yang menentang dan kecewa atas terjadinya peristiwa tersebut adalah kelompok pendukung Al ibn Ab °lib yang semula banyak menaruh harapan baru dari pengangkatan al-asan sebagai khalifah.

Peristiwa am al-Jamah diawali oleh sebuah peristiwa penting yang terjadi pasca-kekhalifahan Al ibn Ab °lib. Pada tahun 41 H/61 M, umat Islam yang berdomisili di Kufah, Basrah dan sebagian penduduk Persia, beramai-ramai datang menghadap al-asan ibn Al untuk menyatakan sumpah setia (bai’at) dan mengangkatnya menjadi khalifah.51

Proses pengangkatan ini menjadi kontroversial, karena kedua kelompok masing-masing beragumentasi bahwa merekalah yang paling pantas untuk menjadi khalifah setelah kematian khalifah Al ibn Ab °lib. Menurut para pendukung al-asan—yang kemudian dikenal dalam sejarah dengan sebutan Syiah Al—bahwa proses pengangkatan tersebut lebih merupakan sebuah wasiat yang diberikan Al ibn Ab °lib menjelang wafatnya kepada al-asan. Dalam kata lain, kekhalifahan itu adalah sebuah wasiat yang harus dijalankan oleh kedua anaknya dan para pengikut setia Al. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam komentar al-Allamah Syaikh Zainuddin Ab Muammad Al ibn Yuns, seperti ditegaskan pada bagian sebelumnya. Dia menjelaskan bahwa setelah Al ibn Ab °lib terbunuh pada malam naas itu, Al ibn Ab °lib memanggil kedua anaknya, yakni al-asan dan al-usein. Di depan keduanya, Al berujar; “Dengarkanlah hai anakku, semalam aku terkena tikaman, maka kemarilah dan dengarkanlah aku. Kamu hai al-asan, lanjutkanlah tugas (berat) ini setelah aku meninggal. Sedang kau al-usein, bantulah al-asan, dengarkan apa yang dikatakan dan ikutilah dia selagi ia masih berada dalam jalan lurus. Apabila ia meninggal dunia, maka engkaulah yang akan menjadi penerusnya. Kemudian Al ibn Ab °lib menulis sebuah surat wasiat yang kemudian dijadikan sebagai dasar pijakan para ulama, para fuqaha untuk menentukan pemimpin sesudahnya”.52 Dasar inilah, menurutnya,yang kemudian dijadikan pedoman masyarakat untuk memilih dan mengangkat al-asan ibn Al menjadi khalifah, menggantikan kedudukan ayahnya.

Sementara dalam pandangan kelompok Muwiyah ibn Ab Sufyn tidak ada yang namanya wasiat di dalam penentuan khilafah sesudah Al ibn Ab °lib terbunuh. Karena itu, pengangkatan al-asan ibn Al sebagai khalifah dipandang oleh Muwiyah dan para pendukungnya yang berasal dari wilayah Damaskus, Syria dan belahan wilayah Arab utara, tidak boleh terjadi.53 Mereka memandang, bahwa pengangkatan seorang khalifah, termasuk al-asan ibn Al, harus mendapat pengakuan dari para sahabat dan dukungan mayoritas umat Islam, baik yang ada di wilayah utara maupun mereka yang berada di wilayah selatan, dan sekitaranya. Usaha ini, sekali lagi dalam pandangan penulis, lebih merupakan upaya strategis Muwiyah ibn Ab Sufyn dan para sekutunya untuk menggagalkan usaha pengakuan al-asan ibn Al sebagai khalifah.

Sebab, pada saat itu, para sahabat besar yang ikut dalam perang Badar (ahl al-Badr) seperti Ab Bakar, Umar ibn al-Kha¯¯b, Uthmn ibn Affn, Al ibn Ab °lib, °alhah ibn Ubaid Allh, Sai’d ibn Ziyd,Amr ibn Nuvail, dapat dikatakan tidak ada, karena sebagian di antara mereka ada yang telah menyebar ke berbagai daerah pada masa khalifah Uthmn ibn Affn, dan ada pula yang telah meninggal dunia, seperti Ab Bakar al-Shiddieq, Umar ib al-Kha¯¯b, dan Uthmn ibn Affn. Dengan demikian tampaknya sulit baginya untuk memper¬oleh pengakuan dan legitimasi sebagai bentuk dari legalitas kepemimpinannya.

Selain itu, mereka tetap menuntut agar kasus pembunuhan khalifah Uthmn ibn Affn harus segera dituntaskan dan para pelakunya diadili. Akan tetapi, semua itu dianggap oleh para pendukung al-asan ibn Al hanya sebagai upaya strategi Muwiyah ibn Ab Sufyn dan para pendukungnya untuk melemahkan kekuatan al-asan ibn Al dan mencari dukungan massa muslim lainnya yang berada di luar wilayah kekuasaan Muwiyah.

Upaya strategis berupa tipu daya yang dilakukan kelompok Muwiyah ditanggapi dengan serius oleh kelompok al-asan ibn Al, terutama oleh Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah, Abd Allh ibn Abbas dan Ubaid Allh ibn Abbas. Bahkan Qays ibn Sa’ad menyarankan kepada al-asan untuk datang ke Damaskus dan melakukan serangan ke wilayah”kekuasaan”Muwiyah ibn Ab Sufyn.54 Usulan ini didasari atas kenyataan politis bahwa Muwiyah telah melakukan tindakan penolakan terhadap kepemimpinan al-asan yang telah jelas mendapat pengakuan dari masyarakat Kufah, Basrah dan sebagian penduduk Parsi. Penolakan ini dipandang oleh Qays ibn Sa’ad sebagai sebuah pembangkangan politik. Sebagai konsekuensi politis yang harus ditegakkan kepada para pembangkang, terutama Muwiyah dan para sekutunya adalah mereka harus diperangi, karena mereka termasuk ke dalam kelompok penentang khalifah.55

Sementara itu menurut para pendukung Muwiyah, dalam situasi seperti itu, semestinya ada proses penyelesaian berbagai persoalan yang tengah melanda umat Islam, antara lain soal kepemimpinan atau khilafah. Karena perdebatan antara kedua kelompok itu mengenai soal khilafah, menjadi semakin rumit, karena keduanya berpendapat merekalah yang paling pantas mendapatkan kedudukan tersebut. Al-asan ibn Al dan para pendukungnya memandang bahwa pihak Al-asanlah yang pantas menjadi khalifah, karena ia telah mendapat pengakuan dari umat Islam sebagai khalifah setelah kematian Al. Sementara kelompok Muwiyah berpendapat bahwa setelah Al ibn Ab °lib terbunuh, penduduk Syam, Syria, secara berbondong—bondong telah melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Muwiyah. Mereka telah mengangkatnya menjadi khalifah pengganti khalifah Al ibn Ab °lib yang tewas terbunuh.56

Dengan demikian, hemat penulis, maka wajar kalau kemudian keduanya memandang bahwa merekalah yang paling berhak untuk menentukan perjalanan sejarah politik umat Islam. Merekalah orang yang paling tepat untuk menentukan pilihan siapa yang dianggap paling berkualitas untuk menjadi pemimpin umat Islam saat itu. Oleh karena itu, pertentangan antara dua kelompok yang memiliki kepentingan masing-masing ini tidak bisa dihindari lagi, karena mereka memiliki agenda politik yang sama untuk memperoleh jabatan khilafah dengan dasar dan argumentasi masing-masing.
Melihat kenyataan politik seperti itu, seperti telah dkemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa salah seorang pendukung setia al-asan ibn Al mengusulkan agar Muwiyah dan para sekutunya ditindak tegas dengan cara memerangi mereka. Usulan tersebut direspons dengan setengah hati oleh al-asan ibn Al, karena ia memiliki pandangan berbeda dengan para pendukungnya. Al-asan ibn Al lebih memilih jalan dialog dan perdamaian, ketimbang lewat peperangan.57 Meskipun begitu, kemudian ia tetap memerintahkan Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah untuk memimpin pasukan itu menuju Syam. Perintah tersebut disanggupi oleh Qays. Dengan berbekal pasukan sekitar 12 000 (sic) tentara, Qays pergi menuju Syam. Pasukan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan “Pasukan Devisi Lima”.58

Berita keberangkatan Qays dan pasukanya menuju Syam terdengar oleh Muwiyah dan para sekutunya. Sehingga Muwiyah pun pergi menghadang pasukan yang dikirim al-asan tersebut. Kenyataan ini menunjukan sekali lagi bahwa situasi politik umat Islam saat itu sangat kritis. Kedua kelompok bertikai tidak mau saling menahan diri dan menyelesaikan semua persoalan dengan kepala dingin lewat perundingan atau dengan cara–cara damai. Qays ibn Sa’ad yang merasa mewakili al-asan dan umat Islam karena ia telah ditunjuk untuk memimpin pasukan ke Syam, merasa paling berhak untuk membela al-asan sebagai seorang khalifah yang sah dengan cara menghancurkan kelompok yang enggan melakukan sumpah setia atas kepemimpinan al-asan sebagai khalifah baru pengganti Al ibn Ab °lib. Sementara Muwiyah memiliki perasaan yang sama, bahwa ia telah mendapat sumpah setia dari masyarakat Syam dan sekitarnya untuk menjadi pemimpin umat Islam saat itu. Hanya saja ada sedikit perbedaan antara kedua tokoh yang tengah dilanda pertengkaran, Muwiyah ibn Ab Sufyn memiliki pengalaman panjang dalam karier politiknya, dan memiliki pengetahuan luas mengenai watak masyarakat Arab, sehingga ia dengan mudah melakukan berbagai cara untuk memenangkan perseteruan tersebut. Sementara al-asan, tidak memiliki reputasi dan prestasi dalam bidang politik pemerintahan, apalagi menjadi salah seorang gubernur seperti Muwiyah ibn Ab Sufyn yang telah berkuasa lebih kurang selama 20 tahun sebagai gubernur di Arab bagian utara.59

Sebenarnya, al-asan ibn Al menyadari posisinya yang kurang kuat bila dibandingkan dengan kekuatan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Hal itu terjadi, karena beberapa hal. Pertama, ia masih muda dalam pengalaman dan tidak memiliki keahlian dalam kepemimpinan (leadership).60 Kedua, ia memiliki sifat suka kawin cerai,61 yang–paling tidak—melemahkan daya juang dan semangat untuk menempuh sesuatu dengan gigih. Ketiga,ia mendapat dukungan dari penduduk Kufah dan Basrah yang kurang loyal terhadap pemimpin.62 Sehingga ia memiliki daya tawar yang lemah untuk melawan kekuatan Muwiyah dan para sekutunya. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain baginya kecuali menyelesaikan semua persoalan dengan cara-cara damai.
Keinginannya untuk melakukan tindakan penyelesaian perseteruan antara dirinya dengan Muwiyah dan para pendukungnya, telah lama diutarakan, terutama kepada Abd Allh ibn Abbas. Tetapi ia belum memiliki kesempatan yang tepat untuk membicarakannya.

Keinginan tersebut baru dilaksanakan setelah Qays ibn Sa’ad dan pasukannya pergi menuju Syam guna menyerang kekuatan kelompok Muwiyah. Hal itu dilakukan al-asan ibn Al karena ia tahu bahwa kalau keinginannya untuk berdamai dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn, tidak disetujui oleh Qays ibn Sa’ad.63 Dengan demikian, perintah al-asan ibn Al kepada Qays ibn Sa’ad untuk menyerang Damaskus boleh dibilang hanya sebagai salah satu cara al-asan ibn Al agar keinginan untuk berdamai dengan Muwiyah tidak mendapat hambatan.

Sementara itu, Qays ibn Sa’ad dan pasukannya yang tengah menuju Damaskus bertemu dengan pasukan Muwiyah di Maskin. Tidak terjadi kontak senjata antara kedua pasukan tersebut. Mereka saling menahan diri untuk tidak terjebak di dalam perseteruan yang lebih dalam lagi. Pada saat bersamaan, ketika al-asan tengah berada di Madain, terdengar berita kematian Qays ibn Sa’ad. Isu ini tampaknya sengaja dihembuskan oleh kelompok atau orang-orang yang tidak menginginkan perseteruan dilanjutkan, baik mereka yang berasal dari kelompok al-asan sendiri maupun dari kelompok Muwiyah. Tidak diketahui siapa orang pertama yang menghembuskan isu mengenai kematian Qays tersebut. Hal pasti yang dapat dijelaskan di sini adalah bahwa isu itu–paling tidak–mempengaruhi daya juang dan semangat kompok al-asan. Hal ini dapat dilihat dari semakin kuatnya keinginan al-asan ibn Al untuk menyelesaikan perseteruan antara dia dengan Muwiyah dengan cara-cara damai.

Persoalannya adalah apakah tindakan al-asan ibn Al ini mendapat dukungan dari para sekutunya atau tidak. Karena ternyata, keinginan ini menimbulkan pro dan kontra di dalam barisan al-asan sendiri. Al-usein sendiri, misalnya menolak keinginan kakaknya tersebut. Hanya saja ia tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti kemauan kakaknya itu. Bahkan dalam konteks ini al-asan ibn Al mengingatkan al-usein ibn Al agar tidak mencampuri urusan ini.64

Dengan demikian, keinginan al-asan ibn Al untuk tetap pada pendiriannya bahwa semua perselisihan dengan Muwiyah harus segera diselesaikan dengan cara-cara damai, tidak terbendung. Karena hal itu, menurut perkiraan al-asan, merupakan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan perseteruan antara kedua belah pihak yang tengah bertikai. Selain itu,–pada saat itu—ia adalah seorang khalifah pilihan mereka yang memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan terbaik demi kemaslahatan umat. Namun begitu, ia tetap membicarakan masalah penting ini dengan Abd Allh ibn Abbas yang direspons positif olehnya. Maka dari itu, al-asan ibn Al memerintahkan Abd Allh ibn Abbas untuk menyampaikan surat perdamaian yang harus segera dikirim ke Muwiyah ibn Ab Sufyn yang saat itu tengah berada di Maskin.
Surat tersebut berisi persyaratan–persyaratan yang harus dipenuhi Muwiyah ibn Ab Sufyn bila ingin memperoleh apa yang diinginkan saat itu, yaitu jabatan khilafah sebagai bagian dari bentuk legalitas kepemimpinannya yang menjadi bukti kongkret pengakuan umat atas kepemimpinnya itu. Di antara isi persyaratan yang diminta al-asan adalah sebagai berikut:

a.bahwa kekuasaan atau khilafah harus diserahkan kepada umat Islam untuk
menentukannya kelak setelah Muwiyah meninggal,
b.bahwa Muwiyah harus menyerahkan sebagian harta Bait al-Mal kepadanya sebagai
bentuk perjanjiann dengan Muwiyah.
c.bahwa Muwiyah tidak lagi mencaci maki bapaknya serta keluarganya. Muwiyah
menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah Dar Ibjirad kepada asan setiap
tahun.65
d.bahwa Muwiyah tidak menarik sesuatu dari penduduk Madinah, Hijaz dan Irak,
karena hal itu telah menjadi kebijakan ayahnya, Al ibn Ab °lib, sejak ia
masih berkuasa.66

Semua persyaratan yang diminta al-asan disanggupi oleh Muwiyah ibn Ab Sufyn. Sebagai realisasi dan tindak lanjut dari isi perjanjian itu kedua belah pihak mengirim utusan masing-masing. Dari pihak al-asan ibn Al, ia mengutus seorang sahabatnya bernama Abd Allh ibn al-Harits ibn Nauval untuk bertemu dengan Muwiyah di tempat yang telah dijanjikan, yaitu di Madain. Sementara dari pihak Muwiyah, ia mengutus orang-orang kepercayaannya, seperti Abd Allh ibn Amir ibn Kurayz dan Abd al-Rahman ibn Samurah ibn Habib ibn Abdi Syams untuk menyampaikan pesan kepada al-asan. Utusan Muwiyah tiba di Madain dan memberikan semua permintaan al-asan.67

Untuk mewujudkan semua permintaana itu dan keinginan al-asan supaya semua persoalan diselesaikan dengan cara–cara damai, al-asan kemudian mengirim surat kembali kepada Muwiyah agar dapat mereka bertemu di suatu tempat, yaitu Maskin. Permintaan itu sekali lagi dipenuhi Muwiyah. Hal ini ditandai dengan keberangkatan Muwiyah menuju tempat yang telah disepakati itu.

Sebelum prosesi penyerahan “kekuasan” dari al-asan ibn Al kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn, di tempat yang disepakati bersama, di jembatan Manbaj, sungai Dajlah (Tigris), Maskin. Mereka tidak bertemu langsung dengan bertatap muka dalam satu meja, melainkan berseberangan di jembatan Manbaj, sungai Tigris. Di tempat yang bersebarangan itu di sungai Tigris mereka bertemu dan menegosiasikan keinginan masing-masing melalui surat yang dikirim dan dibawa oleh utusan masing-masing. Peristiwa ini berjalan hampir enam hari bahkan ada yang mengatakan satu minggu.68 Pada kesempatan akhir pertemuan itu, Muwiyah menginginkan satu syarat, yaitu agar al-asan mau menyerahkan Qays ibn Sa’ad kepada pihak Muwiyah untuk dipotong lidah dan kedua tangannya. Namun permintaan ini ditolak oleh al-asan. Bahkan al-asan mengancam bahwa ia dan para pengikutnya tidak akan melakukan bai’at kepada Muwiyah apabila ia tetap pada pendiriannya itu. Mendengar”ancaman”ini, Muwiyah ibn Ab Sufyn akhirnya melemah. Kemudian ia menyerahkan secarik kertas putih kepada asan dan memintanya untuk menuliskan keinginan dan harapannya.”Tulis apa yang kau kehendaki,pasti semua aku akan penuhi “.69

Sikap Muwiyah ibn Ab Sufyn yang mulai melunak ini bukan menandakan adanya kelemahan di dalam dirinya, melainkan suatu kelebihan dan sekaligus kekuatan yang dimiliki seorang pemimpin. Selain itu, hal ini merupakan satu strategi yang dimiliki Muwiyah agar al-asan mau menyerahkan dengan segera”kekuasaan”yang ada di tangannya. Setelah permintaan al-asan ibn Al dipenuhi, termasuk penolakan persyaratan terakhir yang dimajukan Muwiyah, al-asan ibn Al kemudian menyerahkan “kekuasaan”kepada Muwiyah dengan menyatakan sumpah setia (bai’at) kepada Muwiyah. Peristiwa penyerahan ini terjadi pada bulan Rabi’al–Awwal dan ada pula yang menyebutkan Rabi’al-akhir tahun 41 H/661 M.70 Setelah penyerahan “kekuasan”al-asan kembali ke kediamannya di Madain.

Usai pengakuan kekuasan itu dan sekaligus pembaiatan, al-asan ibn Al dan Muwiyah ibn Ab Sufyn pergi menuju kota Kufah. Di kota inilah al-asan mengumpulkan para pembesar masyarakat dan meminta para pengikut¬nya itu untuk melakukan sumpah setia (bai’at) seperti yang telah dilakukannya.71
Semula al-asan menurut al-°abr tidak berkeinginan untuk tampil di hadapan para pengikutnya di Kufah menjelaskan masalah yang baru saja terjadi. Tetapi karena desakan Amr ibn al-As kepada Muwiyah agar memberikan kesempatan kepada al-asan untuk menyampaikan informasi penting mengenai peristiwa yang baru saja terjadi di Maskin. Salah satu argumentasi yang dikemukakan oleh Amr ibn al-As adalah bahwa al-asan adalah seorang tokoh yang diangkat oleh penduduk Kufah.

Meskipun ia pemimpin, ia memiliki kelemahan-kelemahan, seperti al-asan masih
terlalu muda untuk menjadi seorang pemimpin, dan sebagainya. Selain itu, apabila Muwiyah ibn Ab Sufyn sendiri yang menjelaskan persoalan rekonsiliasai tersebut, akan berdampak—paling tidak—para pengikut al-asan akan mencibir dan memalingkan muka untuk tidak mengakuinya sebagai khalifah baru penggnati al-asan. Akhirnya permintaan Amr disetujui Muwiyah dan tampillah al-asan di muka para sahabatnya. Di sini ia menjelaskan bahwa “kalian telah membai’atku dan memberikan kepercayan kepadaku untuk menyelamatkan orang yang telah menyerahkan diri dan memerangi mereka yang mau memerangiku. Akan tetapi kini aku telah melakukan bai’at kepada Muwiyah, maka dengarkan dan patuhilah segala perintahnya”.72 Ucapan ini sebagian di dengar dan dilakukan oleh para sahabat al-asan ibn Al, sebagian lagi enggan melakukannya, termasuk al-usein ibn Al dan Qays ibn Sa’ad. Karena al-asan dipandang telah mengkhianati kepercayaan orang-orang yang telah membai’atnya.

Keberhasilan Muwiyah memperoleh ”kekuasan” dan pengakuan dari para pengikut al-asan ibn Al di Kufah, merupakan bukti kepiawaian Muwiyah ibn Ab Sufyn dalam memainkan peran politiknya sebagai seorang yang sangat ahli dalam bidang ini. Dengan demikian, Muwiyah ibn Ab Sufyn telah menggapai cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi al-asan ibn Al sebagai khalifah. Setelah berhasil memperoleh pengakuan dari al-asan dan para pendukungnya di kota Kufah dengan kompensasi besar berupa uang sejumlah satu juta dirham yang diberikan kepada al-asan ibn Al, Muwiyah kemudian pergi ke kota Basrah meminta agar penduduk kota tersebut melakukan hal yang sama seperti saudara-saudara mereka di Kufah.

Harapan Muwiyah agar penduduk kota Basrah mau melakukan Ba’iat kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn kurang direspons dengan baik, karena mereka menolak untuk melakukannya. Penolakan mereka didasari atas kenyataan perilaku politik al-asan ibn Al yang telah “menjual”kepercayaan dan amanah yang mereka titipkan dengan hal-hal yang bersifat material dan keduniaan. Mereka kecewa dengan sikap al-asan ibn Al dan orang-orang yang selama itu diberi kepercayaan oleh penduduk Basrah. Apalagi konsesi atau kompensasi yang diterima al-asan ibn Al diambil dari harta yang tersimpan di Bait al-mal. Karena menurut mereka, harta tersebut merupakan harta umat Islam yang diperolehnya dari hasil peperangan (fa’i) dan tidak akan diberikan kepada siapapun, termasuk kepada al-asan ibn Al.73 Dengan demikian, mereka tidak mau melakukan perintah al-asan ibn Al untuk membai’at Muwiyah sebagai pemimpin mereka. Untuk lebih jelasnya masalah ini akan diuraikan pada sub bab berikutnya.

Meskipun tidak mendapat pengakuan secara resmi dari masyarakat Basrah, Muwiyah tetap melakukan propaganda kepada masyarakat di seluruh wilayah kekuasaan Islam agar mereka mau mengakui dan tunduk kepada khalifah yang baru. Karena pemimpin mereka yang lama, yakni al-asan ibn Al telah mengakui kekuasaan Muwiyah, dan karenanya ia meminta semua pendukung al-asan mematuhi segala perintah dan tunduk atas segala kebijakan yang dibuat Muwiyah ibn Ab Sufyn.74
Dengan pengakuan ini, posisi Muwiyah semakin menjadi kuat karena secara de jure dan de facto kekuasaan itu telah berada di tangan Muwiyah ibn Ab Sufyn, suatu jabatan penting yang telah lama dinantikan Bani Umayah. Dalam konteks ini, Marshall G.S. Hodgson, mengatakan, terlepas dari apakah perolehan kekuasan itu dilakukan secara terpaksa atau tidak, yang jelas pada akhirnya Muwiyah diterima sebagai khalifah umat Islam.75 Dengan demikian, berdirilah dinasti baru, yaitu Dinasti Bani Umayah yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Hal ini juga menandai berakhirnya sistem pemerintahan khilafah yang didasari atas asas “demokrasi”untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka.

Meskipun kemudian banyak yang kecewa atas sikap al-asan ibn Al yang mau begitu saja mengakui kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn dan tunduk di bawah kekuasaannya, tetapi di pihak Muwiyah, peristiwa pengakuan tersebut tersebut mengandung makna yang sangat penting dalam proses pembentukan dinasti Bani Umayah, karena Muwiyah ibn Ab Sufyn adalah orang pertama yang menjadi penguasa dari dinasti tersebut. Bahkan dalam riwayat al-Baladzury disebutkan, Muwiyah telah dianggap sebagai raja di mata sahabatnya, terutama di mata Sa’ad ibn Ab Waqqas.76
Hanya saja pertanyaan yang patut dimajukan di dalam konteks ini adalah, apakah peristiwa am al-Jamah mampu menyatukan eleman-eleman atau unsur-unsur yang ada di dalam masyarakat Islam saat itu. Ataukah peristiwa tersebut mampu meredam gejolak politik umat Islam, meskipun hanya sementara.

Untuk memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, kiranya memerlukan kajian khusus melalui data-data yang ada. Berdasarkan data sementara yang penulis ketahui, bahwa peristiwa am al-Jamah yang terjadi pada tahun 41 H/661 M berdampak pada adanya perubahan sikap masyarakat terhadap kedua pelaku peristiwa tersebut. Karena, ternyata tidak semua pendukung al-asan menerima kenyataan politik yang baru saja terjadi. Ada sebagian pendukung al-asan ibn Al yang menerima kenyataan tersebut, seperti Abd Allh ibn Abbas, sebagian penduduk Kufah dan Persia, dan ada pula yang menolak mengakui kekhilafahan Muwiyah ibn Ab Sufyn dan membenci al-asan ibn Al, seperti penduduk Basrah dan beberapa orang tokoh yang pada awalnya mendukung al-asan bahkan meminta al-asan untuk menjadi khalifah, seperti Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah, Sa’ad ibn Mas’ud, gubernur Madain, Sulaiman ibn Surad, bahkan adiknya sendiri al-usein tidak mau mengakui kekhalifahan Muwiyah ibn Ab Sufyn.77 Menurut al-Suyuty, ada sahabat al-asan ibn Al, dalam konteks ini, al-Suyuthy tidak menyebutkan nama sahabat dimaksud, mengejek al-asan dengan kata-kata yang cukup pedas. Tapi ibn Qutaybah menyebut jelas nama dimaksud, yaitu Sulaiman ibn Surad. Sulaiman berkata dengan kalimat yang mengejek al-asan” Hai penghina (pecundang) orang-orang mukmin. Dijawab al-asan. Lebih baik jadi pecundang daripada jadi api. Kemudian ada pula yang mengucapkan ejekan kepada al-asan.” Selamat, wahai penghina kaum mukmin. Dijawab al-asan. Aku bukan penghina, aku hanya tidak menginginkan agar kalian tidak menjadi sasaran empuk (untuk dibunuh) oleh kekuasaan.”78

Sikap al-asan yang mengacuhkan perasaan para sahabatnya ini, menurut al-°abr membuat mereka semakin tidak suka atas diri al-asan dan juga Muwiyah, seperti disinggung pada bagian di atas. Sebenarnya mereka berkeinginan agar al-asan melakukan perlawanan terhadap Muwiyah, bukan dengan jalan melakukan kompromi untuk menyerahkan dan mengakui kekuasaan Muwiyah. Akan tetapi, al-asan memiliki pemikiran berbeda dengan pendapat para sahabat dan para pendukungnya, ia memilih jalan damai karena ia memang tidak suka kekarasan dan menghendaki semua persoalan yang selama ini terjadi di kalangan internanl umat Islam, harus segera diselesaikan, meskipun ia harus mengurbankan kepercayaan yang sudah diterimanya dari para pendukung yang telah membai’atnya.79

Kenyataan ini menunjukan sekali lagi bahwa peristiwa am al-Jamah tidak banyak mendapat respons positif dari para pengikut al-asan sendiri, tetapi dari kalangan Muwiyah, tentu saja menyambutnya dengan baik. Karena dengan begitu, mereka akan mendapatkan porsi jabatan sesuai atau kedudukan dengan investasi politik yang selama itu mereka berikan untuk membela dan mendukung perjuangan Muwiyah.

Meskipun begitu, untuk sementara waktu paling tidak, peristiwa rekonsiliasi (am al-Jamah) berdampak pada adanya perubahan dan perilaku politik umat Islam. Umat Islam mulai berusaha untuk bersatu di bawah bendera Muwiyah. Hal ini dapat dilihat dari sebuah dialog antara Qays ibn Sa’ad dengan pasukannya. Seperti diriwayatkan al-°abr dalam kesempatan itu, Qays ibn Sa’ad bertanya kepada para prajurit yang menjadi andalannya.”Wahai prajuritku, kalian semua boleh memilih, apakah kalian mau mematuhi seorang imam (pemimpin) yang sesat atau berperang tanpa ada seorang imampun. Mereka menjawab, tidak. Kami lebih memilih patuh kepada seorang imam yang sesat daripada berperang.”80

Jawaban ini tentu saja mengecewakan Qays ibn Sa’ad. Karena sebenarnya ia menginginkan jawaban yang mendukung keinginannya untuk berperang melawan kekuatan musuh, ketimbang tunduk di bawah kekuasaan seorang pemimpin yang tidak disukainya. Akan tetapi kenyataan politik berbicara lain. Semua prajuritnya lebih memilih berpihak kepada Muwiyah ketimbang harus mengurbankan nyawa dalam pertempuran yang belum tentu kemenangan berada di pihak mereka. Selain itu, peperangan berdampak pada melemahnya kekuatan umat Islam secara keseluruhan. Suatu hal (persatuan) yang mestinya dipertahankan dan dijadikan sebagai bagian dari dasar-dasar kehidupan masyara¬kat muslim.

Oleh karena itu, sebenarnya hal penting yang ingin dikatakan di sini adalah bahwa peristiwa am al-Jamah—paling tidak untuk sementara waktu—mampu menjawab berbagai persoalan umat Islam, terutama soal kepemimpinan atau khilafah. Sebab setelah peristiwa itu, masyarakat muslim dapat dikatakan telah bersatu di bawah seorang khalifah, yaitu Muwiyah ibn Ab Sufyn, meskipun ada saja kelompok atau orang yang yang tidak suka terhadap kepemimpinan Muwiyah ibn Ab Sufyn.
Selain itu, gejolak politik juga sudah dapat diminimalisir, karena setelah peristiwa pengakuan kekuasaan dan pengakuan atas kekuatan politik Muwi¬yah, Muwiyah dengan politik” tangan besinya”mampu meredam sementara perseteruan politik umat Islam. Karena hanya dengan dua alternatif yang harus diperoleh masyarakat, menyatu dan bergabung atau dipengaruhi. Dengan kekuatan tangan besi inilah dapat diatasi. Di sinilah makna ekuilibrium dari sebuah peristiwa, yaitu adanya ketenangan dan keseimbangan atau stabilitas kehidupan sosial politik dan lain-lain dalam tatanan masyarakat muslim saat itu.

E.Am al–Jama’ah dan Reaksi Masyarakat Muslim.
Seperti telah disinggung sedikit pada bagian terdahulu, bahwa upaya yang dilakukan al-asan ibn Al untuk menyelesaikan berbagai konflik dan ketegangan politik serta perseteruan antara dirinya dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn, menimbulkan pro-kontra, baik di antara mereka yang pernah mendukung kepemimpinan al-asan maupun mereka yang memang tidak setuju atas pengangkatan tersebut.

Salah seorang tokoh terkenal yang pernah mendukung pengangkatan al-asan ibn Al dan bahkan ia dikabarkan orang pertama yang meminta supaya al-asan membentangkan kedua tangannya untuk dibai’at adalah Qyas ibn Sa’ad ibn Ubadah, menyesalkan tindakan al-asan, dan juga sikap para prajuritnya yang selama itu membelanya di berbagai peperangan, malah lebih memilih berdamai dan bergabung dengan Muwiyah, merskipun Muwiyah dipandang orang lalim.81 Seperti disinggung pada bagian sebelumnya, bahwa Qays bukan orang sembarangan, dia termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad.82 Menurut al-Waqidi,83 Qays ibn Sa’ad adalah salah seorang sahabat dekat Rasulullah, seorang ahli strategi perang, dan karenanya, ia sangat dihormati oleh kaumnya. Dalam persahabatannya dengan Nabi Muhammad Saw, menurut al-Barr, posisinya dengan Nabi bagai seorang prajurit dengan jenderal (panglima perang). Rasulullah Saw pernah memberikan panji perang ketika peristiwa Fath al-Makkah.

Ketika Al ibn Ab °lib diangkat sebagai khalifah, Qays menjadi salah orang kepercayaannya. Ia turut serta bersama Al dalam perang Unta, perang Siffin dan perluasaan Nahrawand. Ia terus menjadi teman setia Al, hingga Al tewas. Ia pernah diangkat menjadi gubernur Mesir pada masa Al, tapi didesak Muwiyah untuk mundur dengan tipu daya, sehingga akhirnya ia mundur. Posisinya kemudian digantikan oleh Muammad ibn Ab Bakar. Setelah Al ibn Ab °lib terbunuh, masyarakat Kufah, Basrah dan sebagain masyarakat Parsi mengangkat al-asan sebagai khalifah. Di sini ia menunjukan komitmennya untuk tetap membela dan berada di belakang keluarga Al, terutama mendukung al-asan dengan kekuatan penuh, sekitar 40.000 (sich) tentara yang baru kembali dari penaklukkan di kota Azerbeyzan. Mereka adalah pasukan yang amat setia kepada Al ibn Ab °lib, karena itu, mereka langsung melakukan sumpah setia ketika Al terbunuh.84

Namun setelah ia tahu bahwa al-asan ibn Al ternyata tidak seperti apa yang diharapkan semula, yaitu menjadi seorang khalifah yang menggantikan kedudukan Al ibn Ab °lib dan memerangi kelompok pembangkang, seperti Muwiyah ibn Ab Sufyn dan para sekutunya, Qays ibn Sa’ad merasa dikhianati dan akhirnya ia kecewa. Kekecewaan itu terlihat setelah ia menerima surat dari al-asan ibn Al yang berisikan bahwa al-asan ibn Al dan para pengikutnya yang ada di Kufah, telah menyerahkan kekuasaan kepada Muwiyah dan telah melakukan sumpah setia (bai’at) sebagai bukti pengakuan tersebut.85

Dalam situasi yang sangat dilematis itu,86 ia mengumpulkan pasukannya untuk mendapat masukan mengenai situasi yang kritis ini. Qays bertanya kepada pasukannya,”kalian boleh memilih, apakah mematuhi pemimpin (imam) yang sesat (dhalal) atau berperang melawan kelaliman. Mereka menjawab, kami lebih memilih taat atau patuh kepada pemimpin (imam) yang sesat, ketimbang berperang.87

Setelah mendapat jawaban seperti itu, akhirnya Qays pergi meninggalkan pasukannya dan melanjutkan perjalanannya menuju Madinah. Di kota Nabi inilah ia menghabiskan usianya dengan memperbanyak ibadah, hingga akhirnya ia wafat pada akhir tahun 59 H, pada akhir masa kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn.88 Sikap prihatin dan kekecewaannya tidak diperlihatkan ke permukaan dengan tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinya maupun orang lain, termasuk al-asan dan Muwiyah. Qays justeru lebih memilih diam dan mendekatkan diri kepada Allah sebagai kompensasi dari semua yang telah dialaminya. Reaksinya atas sikap al-asan yang mau begitu saja menyerahkan kekuasaan kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn—yang selama itu dianggapnya sebagai musuh besar—membuat hatinya gundah. Sebab Muwiyah sejak lama dikenal sebagai orang cerdik (dahis: licik: Pen.) dan lihai dalam berpolitik, sehingga ia merasa khawatir apabila ia menunjukan sikap yang tidak bersahabat dengan Muwiyah dan para sekutunya, maka akan tidak banyak manfaat bagi dirinya dan masa depan kehidupannya kemudian. Karena itu, ia lebih memilih Madinah sebagai tempat perkelanaannya terakhir, ketimbang di kota lain yang hiruk pikuk dengan persoalan politik dan keduniaan lainnya.

Selain Qays, ada pula seorang tokoh masyarakat Kufah bernama Sulaiman ibn Surad,89 yang pernah menjadi sahabat dekat Al ibn Ab °lib dan mengikuti perperangan Jamal dan Siffin. Namun kemudian ia keluar dari barisan Al karena tidak setuju atas kebijakan tahkim.90 Pada saat peristiwa am al-Jamah, ia tidak berada di Kufah, tapi di Madinah.91 Setelah ia tahu bahwa al-asan ibn Al telah melakukan penyerahan “kekuasaan”kepada Muwiyah pada tahun 41 H/661 M di Maskin, dan Muwiyah telah kembali ke Damaskus, Syria, Sulaiman kembali ke Kufah. Ketiba tiba di kota Kufah, ia langsung menemui al-asan ibn Al di rumahnya. Dihadapannya Sulaiman ibn Surad seperti ditulis al-Dinwar mengungkapkan kata-kata yang mengejek kelemahan al-asan. Ia bilang, ”Salam sejahtera hai penghina kaum mukmin.“ Al-asan menjawab, ”Salam sejahtera pula, silakan duduk.” Setelah itu Sulaiman berujar ”Kami merasa heran, belum usai perasaan kami membai’atmu, Anda telah melakukan bai’at kepada Muwiyah. Padahal Anda memiliki 100.000 (sich) pasukan yang berasal dari penduduk Irak dan Hijaz yang siap membela Anda. Kenapa Anda tidak menggunakan kepercayaan yang telah kami berikan. Malah Anda memanfaatkannya untuk membai’at Muwiyah.” Kemudian al-asan menjawab. ”Kalian adalah para pengikut dan pendukung setiaku. Aku menerima nasihatmu hai Sulaiman, tetapi aku memiliki pandangan yang berbeda dengan kalian. Aku lebih suka perdamaian daripada peperangan.”92

Jawaban yang dilontarkan al-asan ibn Al seperti diriwayatkan al-°abr tampaknya tidak memuaskan Sulaiman. Karena itu, ia kemudian kembali ke rumahnya dan tinggal menetap untuk beribadah dan mengajarkan ilmu agama kepada para pengikutnya, serta tidak tertarik untuk melakukan aktifitas politik. Namun ketika Yazd berkuasa, dan keluarga al-usein terganggu, ia terusik kembali untuk membantu keluarga Al. keinginannya itu bertambah kuat ketika al-usein mengirim surat kepadanya untuk bergabung bersama menentang kelaliman yang dilakukan Yazd. Surat itu semula tidak digubrisnya, tapi setelah ia mendengar al-usein tewas terbunuh di tangan pasukan Yazd, ia menyesali sikapnya yang tidak mau segera membantu al-usein. Untuk menebus kesalahannya itu, sekitar bulan Rabi’al Awwal tahun 65 H ia mencoba mengumpulkan 4000 pasukan (sich) dari penduduk Irak guna menebus dosa dan kesalahannya dengan menghalau kelaliman Yazd. Karena itu, pasukannya ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan “kelompok al-Tawwabin”.93 Dalam sebah pertempuran melawan pasukan Yazd yang berada di bawah pimpinan Syurahbil ibn Dzi al-Kila’, Sulaiman ibn Surad tewas terbunuh di tangan Yazd ibn al-Hushain bn Numair dengan tombak beracun yang dimilikinya di Ain al-Wardah.94

Tampaknya, baik Qays ibn Sa’ad maupun Sulaiman ibn Surad, terpaksa menerima keputusan al-asan yang mengakui kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Reaksi mereka memang beragam, ada yang kecewa, tapi mereka konpensasikan dengan cara mereka masing-masing, seperti Qays yang lebih memilih diam dan menetap untuk selamanya di Madinah dan beribadah, ada pula yang berusaha dengan menyusun kekuatan untuk melawan pasukan lawan mereka, seperti Sulaiman ibn Surad, meskipun agak terlambat, tetapi ada upaya penolakan yang dilakukan Sulaiman sebagai bukti ketidaksukaannya terhadap perilaku al-asan yang seenaknya memberikan kekuasaan kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn. Tetapi sekali lagi hal itu menggambarkan adanya berbagai reaksi yang muncul pada saat dan setelah peristiwa am al-Jamah. Akan tetapi pada umumnya, masyarakat menerima kenyataan itu sebagai sebuah realitas politik yang harus mereka terima dan hadapi.

Dengan kata lain, Peristiwa am al-Jamah yang terjadi di Maskin pada 41 H/661 M, paling tidak, berdampak pada perubahan sosial dan politik umat Islam. Umat Islam–yang sebelumnya memang sudah terpecah menjadi beberapa kelompok setelah peristiwa tahkim pada bulan Sya’ban tahun 38 H—,semakin terpuruk. Mereka terbagi menjadi kelompok atau golongan yang mencoba memisahkan diri dari kelompok Al. Paling tidak, setelah peristiwa itu, terdapat tiga kelompok besar; Pertama, adalah kelompok Al, yang sering dikenal dengan sebutan kelompoh proto-Syi’ah. Kedua, kelompok Muwiyah. Ketiga, kelompok yang menentang keduanya. Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan kelompok khawarij. Kelompok—kelompok ini memiliki respons dan reaksi masing-msing.

Untuk kelompok pertama, (Syi’atu Al) semula mereka mendukung kebijakan al-asan, seperti Qays ibn Sa’ad, Sa’ad ibn Mas’ud, gubernur Kufah, dan Rabi’ah ibn Ab Syidad al-Khusy’amiy.95 Bahkan mereka mau membela al-asan ibn Al mati–-matian dengan terjun ke medan laga, meskipun tidak terjadi perang fisik antara pasukan Qays ibn Sa’ad dengan pasukan Muwiyah. Tetapi hal itu membuktikan bahwa kelompok pendukung Al (Syi’atu Al) sangat mendukung kekhalifahan al-asan. Akan tetapi kemudian mereka sangat kecewa dengan peristiwa am al-Jamah dan hasil kesepakatan yang terjadi antara al-asan ibn Al dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Karena peristiwa tersebut sangat menguntungkan posisi Muwiyah ibn Ab Sufyn dan para sekutunya, dan memojokkan kelompok Qays ibn Sa’ad yang sangat tidak suka dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn.

Kekecewaan mereka semakin menjadi setelah mereka mengetahui bahwa ada konpensasi yang diterima al-asan ibn Al untuk kesejahteraan keluarganya, justeru mereka kemudian mengejek kelemahan dan” keserakahan” al-asan. Sebab al-asan diberitakan menerima sekitar 1 juta dirham setahun untuk keluarganya yang kemudian dibawanya ke Madinah.96

Kelompok kedua,yaitu kelompok Muwiyah, tentu saja sangat senang menerima hasil keputusan di Maskin. Sebab bagaimananpun, peristiwa tersebut membawa dampak politik yang sangat besar bagi proses pembentukan dinasti Bani Umayah (661M) yang tentunya akan berdampak positif pula bagi para pendukung Muwiyah, seperti Amr bn al-As, Abd Allh ibn Zubeir97dan lain-lain. Paling tidak orang seperti Amr ibn al-As akan memperoleh posisi startegis dalam pemerintahan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Selain itu, keberhasilan Muwiyah dan sekutunya dalam mengambil alih kekuasan dari al-asan ibn Al merupakan bentuk legalitas atas kekhalifahannya. Karena dengan begitu, maka posisi Muwiyah semakin kuat dan tidak akan banyak mendapat gugatan dari kelompok pendukung al-asan atau masyarakat kebanyakan, meskipun dalam catatan perjalanan sejarah umat Islam saat itu, banyak pula gerakan yang menentang keberadaan dinasti Bani Umayah dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Akan tetapi, semua itu dapat diatasi oleh Muwiyah dengan kemampuan politik yang dimilikinya, sehingga gerakan-gerakan yang mencoba menentang kekuasaannya dapat diatasi, semisal gerakan kelompok khawarij atau kelompok yang lebih belakangan, seperti kelompok ”Syiah” di bawah komanda al-usein yang melakukan gerakan perlawanan pada masa pemerintahan khalifah Yazd ibn Muwiyah dan tokoh sahabat terkenal pada masa itu, yaitu Abd Allh ibn Zubeir.98 Meskipun tokoh seperti Abd Allh ibn Zubeir menurut al-Barr, pada awalnya menerima hasil am al-Jamah dan melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Muwiyah di Syam dengan para pengikutnya yang berjumlah 10.000 orang. Ia melakukan hal tersebut karena umat Islam lainnya melakukan hal yang sama. Tetapi pada masa Yazd ia melakukan pemberontakan melawan kekuasaan tiran dan bergabung bersama al-usein ibn Al.99 Karena kekuatan yang dimiliki tidak sebanding dan kalah strategi akhirnya mereka dapat dikalahkan.

Sementara kelompok khawarij, dibawah komando Sulaiman ibn Surad, yang dalam pandangan al-Dinwar,termasuk salah seorang tokoh Kufah dan anggota kelompok Khawarij menentang kebijakan al-asan. Bahkan, seperti ditegaskan pada bagian terdahulu, ia menyusun kekuatan untuk menyerang Muwiyah ibn Ab Sufyn di Syam, meskipun pada akhirnya ia gagal mewujudkan cita-citanya untuk membunuh Muwiyah ibn Ab Sufyn.100

Selain Sulaiman ibn Surad, terdapat kelompok Khawarij yang dikenal dengan kelompok Haruriyah yang berjumlah 500 orang. Mereka berada di bawah pimpinan Farwah ibn Nauval al-Asyj. Farwah sangat marah dengan peristiwa yang terjadi antara al-asan ibn Al dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Bahkan dengan kekuatan 500 personel, ia berhasil memasuki kota Kufah untuk menentang Muwiyah dan menolak semua kebijakan yang akan dikeluarkannya. Karena dalam pandangan mereka, Muwiyah adalah seorang pemimpin yang cerdik, yang dengan kelicikannya itu ia berhasil mengelabui al-asan agar al-asan mau menyerahkan kekuasaan kepadanya dan mengakui kekuasaan Muwiyah.101

Farwah mengajak seluruh penduduk Kufah untuk memberontak melawan kekuatan Muwiyah, dan mengusirnya dari kota Kufah. Ajakannya ini disambut baik oleh sebagian penduduk Kufah. Akan tetapi sebelum mereka melancarkan serangan, mereka sudah dihadang oleh pasukan Muwiyah yang tengah berada di Kufah. Bahkan, menurut al-°abr, Muwiyah mengancam penduduk Kufah yang mau mengikuti ajakan Farwah. Sebagian penduduk Kufah yang pro Muwiyah ibn Ab Sufyn pergi menuju kelompok khawarij dan berusaha menghancurkan gerakan tersebut. Di sebuah tempat bernama Syahr Zuwr, mereka bertemu. Di situlah penduduk Kufah pro Muwiyah dihadang oleh pasukan Farwah. Dengan tegas Farwah berkata: “Celaka, mengapa kalian menginginkan (untuk memerangi) kami, padahal Muwiyah adalah musuh kita? Jawab mereka. Tidak. Kami tetap akan menghancurkan kalian, dan kami akan membela Muwiyah.102 Di situlah terjadi pertikaian yang menyebabkan kelompok Khawarij dikalahkan.

Selain mereka, terdapat para tokoh atau para sahabat penting dalam Islam yang juga penting untuk dilihat bagaimana reaksi mereka ketika mereka mengetahui bahwa al-asan ibn Al telah menyerahkan kekuasaannya kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn dalam tahun 41 H/661 M di Maskin dan mengakui Muwiyah sebagai seorang khalifah. Mereka pada umumnya tidak terlibat atau tidak mau melibatkan diri dalam perseteruan politik antara al-asan ibn Al dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Di antara mereka adalah Ab Musa al-Asy’ari (w. 53 H). Ketika terjadi peristiwa am al-Jamah, ia berada di Basrah dan tidak memberikan respons yang jelas mengenai peristiwa tersebut. Hal itu, hemat penulis, kemungkinan karena saat itu ia sudah tidak lagi menyibukan diri dalam dunia politik praktis, melainkan sudah menjadi seorang faqih yang dikagumi masyarakat Basrah dan juga masyarakat Kufah. Namun setelah itu, ia pindah ke Madinah hingga akhir hayatnya.103

Selain Ab Musa al-Asyar ada seorang tokoh terkenal lainnya yang juga patut diperhitungkan responsnya mengenai peristiwa am al-Jamah, tokoh tersebut adalah Ab Hurairah (w. 59H).104 Kenyataan ini perlu diungkap mengingat Ab Hurairah adalah salah seorang sahabat dekat Rasulullah yang selalu berada di sisi Nabi Muhammad untuk menimba ilmu pengetahuan Islam, terutama hadis Rasulullah Saw.105 Sebagai salah seorang sahabat dekat, mestinya ia memiliki posisi dan kesempatan atau peluang besar untuk menduduki berbagai jabatan penting pada masa Rasulullah dan masa-masa sesudahnya, tetapi hal itu tidak pernah diperolehnya, karena memang ia tidak memiliki ambisi untuk mendapatkan jabatan politis tertentu di dalam pemerintahan Islam saat itu. Ia lebih tertarik dalam bidang ilmu pengetahuan dan hadits, ketimbang berkecimpung dalam dunia politik praktis.

Mengingat Ab Hurairah termasuk salah seorang sahabat besar dan ahli hadits, maka pendapatnya atau paling tidak sikapnya mengenai peristiwa am al-Jamah sangat penting. Tetapi dari data yang sementara ini penulis peroleh, Ab Hurairah tidak mempunyai pendapat atau sikap apapun tentang peristiwa tersebut. Oleh karena itu, hemat penulis, kemungkinan Ab Hurairah bersikap abstain, dan tidak memberikan pernyataan apapun mengenai peristiwa penyerahan kekuasaan tersebut. Selain itu, karena kemungkinan Ab Hurairah memandang bahwa semua sahabat harus dihormati, apapun keputusan yang diambil mereka. Karena semua bertujuan baik.

Selain Ab Hurairah, terdapat juga salah seorang sahabat yang paling akhir meninggal dunia, yaitu Anas ibn Malik (w. 93 H).106 Meskipun ia termasuk salah seorang sahabat Rasul yang paling akhir wafat, dan tentu saja mengetahui adanya peristiwa am al-Jamah, tetapi dalam catatan biografinya tidak ditemukan adanya keterlibatan dia, baik langsung maupun tidak langsung di dalam proses rekonsiliasai yang dilakukan umat Islam pada masa itu, yang diwakili oleh al-asan ibn Al dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Tetapi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kemungkinan ia menerima hasil am al-Jamah, sebagaimana masyarakat umum menerimanya, tanpa melakukan reaksi atau respons dalam bentuk apapun.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para sahabat dan tabi’in ada yang memberikan respons terhadap peristiwa am al-Jamah dan ada pula yang tidak bahkan ada yang bersikap diam, seperti Ab Hurairah dan juga Anas ibn Malik. Mereka berpandangan bahwa kelompok-kelompok yang bertikai itu adalah juga sahabat, dan mereka menempatkan sahabat dalam “posisi positif”. Hal lain yang juga perlu mendapat penjelasan di sini adalah bahwa dari data-data yang telah ditemukan, dapat dikatakan bahwa ada sekelompok orang atau masyarakat Islam yang memilih bersikap diam dalam merespons peristiwa tersebut. Hal itu disebabkan antara lain bahwa masyarakat tidak mau ambil peduli atas peristiwa itu, karena secara langsung mereka tidak memiliki kepentingan, meskipun secara tidak langsung pada akhirnya mereka terkena imbasnya.

Kemungkinan lain yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa Muwiyah ibn Ab Sufyn dan para sekutunya adalah orang-orang yang haus kekuasaan dan telah mendapatkan legitimasi dengan menerima jabatan khilafah dari al-asan ibn Al. Karena itu, Muwiyah dan sekutunya ini tak segan meneror mereka yang menolak atau bahkan menentang keras pelimpahan kekuasaan tersebut. Karena faktor inilah kemungkinan masyarakat Islam tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapatnya atau sikapnya dalam masalah tersebut, karena mereka merasa takut diteror atau paling tidak diintimidasi. Ketakutan itu cukup beralasan, karena setelah Muwiyah menerima jabatan khilafah dari al-asan, berbagai cara dia lakukan untuk mempertahankan kekuasaan tersebut, termasuk dengan cara-cara kekarasan dan sebagainya.

End notes

1 Muammad ibn Makarram ibn al-Manzur, Mukhtasar Tarkh Dimasqa, ( Damaskus, 1988), hlm, 17-20.
2 Ab Ja’far Muammad Ibn Jarr al-°abral-°abr, Tarkh, al-Umam wa al-Mulk J. 4. (Beirut: Muassasah al-a’lami li al-matbu’at, 1879), hlm, 122. lihat Muammad Abd Allh ibn Muslim ibn Quaybah al-Dinwar, al-imamah wa al-Siyasay, J.1.(ed) Taha Muammad al-Zaini, (Kairo: Muassasah al-Halabi wa al-Syirkah, 1967 M/1387 H), hlm, 74.

3 al-Baldzur, Ansb al-Ashrf, Banu Abd Shams: Muwiyah, Ziyd, Yazd, Uthmn, J.1. ed. Ihsan Abbas (Beirut: al-Matba’ah al-Katolikiah, 1400 H/1979 M), hlm, 20.
4 Nama lengkapnya adalah Amr ibn al-”As ibn Wail ibn Hasyim ibn Sa’id ibn Sahim ibn Amr ibn Hshish ibn Ka’ab ibn Lu’ay al-Quraisyi, dijuluki Ab Abd Allh dan Ab Muammad.Ia memiliki garis keturunan kuat dari suku terkuat Qurays yang mewarisi kekuatan dan keteranan. Ia masuk Islam pada tahun ke-8 H sebelum Fath Makah, bahkan menurut al-Waqidi, ia masuk Islam sekembalinya dari Ethiopia ketika ia menjadi utusan Qurays kepada raja Nejus yang menuntut agar para imigram Makah diekstradisi ke Makah untuk diadili. Ia sempat bertemu dan berdialog dengan raja Nejus. Raja itu mengatakan bahwa orang-orang Mekah adalah Muslim dan Muhammad adalah Rasul Allah.Pada masa jahiliyah,ia dikenal sebagai seorang penunggang kuda kenamaan dan seorang pahlawan Quraisy yang memiliki keahlian dalam berkuda, pandai bersyi’ir, dll. Bahkan dalam konteks keduniaan, menurut al-Barr,Amr ibn al-Ash juga dikenal sebagai orang yang sangat cerdik dalam masalah pemikiran (politik) dan cerdik.Dalam perjalanan hidupnya, ia pernah menjabat panglima perang untuk menaklukkan wilayah Juzam atau perang Zat al-Salasil. Selain itu,masih pada masa Rasul Allah, ia pernah menjadi gubernur Omman hingga RasulAllah wafat. Kemudian pada masa khalifah Umar ia pernah ditigaskan sebagai panglima perang untuk menaklukkan negeri Syam, Halab,Manbaj dan Antiokiah,lalu Umar mengangkatnya sebagai gubernur di Palestina, selain itu ia juga pernah menjadi gubernur Mesir juga pada masa khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b sebagai balas jasa atas usahanya meneklukkan negeri tersebut. Namun pada masa khalifah Uthmn ia dicopot dan kedudukannya digantikan oleh Abd Allh ibn Ab Sarah, saudara sesusu khalifah Uthmn ibn Affn. Sesudah itu, ia tidak memiliki jabatan apapun hingga kemudian ia bertemtu dengan Muwiyah dan bergabung bersamanya dalam peristiwaTahkim. Kedekatannya dengan Muwiyah membawa Amr kembali menduduki Mesir pada tahun 38 H. Jabatan itu diberikan Muwiyah sebagai kompensasi atas keberhasilannya memainkan peranan penting di dalam proses pengambil alihan kekuasaan, baik pada masa Al maupun pada masa al-asan ibn Al. Ia wafat dalam usia 99 tahun. Dengan menilik ringaksan biografinya,Amr ibn al-Ash bukanlah orang sembarangan, ia termasuk salah seorang yang memiliki posisi penting, terutama pada masa awal pembentukan pemerintahan dinasti Bani Umayah pasca–am al-Jamah tahun 41 H/661 M. Lihat al-°abr, Tarkh, J. 4, hlm, 115, liha pula Ab Umar Yusuf ibn Abd Allh ibn Muammad ibn Abd al-Barr,(selanjutnya disebut al-Barr), al-Isti’ab fi Ma’rifah al-ashab, J.3. (ed) Al Muammad al-Bajawi, ( Beiru; dar el-Jail, 1992), hlm, 1184.
5 Amr ibn Sufyn, Nama lengkapnya adalah Amr ibn Sufyn ibn Abd Syam ibn Sa’ad ibn Q’if ibn al-Awqsh ibn Murrah ibn Hilal ibn Falij ibn Dzikwan ibn Tsa’labah ibn Buhtsah ibn Salim al-Sulma al-Tsaqafi (atau yang disebut Ab al-A’war al-Sulma) dan termasuk salah seorang sahabat. (Yu’addu fi al-Sahabah) Ia masuk Islam pada perang Hunein. Ia bersama Muwiyah dalam perang Shiffin dan orang yang paling keras menentang Al dalam perang Shiffin. (Al-Barr, 4, 1600). Dalam hal periawayatan hadis, hadis yang dikeluarkannya menurut Ab Hatim adalah Mursal. (Al-Barr, j.3. hlm, 1178-9). Amr ibn Sufyn al-Muhariby (ibn Sa’ad, 1, 325). Nama lengkapnya adalah Amr ibn Sufyn ibn Abd Syams ibn Sa’ad al-Dzikwani Ab al-A’war al-Sulma. Ia adalah kepercayaan Muwiyah untuk memerangi Cyprus pada 26 H, kemudian bersama Muwiyah dalam perang Shiffin. ( ibn Sa’d,1, 325). ( ibn Hajar , al-Ishabah, 4/641). ) Dianggap ( Yu’addu) sebagai penduduk Syam atau pendukung Muwiyah. ( al-Barr,3, 1179). ).( T, 4, 122). ( ibn Khayyat, 2893-4, 341) Thabaqat al-Ula min ahl al-Syam min al-Tabi’in. ( al-jarh wa al-ta’dil3/1/234) Lihat, Muammad ibn Sa’ad ibn Mani’ al-Zuhry,( selanjutnya disebut ibn Sa’ad), Tabaqat al-Kubra, Tabaqat al-Khamisah min al-Sahabah, J.1. (ed) Muammad Samil al-Sulma,( Kairo; Maktabah al-Sadieq,1414 H/ 1993 M, hlm, 325, lihat pula, al-Barr, al-Isti’ab, J.3, hlm, 1178-1179, J.4. hlm, 1600.
6 Umairah ibn Yatsrabi al-Dhabbi ( T,4,130, ibn Khayyat, al-Thabaqat, 1525,330) Pro Muwiyah. Al-Thabaqat al-Ula min ahl al-Basrah. Ia adalah putera dari Abd Manat ibn Bakr ibn Sa’ad ibn Dhabbah ibn Add ibn Thabikhah. Ia menjadi gubernur Basrah pada masa Muwiyah. Ia menjabat gubernur Basrah menggantikan Ka’ab ibn Suwar al-Azdi. Tidak banyak meriwayatkan hadis. Lihat. Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 130, lihat pula Ab Amr Khalifah ibn Khayyat, ibn Khayyat, Kitab al-Tabaqat, (ed). Suheil Zakkar, ( Dar el-Fikr:1414 H/1992 M), hlm, 1525/330.
7 Abd Allh ibn Amir ibn Kurayz. Nama lengkapnya adalah Abd Allh ibn Amir ibn Kurayz ibn Rabi’ah ibn Habib ibn Abd Syams ibn Abd Manaf ibn Qushay al-Quraysi al-Abbasyi. Ia adalah sepupu Uthmn ibn Affn. Ia adalah salah seorang penakluk Khurasan dan membunuh Kisra di daerah kekuasaan Kisra. Kemudian ia melakukan perjalanan haji dari Nisabur sebagai rasa terima kasih kepada Allah, dan memberikan minuman kepada para jama’ah di Arafah. Pada tahun 27 H, ketika Uthmn ibn Affn berkuasa, ia menjabat dua jabatan gubernur sekaligus setelah Uthmn mencopot Ab Musa al-Asy’ary dari jabatannya sebagai gubernur Basrah dan jabatan Uthmn ibn Ab al-Ash di Persia.Kedua wilayah itu kemudian berada di bawah kekuasaannya. Ia berkuasa di kedua kota itu lebih kurang 20 tahun. Lihat Al-°abr,Tarkh, J.4. hlm, 130, al-Barr, a;-Isti’ab, J.3, hlm, 931-933.
8 Abd Allh ibn’Amr ibn al-Ash. Nama lengkapnya adalah Abd Allh ibn Amr ibn al-Ash ibn Wail ibn Hasyim ibn Sa’id ibn Sahm ibn Amr ibn Hadhidh ibn Ka’ab ibn Lu’ay al-Quraisyi al-Sahmi. Dia dijuluki Ab Muammad, terkadang disebut Ab Abd al-Rahman dan Ab Nashir. Ibunya bernama Rabthah binti Munabbih ibn al-Hajjaj al-Sahmiyah. Ia masuk Islam sebelum ayahnya. Dia juga dikenal sebagai orang yang memiliki keutamaan, hafidz dan Alim. Is mendapat izin nabi untuk menulis hadis. Dalam hal ini Ab Hurairah berkata bahwa tidak ada seorang sahabatpun yang lebih hafal hadis-hadis Rasul Allah, termasuk juga aku, kecuali Abd Allh ibn Amr. Sebab ia memiliki kecerdasan luar biasa dan menulis semua hadis yang didengar dari Rasul Allah dan nabipun mengijinkannya. Ia memiliki kebiasaan berpuasa dan tidak tidur pada malam hari. Melihat kejadian ini bapaknya mengadukan kepada Nabi dan dijawab, bahwa matamu memiliki hak, keluargamu juga punya hak. Karena tu, bangun, tidur, puasa dan berbukalah. Berpuasalah sebanyak tiga hari dalam sebulan. Hal itu sama nilainya dengan puasa dalam satu tahun. Amr ibn al-Ash menjawab. Aku sudah mengatakannya berulang kali, tapi ia masih tetap melakukan kebiasannya itu. Bahkan ia pernah berkata bahwa puasa yang paling utama adalah puasanya Nabi Dawud AS. Ia pernah menyaksikan perang Shiffin. Hal itu dilakukan karena penghormatan kepada ayahnya, sebagaimana Rasul pernah berpesan kepadanya, taatlah kepada bapakmu. Dalam hal ini ada sumber yang mengatakan bahwa ia mengutuk perang Shiffin, karena akan merugikan umat Islam. Kalau boleh dia memilih dia lebih memilih tinggal di rumah dan tidak mengikuti pertempuran itu. Dan ia menyesal telah berpihak ke Muwiyah dalam perang tersebut. Abd Allh wafat pada masa pemerintahan Yazd ibn Muwiyah tahun 63 H di Palestina. Lihat Al-°abr, Tarkh,J. 4. hlm, 127, al-Barr, al-Isti’ab, J. 3, hlm, 956-959.

9 Abd al-Raman ibn Samurah ibn habib ibn Abd Syam.Nama lengkapnya adalah Abd al-Raman ibn Samurah ibn Habib ibn Abd Syams ibn Abd Manaf al-Quraysy al-Absyamy, biasa dijuluki Ab Sa’id. Ia masuk Islam pada saat penaklukkan kota Makah (Fath al-Makah), menjadi sahabt Nabi dan pernah mengikuti perang Tabuk.Ia juga banyak meriwayatkan hadits dari Rasul Allah Saw. Ia pernah ikut serta dalam pertempuran menaklukkan Khurasan pada masa pemerintahan khalifah Uthmn ibn Affn. Kemudian ia menaklukkan Sijistan dan Kabul pada tahun 42 H, didampingi oleh al-asan ibn Ab al-asan, Muhallab ibn Ab Shafrah,Qathry ibn al-Fuja’ah. Abd al-Rahman kemudian diminta oleh Muwiyah untuk menjadi gubernur di Sijistan.Tawaran itu diterimanya hingga ia menjabat sekitar 4 tahun lamanya. Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur ia kembali ke Basrah pada tahun 46 H dan menetap di kota itu hingga ia wafat pada tahun 50 H. Kemudian posisinya digantikan oleh al-Rabi’ ibn Ziyd.Setelah itu ia kembali ke Basrah hingga ia wafat pada tahun 50 H .Lihat ibn hajar al-Asqalany, al-Ishabah J.2..hlm,393.Dari sejarah pintas biografinya, dapat dikatakan bahwa ia menjadi orang pilihan Muwiyah ibn Ab Sufyn untuk melakukan negosiasi dengan kelompok asan dalam upaya penyerahan kekuasaan dan sebagainya. Lihat Al-°abr, Tarkh,J.4. hlm, 122, al-Barr, al-Isti’ab, J.1, hlm, 286-288,Ibn Hajar,al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, J.2, ( Beirut : Dar el-Kitab al-Arabi, tt,) hlm,393.
10Abu Bakrah. Nama lengkapnya adalah Nufai’ ibn Kildah ibn Amr ibn Ilaj ibn Ab Salmah ibn Abd al-Uzza ibn Ubdah ibn Auf ibn Qasiyyi. ia adalah Mawla Rasul yang berasal dari Bani Tsaqif. Ibunya bernama Sumayah, budak perempuan al-Harits ibn Kildah, dan masuk Islam ketika Rasul pergi ke Thaif. Ia mendapat gelar Ab Bakrah dari Rasul karena ialah orang yang pertamakali memberikan perlindungan kepada Rasul ketika berada di Tha’if. Ia meninggal di Basrah tahun 52 H dan anak-anaknya menjadi tokoh terhormat di Basrah. Lihat. Al-°abr, Tarkh, J.4, hlm, 128, al-Barr, al-Isti’ab,J. 4, hlm, 1614,Ibn Hajar, al-Isabah,J.4, hlm, 24.
11 Al-Mughirah ibn Syu’bah ( T,4, 122-123). Al-Mughirah ibn Syu’bah. Ia berasal dari kabilah Tsaqif yang mendiami Tha’if, sebuah kota yang tidak jauh letaknya dari Makkah. Kota tersebut awalnya merupakan kota perdagangan kedua yang ada di Hijaz dan dikabarkan menjadi pesaing dalam bidang perdagangan, yang kemudian sebelum tahun 600 M kalah dalam persaingan itu. Watt menceritakan bahwa al-Mughirah memiliki potensi besar dengan dukungan massa yang cukup banyak di kotanya. Karena itu, ketika Muwiyah berkuasa sebagai khalifah, ia melihat al-Mughirah sebagai seorang tokoh potensial yang perlu dirangkul dengan jabatan strategis di wilayah Kufah, sebuah jabatan yang pernah dipegangnya selama satu atau dua tahun ketika Umar ibn al-Kha¯¯b berkuasa yang mencakup pula wilayah utara Persia. Ia memangku jabatan ini selama lebih kurang satu dasawarsa hingga ia wafat pada tahun 50 H. Setelah ia wafat, wilayah kekuasaannya digabungkan Muwiyah ke dalam wilayah pemerintahan gubernur Ziyd ibn Abihi.Lihat, Al-°abr, Tarkh, J.4, hlm, 122-123, al-Barr, al-Isti’ab, J.4, hlm, 1445.
12 al-Walid ibn Uqbah. Nama lengkapnya adalah al-Walid ibn Uqbah ibn Mu’ith. Nama asli Ab Mu’ith adaah Aban ibn Ab Amr dan nama asli Ab Amr adalah Dzikwan ibn Umayah ibn Abd Syam ibn Abd Manaf. Ibunya bernama Arwa binti Kuraiz ibn Rabi’ah ibn Habib ibn Abd Syam, ibunya Uthmn ibn Affn. Karena itu al-Walid ibn Uqbah adalah saudara Uthmn ibn Affn. Al-Walid dijuluki Ab Wahab. Ia dan saudaranya bernama Khalid ibn Uqbah masuk Islam pada yaum al-fath. Ketika Rasul menguasai kota Makah, penduduk kota itu beramai-ramai datang membawa anak-anak mereka dan menyatakan keislaman. Rasul mengusap kepala mereka dan mendo’akan semoga mereka mendapat barkah. Tapi al-Walid tidak diusap kepalanya. Ia pernah diminta Rasul menjadi duta ke Bani Mustaliq, tetapi ia tidak menjalankan tugas dengan baik, bahkan menyebar berita bohong bahwa masyarakat Bani Mustaliq menolak membayar sadaqah. Tetapi setelah Rasul mengirim Khalid ibn al-Walid, kenyataan tidak demikian, mereka menyatakan muslim dan mau melakukan pembayaran sadaqah. Sejak itu turun ayat” hai orang-orang beriman, bila datang kepadamu seorang fasiq yang membawa berita ....” pada masa khalifah Uthmn ia pernah menjadi gubernur Kufah, dan Sa’ad ibn Ab Waqqash dicopot dari jabatannya. Ketika pertama kali ia datang ke Kufah sebagai gubernur, Ibnu Mas’ud datang kepadanya dan bertanya, apa yang kamu bawa ? Saya sekarang menjadi gubernur. Kami tidak mengerti, apakah kamu akan membuat kami sejahtera atau sengsara. Meskipun begitu, ia termasuk salah seorang Quraisy pemberani, beruntung, lemah lembut dan beradab. Selain itu, ia juga termasuk salah seorang penyair terkenal, meskipun ia pemabuk karena banyak minum khamar. Karena itu, ia pernah shalat Subuh berjamaah dengan penduduk Kufah sebanyak 4 ( empat) raka’at. Setelah salam, ia bertanya ke jama’ah, apakah shalat kita lebih. Dijawab oleh ibn Mas’ud, kami sudah biasa kalau sahalat bersama anda seperti ini. Peristiwa ini diadukan ke khalifah Uthmn ibn Affn dan kemudian didera sebanyak 40 kali. Ketika khalifah Uthmn terbunuh, ia pergi ke Riqqah/Raqqah dan menetap di situ hingga terjadi konflik antara Al dengan Muwiyah, dan meninggal dan dikuburkan di kota itu. Bahkan menurut al-Barr, al-Walid ibn Uqbahlah salah seorang yang mengusulkan agar Muwiyah memerangi Al. Lihat, ibn Sa’ad, Tabaqat J.1, hlm, 328,al-Barr, 4, 1552.
13Busr ibn Ab Arthah. Nama lengkapnya adalah Busr ibn Ab Arthah ibn Ab Arthah al-Qurasyi. Nama asli Ab Arthah adalah Umair ( Uwaimir al-Amiry), dari Bani Amir ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr. Kemudian ia dinisbatkan dengan nama Busr ibn Ab Arthah ibn Uwaimir al-Hulaisi ibn Siyar ibn Nazar ibn Mu’aishir ibn Amir ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr. Ia dijuluku dengan nama Ab Abd al-Rahman. Menurut Yahya ibn Mu’in Busr ibn Ab Arthah adalah orang yang kurang baik. Ia pernah bersama Muwiyah dalam perang Shiffin dan pernah menjadi gubernur Yaman pada masa Muwiyah dan meninggal di sana. Diceritakan bahwa Muwiyah pernah memintanya untuk menumpas para pengikut Al ( Syi’atu Al ) di Yaman. Dia sanggup melakukan itu asal ia diberi jabatan dan kekuasaan di sana. Dengan kekuasaan itu, ia telah membunuh dua anak laki-laki Ubaidillah ibn Abbas ( gubernur Yaman masa Al). Selain itu, ia juga mengepung kota Madinah dan mengambil alih kekuasaan yang saat itu dipegang oleh Ab Ayyub al-Anshari (gubernur yang diangkat Al). Kemudia ia naik mimbar dan meminta agar masyarakat Madinah membai’at Muwiyah sebagai khalifah. Tetapi diprotes oleh Ummu Salamah, isteri Rasul, dan dikatakan bahwa ini adalah pembai’atan yang sesat dan tidak sah. Setelah itu, ia menuju Makah ( gubernurnya saat itu adalah Ab Musa al-Asy’ary), dan ia berhasil menguasai kota itu karena Ab Musa kabur, takut dibunuh Busr. Busr terus melakukan teror terhadap masyarakat yang tidak mau membai’at Muwiyah dan mengancam akan membunuh mereka, termasuk mereka yang melarikan diri ke Yaman. Setelah berhsail ia kembali ke Syam. Singkatnya, Busr ibn Ab Arthah adalah seorang tentara kejam dan sewenang-wenang. Ia wafat di Syam. ( Yu’addu fi al-Syammiyyin). ( al-Barr, 157-68). Busr ibn Ab Artah ( Muwiyah: mencaci maki Al setiap kali bicara di mimbar Basra. Ia pernah dipanggil Muwiyah untuk menyelesaikan konflik di Basrah. Dikira, ia disuruh Muwiyah untuk menghancurkan Bani Ziyd: Tabari. 4, hlm. 127-128). Lihat, Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 127-128, ibn Khayyat, Kitab al-Tabaqat hlm, 343, ibn Sa’ad, Tabaqat J.7. hlm, 148,lihat pula Muammad ibn Amad ibn Uthmn al-Dzahabi ( selanjutnya disebut al-Dzahabi), Siyar A’lam al-Nubala, J. 3. ( Beirut : Muassasah al-Risalah, tt), hlm, 73, dan 183-183.
14 Habib ibn Syihab al-Syami. Tidak diketahui dengan pasti nama panjang atau silsilahnya. Yang jelas ia merupakan salah seorang penduduk Syam yang menjdi pendukung Muwiyah, dan menurut ibn Zubeir, ia memiliki kekuatan di Basrah yang kemudian dikalahkan oleh Amir di Kufah. Kemudian pada masa M’awiyah ia menjabat panglima perang untuk wilayah Khurasan dan Sijistan. Lihat, al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 130, ibn Hajar, al-Isabah, J.1, hlm, 373.
15 Humran ibn Abab. Berasal dari kabilah Rabi’ah ibn Nizar. Wafat sekitar tahun 75 H. Ia adalah maula Uthmn ibn Affn, sebelumnya adalah tawanan perang Ain al-Tamar di bawha pimpinan Khalid ibn al-Walid. Silsilahnya berasal dari Namr ibn Qasith. Ia meriwayatkan hadits dari Uthmn ibn Affn. Di antara penyebab kedatangannya ke Basrah karena ia ingin menceritakan sesuatu kepada Uthmn mengenai keadaan negeri. Ia termasuk Thabaqat kedua dari Tabi’in, yang meriwayatkan hadits dari Uthmn, Al, Thalhah, al-Zubeir, Ubay ibn Ka’ab, Ab Musa al-Asy’ary, dll. Lihat, Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 127, ibn Khayyat, Kitab, hlm, 343/530, ibn Sa’ad, Tabaqat J.6, hlm, 148.

16 Khalid ibn al-Ash ibn Hisyam.Nama lengkapnya adalah Khalid ibn al-Ash ibn Hisyam ibn al-Mughirah al-Makhzumiy. Bapaknya tewas dibunuh Umar ibn al-Kha¯¯b dalam perang Badar, padahal ia adalah paman Umar ibn al-Kha¯¯b. Pada masa Umar, Khalid pernah menjadi gubernur Makah menggantikan posisi Naf’i ibn Abd al-Harits al-Khuza’iy. Jabatannya ini terus dipegang hingga masa Uthmn ibn Affn. Lihat, Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 115, al-Barr, al-Isti’ab, J.2, hlm, 431.
17 Kharijah ibn Khudzafah.Nama aslinya adalah Kharijah ibn Ghanim ibn “Amir ibn Abd Allh ibn Ubaid Allah ibn Awaij ibn Addi ibn Ka’ab al-Quraysi al-Adawiy. Ibunya bernama Fatimah binti Amr ibn Bajrah (Bujairah) al-Adawiyah. Ia termasuk salah seorang penunggang kuda (joki) terkenal bangsa Quraisy. Ia bersama Amr ibn al-’As terlibat dalam penaklukan Mesir. Ada sumber menyebutkan bahwa ia menjadi hakim/jaksa di Mesir. Tetapi ia dibunuh oleh kelompok Khawarij di sana yang berencana membunuh Muwiyah, Amr dan Al. Sebenarnya kelompok ini ingin membunuh Amr, tetapi yang terkena adalah Kharijah, karena dikira ia adalah Amr ibn al-Ash. Lihat, Al-°abr, Tarkh, j.4. hlm, 115, al-Barr, J.2, 418. ibn Sa’ad, Tabaqat, J.1. hlm, 399/2133.
18 Marwan ibn al-Hakam. Nama lengkapnya adalah Marwan ibn al-Hakam ibn Ab al-Ash ibn Umayah ibn Abd Syam ibn Abd Manaf al-Qurasyi al-Amawi. Ia dijuluki Ab Abd al-Malik. Marwan dilahirkan pada masa Rasulullah tahun ke-2 H. Ada yang menyebutnya pada peristiwa Khandak. Malik bahkan mengatakan bahwa Marwan dilahirkan pada masa perang Uhud. Mengenai tempat kelahirannya ada beberapa versi, ada yang mengatakan dilahirkan di Makah dan ada pula yang mengatakan Marwan dilahirkan di Thaif. Ketika Rasul wafat, usianya diperkirakan masih berusia lebih kurang 8 tahun-an. Sebab tidak ada yang tahu, karena setelah lahir ia dibawa ke Thaif dalam usia yang masih dini. Hal itu terjadi karena ayahnya, al-Hakam diusir dari Makah dan baru kembali setelah Uthmn berkuasa, dan menetap di Madinah. Kemudian ayahnya meninggal dan ia dititipkan kepada Uthmn hingga Uthmn terbunuh. Setelah itu, ia pergi ke Syam bertemu dengan Muwiyah. Setelah Muwiyah berkuasa, ia diangkat menjadi gubernur di Madinah, kemudian kedua kota lainnya, yaitu Makah dan Thaif digabung ke dalam kekuasaannya. Ia menjabat gubernur Madinah hingga tahun 48 H, dan posisinya digantikan oleh Sa’id ibn al-Ash dan menjabat hingga tahun 54 H. Setelah itu, Sa’id dicopot dan posisinya digantikan kembali oleh Marwan hingga Muwiyah meninggal. Kemudian ia menduduki posisi penting sebagai khalifah menggantikan Muwiyah II. Ia wafat bulan Ramadhan tahun 65 H.Lihat, Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 131, 138, ibn Hajar, al-Isabah, J.3, hlm, 455/8319, al-Barr, al-Isti’ab, J.3, hlm, 1387.
19 Sa’id ibn al-Ash ibn Said ibn Ubaihah ibn al-Ash ( Bani Umayah ibn Abd Syams. Nama lengkapnya adalah Sa’id ibn al-Ash ibn Sa’id ibn Umayah. Dia dilahirkan pada saat hijrah dan ada pula yang mengatakan ia lahir tahun pertama hijrah. Bapaknya tewas dalam perang Badar sebagai kafir di tangan Al. Ia termasuk salah seorang bangsa Quraisy terkemuka dan salah seorang penulis Mushaf Uthmni. Ia pernah menjadi gubernur Kufah pada masa Uthmn, menaklukkan Tabaristan dan Jurjan pada masa Uthmn tahun 29 H. Ia sempat dicopot dari jabatannya dan posisinya digantikan oleh al-Walid ibn Uqbah. Tetapi ditolak oleh penduduk Kufah, mereka tidak menghendaki keduanya. Sebab, menurut penduduk Kufah, mereka haus kekuasaan. Yang mereka inginkan adalah tokoh seperti Ab Musa al-Asy’ari. Permintaan tersebut dipenuhi Uthmn dan Ab Musa menjabat gubernur hingga akhir hayat Uthmn. Pada perang Jamal dan Shiffin, Sa’id tidak ikut, tetapi setelah Muwiyah berkuasa, ia memihak Mua’wiyah dan diberi jabatan gubernur di Madinah. Tetapi ia dicopot dna posisinya digantikan oleh Marwan ibn al-Hakam. Ia wafat pada tahun 59 H pada masa Muwiyah ibn Ab Sufyn. Lihat, ibn Sa’ad, Tabaqat al-Khamisah, J.1, hlm, 341, al-Barr, al-Isti’ab, J.2. hlm, 621-4).
20Utbah ibn Ab Sufyn. Uthbah ibn Ab Sufyn dalah saudara Kandung Muwiyah.Tidak diketahui dengan pasti kapan ia dilahirkan.Hal pasti yang dapat dikatakan di sini, menurut ibn Abd al-Barr dan ibn Hajar dalah bahwa ia dilahirkan pada masa Rasul Allah Saw.Ia dipanggil dengan sebutan Ab al-Walid.Pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b ia pernah menjadi gubernur di Thaif, kemudian pada masa Muwiyah menjadi gubernur Mesir selama satu tahun, karena keburu meninggal pada tahun 40 H. selain itu, ia juga dikenal sebagai orator ulung.Pernah ia berpidato di hadapan penduduk Mesir seharian penuh ketika ia menjabat gubernur kota itu. Lihat al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 132. Al-Barr, al-Isti’ab,J.3. hlm. 1025-1026. ibn Hajar, al-Ishabah, J.3. hlm, 121-122.
21Ziyad ibn Abihi. Kemudian Muwiyah memberinya nama Ab Sufyn di belakang namanya. Belakangan, orang ini memainkan peran penting di dalam perjalanan sejarah pemerintahan Muwiyah dan Bani Umayah. Lihat, al-Barr, al-Isti’ab, J.2, hlm, 522. Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 132.
22 Lihat,al-Barr, al-Isti’ab, J.2. hlm, 522.

23 Lihat al-°abr, Tarkh, J. 4, 132,

24 Lihat al-Barr, al-Isti’ab, J.2. hlm, 522.

25 al-Dinawary, al-Imamah, J.1. hlm, 85.
26 Laura Veccia Vaglieri, “ the Patriarchal and Umayyad Calipathes”, dalam P.M.Holt, The Cambridge History of Islam, vol.1, ( Cambridge: Cambridge University Press, 1970), hlm, 69-71.
27 Ira. M. Lapidus, A History of Islamic Societies, ( Cambridge : Cambridge University Press, 1988), hlm, 57-58.

28 Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah al-Khazraji Nama lengkapnya adalah Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah ibn Dulaim ibn Haritsah al-Anshari al-Khuza’i. Dia dijuluki Ab al-Fadl, seringpula disebut Ab Abd Allh atau Ab Abd al-Malik. Ibunya bernama Fakihah binti Abaid ibn Dulaim ibn Haritsah. Menurut al-Waqidi, lihat al-Waqidi, Kitab al-Maghazi,J.2.(Beirut:Muassasah al-Alami li al-Mathbu’at, 1989), hlm. 437,547,775, 776. Qays merupakan salah seorang sahabat rasul yang mulia. Dia juga termasuk salah seorang ahli strategi kenamaan. Memiliki pandangan yang jauh ke depan dan ahli strategi perang. Karena itu, ia merupakan salah seorang tokoh terkenal di kaumnya yang tidak ada banding. Dalam konteks kedekatannya dengan Nabi, Anas ibn Malik pernah berkata bahwa Qays ibn Sa’ad menempati posisi penting di hadapan Nabi seperti posisi seorang jenderal dengan prajurit. Ketika Fath Makah, Rasul Allah memberikan panji perang kepadanya. Kemudian ketika Al ibn Ab °lib berkuasa, ia menjadi pendamping setia. Ia dan kaumnya ikut serta dalam perang Jamal dan Shiffin, dan perang Nahrwand. Lihat al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 121, al-Barr, al-Isti’ab, J.4, hlm, 1289-1292. Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah ibn Dulaim ibn Harisa al-Anshari al-Khazraji. Ia terus menjadi teman setia Al, hingga Al tewas.Ia pernah diangkat menjadi gubernur Mesir pada masa Al, tapi didesak Muwiyah untuk mundur dengan tipu daya, sehingga akhirnya ia mundur. Dan kemudian digantikan oleh Muammad ibn Ab Bakar. Setelah Al terbunuh, masyarakat Kufah, Basrah dan sebagain masyarakat Persia mengangkat al-asan sebagai khalifah. Di sini ia menunjukan komitmennya untuk tetap membela dan berada di belakang keluarga Al, terutama mendukung al-asan dengan kekuatan penuh, sekitar 40.000 (sic) tentara yang baru kembali dari penaklukkan di kota Azerbeyzan.Mereka adalah pasukan yang amat setia kepada Al, karena itu, mereka langsung melakukan sumpah setia ketika Al terbunuh. Lihat, Ibn Abd al-Barr, al-Isti’ab…J.3.opcit,hlm.1289-1290. Lihat pula, al-°abr,Tarkh al-°abr, J.4.opcit .hlm, 121.Dengan demikian, ia bukanlah orang sembarangan dalam sejarah perpolitikan umat Islam saat it.
29 Jundub ibn Abd Allh ( T,4,112). Nama lengkapnya adalah Jundub ibn Abd Allh ibn Sufyn ak-Bujali. Ia pernah tinggal di Kufah dan Basrah. Setelah peristiwa terbunuhnya khalifah Al, ia adalah salah seorang sahabat yang datang menemui Al dan meminta khalifah menentukan pilihan siapa yang akan menjadi penggantinya kelak. Ketika itu, ia meminta agar khalifah mengijinkannya untuk melakukan bai’at atas al-asan ibn Al. Tetapi, Al tidak memberikan jawaban konkret, karena semuanya diserahkan kepada umat Islam untuk menentukan pilihan terbaik menurut mereka. Peluang itu dimanfaatkannya untuk membai’at al-asan, sehingga ia dan para sahabat Jundub atau para pendukung Al dan al-asan melakukan bai’at kepada al-asan. Lihat, al-°abr, Tarkh, J. 4, 113-114, al-Barr, al-Isti’ab, J.1, hlm, 256, ibn Hajar, al-Isabah, J.1. hlm, 250.
30Abd Allh ibn al-Abbas. Nama lengkapnya adalah Abd Allh ibn al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hasyim ibn Abd Manaf ibn Qushai al-Qurasyi al-Hasyimi Ia dijuluki Ab al-Abbas. Dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah, dan ketika Rasul wafat, ia baru berusia kira-kira 13 tahun. ( al-Waqidi). Ia meninggal di Thaif tahun 68 H dalam usia 71 tahun. Abd Allh ibn al-Abbas adalah salah seorang yang luas pengetahuan keagamaannya dan ahli tafsir (ta’wil) dan ahli hadis. Ia ikut serta bersama Al dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawand. Juga menjadi saksi pada masa al-asan dan masa am al-Jamah. Lihat, al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 119, al-Barr, al-Isti’ab, J.3, 933-939.
31Ubaid Allah ibn Abbas Nama lengkapnya adalah Ubaid Allah ibn al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hasyim. Ibunya bernama Lubabah binti al-harits ibn Hazn al-Hilaliyah. Dijuluki Ab Muammad. Ia bertemu dengan Nabi dan menerima hadis dari Nabi dan menghafalnya. Ia adalah saudara kandung Abd Allh ibn al-Abbas. Mereka dilahirkan dalam waktu yang tidak terlalu jauh. Ia pernaha menjadi gubernur Al di Yaman, dan menjadi pemimpin jama’ah haji dari Yaman pada tahun 37 dan 37 H. Ia wafat pada tahun 58 H pada masa awal pemerintahan Yazd ibn Muwiyah. Dengan begitu, ia menyaksikan peristiwa perdamaian antara al-asan dengan Muwiyah. Lihat, al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 119, al-Barr: al-Isti’ab, J.3, hlam, 1009-1111.
32 Ubaid Allah ibn Ziyd Ia adalah salah seorang penduduk Basrah yang tinggal di Persia. Ia dituduh Muwiyah telah menggelapkan uang negara ketika menjabat di Persia. Tetapi tuduhan itu disangkal, tidak ada bukti. Untuk membuktikan itu, Muwiyah mengirim Busr ibn Ab Arthah ke wilayah tersebut. Ketika tiba di Persia, Basar menahan anak-anak Ziyd, seperti Abd al-Rahman dan Ubaid Allah. Pada saat yang sama, datang Ab Bakrah meminta Basar melepaskan anak-anak Ziyd. Ia mengatakan kenapa kamu menahan mereka, padahal mereka anak-anak tidak berdosa? Dan mengapa kamu melakukan itu kepada pengikut al-asan, padahal al-asan dan Muwiyah telah bedamai. Biarkan mereka tinggal di sini. Untuk memperjelas masalah ini, Basar mengirim surat kepada Muwiyah untuk menyelesaikan masalah Banu Ziyd ini. Untuk itu, Ab Bakrah pergi menghadap Muwiyah dan menyatakan bahwa anak-anak ini tidak berdosa dan ayah mereka tidak memiliki harta seperti dituduhkan itu. Mendengar penjelasan ini, Muwiyah mengirim surat ke Busr untuk melepaskan mereka.Lihat, al-°abr,Tarkh, J. 4, hlm, 128-9, .
33Amr ibn Salmah al-Arhabi Nama lengkapnya adalah Amr ibn Salmah ibn “umairah ibn Muqatil ibn Arhab al-hamdani. Ia banyak belajar (hadis) dari Al ibn Ab °lib dan Ab Musa al-Asy’ary. Dalam konteks ini ibn Sa’ad dalam Thabaqat al-Kubra mencatatnya sebagai orang mulia, fasih, siqah, dan sedikit bicara. Ia .merupakan salah seorang tabi’in periode awal yang berasal dari penduduk Kufah dari Bani hamdan. Ia meninggal pada 85 H. ( ibn Sa’ad: al-Tabaqat al-Kubra. 6. hlm. 171. ) Dalam konteks am al-Jamah, ia berperan sebagai salah seorang utusan al-asan yang menyampaikan surat perdamaian kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn di Syams, Damaskus. Lihat, ibn Sa’ad: al-Tabaqat al-Khamisah. J. 1. hlm, 322.
34Al-usein ibn Al Ia adalah saudara kandung al-asan ibn Al dari hasil perkawinan dengan Fatimah binti Muhammad Rasulullah. Ketika al-asan ingin menyerahkan kekuasaan dan berdamai dengan Muwiyah, ia adalah salah seorang keluarga yang menentang keras. Tetapi, karena al-asan memarahinya, akhirnya ia mengikuti kemauan kakaknya itu. Lihat, al-°abr,Tarkh, J. 4. hlm, 121-123, ibn Sa’ad, Tabaqat al-Khamisah, J.1. hlm, 331..

35 al-Thabary, Tarkh al-Thabary :Tarkh al-Umam wa al-Mulk, J.4. hlm, 121.
36 Lihat biografi Muwiyah ibn Ab Sufyn, dalam al-Baladzury, Ansab al-Asyraf, J. 1, bagian 4, Ed. Ihsan Abbas, ( Beirut: al-Nasyarat al-Ismaliyah, 1979), hlm. 13-35.
37 al-Baladzury, Ansab.J. 1. hlm. 33.
38 al-Dinawary, al–Imamah, J.1. hlm. 140-142. Lihat pula ibn Sa’ad, Thabaqat al-Kubra: al-Thabaqat al-Khamisah J.1. hlm. 322-323.

39 ibn Sa’ad, Tabaqat J.1. hlm. 238-260.

40 Salah seorang yang patut dilihat dalam kasus ini adalah Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah, seperti disebut pada bagian sebelumnya. Ia adalah salah seorang jenderal perang yang diangkat pada masa kepemimpinan khalifah Al untuk memimpin ekspedisi ke wilayah Azerbeyjan. Setelah ia tahu khalifah Al terbunuh, maka langsung ia kembali ke Kufah dan langsung mengangkat al-asan ibn Al sebagai khalifah pengganti khalifah Al ibn Ab °lib. Dari sini dapat dianalisis, mengapa dengan mudah ia mau membai’at al-asan, padahal ia kemungkinan besar tahu bahwa al-asan bukanlah tipe seorang pemimpin yang dapat diandalkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukannya tersimpan niat tersendiri, yaitu agar jabatannya tidak dicopot. Sementara kalau ia membelot ke Muwiyah,—(di sini Muwiyah sebagai alternatif karena saat itu Muwiyahlah yang paling kuat kedudukananya sebagai orang nomor satu setelah ia memperoleh jabatan khilafah dari al-asan ibn Al di Maskin tahun 661 M/41 H, sementara tokoh lainnya seperti Amr ibn al-Ash malah menjadi tokoh kuat di balik Muwiyah,dan kemungkinan kecil ia mendukung al-usein ibn Al karena al-usein sendiri menjadi salah seorang yang menjadi target Muwiyah untuk melenyapkannya),—kemungkinan besar ia tidak akan diterima oleh kalangan pengikut setia Muwiyah, yang telah banyak menginvestasikan jasanya untuk keberhasilan Muwiyah di dalam mencapai cita-cita untuk memperoleh kekuasaan. Meskipun dalam sebuah berita menjelang peristiwaam al-Jamah ia dikabarkan telah tewas, namun apa yang dilakukan sebelumnya berupa dukungan kuat kepada al-asan mungkin tersimpan keinginan kuat untuk mempertahankan kedudukannya yang telah diperolehnya pada masa khalifah Al ibn Ab °lib.Hal yang patut dipertanyakan lagi adalah perbuatan kelompok Qays yang mengobrak abrik kediaman al-asan karena mereka kecewa atas sikap al-asan yang kurang proaktif untuk menindaklanjuti keinginan mereka agar segera menghentikan gerakan kelompk Muwiyah yang ingin memasuki wilayah mereka dan kemungkinan besar akan menghancurkan kelompok pendukung al-asan dan al-asan sendiri. Lihat, al-Thabary, J.4. hlm. 122. Lihat pula ibn Sa’ad, J.1. hlm, 321.

41 Pada masa bapaknya berkuasa, ia memang tidak mendapatkan posisi penting di dalam pemerintahan, karena ia tidak tertarik untuk terjun ke dalam dunia politik praktis. Ketika peristiwaam al-Jamah, ia tidak sependapat dengan kakaknya. Ia lebih memilih diam dan lebih memilih menetap di Madinah ketimbang di Kufah. Hingga akhir hayatnya, ia tetap pada pendiriannya untuk tidak mengakui kepemimpinan khalifah Bani Umayah, di Damaskus, meskipun banyak utusan Muwiyah yang datang kepadanya, ia tetap tidak mau membai’at. Muwiyahpun tidak bisa berbuat banyak, karena al-usein juga tidak melakukan kegiatan politik praktis yang dapat merugikan pemerintahan Bani Umayah. Keteguhan ini dipertahankan hingga akhir hayatnya, ketika ia tewas terbunuh di Karbala pada hari Jum’at tanggal 10 Muharam tahun 61 H oleh Sinan ibn Anas al-Nukh’a. Selain itu, selama masa kepemimpinan transisi pada masa al-asan, ia juga tidak menjabat jabatan penting, kecuali sebagai seorang yang mengasingkan diri hanya untuk beribadah kepada Allah. Lihat al-Barr, al-Isti’ab.1, hlm. 392-398.

42 al-Dinawary, al-Imamah, J.1. hlm, 140.
43 ibn Sa’ad, Tabaqat al-Khamisah, J.1. hlm, 321-322.

44 al-Dinawary, al-Imamah, J.1. hlm, 140. Dalam hal ini, al-usein mengingatkan al-asan bahwa selagi Muwiyah masih hidup, maka konflik antara keluarga Al dengan Muwiyah tidak akan selesai. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menyelesaikannya adalah lewat kekuatan militer.Hanya saja kekuatan al-asan tidak sebanding dengan kekuatan Muwiyah,sehingga persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan mudah.

45 Perbedaan usia antara dia dengan Abd Allh menurut perkiraan al-Baladzuri, sekitar satu tahun beberapa bulan. Dia juga dikenal sebagai seorang sahabat yang memiliki sifat dermawan. Pernah suatu ketika, menurut al-Baladzury,penduduk Madinah diundang makan di rumahnya.Penduduk kota itu merasa senang karena telah mendapatkan makanan dari Ubaidillah.Semasa hidupnya, ia pernah menjadi gubernur di Yaman pada masa pemrintahan khalifah Al ibn Ab °lib. Pada masa al-asan,ia diminta untuk menjadi utusan untuk bertemu dengan Muwiyah menagih janji Muwiyah mengenai konpensasi yang akan diberikan kepada pihak al-asan. Karena itu, ia boleh dibilang sebagai salah seorang sahabat penting yang berada di belakang al-asan.Lihat, al-Baladzury, Ansab al-Asyraf, J. hlm, 55-60.
46 al-Barr, al-Isti’ab,J. 3. hlm. 108-109.
47 Dari sini dapat dipahami bahwa Ubaidillah menghendaki agar kekuasaan Muwiyah segera dihancurkan,karena akan mengganggu kinerja pemerintahan khalifah al-asan ibn Al.Selain itu,boleh jadi ia juga berharap agar ia tidak dicopot dari jabatannya sebagai gubernur Yaman.Selain itu,ia juga tidak suka atas kelompk Muwiyah yang beberapa kali mendatanginya ketika ia masih menjabat gubernur pada masa khalifah Al agar mendukung rencana Muwiyah untuk”menjadi penguasa”.Misalnya pada awal tahun 40 H Muwiyah mengutus Busr ibn Arthah al-Amiry ke Yaman, meminta agar ia membantunya untuk mewujudkan ambisi Muwiyah untuk menjadi orang nomor satu di dunia Islam, namun ditolaknya. Lihat ibn Abd al-Barr, al-Isti’ab, J.1. hlm, 109-110.

48 Dalam catatan ibn Abd al-Barr, Qays ibn Sa’ad ibn Ubadah bukanlah orang sembarangan.Ia termasuk salah seorang sahabat besar Nabi.Bahkan dalam konteks ini, Ab Umar, seperti dikutip ibn Abd al-Barr mengatakan bahwa ia merupakan salah seorang tokoh masyarakat Arab dari golongan Anshar yang terkemuka, ahli strategi perang, punya kedudukan tinggi dan pemurah. Bahkan hubungannya dengan Nabi Muhammad digambarkan bagai seoarng pengawal raja.Kemanapun selalu ada di samping raja.Pada saat penaklukkan kota Makah Rasul Allah memberikan jabatan kesempatan kepadanya untuk memegang panji Islam.Ia pernah direncanakan untuk menjadi gubernur Mesir pada masa Al,tetapi gagal, karena kelicikan Muwiyah yang menghembuskan kasus kematianUsman yang kemudian dijakdikan barang komoditi politiknya untuk mendapat dukungan massa. Ketika terjadi Jama’ah pada masa al-asan,ia pergi meninggalkan al-asan menuju Madinah dan ia lebih tertarik untuk menekuni ibadah hingga ia meninggal dunia pada 60 H.Lihat. Al-Barr, al-Isti’ab, J.3., hlm. 1289-1290.

49 Al-Suyuty, Tarkh al-Khulafa, (Beirut :Darl el-Fikr, 1974), hlm, 177. Lihat pula al-Barr, al-Isti’ab.J.3. hlm, 1388.

50 Bahkan setelah khalifah Uthmn ibn Affn terbunuh pada tahun 36 H, Amr ibn al-Ash dan anak-anaknya serta para pendukungnya,pergi meninggalkan Madinah menuju Syam.Di kota inilah ia melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Muwiyah.Ini membuktikan bahwa jauh sebelum Muwiyah memperoleh legitimasi kekuasaan (khilafah) dari tangan al-asan ibn Al, ia telah mendapatkan pengakuan sebagai seorang khalifah, meskipun kemudian masyarakat umum menolak dan lebih memilih Al sebagai khalifah menggantikan kedudukan Uthmn ibn Affn. Tapi sejak awal memang ia selalu berkoalisi dengan Muwiyah dalam masalah-masalah politik pemerintahan, khususnya setelah kematian khalifah Uthmn ibn Affn. Lihat, al-Thabary, Tarkh al-°abr, J.3., hlm, 558-559. lihat pula al-Dinawary, al-Imamah, J.1. hlm, 74.

51 Al-°abr,Tarkh J.6. hlm. 93-94. Lihat pula, ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubra,:al-Tabaqat al-Khamisah J.1hlm, 316- 317.

52 Al-Allamah al-Mutakallim al-Syaikh Zainuddin Ab Muammad ibn Yunus al-Amily,al-Shirat al-Mustaqim ila al-Mustahaqqiy al-Taqdim, J.2.(Teheran:Maktabah al-Murtadlawiyah, Tt), h. 160. Kutipan ini diambil dari sebuah naskah yang sudah diedit menjadi buku ini. Naskah ini berasal dari sebuah catatan yang bersumber dari syaikh Ab Ja’far al-Qummy yang disampaikan kepada Tamim ibn Buhlul kemudian kepada Ubaidillah ibn al-Fadl kepada Jabir al-Ja’fi kepada Ab Sufyn ibn Layli kepada Ashbagh ibn Nabateah.Lihat pula, Qadli al-Nu’man,al-Ujuzat al-Mukhtarah,editor Iismail K. Husein Poonwala, (Montreal: McGill University),197.), h.178-179. Kedua sumber ini merupakan versi Syi’ah yang menjadikan Al ibn Ab °lib dan keturunannya merupakan orang-orang yang paling berhak mendapatkan hak khilafah sesudah Rasul Allah.

53 Hal itu ditandai dengan tidak diakuinya kekhalifahan al-asan ibn Al oleh kelompok Muwiyah, bahkan Muwiyah dan para sekutunya berusaha untuk menyatakan “perang”terhadap al-asan, apabila al-asan dan para pendukungnya tidak mau meyertakan umat Islam bagian utara dalam proses pemilihan khalifah baru. Akibat ancaman ini, Qays ibn Sa’ad, salah seorang jenderal kepercayaan khalifah Al dan telah menyatakan sumpah setia kepada al-asan, mengusulkan agar menyerang basis Muwiyah dan para sekutunya di Damaskus, Syria Usulan itu diterima, namun karena kekuatan militer al-asan tidak seimbang dengan kekuatan militer yang dimiliki Muwiyah, maka keinginan tersebut agak mengendur. Meskipun kemudian usaha itu tetap dijalankan.Hanya saja informasi kematian Qays memperlemah kekuatan pasukan al-asan yang kemudian al-asan lebih mengutamakan perdamaian dengan Muwiyah.Lihat al-Dinawary, al-Imamah,J.1. hlm,140-142.Lihat pula ibn Sa’ad, Tabaqat, J.1. 322-323..

54 Al-°abr, Tarkh J.5.. hlm, 93-94.
55 ibn Sa’ad, al-Thabaqat al-Khamisah,J.1..hlm,320-321.lihat al-Thabary, Tarkh, J.5. hlm, 93.

56 Masyarakat Syam, (Arab Utara), setelah kematian khalifah Uthmn, mengangkat Muwiyah ibn Ab Sufyn sebagai pemimpin (amir) mereka dan mereka bersedia bersama-sama menuntut darah Uthmn ibn Affn dan menghukum pembunuhnya. Dengan kemampuan naluri politiknya, ia membangkitkan semangat juang masyarakat Syria dan sekitarnya agar berdiri di belakangnya menuntut kematian Uthmn.Bahkan mereka mengatakan bahwa Uthmn adalah anak pamanmu,dan kaulah walinya yang (berhak menggantikan kedudukananya). Kami tidak hanya menuntut darah Uthmn, kami juga menuntut jabatan khilafah. Setelah itu, kemudian mereka melakukan bai’at kepada Muwiyah dan mengakuinya sebagai khalifah. Peristiwa ini terjadi pada 36 H. Setelah itu, Muwiyah mengirim surat kepada Al yang berisi tuntutan agar ia menyelesaikan kasus terbunuhnya Uthmn, selain informasi tentang pengangkatan penduduk Syam atas dirinya sebagai khalifah.Tapi, semua itu dijawab Al dan ia menolak kekhalifahannya..Lihat al-Dinawary,al-Imamah...J.1. ,hlm,74.Tampaknya Muwiyah terus berusaha melakukan konsolidasi kekuatan pendukungnya untuk terus menentang Al ibn Ab °lib hingga perang Shiffin dan terpecahnya kekuatan khalifah Al, yang berujung pada peristiwa terbunuhnya khlaifah Al pada tanggal 5 bulan Syawal tahun 40 H. Al-Dinawary, al-Imamah .J.1. hlm, 140. Bandingkan dengan ibn Hajar, al-Ishabah..J. 1. hlm, 329. Lihat pula al-°abr, Tarkh J. 5., hlm, 93.

57 al-°abr, Tarkh, J.5., hlm, 91. ibn Hajar, al-Ishabah, J.1. 329
58 Disebut pasukan devisi lima, karena pasukan atau tentara yang berada di bawah pimpinan Qays ibn Sa’ad ini terbagi kepada lima devisi, yaitu pasukan sayap depan, sayap tengah, sayap kiri, sayap kanan dan pasukan sayap belakang. Pasukan seperti ini pernah diterapkan pada masa khalifah Al ketika Al mengutus Qays ibn Sa’ad untuk menjadi pemimpin pasukan ke Azerbeijan dengan kekuatan sekitar 40.000 pasukan. Mereka inilah yang kemudian melakukan sumpah setia kepada al-asan sebagai tanda pengakuan mereka atas kepemimpinan al-asan sebagai khalifah pengganti Al. ibn Sa’ad, al-Tabaqat J.1.hlm, 93. Lihat pula al-°abr, Tarkh al-Umam,Jl. 5. hlm, 91.

59Lihat al-Barr, al-Isti’ab.J.3., hlm, 1417.Lihat pula ibn Hajar,al-Ishabah. J..3. hlm, 412. Al-Suyuty, Tarkh, hlm, 182.

60 Al-asan dilahirkan pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 3 H. Ketika ia menerima bai’at dari para pendukung ayahnya pada tahun 40 H, ia baru berusia 37 tahun. Lihat, ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-KhamisahJ.1..hlm,226.lihat pula al-Dinawary, , al-Imamah J.1. hlm,137–139.
61 Dalam satu riwayat disebutkan bahwa al-asan memiliki isteri banyak, bahkan kalau diakumulasi, ada sekitar 90 orang wanita.Ia suka kawain cerai. Bila ada wanita yang suka padanya, ia nikahi. Kalau tidak suka,ia cerai.Kelakuan al-asan ini cukup meresahkan keluarganya,bahkan Al ibn Ab °lib sendiri pernah merasa khawatir apabila kelakuaan kawin cerai ini masih melekat di dalam pribadi al-asan, akan menimbulkan dampak yang tidak baik, antara lain ketidaksukaan suku-suku yang puteri mereka dicerai.Pernah suatu ketika Al berbicara di hadapan penduduk Kufah. Hai penduduk Kufah, jangan kau nikahkan anak puteri kalian dengan al-asan,karena ia termasuk lelaki yang suka bercerai.Tapi seruan Al itu ditanggapi dingin bahkan ada salah seorang penduduk Kufah dari Bani Hamdan berkata. Tidak, kami tetap akan menjadikan dia menantu.Wanita yang disukainya,silakan nikahi, dan yang tidak boleh dicerai.Lihat, al-Suyuty,Tarkh al-Khulafa. hlm, 178.
62 Sebagai bukti dari ketidakloyalan masyarakat Kufah adalah pada saat berita kematian Qays ibn Sa’ad terdengar oleh mereka, secara serempak mereka mendatangi al-asan dan merampas semua yang dimiliki al-asan di istananya. Mereka membelot dan keluar serta tidak mau lagi patuh kepada al-asan. Bahkan salah seorang dari Bani Asad bernama ibn Uqaysir, berusaha melukainya dengan pisau beracun, meskipun akhirnya ia selamat dari tikaman itu. Lihat, ibn Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, J.1. hlm, 321-322.

63 al-°abr, Tarkh al-Umam, J.5.hlm, 91.

64 Ketika al-asan mengemukakan keingiannya untuk berdamaia dengan Muwiyah, al-usein mengingatkan kakaknya untuk tidak berbuat gegabah.Sebab, menurut al-usein, kami disumpah untuk membenarkan ucapan Muwiyah dan mendustai Al.Itu tidak mungkin. Namun ucapan al-usein dipotong al-asan dengan kalimat yang agak kasar, “diam kamu! Aku lebih tahu persoalannya daripada kamu.”Mendengar kata-kata itu, al-usein hanya terdiam tidak mengucapkan sedikitipun kata-kata. Al-°abr,Tarkh J .5 . hlm, 40. Lihat pula al-°abr, Tarkh J.4. hlm, 122.
65 ibn Sa’ad, al-Tabaqat, J. 1 hlm. 322.
66 al-Suyuty, Tarkh. hlm, 179.

67 Al-°abr, Tarkh .4. hlm, 123-126.
68 ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Khamisah, J.1, hlm. 322-323.

69 al-Barr, al-Isti’abJ.1.hlm, 385.
70 al-Suyuty, Tarkh. hlm, 179. lihat pula al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 125.

71 ibn Sa’ad, al-Tabaqat, J.1, hlm. 322-323

72 ibn Sa’ad, al-Thabaqat J.1. hlm, 325-326.

73 ibn Sa’ad, , al-Thabaqat J.1. hlm, 325-326
74 ibn Qutaybah, al-imamah, hlm, 86. lihat pula al-Thabary, Tarkh al-Umam,J.4. hlm, 122. lihat pula al-Suyuthy, Tarkh al-Khulafa.. hlm, 180.

75 Marshall G.S.Hodgson,The Venture of Islam,J.1. (Chicago: Chicago University press, 1974), hlm. 216.
76 Al-Baladzury, Ansab, J.1, hlm, 24. Di riwayatkan dari Abbas ibn Hisyam al-Kalbi dari bapak dan juga dari kakeeknya. Ia berkatak pada suatu hari, Sa’ad ibn Ab Waqqas dating menemui Muwiyah, ketika masuk ia mengucapkan salam, assalamu’alaikum paduk araja, mendengar ucapan itu, Muwiyah tertawa, lalu Muwiyah berkata,ada apa denganmu hai Ab Ishak, kenapa tidak kau ucapkan amir al-mukminin saja, Sa’ad menjawab,mengapa anda tertawa, demi Allah aku suka mengatakannya, dst.

77 Al-°abr, Tarkh,J.4, hlm, 125.Ibn Sa’ad, al-Taabaqat. J.1. hlm, 323-324 dan hlm, 30.

78 al-Suyuty, Tarkh. hlm, 180.
79

80 al-°abr, Tarkh . J.4. hlm,125.

81 Al-°abr, Tarkh,J.5.. hlm, 91.
82 Menurut al-Bukhary,seperti dikutip ibn Hajar mengatakan bahwa Qays pernah mengabdikan diri (khadima) kepada Nabi Muhammad selama lebih kurang 10 tahun. Dengan mencermati pendapat ini dapat dikatakan bahwa ia adalah salah seorang sahabat Nabi dari golongan Anshar, penduduk Madinah. Lihat ibn Hajar, al-Ishabah .J.3.. hlm, 239.
83 Al-Waqidi, Kitab al-Maghazy,J.2.(Beirut :Muassasah al-Alami li al-Matbu’at, 1989 ), hlm. 437, 547,775,776.

84 Lihat, Al-Barr, al-Isti’ab J.3, hlm. 1289-1290. Lihat pula, al-Tabari, Tarkh J. 4.. hlm, 121.

85 al-°abr, Tarkh, J.5. hlm, 122.
86 Disebut dilematis karena posisinya serba salah.Bila ia menerima tawaran al-asan agar ia membai’at Muwiyah,berarti ia telah mengkhianati janji setianya kepada Al. Bila tidak, maka posisinya semakin terjepit, karena memang sebenarnya ia tidak suka dengan cara-cara Muwiyah memperoleh kekuasaan itu.
87 Al-Thabary, Tarkh, J.4..Lihat pula ibn Hajar, al-Isabah,J.1., hlm, 329.
88 al-Barr, al-Isti’ab, J.3., hlm, 1290.

89 Nama lengkapnya adalah Sulaiman ibn Surad ibn al-Jaun ibn Ab al-Jaun ibn Munqidz ibn Rabi’ah ibn Ashram al-Khuza’iy,dari keturunan Ka’ab ibn Amr ibn Rabi’ah. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Ab Mithraf.Ia adalah seorang tokoh agama yang baik dan memiliki keutamanaan di mata kaumnya.Nama sebelum Islam adalah Yassar, kemudian diberi nama Sulaiman oleh Nabi Muhammad. Ibn Abd al-Bar, al-Isti’ab. J.1. hlm, 649-650. Setelah Rasul Allah wafat, ia pindah dari Madinah dan menetap di kota Kufah hingga pada masa pemerintahan khalifah Al yang memilih Kufah sebagai pusat pemerintahannya.Di situlah ia kemudian bergabung dengan khalifah Al ibn Ab °lib dan selalu bersamamnya dalam berbagai pertempuran, termasuk perang Jamal dan Shiffin.Ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubra,J.4.(Beirut :Dar el-Fikr,1985),hlm, 292-293. Ketika Al tewas terbunuh, ia masih berada di kota Kufah dan membai’at al-asan sebagai pengganti Al.Tapi setelah itu, ia tidak tahu lagi perkembangan politik yang terjadi,khususnya mengenai peristiwa penyerahan kekuasaan kepada Muwiyah.Karena itu,ia sangat marah dan lebih memilih diam dan bergabung dengan al-usein yang tidak setuju dengan kebijakan kakaknya. Sebenarnya ia diminta al-usein untuk bergabung untuk berperang melawan Yazd,tapi ia tidak mau.Barulah setelah al-usein tewas pada tahun 65 H,ia menyesali kesalahannya itu. Karena itu, kemudian ia bersama sekitar 4000 pasukan datang menyerbu pasukan Yazd yang berada di bawah pimpinan Syurahbil ibn Dzi al-Kila’.Pertempuran pun tidak dapat dihindari, hingga akhirnya ia tewas di Ain al-Wardah dalam usia 93 tahun. Al-Barr, al-Isti’ab, J.1.hlm, 649-650 ibn Sa’ad, al-Tabaqat. J.4. hlm, 292-293.Hal penting yang juga perlu mendapatkan penjelasan di sini adalah bahwa Sulaiman ibn Surad termasuk salah seorang sahabat Al yang tidak setuju atas kebijakan Tahkim.Karena itu kemudian ia keluar dari barisam Al,yang kemudian dikena;lsebagai kelompok Khawarij.

90 ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Khamisah, J.1. hlm, 510.
91Al-Barr, al-Isti’ab ,J.1.hlm, hlm, 649-650. lihat pula ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubra,J. 4. (Beirut : Dar el- Fikr, 1985), hlm, 292-293.
92 Al-Dinawary, al-Imamah.J.1. hlm.141-142. lihat pula ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubra,J.4. hlm, 292. lihat pula Al-Barr, al-Isti’ab.J.2., hlm, 650.

93 ibn Sa’ad, al-Thabaqat J.4. hlm, 292. ibn Abd al-Barr,al-Isti’ab, J.2.650.
94 Lihat ibn Sa’ad al-Tabaqat, J.4.hlm, 292 Kelompok ini ingin menebus kesalahan mereka yang telah menyatakan keluar dari barisan Al dengan menuntut kematian al-usein. Kemudian mereke berkumpul di Nakhilah, kota perbatasan antara Kufah dengan Syam. Lihat, ibn Sa’ad, Thabaqat al-Kubra., J.1.hlm, 510.

95 Al-°abr, Tarkh,J.5., hlm, 43.
96 ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubra, , J.1., hlm. 322-323.

97 Abd Allh ibn Zubeir dilahirkan di Madinah pada tahun ke-2 Hdan wafat pada Jumadi al-akhir tahun 73 H.lihat ibn Abd al-Barr, al-Isti’ab,,,.J.3.opcit,hlm, 905-912.Dia adalah termasuk seorang anak pertama yang dilahirkan oleh kelompok Muhajirin di Madinah. Konon menurut Asma,ibunya,ia mengandung Abd Allh di Makah kemudian hijrah ke Madinah dan melahirkan Abd Allh di Quba.Kektika dewasa ia menjadi sahabat dekat dan pernah mengikuti perang Yarmuk bersama ayahnya, penaklukkan Afrika, dan ikut pula dalam Jamal bersama ayahnya,Ibn Zubaier,.Ia dalam peristiwa perang Jamal bersama ayahnya, namun kemudian ia tidak mau berperang melawan Al, tetapi lebih memilih mendekati Muwiyah dan melakukan bai’at kepadanya.Lihat ibn Hajar, al-Ishabah,J.2, hlm, 300–303.

98 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam,(Terj),(Yogyakarta:Kota Kembang, 1989), hlm, 69.
99 Al-Barr, al-Isti’ab, J.2. hlm, 650.
100 al-Dinawary, al-Imamah J.1. hlm, 141-142.

101 al-°abr, Tarkh, J. 4. hlm, 126.
102Al-Thabary, Tarkh, J.4. hlm, 126

103 Ab Musa al-Asy’ari nama aslinya adalah Abd Allh ibn Qays ibn Salim iIbn Hadhar ibn Harb ibn Amir ibn ibn Ghanam ibn Bakr ibn Amir ibn Adb ibn Wail ibn Najiah ibn al-Jamahir ibn al-Asy’ar. Ia masuk Islam dan meninggal di Madinah. Ia hijrah ke Madinah setelah peristiwa Khaibar. Pada masa Rasul Allah, ia pernah diangkat sebagai gubernur Yaman dan sekitarnya. Kemudian pada masa pemrintahan khalifah Umar ibn al-Kha¯¯b ia diangkap menjadi gubernur Basrah menggantikan Mughirah ibn Syu’bah. Ia juga berhasil menaklukkan Ahwaj dan Isfahan yang kemudian pada masa khalifah Uthmn ibn Affn diangkat menjadi gubernur Kufah.Selain itu,dalam karier pilitiknya, ia juga pernah menjadi seorang delegasi dalama peristiwa arbitrase(tahkim) pada masa khalifah Al ibn Ab °lib di Siffin. Lihat ibn Hajar.al-Ishabah.2.,hlm,351-352. lihat pula al-Barr, al-Isti’ab, J.3. hlm, 979 – 980.
104 Nama aslinya adalah Abd Syam, ada pula yang menyebutnya dengan nama Abd Nuham,Abd Ghanm dan Sukin. Setelah masuk Islam namanya diganti menjadi Abd Allh. Menurut Hisyam ibn Miuhamad, seperti dikutip oleh ibn Sa’ad, adalahUmair ibn Amir ibn Abd Dzi al-Syarriyyi ibn Tarif ibn Ghiyats ibn Ab Sha’b ibn Hunainah ibn al-Harits Ab Hurairah juga termasuk salah seorang sahabat yang baru dating ke Madinah setelah peristiwa Khaibar pada tahun ke-7 H. Kemudian ketika di Madinah, ia tidak seperti kebanyakan para sahabat lainnya yang sibuk mencari kehidupan seperti Muhajirin dan kaum Anshar berdagang, ia sendiri sibuk belajar hadist dari Rasul Allah Saw. Bahkan pernah suatu ketika ia bertanya kepada Nabi Muhmad.Ya Rasullah, aku telah banyak memperoleh ilmu dan hadits darimu. Dan aku takut semuanya hilang dari ingatanku. Ketika itu juga rauluulah meminta tangan Ab Hurairah untuk dibentangkan dan didoa’akan agar semua ilmu yang diperlehnya tidak hilang dan bias bermanfaat bagi semua orang.Ia wafat di Madinah pada tahun 59 H.
105 al-Barr, al-Isti’ab J.4. hlm, 1771.

106 Anas ibn Malik ibn al-Nadhar ibn Dhamdham ibn Zaid ibn Haram ibn Jundub ibn Adi ibn Najjar ibn Sa’labah ibn Amr ibn al-Khazraj ibn Harisah al-Anshari al-Khazraji al-Najjari al-Bashari. dijuluki Ab Hamzah.Dia adalah khadimnya Rasul Allah Saw. Ketika perang Badar, ia merupakan seoang anak kecil yang menjadi pembantu Rasul Allah, ia selalu menjadi pendamping setia Rasul Allah.



BAB V
LANGKAH AL-AL-ASAN IBN AL¡ DAN
MU²WIYAH IBN AB SUFY²N PASCA AM AL-JAMA’AH


Pada bagian ini, yang menjadi fokus pembahasan adalah langkah politik apa saja yang dilakukan oleh kedua belah pihak, baik pihak Muwiyah ibn Ab Sufyn maupun pihak al-asan ibn Al. Apakah mereka berdiam diri atau telah melakukan langkah-langkah strategis untuk menciptakan suasana damai, aman dan tentram, sehingga—setelah Muwiyah memperoleh pengakuan secara bulat dari lawan politiknya—ia mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Penelusuran ini dianggap penting untuk melihat situasi sosial dan politik umat Islam setelah peristiwa perdamaian tersebut. Apakah langkah kedua belah pihak dapat membantu menciptakan jalan mulus perdamaian yang telah dilakukan oleh kedua pemimpin umat Islam tersebut, atau malah sebaliknya. Untuk lebih jelas masalah ini, berikut uraiannya.

A.Langkah-langkah al-asan ibn Al
Setelah terjadi perdamaian antara al-asan dengan Muwiyah di Maskin pada tahun 661 M/41 H, maka masing-masing pihak melakukan langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi di antara mereka berdua. Langkah-langkah ini dianggap penting oleh mereka untuk mensosialisasikan hasil kesepakatan yang telah dicapai. Adapun langkah-langkah yang telah ditempuh al-asan adalah sebagai berikut:

1.Meminta Para Pengikutnya
Untuk Melakukan Bai’at kepada Muwiyah

Setelah al-asan ibn Al menyerahkan kekuasaan kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn di Maskin pada akhir bulan Rab’ al-Awwal atau awal Rab’ al-Akhr tahun 41 H/661 M,1 secara otomatis hanya tinggal satu penguasa yang sah, yaitu Muwiyah ibn Ab Sufyn. Usai penyerahan kekuasan itu dan sekaligus pembaiatan, al-asan ibn Al dan Muwiyah ibn Ab Sufyn pergi menuju kota Kufah. Kota ini, sejak masa khalifah Al ibn Ab °lib dikenal sebagai basis kekuatan Al, karena sebagian besar penduduknya sangat setia kepada khalifah Al dan tidak suka kepada Muwiyah dan para sekutunya.

Oleh karena itu, sepeninggal Al, tak heran kalau kemudian para pendukung setianya yang berdomisili di Kufah langsung membai’at al-asan ibn Al sebagai khalifah, pengganti Al ibn Ab °lib. Di kota inilah al-asan mengumpulkan para pembesar2 masyarakat, antara lain seperti Abd Allh ibn Abbs, Qays ibn Saad, al-usein ibn Al. Setelah berkumpul, mereka diminta untuk mentaati segala apa yang akan dikatakan dan dilakukannya, yaitu mengakui Muwiyah ibn Ab Sufyn sebagai khalifah yang baru, yang telah menggantikan kedudukananya. Dalam kata lain, mereka diminta untuk melakukan sumpah setia (bai’at) seperti yang telah dilakukannya.3
Untuk memperkuat sikap dan pengakuan al-asan ibn Al atas kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn, al-asan ibn Al diminta oleh Amr ibn al-As melalui Muwiyah ibn Ab Sufyn untuk memberikan sambutan resminya pada forum pertemuan tersebut.

Menurut al-°abr, pada mulanya, Muwiyah enggan melakukan hal tersebut, karena menurut Muwiyah, penyerahan kekuasaan al-asan dan pengakuan atas kekhalifahannya saja sudah cukup baginya, tidak perlu ada tindakan lain. Tetapi karena desakan yang begitu kuat dari Amr ibn al-’As kepada Muwiyah agar Muwiyah mempersilakan al-asan menyampaikan kata sambutannya di hadapan para pengikutnya, pada akhirnya Muwiyah mau juga menuruti permintaan Amr ibn al-’As tersebut.4

Permintaan Amr ibn al-’As agar al-asan memberikan kata sambutan memiliki nilai politis dan bahkan sangat strategis bagi keber-langsungan kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Sebab menurutnya, di situlah para tokoh Kufah dan masyarakat pendukungnya akan mengetahui kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang dimiliki al-asan ibn Al.5 Akhirnya permintaan Amr ibn al-’As itu disetujui Muwiyah. Karena itu kemudian Muwiyah mempersilakan al-asan ibn Al untuk berbicara sendiri di hadapan para pengikut setianya.

Setelah dipersilakan, barulah kemudian al-asan memulai pidatonya. Isi pidato itu antara lain sebagai berikut.



“Hadirin. Sesungguhnya Allah telah memberikan petunjuk kepada kalian dengan kehadiran orang-orang terdahulu. Darah kalian telah menyatu dengan orang-orang kemudian. Karena itu, sesungguhnya aku telah meminta Muwiyah untuk berlaku adil kepada kalian dan memenuhi ghanimah kalian, membagikan fa’i kalian. Kemudian menghadap ke arah Muwiyah.”6

Setelah itu, kemudian al-asan mengatakan sesuatu yang penting kepada para pengikutnya.



“Kalian telah menyatakan sumpah setia (bai’at) kepadaku,bahwa kalian akan berdamai dengan orang yang aku ajak damai, dan memerangi orang yang aku perangi. Kini, sesungguhnya aku telah menyatakan sumpah setia kepada Muwiyah (bai’at), karena itu dengarkan apa katanya dan patuhilah dia.”7

Setelah itu, al-asan ibn Al melanjutkan pembicaraannya dengan mengutip ayat al-Qur’an QS. Al-Anbiya ayat 111. ”Dan aku tidak mengetahui, kemungkinan hal itu merupakan8 cobaan bagi kamu dan kesenangan sampai kepada suatu waktu.
Mendengar ayat tersebut, Muwiyah ibn Ab Sufyn merasa heran dan bingung, mengapa al-asan mengemukakan ayat itu dan apa maksudnya al-asan membaca ayat tersebut. Sebenarnya Muwiyah tahu bahwa ayat itu ditujukan kepadanya dan intinya merendahkan atau mengejek Muwiyah, bahwa ia tidak akan lama berkuasa dan kekuasaan yang dipegangnya hanya merupakan ujian, karenanya ia marah. Apalagi setelah al-asan ibn Al menambahkan perkataannya setelah turun dari mimbar bahwa masalah khalifah adalah aku yang paling berhak menjabatnya, tetapi karena aku tidak mau mengambilnya dan kemudian kuserahkan kepada Muwiyah, semata hanya karena keinginanku untuk kedamaian bagi umat, tidak lebih dari itu.9

Kalimat terakhir yang diucapkan al-asan sebenarnya merupakan ”sindiran kepada Muwiyah, bahwa sebenarnya Muwiyah tidak memiliki hak apapun atas khilafah, selain al-asan sendiri. Karena itu, apa yang diberikan kepada Muwiyah pada saat itu lebih merupakan sebuah pemberian dari seorang cucu Rasulullah kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn. Hal itu diperkuat dengan perkataan al-asan ibn Al kemudian, bahwa sebaik-baik pakaian adalah takwa, sepandir-pandirnya kebodohan adalah perbuatan dosa. Sesungguhnya masalah ini (khilafah) yang telah kuserahkan kepada Muwiyah sebenarnya adalah hakku. Tetapi karena aku menginginkan kedamaian dan keselamatan buat umat, maka hal itu kuserahkan kepada Muwiyah.10 Lebih lanjut al-asan mengajak para pengikutnya untuk selalu mentaati perintah pemimpin mereka, sekalipun Muwiyah di mata mereka adalah seorang khalifah yang tidak disukai. Tetapi ia tetap sebagai seorang pemimpin umat yang harus diakui kepemimpinannya.
Pidato dan ucapan al-asan saja ternyata tidak cukup. Untuk melengkapi semua ucapan dan kesepakatan antara Muwiyah dengan al-asan, perlu diperkuat oleh sikap dan sambutan atau ucapan dari Muwiyah. Untuk itulah, setelah al-asan turun dari mimbar dan menambahkan beberapa kalimat penting di atas, Muwiyah ibn Ab Sufyn tampil di mimbar untuk memberikan pidato yang intinya meminta semua pengikut al-asan untuk tetap mematuhi perintahnya dan jangan sekali-kali melawan, karena akan berisiko berat. Risikonya antara—karena Muwiyah telah menjadi penguasa, maka sudah pasti—ia akan memerangi kelompok yang tidak suka atau bahkan menentangnya, baik secara terang-terangan maupun tersembu¬nyi,dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setelah al-asan ibn Al meminta para pengikutnya untuk mematuhi perintah Muwiyah dan mengakuinya sebagai khalifah, dan permintaan tersebut dipatuhi—meskipun tidak semua pengikutnya mematuhi permintaan tersebut—Mu’awiyah telah menjadi satu-satunya penguasa Islam saat itu.

2.Mengajak Sanak Keluarganya Pindah ke Madinah.
Setelah prosesi penyerahan kekuasaan dan pengakuan atas kekuasaan Muwiyah, dan al-asan ibn Al menerima berbagai kompensasi dari Muwiyah ibn Ab Sufyn, al-asan ibn Al mengajak sanak keluarga dan handai taulan untuk pergi meninggalkan kota Kufah dan menetap di kota Madinah. Tidak banyak keterangan yang pasti mengenai alasan mengapa al-asan ibn Al dan keluarganya lebih memilih tinggal dan menetap di Madinah, ketimbang tetap berada di Kufah. Namun hal pasti yang dapat dikatakan dalam konteks ini adalah bahwa al-asan ibn Al dan keluarganya lebih merasa aman tinggal dan menetap di Madinah, selain karena di “kota Nabi” inilah kakeknya dimakamkan. Selain itu, kota Madinah memiliki letak yang relatif jauh dari kota Damaskus, Syria, pusat kekuasaan Muwiyah dan basis kekuatannya. Sehingga al-asan lebih leluasa untuk mengabdikan diri kepada Tuhannya dalam menjalankan ibadah, dan meninggalkan hiruk pikuk kehidupan politik yang tidak memiliki kepastian bagi diri dan keluarganya.

Dalam konteks ini, Ibn Saad hanya mengemukakan sumber informasi yang diperolehnya dari Ab Ja’far11 yang mengatakan bahwa setelah al-asan ibn Al menyerahkan kekuasaan (khilafah) kepada Muwiyah di Maskin dan Muwiyah telah mendapatkan bai’at dari para pengikutnya yang berada di Kufah, dan kemungkinan juga penduduk Basrah, al-asan ibn Al yang ketika itu bersama Ab Ja’far mengemukakan pendapatnya bahwa al-asan ibn Al dan keluarganya serta para pengikut setiaanya akan pergi dan menetap di Madinah. Pada saat itu, Ab Ja’far berkata:



“Demi Allah, pada saat itu, aku sedang berada di dekat al-asan, lalu al-asan memegang bajuku dan berkata, duduklah di dekatku. Kemudian aku duduk. Setelah itu, al-asan ibn Al mengemukakan isi hatinya. Hai Ab Ja’far, sesung¬guhnya aku punya pendapat bahwa sebaiknya kamu ikut denganku. Lalu aku bertanya lagi. Apa pendapatmu itu? al-asan menjawab. Aku berpendapat bagaimana sekiranya jika aku dan sanak keluargaku serta para sahabat setiaku pergi ke Madinah, supaya aku dapat menyendiri dan menjauh dari Muwiyah dari segala persoalan politik ini. Karena menurutku, fitnah” ini akan berlangsung lama, dan pasti akan banyak mengalirkan darah, memutuskan tali persaudaraan, menutup jalan (kebenaran), serta waktu yang tersita begitu banyak hanya karena urusan ini.” Kemudian Ab Ja’far menyahutinya dengan tenang sambil berkata: “Semoga Allah memberikan kebaikan yang berlipat ganda kepadamu dan umat Muhammad hai al-asan. Dan aku akan ikut bersamamu dalam masalah ini.”12

Dari keterangan yang dihimpun Ibn Saad tersebut di atas, kiranya dapat dijelaskan lebih jauh di sini bahwa alasan yang paling kuat dan dapat dijadikan dasar argumentasi mengapa al-asan ibn Al lebih memilih Madinah sebagai tempat tinggal, adalah bahwa al-asan ibn Al berkeinginan supaya ia dan keluarganya serta para sahabat setianya bisa terhindar atau selamat dari berbagai kemungkinan bencana yang akan menimpa mereka. Al-asan memiliki perkiraan bahwa persoalan (politik) yang meimbulkan fitnah itu akan berlangsung cukup lama. Selain itu, kalau ia dan keluarganya serta para sahabat setianya masih terlibat atau mencoba melibatkan diri dalam dunia politik, akan lebih banyak bahayanya ketimbang manfaat atau keuntungan yang diperoleh. Lebih jauh al-asan berpendapat kalau agar ia dan keluarganya serta para sahabat setianya menjauhi persoalan tersebut, tidak akan terjadi perseteruan politik lebih dalam lagi berupa pertempuran fisik yang berkibat banyaknya darah umat Islam yang mengalir dan lenyapnya kekuatan dan potensi yang dimiliki umat Islam. Karena alasan-alasan tersebutlah al-asan mengajak keluarganya dan para sahabat setianya pindah ke Madinah.

Setelah al-asan ibn Al menjelaskan perihal keinginannya untuk pergi menjauhi pertikaian yang konflik atau fitnah berkepanjangan yang kemungkinan akan terjadi dan akan menimpa umat Islam, khususnya di Kufah. Al-asan meminta Ab Ja’far agar ia pergi menemui al-Husein dan menjelaskan keinginan al-asan tersebut. Setelah itu, membawanya ke hadapan al-asan. Ketika al-usein mendengar penjelasan Ab Ja’far, ia berkata tegas.”Aku berlindung kepada Allah. Apakah kamu mau mendustai Al ibn Ab °lib dan membenarkan tindakan Muwiyah?13

Pertanyaan dan sekaligus pernyataan keheranan al-usein tersebut, menurut Ibn Saad tidak dijawab oleh Ab Jafar, bahkan ia terus pergi mengajak al-usein untuk bertemu dengan kakak kandungnya. Ketika keduanya sudah tiba, lalu al-asan menjelaskan keinginannya tersebut seperti penjelasan yang diperoleh al-Husein dari Ab Jafar, kemudian meminta adiknya itu untuk menjawab atau menjelaskan pendapatnya. Jawaban al-usein sama seperti penjelasan yang telah disampaikan kepada Ab Jafar. Al-asan sangat merah mendengar jawaban itu, karena menurutnya jawaban itu tidak mengenakan bahkan menilai bahwa ada kecenderungan al-Husein untuk melakukan tindakan sendiri melawan kekuatan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Lalu ia berkata: ”Demi Allah, sesungguhnya sama sekali aku tidak menghendaki kau pergi meninggalkanku dan bergabung dengan yang lainnya. Demi Allah, sesungguhnya aku menginginkan untuk mengurungmu di rumah hingga persoalanku semuanya selesai.”14
Demi mendengar ucapan kakaknya yang sangat emosional itu, al-usein dengan redah hati menjawab dan menyerahkan semua persoalan kepada kakaknya itu. Katanya: “Engkau adalah anak Al yang paling tua, dan engkau telah menggantikan posisinya sebagai khalifah, maka dari itu, semua keinginan kami adalah juga keinginan kamu, karena itu, lakukan apa yang engkau kehendaki.”15

Setelah al-asan ibn Al mengemukakan pendapatnya di hadapan Ab Ja’far dan al-usein yang disambut baik oleh Ab Ja’far, al-asan keluar rumah dan menuju Masjid Kufah. Di sinilah ia mengumpulkan para sahabat setianya. Setelah mereka berkumpul al-asan mengemukakan keinginannya kepada meraka. Lalu al-asan berkata:



“Wahai penduduk Kufah! bertaqwalah kepada Allah, dan berbuat baiklah kepada para tetanggamu dan tetamu yang datang ke tempatmu, dan juga berbuat baiklah kepada ahl al-Bait keturunan Nabi Muhammad Saw , yang telah melepaskan diri kalian dari perbuatan dosa dan telah menjadikan kalian sebagai orang-orang yang bersih. “

Selain hal tersebut di atas, Ibn Saad juga mengemukakan bahwa sebelum meninggalkan tempat itu al-asan menambahkan ucapannya, bahwa:




“sesungguhnya aku adalah orang yang pertama kali yang tidak menyukai peristiwa ini, karenanya aku berusaha untuk menyelesaikan persoalan ini dengan benar kepada orang yang kuanggap paling cocok saat ini untuk menerima (jabatan khilafah), meskipun aku sebenarnya lebih berhak atas itu.17

Orang yang dimaksud al-asan ibn Al adalah Muwiyah ibn Ab Sufyn. Mendengar ucapan itu, para sahabat setianya yang ada di masjid tersebut menerima keinginan al-asan, bahkan ada di antara mereka yang hadir di masjid tersebut menangis, karena al-asan dan sanak keluarganya akan pergi meninggalkan kota Kufah. Mereka tentu saja merasa khawatir, karena Muwiyah yang saat itu telah menerima jabatan khilafah dan sah menjadi pemimpin mereka, tidak berlaku bijaksana, dan mereka akan menjadi orang atau kelompok yang tertindas.

Setelah al-asan mengemukakan pendapatnya di hadapan para sahabat setianya, ia kembali ke rumah dan bergegas mempersiapkan kebutuhan yang akan dibawanya ke tempat di mana ia merasa lebih aman dan tentram. Karena di kota inilah ia menghabiskan waktu dan umurnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhkan diri dari berbagai hiruk pikuk kehidupan politik dan perseteruan yang terjadi di kalangan umat Islam saat itu.

Dalam perjalanan menuju kota Madinah, di tengah jalan, menurut Ibn Saad tepatnya di kota Qadisiah bertemu dengan para penentang al-asan yang dimotori oleh kelompok Khawarij. Lalu mereka mengatakan kata-kata yang menyakitkan hati al-asan ibn Al, ”Hai penghina (pecundang) orang–orang Arab”.18 Ejekan tersebut tidak dijawab, bahka al-asan dan sanak saudara serta para sahabat setianya, berjalan seperti biasa, dan bahkan dianggap angin lalu. Hal itu dilakukan karena meraka tidak menyakiti rombongan al-asan dengan cara-cara kekerasan. Dengan demikian, al-asan dan para sahabat setianya yang pergi meninggalkan kota Kufah menuju kota Madinah berjalan dengan lancar dan tiba dengan selamat. Diperkirakan rombongan al-asan ibn Al tiba di kota Madinah pada bulan Rab’ al-Awwal tahun 41 H.19

Di kota inilah al-asan ibn Al dan para sahabat setianya tinggal menetap tanpa mendapat banyak gangguan dari orang-orang yang menjadi pendukung setia Muwiyah ibn Ab Sufyn. Kemudian al-asan dan keluarganya hidup dengan tenang hingga akhir hayatnya. Al-asan ibn Al meninggal pada tahun 50 H/ 670 M.20

B. Langkah Muwiyah ibn Ab Sufyn
Seperti halnya al-asan ibn Ali, Muwiyahpun memandang perlu untuk melakukan berbagai langkah strategis guna mengatur pemerintahan yang akan dijalankannya. Langkah-langkah strategis itu adalah sebagai berikut

1. Meminta al-asan ibn Al untuk Menjelaskan Hasil Kesepakatan Kepada Para
Pengikutnya dan Meminta Mereka untuk Membai’at Muwiyah.
Untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat lagi dari masyarakat muslim, khususnya para pendukung al-asan ibn Al, Muwiyah ibn Ab Sufyn meminta kepada al-asan untuk menjelaskan hasil kesepakatan yang telah dicapai antara dirinya dengan Muwiyah dalam sebuah pertemuan di Maskin. Muwiyah berharap, dengan cara-cara seperti ini, ia akan berhasil menjalankan roda pemerintahan tanpa harus mendapatkan banyak perlawanan atau penolakan dari kelompok yang kurang setuju atas hasil kesepakatan tersebut. Selain itu, pelimpahan kekuasaan yang terjadi dari tangan al-asan ke tangan Muwiyah ibn Ab Sufyn akan menjadi semakin kuat posisi dan kedudukan Muwiyah karena memperoleh dukungan yang relatif cukup kuat dari penduduk Kufah, Basrah dan para penduduk kota-kota lainnya.

Oleh karena itu, setelah persetujuan penyerahan kekuasaan di Maskin, al-asan ibn Al mencoba mengumpulkan para sahabat setianya di kediamannya di Madain, sebelum memberikan penjelasan lebih jauh dan secara massif kepada para sahabat setianya di Masjid Kufah. Di dalam pertemuan itu al-asan menjelaskan bahwa dirinya telah menyerahkan kekuasaan kepada Muwiyah dan telah mengakui Muwiyah sebagai pemimpin. Oleh karena itu, sekali lagi al-asan meminta agar mereka melakukan seperti apa yang telah dilakukannya, yaitu menjadikan Muaiwyah sebagai pemimpin mereka, dan jangan sekali-kali membantahnya bila telah melakukan bai’at kepadanya.21
Setelah itu, al-asan ibn Al pergi ke Masjid Kufah untuk memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada Muwiyah dan mengakuinya sebagai khalifah. Setelah umat Islam berkumpul di Masjid, al-asan ibn Al diminta oleh Amr ibn al-’As melalui Muwiyah untuk memberikan penjerlasan kepada para sahabat setianya mengenai peristiwa yang telah terjadi di Maskin itu. Ketika itu, hadir tokoh–tokoh penting, baik dari pihak al-asan ibn Al maupun pihak Muwiyah ibn Ab Sufyn. Dari pihak al-asan ibn Al hadir antara lain, Abd Allh ibn Abbs, Qays ibn Saad, Ab Ja’far, Ab Amir, dan lainnya.22 Sementara dari pihak Muwiyah hadir antara lain, Amr ibn al-’As, Ab al-A’war al-Sulma, Amr ibn Sufyn.23

Setelah mereka berkumpul di masjid Kufah, di situlah kesempatan al-asan memberikan penjelasan alasan–alasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada Muwiyah dan mengakuinya sebagai khalifah. Mereka berdua bergiliran memberikan sambutan masing-masing. Sebelum Muwiyah meminta umat Islam mengakui kepemimpinannya, terlebih dahulu al-asan diminta untuk memberikan penjelasan kepada pendukung setianya.
Pada awalnya—seperti telah ditegaskan pada bagian terdahulu– Muwiyah enggan meminta al-asan ibn Al untuk maju terlebih dahulu ke depan agar ia dapat menjelaskan perihal yang telah terjadi antara dirinya dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn di Maskin. Tapi, karena Amr selalu mendesak agar Muwiyah menuruti kehendaknya supaya al-asan tampil ke muka untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi.24 Permintaan Amr ibn al-’As ini sangat politis sifatnya, dan memiliki nilai strategis, karena menurut Amr, Muwiyah dan umat Islam para pendukung setianya akan mengetahui bahwa sebenarnya al-asan ibn Al ini bukanlah tipe seorang pemimpin mereka dan akan mengetahui kelemahan yang ada pada dirinya. Karena desakan ini akhirnya Muwiyah setuju dan meminta agar al-asan naik mimbar dan menjelaskan kepada umat Islam yang hadir di masjid Kufah bahwa ia telah melakukan apa yang pantas dilakukan. Permintaan itu dipenuhi al-asan dan ia langsung naik ke mimbar untuk memberikan penjelasan penting mengenai perjanjian perdamaian yang telah disepakati bersama antara dirinya dengan Muwiyah ibn Ab Sufyn, dengan berbagai konsekuensinya. Antara lain, mereka diminta untuk melakukan apa yang telah disepakati dan mentaati perintah Muwiyah yang kini telah menjadi pemimpin mereka.

Untuk lebih lengkap mengenai isi pidato al-asan ibn Al yang disampaikan di hadapan umat Islam yang terdiri dari para pendukungnya dan juga para pendukung Muwiyah ibn Ab Sufyn, berikut petikannya:



“Hadirin. Sesungguhnya Allah telah memberikan petunjuk kepada kalian dengan kehadiran orang -orang terdahulu.Dan darah kalian telah menyatu dengan orang-orang kemudian. Karena itu, sesungguhnya persoalan ini adalah sebuah persoalan yang sangat penting, dan dunia selalu berputar. Karena itu, sesungguhnya aku telah melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Muwiyah ibn Ab Sufyn, dengarkan apa perkataannya dan taatlah kepadanya. Dan aku telah meminta kepadanya agar ia berbuat adil kepada kalian. Aku juiga telah meminta kepadanya supaya ia mau memberikan serta membagi-bagikan ghanimah kepada kalian semua. Setelah itu, asan turun dari mimbar dan kemudian pergi menuju Muwiyah.”25

Selanjutnya al-asan ibn Al menambahkan bahwa yang paling berhak atas jabatan khilafah yang tengah menjadi isu penting sebenarnya adalah hak dirinya, tetapi demi kepentingan masyarakat dan perdamaian, semua itu ditanggalkannya dan diserahkan kepada orang yang menginginkannya, yaitu Muwiyah ibn Ab Sufyn. Berikut petikannya:


“Sesungguhnya perbuatan yang paling bodoh adalah lacur (kejahatan). Dan persoalan yang kini menjadi perdebatan antara diriku dengan Muwiyah dalam soal khilafah. Bila ditanya siapa yang paling berhak, maka akulah orang yang paling berhak atas jabatan itu. Tetapi. Semua itu aku tanggalkan (dan kuserahkan kepada Muwiyah) demi kemaslahatan umat ini.26

Ibn Saad selanjutnya menyebutkan bahwa sebelum al-asan turun dari mimbar, ia menyampaikan petikan ayat al-Qur’an QS. Al-Anbiya ayat 111, sambil menunjuk ke arah Muwiyah, yang intinya menganggap bahwa jabatan yang kini berada di tangan Muwiyah hanya sebuah fitnah atau cobaan yang diberikan Allah kepadanya.”Dan aku tidak mengetahui, mungkin hal itu27 cobaan bagi kamu dan kesenangan sampai kepada suatu waktu tertentu. Artinya, kekuasaan Muwiyah tidak akan berlangsung lama di dunia ini, karena ia juga akan maninggalkan dunia fana ini.

Selain itu, al-asan juga menambahkan perkataannya setelah turun dari mimbar sambil menuju ke tempat duduknya bahwa masalah khalifah adalah aku yang berhak menjabatnya, tetapi karena aku tidak mau mengambilnya dan kemudian kuserahkan kepada Muwiyah, semata hanya karena keinginanku untuk kedamaian bagi umat, tidak lebih dari itu.28
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalimat terakhir yang diucapkan al-asan boleh dibilang sebagai sebuah renungan atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai ”sindiran” kepada Muwiyah, bahwa sebenarnya al-asanlah yang paling berhak atas jabatan khilafah, bukan Muwiyah. Oleh karena itu, jabatan yang kini berada di tangan Muwiyah ibn Ab Sufyn lebih merupakan pemberian al-asan ibn Al, yang sebenarnya bukan hak Muwiyah. Muwiyah memperolehnya bukan dengan jalan yang benar sesuai dengan keinginan umat Islam. Ia memperolehnya dari al-asan dengan cara–cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang pernah berlaku di dalam sistem peme¬rintahan Islam sendiri, misalnya melalui musyawarah yang kemudian hasilnya disepakati bersama oleh umat Islam. Meskipun sebenarnya apa yang pernah dijabat al-asan juga tidak melalui proses pemilihan yang ”demokratis”, tetapi melalui pengangkatan langsung oleh sebagian umat Islam pendukung Al ibn Ab °lib, terutama dari kantong–kantong pendukung Al ibn Ab °lib, seperti Kufah, Basrah dan sebagian penduduk Persia.

Kalimat yang lebih tegas dari al-asan ibn Al yang diucapkan ketika itu mengindikasikan bahwa bahwa ia adalah seorang pecinta damai. Ia menyerahkan jabatan khilafah kepada Muwiyah semata demi kedamaian dan ketentraman bagi seluruh umat Islam, tidak hanya mereka yang berada di Kufah, Basrah, Persia, dan Syria dan sekitarnya, juga bagi umat Islam yang berada di dalam wilayah kesatuan pemerintahan Islam ketika itu.

Setelah al-asan ibn Al turun mimbar, giliran Muwiyah naik mimbar. Di situlah kesempatan Muwiyah untuk menjelasakan posisinya yang saat itu telah menjadi khalifah setelah mendapatkan legitimasi setelah memperoleh jabatan khilafah dan dari pengakuan al-asan kepadanya. Sejauh ini, penulis belum menemukan kalimat yang diucapkan Muwiyah ketika berada di atas mimbar.

Namun dari informasi yang diperoleh lewat karya Ibn Saad dan al-°abr, dapat disimpulkan sementara bahwa inti dari semua isi kalimat yang diucapkan Muwiyah adalah meminta semua pengikut al-asan untuk tetap mematuhi perintahnya, sama seperti apa yang telah dilakukan al-asan kepadanya.

Dengan pengakuan al-asan dan para pengikutnya di Kufah, sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu bahwa secara de Jure atau secara legal, Muwiyah telah menjadi orang nomor satu di dunia Islam kala itu. Dengan kata lain, sejak saat itulah berdirinya dinasti Bani Umayah pada tahun 661 M.

Setelah berhasil memperoleh pengakuan dari penduduk Kufah dan para pendukung setia al-asan ibn Al, Muwiyah mencoba mendekati Qays ibn Saad, salah seorang tokoh penting dalam peristiwa ini, yang ketika itu tidak ikut dalam pertemuan di Masjid Kufah. Muwiyah meminta agar Qays ibn Saad melakukan seperti apa yang telah dilakukan penduduk Kufah kepadanya, yaitu membai’atnya dan mengakuinya sebagai khalifah. Tapi Qays menolak melakukannya. Alasannya, Qays ibn Saad tidak akan tunduk kepada orang yang selama ini memusuhi keluarga Al dan dirinya. Ia lebih suka berperang melawan pasukan Muwiyah ketimbang harus tunduk kepadanya. Untuk mengetahui sikap yang sebenarnya dimiliki dan apa yang dikehendaki Qays ibn Saad, Muwiyah mengirim surat kepada Qays, yang isinya mengajak Qays ibn Saad untuk tunduk dan mengakuinya sebagai khalifah. Di dalam surat yang di dalamnya ada stempel Muwiyah berisi permintaan supaya Qays menuliskan apa yang diinginkannya.”Tulis di dalam kertas ini apa yang kau kehendaki,dan semuanya akan menjadi milikmu”.29 Tegas Muwiyah. Namun ternyata keinginan Muwiyah itu tidak disetujui oleh Amr ibn al-’As. Amr bilang,”Jangan Anda berikan (kesempatan) kepada Qays. Lebih baik kita serang saja dia”. Dijawab oleh Muwiyah, kita tidak ingin memerangi mereka, kecuali mereka menyerang kita. Karena tindakan kita akan menimbulkan preseden yang tidak baik. “Setelah itu, datang surat jawaban dari Qays yang intinya ia dan para pendukungnya ingin memperoleh keamanan dan perdamaian, ketimbang peperangan.

Permintaan tersebut dipenuhi Muwiyah dan Qays bersama para pendukungnya mau mengakui kekhilafahan Muwiyah dan patuh atas segala perintahnya.30 Setelah itu, mereka bertemu dan menyatakan sumpah setia di suatu tempat bernama Adzrah.

Selain itu, Abd Allh ibn Qays dan Ab Musa al-Asy’ary, juga menyatakan sumpah setia (bai’at) kepada Muwiyah dan mengakuinya sebagai khalifah. Diceritakan bahwa oleh al-Madaini dari Muammad ibn Hajjaj ibn Abd al-Malik ibn Umair bahwa Ab Musa al–Asy’ary dan Abd Allh ibn Qays datang menghadap Muwiyah di Damaskus. Ketika berada di hadapannya, Ab Musa mengucapkan salam,”Assalamu’alaika hai Amir. Mendengar ucapan itu Muwiyah tertawa. Lalu Muwiyah meminta agar Ab Musa dan Qays membai’atnya. Permintaan itu dipenuhi keduanya saat itu juga. Setelah itu, keduanya diperlakukan dengan baik oleh Muwiyah, dan tidak lagi dianggap sebagai orang yang menentang kekuasaannya.31

Selain berusaha untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat Kufah, dan para pendukung Qays ibn Saad, Muwiyah dan para pendukungnya juga berusaha mendapatkan pengakuan dari para penduduk kota Basrah. Untuk memperoleh dukungan kuat dari penduduk Basrah, Muwiyah terlebih dahulu mengutus Hamran ibn Aban32 ke Basrah pada tahun 41H. Utusan itu mendapatkan perlawanan yang cukup kuat dari penduduk Basrah yang tidak suka kepada Muwiyah. Karena itu, Hamran mencoba mengatasinya dengan cara melawan mereka, sehingga mereka mengalami kekalahan. Dengan cara–cara seperti ini, Muwiyah akhirnya memperoleh dukungan massa dari Kufah, meskipun dengan cara–cara kekerasan atau ancaman.33 Untuk memperkuat posisi Muwiyah ibn Ab Sufyn di kota itu, ia mengangkat Abd Allh Ibn Amir sebagai gubernur. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada bagian lain yang membicarakan mengenai pengangkatan gubernur–gubernur yang dilakukan oleh Muwiyah ibn Ab Sufyn.

2.Memindahkan Pusat Kekuasan ke Damaskus.
Setelah berhasil memperoleh penyerahan kekuasaan dari tangan al-asan ibn Al dalam sebuah peristiwa di Maskin tahun 661 M/41 H, serta mendapatkan pengakuan dari para pendukung setia al-asan yang berasal dari penduduk Kufah, dan Basrah, Muwiyah berusaha memperbesar pengaruhnya di mata masyarakat muslim saat itu dengan cara memindahkan pusat kekuasaan dari Kufah ke Damaskus. Pemindahan ini sangat penting dan memiliki makna strategis dan politis bagi kelangsungan kekuasaan dan pemerintahan Muwiyah ibn Ab Sufyn. Karena, dalam perjalanan karier politiknya selama lebih kurang dua puluh tahun, Muwiyah telah membangun basis massa dan kekuatan politik serta militernya di kota itu dan di wilayah Arab bagian Utara.34

Oleh karena itu, hemat penulis, dia tidak mungkin meninggalkan begitu saja basis massa pendukungnya yang selama itu telah menginvestasikan seluruh potensi mereka untuk mendukung kegiatan Muwiyah, hingga ia menjadi orang nomor satu di dunia Islam. Selain itu, perangkat yang dibutuhkan untuk sebuah pemerintahan telah dibangun sejak lama, misalnya kekuatan militer, masyarakat yang loyal, dan sistem yang telah tertanam sejak lama, mejadi pertimbangan tersendiri, bahkan sangat personal dan sangat penting bagi Muwiyah. Lebih dari itu, kota Damaskus memiliki letak yang sangat strategis bagi Muwiyah untuk mengembangkan kekuasaannya ke bekas–bekas wilayah kekuasaan kerajaan Romawi di bagian utara. Kemungkinan besar–bagi Muwiyah–letak strategis ini akan sangat berguna tidak hanya dari aspek politik–militer, juga dari aspek–aspek lain, seperti aspek ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Hal itu boleh jadi karena wilayah utara letaknya dekat dengan Laut Tengah (Mediteranian Sea) yang dapat menghubungkan wilayah Arab dengan wilayah Eropa, terutama Yunani–Romawi.35 Kedua negara ini memiliki sejarah panjang dengan masa gemilang yang dimiliki masing-masing kerajaan tersebut.

Oleh karena itu, dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa apapun alasan yang dimunculkan Muwiyah ibn Ab Sufyn ketika ia berusaha memindahkan pusat pemerintahan Islam dari Kufah ke Damaskus, dapat dipahami oleh masyarakat kebanyakan saat itu, meskipun tentu saja ada yang tidak sepaham dengan kebijakan yang diambil Muwiyah ibn Ab Sufyn. Masyarakat Islam sangat memahami kehendak yang ada di benak Muwiyah untuk kembali ke Damaskus dan menjadikan kota itu sebagi pusat pemerintahannya setelah berhasil menundukkan masyarakat Kufah, Basrah pada tahun 661 M/41 H.

Akan tetapi, ada hal pasti yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa, meski Muwiyah telah memperoleh pengakuan (bai’at) dari para penduduk Kufah dan Basrah sebagai khalifah penggaanti al-asan ibn Al, ia tidak mungkin akan menetap lama di kota tersebut dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan. Hal itu didasari atas berbagai alasan yang telah dikemukakan di atas ditambah dengan masih adanya segelintir orang yang tidak setuju atas pengangkatan dirinya sebagai khalifah yang masih melakukan gerakan bawah tanah untuk menentang kekuasaan dan keberadaannya di kota itu, salah satu contoh adalah perlawanan Farwah ibn Nauval, salah seorang tokoh masyarakat Kufah yang masuk ke dalam kelompok Khawarij.36

Dengan kata lain, apa yang dilakukan Muwiyah ibn Ab Sufyn dalam usahanya memindahkan pusat kekuasaan ke Damskus, merupakan sebuah langkah yang tepat ketika itu. Sebab bila tidak dilakukan dengan segera, kemungkinan ia akan banyak menghabiskan energi dan waktu hanya sekedar untuk menghalau mereka yang tidak senang atas kepemimpinan Muwiyah. Selain itu, kemungkinan besar ia tidak memiliki banyak peluang untuk mengembangkan kemampuannya di dalam membangun sebuah cita–cita diri dan kabilahnya untuk menjadi penguasa tunggal di dunia Islam.


3.Mengangkat Pejabat Gubernur
Setelah berhasil memperoleh pangakuan dari para penduduk Kufah, Basrah dan masyarakat muslim lainnya, dan menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahan Bani Umayah, langkah strategis lainnya yang dirancang Muwiyah ibn Ab Sufyn adalah mengangkat orang–orang kepercayaannya untuk menjadi wakilnya di wilayah yang dikuasai Islam. Orang–orang tersebut dipercaya untuk memangku jabatan yang amat strategis di wilayah kekuasaan Muwiyah guna mempertahankan keutuhan wilayah dan kekuasaan yang ada. Mereka menjabat sebagai gubernur yang tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan dinasti Bani Umayah di bawah pimpinan Muwiyah ibn Ab Sufyn.

Seperti diketahui dalam catatan sejarah perjalanan hidup Muwiyah ibn Ab Sufyn, bahwa Muwiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai penguasa. Muwiyah diberitakan memiliki sifat dan kepribadaian sampai pada tingkat hilm yang terkenal dimiliki orang orang–orang Makkah.37 Dalam konteks ini Watt tampaknya lebih memilih terjemahan yang pas untuk seorang pemimpin seperti Muwiyah, yaitu ketenangan.38 Muwiyah digambarkan sebagai orang yang tidak mudah terpancing emosi, tidak mudah bingung, selalu melalui pertimbangan yang masak dalam menentukan atau mengambil sebuah keutusan.39 Hal ini dapat dilihat dari kebijakannya dalam mengangkat para pejabat atau bawahannya yang akan menjadi pembantu setianya di dalam menjalankan roda pemerintahan. Misalnya saja masalah pengangkatan gubernur daerah yang akan menjadi pejabat di wilayah yang berada di bawah kekuasaannya.

Paling tidak terdapat tiga orang tokoh penting yang harus mendapatkan perhatian serius, seperti Amr ibn al–As,40 al-Mughirah ibn Syu’bah,41 dan Ziyd ibn Abhi.42 Kedua orang yang disebutkan itu, Amr dan al-Mughirah ibn Syu’bah, memiliki peran yang cukup penting, baik sebelum maupun sesudah Muwiyah menjadi khalifah. Sementara Ziyd baru memainkan peran pentingnya ketika ia diberi kesempatan oleh Muwiyah untuk menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan Bani Umayah, yaitu gubernur Basrah.

Seperti ditegaskan sebelumnya bahwa Amr ibn al–Ash, adalah seorang tokoh yang memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah taktik dan strategi politik dan peperangan yang sebanding statusnya dengan Ab Sufyn. Ia kemudian dirangkul Muwiyah untuk menghadapi kekuatan Al ibn Ab °lib, yang kemudian setelah itu diberi kepercayaan untuk menaklukkan Mesir dan setelah berhasil Amr dipercaya menjadi gubernur kota itu. Setelah Muwiyah ibn Ab Sufyn berhasil mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat luas, khususnya para pendukung Al dan al-asan di Kufah dan Basrah, jabatan tersebut tetap dipercayakan kepada Amr Ibn al–Ash.43 Pemberian jabatan ini disebabkan karena Muwiyah ibn Ab Sufyn mengetahui persis kemampuan yang dimiliki Amr dan kekuatan yang ada padanya. Amr berkuasa sebagai gubernur selama lebih kurang dua tahun (41– 43 H).44

Orang kedua yang juga tidak kalah pentingnya dalam menentukan perjalanan sejarah Bani Umayah adalah al-Mughirah ibn Syu’bah. Ia berasal dari kabilah Saqif yang mendiami Ta’if, sebuah kota yang tidak jauh letaknya dari Makkah. Kota tersebut awalnya merupakan kota perdagangan kedua yang ada di Hijaz dan dikabarkan menjadi pesaing dalam bidang perdagangan, yang kemudian sebelum tahun 600 M kalah dalam persaingan itu. Watt menceritakan bahwa al-Mughirah memiliki potensi besar dengan dukungan massa yang cukup banyak di kotanya. Karena itu, ketika Muwiyah berkuasa sebagai khalifah, ia melihat al-Mughirah sebagai seorang tokoh potensial yang perlu dirangkul dengan jabatan startegis di wilayah Kufah, sebuah jabatan yang pernah dipegangnya selama satu atau dua tahun ketika Umar ibn al-Khattab berkuasa yang mencakup pula wilayah utara Persia.45 Ia memangku jabatan ini selama lebih kurang satu dasawarsa hingga ia wafat pada tahun 50 H.46 Setelah ia wafat, wilayah kekuasaannya digabungkan Muwiyah ke dalam wilayah pemerintahan gubernur Ziyd ibn Abhi.

Tokoh penting ketiga, seperti disinggung sedikit pada bagian sebelumnya, adalah Ziyd ibn Abhi. Dalam pandangan Muwiyah, orang seperti Ziyd juga perlu mendapatkan perhatian dan kedudukan khusus di pemerintahan. Sebab, Ziyd ibn Abh, meskipun sedikit memiliki pengaruh keluarga atau klan, karena Ziyd diberitakan tidak mempunyai ayah yang jelas—yang kemudian orang mengenalnya dengan sebutan Ziyd ibn Abhi—tetap saja menjadi orang yang sangat diperhitungkan oleh Mu’awiyah, bukan hanya karena reputasinya, juga karena dari penelusuran silsilah atau asal usulnya, ternyata Ziyd diketahui anak seorang ibu yang sebenarnya budak Ab Sufyn yang berasal dari Taif yang beralih ke tangan al-Harits ibn Kaldah sebelum Ziyd lahir.47 Karenanya, Ziyd juga sering disebut dengan Ziyd ibn Ab Sufyn.
Ketika Al ibn Ab °lib berkuasa, Ziyd ditunjuk sebagai wakil gubernur Basrah dengan tugas khusus di Persia bagian selatan. Karenanya ketika Al wafat, dan kemudian al-asan memberikan kekuasaan kepada Muwiyah dalam peristiwa am al–Jamah di Maskin tahun 661 M/41 H, ia pindah ke Persia dan ”menyem¬bu¬nyikan” diri di sana. Hal itu dilakukan karena ia merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena ia telah menolak keinginan dan ajakan Muwiyah agar Ziyd mau bergabung bersamanya yang telah mengakuinya sebagai saudara seayah.48

Akan tetapi dengan kepiawaian Muwiyah, akhirnya Ziyd mau juga bergabung dengan Muwiyah, bahkan Muwiyah mengikatnya dengan ikatan perkawinan antara puteri Muwiyah dengan putera Ziyd bernama Muammad ibn Ziyd.49 Dengan cara–cara seperti itu, akhirnya Ziyd mau menyatakan bersedia bergabung dan secara otomatis mengakui keberadaan khalifah Muwiyah ibn Ab Sufyn. Hal tersebut dilakukan Muwiyah karena ia melihat potensi besar yang dimiliki Ziyd dalam masalah kemiliteran dan keteguhannya dalam mempertahankan prinsip yang dimilikinya. Selain itu, bekerjasama dengan Ziyd ibn Abhi akan sangat menguntungkan Muwiyah dalam usahanya mempertahankan keutuhan wilayah kekuasaan yang dimilikinya.
Untuk itu, Muwiyah ibn Ab Sufyn telah mempersiapkan posisi penting dan sangat strategis dalam sebuah jabatan birokrasi, yaitu sebagai gubernur Basrah dan propinsi–propinsi Persia selatan. Dia menjalankan pemerinatahannya dengan tegas, tapi adil, dan propinsi–propinsi di bawah pemerintahannya relatif lebih aman dan makmur. Ketika ia baru tiba di tempat tugasnya, Basrah, ia mengucapkan pidato yang sangat mengagumkan dan sekaligus menggetarkan sendi–sendi orang yang berusaha menentang kekuasaannya atau kekuasaan Muwiyah. Pidatonya itu dikenal dengan pidato batra, karena tidak dimulai dengan ucapan basmallah. Isi pidatonya sangat tegas dan menelanjangi kejahatan-kejahatan penduduk Basrah. Ia mengeluarkan ancaman–ancaman keras terhadap mereka yang tidak patuh. Dalam pidatonya itu, ia juga bersumpah bahwa ia tidak hanya akan menghukum mereka yang berdosa, juga menghukum tuan lantaras dosa hamba sahaya, dan seterusnya.50

Di akhir pidatonya, seperti dikutip Watt, Ziyd menutup pidatonya dengan ucapan yang sangat tegas. Isi pidato tersebut antara lain:


“Kebencaian terhadap diriku tidak akan aku hukum hanya kejahatan (yang kuhukum).Banyak yang berduka karena kedatanganku akan bergembira, dan mereka yang bergembira akan berduka. Aku datang kepada kalian dengan kehendak Allah untuk memerintahmu dan mengawasi kesejahteraanmu.Maka menjadi kewajibanmulah untuk mendengar dan mematuhiku dalam hal apa yang kupandang baik, dan hak kamulah menuntut supaya aku berbuat adil dalam tanggungjawabku. Dalam beberapa hal aku memiliki kekurangan, tetapi ada tiga hal yang aku bertekad untuk tidak kekurangan.Aku akan mendengar permohonan–permohonanmu, bahkan jika kamu datang malam hari, aku tidak akan menahan makanan dan tunjangan–tunjanganmu melewati waktunya, dan aku tidak akan mengirim kamu ke medan perang untuk waktu yang cukup lama. Do’akanlah kesejahteraan pemimpin–pemimpinmu, karena mereka adalah penguasamu yang membenarkanmu dan tempatmu memperoleh pertolongan. Janganlah hatimu dipenuhi kedengkian dan kemarahan pada mereka, karena akan tidak baik bagimu. Jika kamu melihatku mengurus masalahmu dengan baik,maka berterimakasihlah. Saya melihat di antara kamu ada banyak bangkai, hati–hatilah jangan sampai ada di antara kamu yang akan menjadi bangkai pula.” 51

Isi pidato Ziyd ini membuat bulu kuduk penduduk Basrah dan kelompok atau orang–orang yang mencoba berusaha melawannya, berdiri, merinding dan ketakutan. Karena dengan tegas dan sangat jelas, bahwa Ziyd ibn Abhi akan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang membangkang dan tidak patuh terhadap pemimpin yang telah mereka akui keberadaannya. Selain itu, juga membawa angin segar bagi para penduduk yang mau bekerjasama dengannya dalam membangun dan mempertahankan keutuhan wilayah Islam. Bahkan ia berjanji akan membuka pintu rumahnya bagi mereka yang ingin menyampaikan keluhan dan saran yang baik guna kemajuan atau kemaslahatan umat dan negara.

Dengan kata lain, bahwa isi pidato itu membuat suasana jadi tegang dan tidak memberi peluang bagi mereka yang ingin berbuat kecurangan atau berlaku tidak adil. Bagi mereka yang mau melakukan pemberontakan, akan berpikir ulang untuk merealisasikannya. Karena mereka tahu benar siapa Ziyd ibn Abhi. Ia dikenal tegas dan tidak pandang bulu ketika menjatuhkan sangsi hukum. Hal itu dapat dilihat, misalnya ketika ia memberlakukan jam malam. Al-°abr menceritakan bahwa Ziyd pernah menjatuhkan hukum pancung kepada seorang musafir yang tertangkap pada malam hari oleh para penjaga. Padahal, musafir itu tidak mengetahui adanya jam malam dan larangan keluar bagi masyarakat, dan bagi mereka yang melanggar peraturan itu, akan dihukum pancung. Oleh karena itu, ketika musafir itu dibawa ke hadapan Ziyd, gubernur itu mengintrogasinya. Kemudian Ziyd bertanya: Apakah engkau tidak mengetahui (mendengar) adanya peraturan pelarangan jam malam? Musafir itu menjawab. Demi Allah, aku tidak mendengarnya. Aku seorang musafir yang kemalaman, karena itu aku berhenti di padang pasir menunggu datangnya fajar subuh, dan aku tidak tahu adanya larangan keluar malam.” Ziyd menjawab. Aku kira engkau benar, tetapi demi kemaslahatan rakyat, engkau harus dibunuh.“52

Sekilas memang terkesan kejam dan sadis. Tetapi itulah Ziyd. Ia teguh mempertahankan prinsip dan semuanya itu dilakukan untuk menegakkan peraturan yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ketegasan yang diperlihatkan Ziyd sebagai seorang penguasa lokal dan kepanjangan tangan dari seorang khalifah yang berkuasa, justeru menjadi momen penting dan bahkan sangat kondusif untuk membangun citra pemerintahan Muwiyah di daerah Basrah dan sekitarnya, sehingga mereka yang ingin berlaku macam–macam untuk melanggar atau menentang kekuasaannya, akan berhadapan dengannya dan hidupnya akan berakhir di ujung pedang.

Sikap tegas, kejam dan”tangan besi”yang diperlihatkan Ziyd ibn Abhi ini, meskipun menuai kritikan dari para ahli sejarah, semisal al-Khudary.53 Al-Khudaray mengatakan bahwa meskipun masa pemerintahan Ziyd di Basrah dan Kufah penuh dengan kekerasan, tapi menghasilkan sebuah pemerintahan yang baik dan menimbulkan kemakmuran bagi rakyatnya. Dalam kata lain, pemerintahan Ziyd adalah masa pemerintahan yang tegas di dalam menjalankan roda apemerintahan Islam di Basrah dan Kufah, sehingga rakyat menjadi aman dan tentram. Dengan demikian masyarakat dapat menjalankan tugas dan kewajibannya tanpa harus mendapatkan tekanan, karena keadilan dan kesejahteraan telah menjadi agenda besar Ziyd. Ziyd ibn Abhi kemudian dikenang sebagai seorang pemimpin yang berwibawa, karena mampu mempersatukan keutuhan wilayah kekuasaan Islam. Meskipun pada masanya terdapat pergolakan yang dilakukan oleh kelompok sparatis, seperti kelompok Khawarij, semua itu dapat diatasi dengan baik, sehingga boleh dibilang bahwa pada masanya (41–53 H), Basrah dan Kufah serta beberapa daerah yang berada di bawah pengawasannya relatif aman dan terkendali dengan baik.

Selain ketiga tokoh penting di atas yang mendapatkan posisi strategis di dalam jajaran pemerintahan khalifah Muwiyah, seorang tokoh lainnya yang juga mendapatkan posisi itu. Dia adalah Marwan ibn al-Hakam diangkat menjadi gubernur Madinah, Makkah dan Taif.54 Marwan memegang jabatan itu hingga Muwiyah wafat pada tahun 680 M. Di antara alasan mengapa Muwiyah memberikan jabatan itu kepada Marwan, dalam hemat penulis, karena ia adalah saudara sepupu Muwiyah ibn Ab Sufyn yang telah banyak memberikan investasinya untuk mendukung gekaran Muwiyah memperoleh posisi penting dalam dunia Islam menjadi orang nomor satu, terutama pasca kematian khalifah Usman dan perjalanan karier politik Muwiyah ibn Ab Sufyn.
Dari semua itu dapat disimpulkan di sini bahwa setelah Muwiyah ibn Ab Sufyn berhasil memperoleh pengakuan dari al-asan dan para pendukung setianya, baik di Basrah maupun di Kufah dan sekitaranya, ia melakukan langkah–langkah strategis untuk mempertahankan kekuasaannya. Usahanya memindahkan pusat kekuasaan dari Kufah ke Damaskus, juga merupakan langkah strategis yang tidak kalah pentingnya, karena di sana basis kekuatan yang telah dibangunnya sejak dua dasawarsa lebih, sehingga Muwiyah merasa aman berada di sekitar para pendukung setianya itu. Oleh karena itu, tidak mungkin ia meninggalkan kota itu hanya karena ingin menjadi khalifah, dan memilih Kufah atau tempat lainnya sebagai pusat pemerintahannya. Kalau itu dilakukannya sama saja dengan bunuh diri.

Langkah yang cukup penting yang juga memiliki kaitan erat dengan masa kepemimpinannya adalah pengangkatan para gubernur yang memiliki potensi besar dalam upaya perluasan dan pertahanan wilayah. Berkat kejelian dan kecerdasannya, terutama untuk menentukan pilihan pejabat gubernur yang akan menjadi wakilnya di wilayah tertentu, ia cukup jeli. Ia lebih memilih orang–orang yang berkualitas dan mau bekerjasama. Orang seperti Amr ibn al-’As yang ahli strategi, dirangkulnya. Begitu juga al-Mughirah dan Ziyd ibn Abhi. Mereka diangkat karena keahlian dan keberaniannya di dalam menentukan sikap di dalam menegakan keadilan, khususnya Ziyd ibn Abhi. Berbagai cara dilakukan Muwiyah ibn Ab Sufyn demi menggapai ambisinya menjadi orang nomor satu di dunia Islam. Mereka yang tadinya tidak sejalan dengan pemikirannya, diajak diskusi dan kemudian dirangkul menjadi sahabat setia. Dengan cara-cara seperti inilah Muwiyah mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya hingga ia wafat pada tahun 680 M.

Selain hal–hal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, ada kebijakan yang tak kalah pentingnya yang dikeluarkan Muwiyah untuk melanggengkan trah atau silsilah kekuasaan Bani Umayah–meskipun bukan merupakan inti pembahasan disertasi ini—yaitu pengangkatn Yazid ibn Ab Sufyn, sebagai putera mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Ide ini muncul dari benak al-Mughirah ibn Syu’bah. Al-Mughirah mengusulkan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya kepada Muwiyah, karena ternyata ia memiliki rencana lain, yaitu agar kekuasaanya sebagai penguasa wilayah (gubernur) Kufah. Konon khabarnya ia akan dicopot oleh Muwiyah. karena itu ia segera pergi menghadap khalifah Muwiyah untuk menjelaskan rencananya itu.55

Dengan begitu kita dapat melihat betapa penting kelompok orang-orang (inner circles) di dalam barisan Muwiyah, sehingga berbagai cara mereka lakukan guna mendukung berbagai kebijakan pemerintahan Muwiyah, termasuk mengganti sistem pemerintahan menjadi monarchi heriedities. Dalam konteks ini, seperti dikemukakan al-Baladzury, Muwiyah telah memposisikan dirinya sebagai penguasa besar di Syam dan sebagai raja yang menguasai dunia Islam ketika itu.56 Kebijakan ini sangat berbeda dengan kebijakan para khalifah sebelumnya, dan Muwiyah menerapkan sistem pemerintahan ala Persia dan Romawi jaman itu.

End Notes

1 Al-Suyt, Tarkh. hlm. 179. lihat pula al-°abr, Tarkh al-Umam J.4. hlm. 121-123
2 Tidak disebutkan secara rinci siapa saja yang memenuhi panggilan al-asan dalam pertemuan tersebut, baik oleh al-°abr maupun lainnya.
3 Muammad ibn Saad ibn Mani ibn Saad (selanjutnya disebut Ibn Saad) al-°abaqat al-Khamisah min al-sahabah, J.1. (ed) Muammad Samil al-Sulma (Mesir: Maktabah al-Sadieq, 1993) hlm. 322-323,
4 Ab Ja’far Muammad ibn Jarir al-°abr (selanjutnya disebut al-°abr), Tarkh al-°abr: Tarkh al-Umam wa al-Mulk, J.4. (Beirut: Muassasah al-a’lami li al-matbu’at, 1879). hlm. 124–125.
5 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm. 124-125. Lihat pula Ibn Saad, al-°abaqat al-Khamisah, J.1. hlm. 324-325.
6 Ibn Saad, al-°abaqat,J.1.hlm.326–328.Lihat pula al-°abr, Tarkh.J.4. hlm. 124-125.
7 Ibn Saad, al-°abaqat,J.1.hlm. 326-328 Lihat pula al-°abr, Tarkh, J.4. hlm. 124-125.

8Maksudanya adalah melambatkan datangnya azab kepada mereka. Al-Qur’an dan terjemahanya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1990).
9 Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. hlm. 328-329.

10 Ibn Saad, al-°abaqat J.1. hlm. 329.

11 Nama lengkapnya adalah Abd Allh ibn Jafar ibn Ab °lib ibn Abd al-Mu¯alib ibn Hasyim, al-Quraisyi al-Hasyimi. Ibunya bernama Asma binti Umais ibn Malik ibn Nu’man. Dijuluki Ab Ja’far. Ia dilahirkan di Habasyah (Ethiopia) dari seorang ibu bernama Asma binti Umais. Ia merupakan anak kecil pertama dari golongan muslim yang lahir di Ethiopia. Ia ikut hijrah bersama ayahnya ke Madinah. Ia wafat di Madinah dalam usia 85 tahun.. Ia mendapat julukan al-Thayyar dari Rasul Allah lewat do’anya, inna Allah ja’ala li ja’far janahain yathiru bihima fi al-jannah. Dia dimintai pendapatnya mengenai keinginan al-asan untuk kembali ke Madinah. Guna menghindari fitnah lebih jauh. Keinginan al-asan tersebut disetujui al-Tayyar. Lihat Ab Umar Yusuf ibn Abd Allh ibn Muammad ibn Abd al-Barr, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, J.1. (ed) Al Muammad al-Bijawi, (Beirut: dar el-Jail, 1992), hlm. 882, Lihat pula, Ab Amr Khalifah ibn Khayyat, (selanjutnya disebut Ibn Khayyat), Kitab al-°abaqat, (ed) Suheil Zakkar, ( Beirut: Dar el-Fikr, 1993/1414), hlm. 31.

12 Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. hlm. 330 – 331.

13 Ibn Saad, al-°abaqat J.1. hlm. 331.
14 Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. hlm. 331.

15 Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. hlm. 331.
16 Al-Zuhry, al-Thabaqat…, J.1. loccit.

17 Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. , hlm. 332.

18 Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. hlm. 332.
19 Dalam masalah ini ada pendapat berbeda. Ada yang mengatakan bahwa al-asan berangkat ke Madinah pada bulan Rabiul akhir dan ada pula yang mengatakan pada bulan Jumadi al-akhir. Al-Wakidi menyebutkan bahwa al-asan sampai di Madinah pada bulan Rabi’u al-Akhir tahun 41 H.
20Al-Barr, al-Istib., J.1. hlm. 389. lihat pula, Ahmad Atiyah Allah, al-Qamus al-Islami, J.2.(Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, 1992), hlm. 78–79.

21 Lihat, Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. hlm. 324 – 325.
22 Lihat, Al-Barr, al-Istib J.1hlm. 388 .Lihat pula al-°abr, Tarkh, J.4. hlm.124 – 125.
23 Ibn Saad, al-°abaqat,J.1. hlm. 325.Amr ibn Sufyn ibn Abd Syam ibn Saad al-Zikwani, Ab al-A’war al-Sulma. Ia masuk Islam setelah peristiwa Hunein. Pernah ikut menyerang Cyprus pada tahun 26 H,dan ia bersama Muwiyah dalam perang Shiffin. Lihat, Ibn Hajar al-Ishabah, J.4. hlm. 641.

24 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm. 124-125Lihat pula Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. hlm. 324 – 327.

25 Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. hlm. 324-327. Lihat pula al-°abr, Tarkh,J.4. hlm. 124-125.

26 Ibn Saad, al-°abaqat J.1. hlm. 324-327.
27 Maksudanya adalah melambatkan datangnya azab kepada mereka. Al-Qur’an dan terjemahanya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1990).
28 Ibn Saad, al-°abaqat, J.1. hlm. 328-329.

29 Lihat al-°abr, Tarkh, J.4. hlm. 125.
30 Al-°abr, Tarkh. J.4. hlm. 125.

31 Al-Baladzury, Ansab al-Ashraf, J.1. Bagian 4, hlm. 47-48.
32 Humran ibn Aban Berasal dari kabilah Rabi’ah ibn Nizar. Wafat sekitar tahun 75 H. Ia adalah maula Usman ibn Affan, sebelumnya adalah tawanan perang Ain al-Tamar di bawha pimpinan Khalid ibn al-Walid. Silsilahnya berasal dari Namr ibn Qasith. Ia meriwayatkan hadits dari Usman ibn Affan. Di antara penyebab kedatangannya ke Basrah karena ia ingin menceritakan sesuatu kepada Usman mengenai keadaan negeri. Ia termasuk Thabaqat kedua dari Tabi’in, yang meriwayatkan hadits dari Usman, Al, Talhah, al-Zubeir, Ubay ibn Ka’ab, Ab Musa al-Asy’ary, dll. Dan wafat tahun 75 H. Lihat al-°abr, Tarkh, J. 4, hlm. 127, Lihat Ibn Khayyat, Kitab , hlm 343, 530, Ibn Saad, al-°abaqat, J. 6, hlm.148.
33 Al-°abr, Tarkh J.4. hlm. 127–128.

34 Al-Suyt, Tarkh, hlm. 195. Lihat pula M.Watt, the Majesty that What Islam, (Terj) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hlm. 18-20.

35 Lihat Abdul Chair, “Dinasti Umayah”dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,J.2.( Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoove, 2002), hlm. 64 -66.

36 Al-°abr, Tarkh J.4. hlm. 126–127.

37 Al-Barr, al-Isti’ab,J. 4. hlm.1416. lihat al-Baladzury, Ansab al-asyraf, J.1. 13-20 lihat pula W.M.Watt,The Majesty, hlm. 18.
38Al-Barr, al-Isti’ab, J.4. hlm. 1416.
39 Al-Barr, al-Isti’ab, J.3. hlm. 1416–1422.

40 Al-Barr, al-Isti’ab. hlm. 1184-1191.
41 Al-Bar, al-Isti’ab. J. 4., hlm. 1445 – 1446.
42 Al-Barr,al-Isti’ab, J.2. hlm. 523 – 530.

43 Al-Barr, al-Isti’ab J.3. hlm. 1188 – 1189.
44 Al-Barr, al-Isti’ab J.3. hlm. 1199-1189.
45 W.M.Watt,The Majesty, hlm. 19. lihat pula Al-Barr, al-Isti’ab J.4. hlm. 1445 – 1446.
46 Al-Barr, al-Isti’ab J.4. hlm. 1446 – 1447.

47 Al-Barr, al-Isti’ab J.2. hlm. 523-530.
48 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm. 183. lihat pula Al-Barr, al-Isti’ab, J.2. hlm. 526.

49 Al-Barr, al-Isti’ab, J.2. hlm. 523-530.

50 Al-°abr, Tarkh, J. 4. hlm. 165 – 166.

51 W. M. Watt, The Majesty, hlm. 20. lihat pula al-°abr, Tarkh.J.4. hlm. 165-166.
52 Al-°abr, Tarkh. J.4. hlm. 167.

53 Lihat Muammad al-Khudary Bek, Muhadarat fi al-Tarkh al-Umam al-Islamiyah,(Kairo: al-Maktabah al-Kubra, 1970 ), hlm. 107..

54 Al-Barr, al-Isti’ab, J.3. hlm. 1388 – 1389. lihat pula al-°abr,Tarkh,J.4. hlm. 131.

55 Lihat Al-Bar, J. 4., hlm. 1445 – 1446.
56 Al-Baladzury, Ansab, hlm. 24.



BAB VI
IMPLIKASI POLITIK
DAN TEOLOGI PERISTIWA AM AL-JAMA’AH


Pada bagian ini, penulis hanya akan memfokuskan pembahasan pada implikasi politik dan teologi Islam pada masa-masa awal pemerintahan Muwiyah ibn Ab Sufyn, dan tidak akan membahas mengenai perkembangan partai-partai (aliran-aliran) politik yang timbul setelah itu, apalagi menjelaskan secara detail mengenai doktrin aliran teologi masing-masing. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam memahami perkembangan politik dan teologi Islam yang ada. Karena setelah masa itu, partai atau aliran politik ini semakin mengalami perkembangan dan mengkristal menjadi sebuah aliran teologi dengan doktrin masing-masing. Partai (aliran) politik dimaksud adalah proto-Syiah dan khawarij. Pemilihan atas dua partai ini karena keduanya merupakan kelompok atau partai penentang penguasa Bani Umayah. Sementara kelompok lain, seperti murjiah, hanya akan disinggung sepintas, karena umumnya kelompok ini mendukung siapapun yang berkuasa asal berbuat adil.

A.Implikasi Politik Peristiwa ²m al-Jamah:
Mengerasnya Perlawanan Kelompok Khawarij
dan Kemunculan Kelompok al-Tawwabun

Sebagaimana disinggung pada bagian sebelumnya, bahwa konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan Usman ibn Affan yang berujung pada pembunuhan, menimbulkan persoalan baru dalam sejarah politik umat Islam. Sebab setelah itu, muncul kelompok pendukung Usman yang disebut Usmaniyah berusaha menentang kekuatan pemerintahan Al ibn Ab °lib. Kelompok Usmaniyah yang dipelopori Muwiyah ibn Ab Sufyn mengancam tidak akan tunduk terhadap pemerintahan Al, bila Al tidak mampu mengusut tuntas tragedi pembunuhan khalifah Usman. Sebagai penguasa, Al telah melakukan tindakan terhadap mereka karena mereka dipandang melakukan pembangkangan (bughat) terhadap penguasa. Tindakan yang dilakukan Al tersebut berdampak pada semakin kuatnya bentuk-bentuk perlawanan yang diarahkan kepadanya. Kelompok Muwiyah, misalnya, yang memang sejak awal pengangkatan Al sebagai khalifah tidak mau melakukan bai’at atau tidak mau tunduk di bawah kekuasaannya sebelum Al berhasil menangkap dan meng-qisas para pembunuh Usman. Konflik keduanya berujung pada peperangan di Siffin pada tahun 657 M dan diselesaikan lewat tahkim.1 Perang ini dalam sejarah Islam dipandang sebagai akar sejarah bagi timbulnya aliran-aliran yang memiliki visi politik. Ada dua aliran (partai) bahkan dua kecenderungan yang masing-masing melahirkan banyak aliran yang lahir sebagai imlikasi dari peperangan tersebut, yaitu syiah dan khawarij. Keduanya muncul diakibatkan oleh satu faktor, yaitu ekstrimitas. Timbulnya khawarij memberi saham besar bagi asal usul penyebaran syi’ah. Klaim ekstremitas yang dipropagandakan oleh satu aliran di atas menjustifikasi munculnya ekstremitas tandingan dari aliran lainnya. Pergumulan antara dua partai tersebut melahirkan sebuah orientasi akomodatif yang bertujuan menengahi dua kelompok yang bertikai, yaitu kelompok moderat (murjiah). Kelompok ini tampaknya tidak berani memunculkan visinya sendiri yang akhirnya juga mengikuti visi salah satu dari dua kelompok tersebut di atas.2

Hal penting yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa kelompok sempalan pada masa itu hanyalah sekelompok kecil masyarakat muslim dan kebanyakan berasal dari penduduk yang wilayahnya baru ditaklukkan Islam, sehingga pemahaman keagamaannya masih relatif minim, dan loyalitas mereka terhadap pemimpin belum teruji. Karenanya ketika pasukan Muwiyah mengusung mushaf di ujung tombak tanda perdamaian, langsung mereka berhenti berperang dan meminta Al agar persoalan diselesaikan lewat jalan damai. Usaha penyelesaian lewat tahkim ternyata tidak disetujui Al dan juga para . Proses penyelesaian konflik lewat tahkim ternyata juga tidak menuntaskan masalah, malah justeru menimbulkan persoalan baru, yaitu menyempalnya barisan pendukung Al yang kecewa atas hasil yang dicapai di Duwmat al-Jandal itu. Kelompok sempalan ini kemudian hari dikenal dengan sebutan kelompok khawarij. Kelompok ini terus melakukan gerakan perlawanan, baik terhadap Al maupun terhadap Muwiyah. Penentangan mereka terhadap Al, karena Al telah dipandang salah dalam memutuskan masalah yang tidak didasari atas ketentuan hukum Allah. Kalimat “tiada hukum kecuali hukum Allah” kemudian menjadi jargon mereka.3 Dengan menggunakan jargon semecama ini, kelompok khawarij dengan berbagai cabang, seakan melegalkan penyerangan bahkan pembunuhan terhadap lawan politik mereka. Bahkan Al sendiri sudah dianggap musuh yang wajib diperangi, hingga akhhirnya Al terbunuh dan al-asan dibaiat menjadi penggantinya, walau kemudian al-asan mengakui kekuasaan Muwiyah ibn Ab Sufyn dalam peristiwa m al-jamah di Maskin tahun 661 M.

Pengakuan al-asan dan para pengikutnya terhadap kekuasaan Muwiyah menimbulkan ketenangan sementara (ekuilibrium) masa-masa awal pemerintahan Muwiyah, karena kelompok pendukung Al (syi’atu Al) tidak melakukan perlawanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, masa itu mulai meredup atau bahkan menghilang, karena pola pemerintahan Muwiyah yang dianggap begitu”keras”, sehingga terjadi kristalisasi ideologi dan gerakan kelompok khawarij. Kelompok ini terus melakukan gerakan perlawanan, baik pada masa awal pemerintahan Muwiyah maupun masa-masa sesudahnya. Tokoh pertama dari partai ini yang melakukan pemberontakan melawan kekuatan Muwiyah setelah al-asan mengakui kekuasaan Muwiyah, menurut al-°abr adalah Farwah ibn Naufal al-Asyja’i.4 Ketika itu ia berseru kepada kaum khawarij, kini tiba saatnya pergi berangkat memerangi Muwiyah.

Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, lanjut al-°abr, Muwiyah mengirim pasukan berkuda terdiri dari penduduk Syam untuk menggempur Farwah, tetapi pasukan ini dapat dikalahlan oleh Farwah, dengan pasukan berkekuatan sekitar 500 orang.5 Mendengar kekalahan ini, Muwiyah geram dan bersumpah akan mengalahkan mereka. Muwiyah berkata kepada penduduk Kufah, aku tidak akan jamin keamanan kalian, hingga kalian menghentikan kejahatan-kejahatan kalian.6 Karena khawatir Muwiyah akan membumi¬hanguskan Kufah, maka penduduk Kufah berusaha mengusir dan memerangi kelompok khawarij. Kelompok khawarij kemudian terhenyak dan berkomentar, celaka, apa yang kalian kehendaki dari kami? Bukankah Muwiyah itu musuh kami dan juga musuh kalian? Oleh karena itu, biarkanlah kami memerangi Muwiyah. Bila kami menang, berarti kami telah menyingkirkan musuh-musuh kalian. Sebaliknya, bila kami kalah, berarti kalian telah menyingkirkan kami. Akan tetapi, penduduk Kufah tidak peduli atas gertakan tersebut, dan kemudian mereka melakukan serangan terhadap kelompok Farwah.7 Untuk mengatasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di Kufah, Muwiyah kemudian berencana mengangkat Amr ibn al-A, tetapi dipotes oleh al-Mughirah ibn Syu’bah, karena, menurut al-Mughirah, seperti diriwayatkan al-°abr, sama saja ia memelihara anak macan. Kemudian al-Mughirah sendiri yang ditunjuk menjadi gubernur di Kufah. Keputusan ini juga diprotes Amr, karena al-Mughirah dianggap orang yang akan mengambil pajak tanah untuk dirinya dan tidak disetor ke Muwiyah.8

Dari perdebatan seperti diriwayatkan al-°abr di atas, kiranya dapat ditegaskan di sini bahwa ternyata di dalam barisan Muwiyah juga terdapat orang-orang yang haus kekuasaan dan berusaha merebut simpati Muwiyah. Dala kata lain, terdapat intrik politik yang kemungkinan suatu saat akan merugikan kekuatan Muwiyah sendiri bila Muwiyah tidak mampu memanaj konflik internal yang ada di antara mereka. Tetapi, bukan Muwiyah namanya bila ia tidak mampu mengatasi hal semacam itu. Muwiyah memenuhi semua keperluan kelompoknya agar mereka tidak terpecah menjadi beberapa friksi yang akan mengganggu kinerja pemerintahan Muwiyah. Sebab di hadapan Muwiyah, masih banyak tugas yang akan dikerjakan, termasuk memulihkan keamanan dalam negeri dengan mengatasi berbagai gejolak sosial dan politik akibat banyaknya kelompok yang tidak suka atas kepemimpinannya ketika itu.

Kemudian pada tahun berikutnya, yaitu tahun 42 H, para veteran perang Nahrawan berkumpul mengenang para kurban yang mempertahankan prinsip mereka. Kelompok ini menyerahkan tampuk pimpinan kepada Mustaurid ibn Ulfah, dan dibantu oleh Hayyan ibn Zibyan alSulma dan Muaz ibn Juwain. Mereka ini, menurut al-°abr, mendapat banyak dukungan sehingga kekuatan mereka semakin bertambah guna menghadapi pertempuran selanjutnya. Akan tetapi, gubernur Kufah ketika itu al-Mughirah ibn Syu’bah berhasil menangkap beberapa orang pemimpin mereka sebelum terjadi pertempuran. Di antara pemimpin mereka yang ditangkap adalah ayyan ibn Zibyan dan Muaz ibn Juwain, sedang Mustaurid sendiri yang digelari oleh kelompk khawarij sebagai amir al-mukminin, berhasil lolos. Kemudian ia menyusun kekuatan kembali dan mempersiapkan pasukannya guna melakukan perlawanan terhadap penguasa. Tetapi, kekuatan ini, sekali lagi dapat dikalahkan oleh Maqil ibn Qays yang memimpin pasukan pemerintah Muwiyah.9

Kekuatan pasukan pemerintah Muwiyah semakin kokoh ketika Ziyd ibn Abhi bergabung dengan Muwiyah. Karena kedekatan darah (sering juga disebut Ziyd ibn Ab Sufyn), akhirnya ia diberi jabatan sebagai gubernur Basrah pada tahun 45 H, dan wilayah kekuasaannya semakin meluas meliputi ketika al-Mughirah wafat pada tahun 51 H.10 Tugas utama Ziyd selain menjalankan pemerintahan wilayah, juga mengatasi berbagai pemberontakan yang kerap terjadi di Kufah, kkhususnya para pemberontak yang berafiliasi ke kelompok khawarij. Kelompok khawarij mulai memperlihatkan kelemahannya dalam melancarkan gerakan selama masa pemerintahan gubernur Ziyd hingga Ziyd wafat tahun 55 H. Akan tetapi, kelompok ini–menurut al-°abr—mulai menampakkan kekuatannya kembali ketika Ubaid Allh ibn Ziyd (putera Ziyd) menggantikan kedudukan ayahnya sebagai gubernur di Basrah tahun 55 H. Tampaknya, sikap tegas Ubaid Allh ini sama seperti ayahnya, ia tidak mengenal kompromi terhadap para perusuh dan pemberontak seperti kelompok khawarij. Di antara tokoh khawarij yang dapat dikalahkannya ketika itu adalah Urwah ibn Adiyah, Abu Bilal Mirdas ibn Adiyah.11 Kematian kedua tokoh ini semakin memperkuat keinginan Ubaid Allh ibn Ziyd untuk menumpas semua gerakan perlawanan yang diarahkan kepada pemerintahan Bani Umayah.12

Dalam perkembangan berikutnya, kelompok khawarij mengalami masa perkembangan yang cukup baik, ketika kelompok ini berada di bawah pimpinan al-Muhallab ibn Sufrah. Sebab sekitar tahun enam puluhan dan tujuh puluhah ketika pendekar-pendekar Muwiyah meninggal, seperti al-Mughirah ibn Syu’bah, Ziyd ibn Abhi, Ubaid Allah ibn Ziyd, seakan kelompok khawarij menemukan masa kebebasan setelah lama tidak berhasil melakukan perlawanan terhadap penguasa Bani Umayah. Kelompok ini masih mengenang bagaimana para pendahulu mereka tewas bergelimpangan di tangan orang-orang Muwiyah, mereka masih menyimpan rasa dendam terhadap Muwiyah dan para penguasa Bani Umayah. Kemunculan kelompok ini juga didasari atas kenyataan bahwa Muwiyah telah meninggal, sehingga situasinya memungkinkan bagi kelompok ini untuk menyusun kekuatan dan melakukan gerakan kembali. Rekonsolidasi dilakukan dan kemudian mereka memilih pimpinan baru yang lebih siap untuk melakukan berbagai bentuk perlawanan, yaitu Nafi’ ibn Azraq (azariqah) dan Qatari ibn Fujaah. Akan tetapi, kekuatan kelompok ini juga menemukan lawan politik yang cukup kuat, karena di barisan Bani Umayah ada Marwan ibn al-akam, al-ajjaj ibn Yusuf dan al-Muallab ibn Sufrah.13

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menguatnya kelompok khawarij juga ditandingi dengan kekuatan pemerintah, sehingga saat itu bisa dikatakan ada dua kekuatan besar yang mengancam kekuatan pemerintahan Bani Umayah. Sekiranya tidak terjadi perpecahan di kalangan kelompok khawarij, kemungkinan sejarah akan berbicara lain.

Dalam catatan sejarah diketahui bahwa setelah Muwiyah meninggal, kelompok khawarij menggabungkan diri dengan Abd Allh ibn Zubeir di Makah. Akan tetapi kemudian mereka menyempal lagi dan menganggap diri mereka bersalah karena telah memberikan pertolongan kepada Ibn Zubeir, kemudian mereka pergi meninggalkan Ibn Zubeir di Makah. Setelah itu mereka kemudian terpecah menjadi dua golongan, Azariqah dan Najdat. Golongan pertama pergi menuju Basrah, sedang golongan kedua menuju Yamamah.14 Golongan pertama ini lebih kuat dan lebih ekstrem, karena Nafi’ ibn Azraq menghalalkan membunuh anak-anak dan mengkafirkan orang-orang yang tidak mau ikut berperang, dan menganggap harta mereka halal.

Usaha Nafi’ ibn Azraq berhasil menguasai al-Ahwaz, karena situasi politik pemerintahan Bani Umayah tengah kacau. Tetapi karena prinsip politik dan doktrinnya itu, akhirnya ia juga mendapat banyak tantangan dari penduduk yang telah memberikan dukungan pada saat penaklukkan al-Ahwaz. Oleh sebab itu kemudian penduduk Basrah mengangkat al-Muallab ibn Sufrah sebagai pemimpin mereka, yang telah bersiap untuk menyerang kelompok khawarij dan berhasil membunuh Nafi ibn Azraq.15 Sukses ini menambah kuat posisi al-Muhallab dan usaha kelompok khawarij untuk melakukan pemberontakan semakin susah. Tetapi setelah al-Muhallab dipindahtugaskan menjadi gubernur di Khurasan, kelompok khawarij melakukan gerakan kembali. Gerakan ini dirasakan sangat mengganggu ketentraman masyarakat Basrah, sehingga mereka meminta kepada kepada Musab, gubernur Basrah, untuk mengembalikan al-Muhallab ibn Sufrah ke Basrah. Permintaan mereka dikabulkan dan al-Muallab memerangi kelompok khawarij yang ketika itu kepemimpinan berada di tangan Qatary ibn al-Fujaah.16

Kelompok khawarij, meskipun terus digempur pemerintah, terus melakukan gerakan perlawanan. Gerakan ini tidak hanya berhenti pada masa-masa awal dan pertengahan pemerintahan Bani Umayah, juga pada masa-masa akhir pemerintahan. Gerakan terakhir yang dilakukan kelompok khawarij pada masa akhir pemerintahan Bani Umayah adalah gerakan yang dilakukan oleh Hamzah al-Khariji di Makah pada tahun 129 H, dan berhasil menguasai Makah dan Madinah pada tahun 130 H.17 Tetapi Marawan ibn Muammad, khalifah terakhir Bani Umayah mengirim pasukan guna menggempur kelompok pemberontak ini, hingga akhirnya kelompok ini dapat dihancurkan.18 Seiring dengan melemahnya kelompok khawarij, pemerintahan Bani Umayah juga mengalami masa-masa kemunduran dan kehancuran. Energi pemerintah terkuras dipergukan untuk mengatasi berbagai gejolak politik dan sosial. Kenyataan ini ditambah kemunculan kelompok yang mengatasnamakan al al-bait guna merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayah.

Selain kelompok khawarij yang banyak menghabiskan energi pemerintah dalam mengatasi berbagai pemberontakan yang dilakukannya, juga terdapat gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh al-usein ibn Al dan kelompok al-tawwabun,19 (orang-orang yang bertobat).

Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa upaya al-asan ibn Al membaiat Muwiyah ditentang oleh al-usein, karena dianggap telah mengkhianati amanah umat yang telah menunjukkan menjadi khalifah. Begitu juga ketika al-asan berencana kembali ke Madinah dan menetap di sana dengan meninggalkan problem politik dan konflik sosial yang tengah terjadi, al-usein juga menunjukkan sikap ketidaksetujuannya. Al-usein mau menuruti perintah kakaknya karena ia mendapat amanah dari ayahnya untuk selalu bersama dan menuruti ucapan kakaknya itu, termasuk masalah khilafah. Dalam perjanjian dengan Muwiyah pada peristiwa m al-jamah 661 M, disepakati bahwa persoalan khilafah sepeninggal Muwiyah harus diserahkan kepada umat Islam untuk menentukan pilihan mereka, siapa yang paling layak menjadi pemimpin. Tetapi sebelum meninggal, Muwiyah telah mengangkat Yazd puteranya sendiri sebagai penggantinya kelak. Tindakan ini tentu saja mengecewakan banyak pihak, termasuk al-usein sendiri.

Setelah Muwiyah wafat pada hari Kamis bulan Rajab tahun 60 H. Yazd naik tahta dan dia meminta seluruh penduduk yang berada di bawah wilayah kekuasaannya membai’atnya, termasuk al-usein ibn Al.20 Untuk itu, Yazd meminta gubernur Madinah al-Walid ibn Utbah ibn Ab Sufyn menemui al-usein dan meminta bai’at darinya. Tetapi, menurut al-°abr, al-usein tidak mau melakukannya saat itu, bahkan kemudian ia pergi ke Makah bersama isteri dan keluarganya.21

Di Makah, al-usein menerima banyak tawaran dari penduduk Kufah agar ia pergi ke Kufah, karena merekan akan membelanya. Permintaan tersebut tidak begitu saja diterima, tetapi al-usein mengutus Muslim ibn Aqil ibn Ab °lib untuk menyelediki keadaaan sebenarnya. Kedatangan Muslim diterima dengan baik oleh penduduk Kufah.22 Melihat kenyataan ini, Muslim memerintahkan al-usein untuk segera pergi ke Kufah dan meninggalkan Makah, karena di kota ini ia dan keluarganya akan aman. Tetapi apa yang terjadi, rencana kepergian al-usein diketahui oleh Yazd, sehingga ia memerintahkan Ubaid Allh ibn Ziyd pergi ke Kufah dan menggantikan posisi Nu’man ibn Basyir sebagai gubernur baru. Di sini Ubaid Allh diperintahkan untuk menghukum mereka yang membantu al-usein, termasuk Muhamad ibn Aqil yang tengah berlindung di rumah Hani ibn Urwah.23 Kedua orang ini kemudian dibunuh, dan peristiwa itu tidak diketahui al-usein. Keinginan dan tekad al-usein untuk pergi ke Kufah sangat kuat, meskipun telah disarankan oleh Ibn Abbas agar membatalkan niatnya itu. Karena Ibn Abbs tahu bahwa masyarakat Kufah adalah masyarakat yang tidak dapat dipegang ucapannya. Setelah mendapat saran dari tetap akan dilaksanakan. Selain Ibn Abbs, al-usein juga mendapat nasihat dari Abd Allh ibn Muti al-Adwi, salah seorang pemimpin Arab. Ia memberi saran agar al-usein tidak datang ke Kufah dan jangan melawan kekuatan Bani Umayah, karena ia akan membunuhmu.24

Di tengah perjalanan, masih menurut al-°abr, al-Husein juga bertemu dengan Bakir ibn Salabah al-Asadi. Kebetulan dua orang pengikut al-usein berasal dari Bani Asad, yaitu Abd Allh ibn Salim al-Asadi dan al-Muzr ibn al-Musyamil al-Asadi. Kedua orang ini bertanya tentang keadaan Kufah dan peristiwa yang menimpa Muammad ibn Aqil kepada Bakir. Bakir menjelaskan bahwa kedua orang tersebut telah dibunuh, karena ia menyarankan agar al-Husein kembali ke Hijaz dan membatalkan rencananya menetap di Kufah.25 Tetapi lagi-lagi nasihat tersebut diabaikan oleh al-Husein, sehingga ia tetap melanjutkan perjalannya ke Kufah. Mendengar keterangan itu, al-Husein memberikan kebebasan kepada para pengikutnya, mereka yang mau kembali silakan dan yang mau meneruskan juga dipersilakan ikut bersamanya. Sebagian dari pengkutnya mengundurkan diri dan yang tianggal bersamanya hanya sahabat setianya yang sama-sama berangkat dari Madinah, serta bebarapa orang lainnya.

Kedatangan al-Husein ke Kufah bertujuan untuk memperoleh dukungan kuat dari penduduk Kufah dan melakukan serangan kepada Yazd yang dianggapnya telah merampas hak umat Islam, yaitu khilafah. Tetapi tampaknya al-Husein tidak mau belajar banyak dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, bahwa penduduk Kufah tidak dapat dipercaya, ayahnya tewas di tangan pemberontak yang sebelumnya adalah pendukungnya sendiri dan itu terjadi di Kufah. Akan tetapi karena keinginannya begitu kuat untuk bertemu para pendukungnya di Kufah, ia tetap nekat hingga akhirnya ia sendiri dan para pengikutnya tewas mengenaskan di Karbala pada tahun 61 H di tangan Sinan ibn Anas.26

Wafatnya al-Husein, meninggalkan duka mendalam di kalangan umat Islam. Umat Islam yang anti Bani Umayah membutuhkan figur yang akan menjadi pempinan mereka. Karenanya setelah Yazd meninggal tahun 63 H, Abd Allah ibn Zubeir memproklamirkan diri sebagai khalifah dan mengumumkan perlawanan terhadap Bani Umayah. Gerakan Abd Allah ibn Zubeir semakin meluas dan mendapat dukungan dari masyarakat Hijaz. Gerakan perlawanan terhadap Bani Umayah juga kemudian meluas setelah kemunculan kelompok al-tawwabun di Kufah yang dipelopori oleh Sulaiman ibn Surad al-Khuza’i.27 Kelompok ini menuntut balas atas kematian al-Husein dan kemudian mereka menyalahkan diri mereka karena tidak membantu dan mengkhianati al-Husein ketika diperangi oleh pasukan Ubaid Allah ibn Ziyd di Karbala. Untuk mewujudkan hal itu, kelompok al-tawwabun di bawah pimpinan Sulaiman ibn Surad dengan kekuatan sekitar 4000 pasukan melakukan serangan ke Kufah melawan gubernur Ubaid Allh ibn Ziyd.
Tetapi kekuatan yang dimiliki kelompok ini tidak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki pemerintah, sehingga Sulaiman ibn Surad dan pasukannya dapat dikalahkan di ain alwardah tahun 65 H/685 M.

Kemunculan kelompok ini membuktikan sekali lagi bahwa perdamaian dan pengakuan al-asan ibn Al dengan Muwiyah yang terjadi di Maskin tahun 41 H/661 M, memiliki implikasi politik yang cukup kuat, karena selama masa-masa awal pemerintahan bahkan pertengahan dan akhir masa kekuasaan Bani Umayah, kelompok-kelompok yang tidak sepaham atau tidak menjadi jama’ah, melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Bani Umayah walaupun semua pemberontakan dari pihak oposisi selalu dapat dikalahkan, tetap mengindi¬kasikan bahwa peristiwa m al-jamah menimbulkan kelompok atau partai-partai dan mengerasnya bentuk perlawanan mereka terhadap pemerintah Bani Umayah.

B.Implikasi Teologis Peristiwa m al-Jamah.

Peristiwa m al-jamah yang terjadi di Maskin tahun 41 H/661 M, tidak hanya menimbulkan implikasi politik dengan munculnya berbagai partai atau golongan yang melakukan gerakan perlawanan dan mengerasnya bentuk-bentuk perlawanan yang mereka lakukan, juga berdampak pada persoalan-persoalan teologis. Dalam konteks penulisan disertasi ini, yang dimaksud dengan implikasi teologis bukan hanya diartikan sebagai sebuah kemunculan aliran-aliran teologi dalam Islam, seperti khawarij, syi’ah, murji’ah dan sebagainya dengan ideologi mereka masing-masing, tetapi—dan ini yang menjadi fokus penulisan dalam sub bab ini adalah—penentuan posisi seseorang atau kelompok tertentu yang melakukan afiliasi atau bergabung (berjama’ah) dengan adalah kelompok lain, misalnya bagaimana posisi kelompok yang tidak mau melakukan bai’at kepada Muwiyah setelah al-asan ibn Al melakukan sumpah setia kepadanya. Berdosakah kelompok yang tidak ikut berjama’ah, kalau berdosa apa hukumnya. Apakah kelompok oposisi (yang tidak berafiliasi ke pihak penguasa) haru atau bahkan wajib diperangi, dan sebagainya. Kemudian, apakah konsep jama’ah di sini memiliki benang merah dengan sebuah kelompok Islam yang dikenal dengan sebutan ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Tetapi, satu hal penting yang juga perlu ditegaskan di sini adalah bahwa pada sub bab ini juga tidak akan dibahas mengenai sejarah dan perkembangan kelompok al al-sunnah wa al-jamah dengan berbagai konsep pemikiran dan gerakan yang dilakukannya. Sebab fokusnya adalah apakah peristiwa m al-jamah memiliki dampak bagi perkembangan aliran ini, sebab aliran ini baru mengalami perkembangan bahkan kemajuan dalam berbagai bentuk pemikiran jauh setelah peristiwa m al-jamah yang terjadi di Maskin tahun 661 M/41 H.

Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa kekuasaan atau pemerintahan Muwiyah yang telah mendapat legitimasi massa al-asan ibn Al, merupakan sebuah pengalaman atau praktik satu-satunya seorang penguasa yang berhasil menjadi penguasa (khalifah,amir atau al-malik), melalui manuver politiknya yang dilakukan terhadap semua perselisihan agama dan politik atau perselisihan suku daerah yang ada. Sebelum Muwiyah berkuasa, untuk memperoleh otoritas politik, operasi militer jarang dipergunakan, juga kekerasan tidak dilakukan secara terang-terangan. Ada hal penting yang patut dicatat di sini bahwa fakta adanya kekerasan yang dilakukan Muwiyah dalam memperoleh legitimasi kekuasaannya merupakan sebuah fakta yang harus diterima, seperti fakta-fakta politik lainnya yang terjadi pada awal masa kekhalifahan yang kemudian berubah secara logis menjadi teori pemerintahan. Untuk memperoleh pengakuan publik, ketika seorang penguasa dapat membungkam kelompok-kelompok yang berseberangan dengannya dengan menggunakan otoritas politiknya, maka kemudian muncullah jamah.
Hanya saja persoalannya kemudian adalah dilema apa yang dihadapi oleh mereka yang menekankan konsep jamah dan yang mengatakan bahwa mereka akan menjadi pihak terakhir yang berbai’at? Dengan dalih eksistensi jamah, maka mereka , tak peduli bagaimana cara yang dipergunakan penguasa untuk berkuasa, berbai’at pada seorang khalifah yang diseutujui oleh banyak orang atau mayoritas. Muwiyah sendiri menyatakan bahwa dirinya dapat menjadi khalifah bukan karena dirinya memiliki hubungan baik dengan masyarakat, melainkan karena meng¬gunakan pedang atau kekerasan. Karena itu, ketika Muwiyah memperoleh pengakuan dari mayoritas masyarakat pada tahun 41 H/661 M, menamakan tahun itu dengan sebutan “ tahun jama’ah”.

Kemampuan Muwiyah dalam memperoleh pengakuan dari mayoritas umat dan menjadi penguasa saat itu, merupakan kemampuannya merebut hati dan menguasai anggota-angggota masyarakat, kaum muhajirin dan ansar, sehingga ia memperoleh dukungan yang relatif kuat. Dengan demikian, makna jama’ah dalam konteks politik di sini adalah bersatunya umat di bawah satu kepemimpinan. Hanya saja muncul pertanyan kemudian, bagaimana mereka yang tidak mau ikut berjama’ah dan membai’at Muwiyah, apakah mereka tidak masuk ke dalam kelompok jama’ah. Jawabannya, kalau kata jama’ah di sini diartikan sebagai bagian dari ketaatan seseorang atau kelompok kepada penguasa, atau dalam istilah politik afiliasi politik seseorang atau kelompok pada kelompok penguasa, maka itu dinamakan jama’ah. Artinya, kekuasaan seseorang mendapat dukungan mayoritas. Dalam konsep fiqh, dibenarkan memerangi mereka yang tidak mau membai’at atau ikut mayorits, karena mereka dimasukkan ke dalam kategori pemberontak. Misalnya, Al memerangi Muwiyah dan kelompok khawarij karena ia dianggap telah memberontak kepada penguasa, begitu juga Muwiyah, ia memerangi ibn Zubeir dan penduduk Madinah yang tidak mau membai’atnya.28

Dukung mendukung dan menolak kekuasaan para penguasa ini kemudian memunculkan berbagai kelompok atau partai politik yang berdampak pada menguatnya kelompok tertentu dari masyarakat untuk meredam persoalan. Akibatnya, mayoritas umat Islam, sebagian besar ulama fiqh dan pembawa sunnah bersatu di bawah satu aliran yang kokoh, yaitu jamah yang dalam perkembangan kemudian dikenal dengan sebutan al al-sunnah wa al-jamah. Terdapat beberapa athar sai yang menjelaskan perpecahan umat ke dalam berapa aliran atau mazhab dan kecenderungan yang berbeda, juga dijelaskan akan ada satu aliran lurus yang akan menegakkan agama Allah dalam meredam berbagai pertentangan. Dalam persoalan teologi dan urusan-urusan lainnya, aliran ini menggunakan metode dan langkah rasul Allah. Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa rasul Allah memprediksikan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang masuk surga, yaitu aliran yang mengikuti jalanku dan para sahabatku ( ma ana alaihi wa ashabi).29

Tinjauan terhadap al al-Sunnah wa al-jamah memperlihatkan adanya kesesuaian antara akidah mereka dengan akidah Nabi, menjauhi sikap ekstremitas dan lebih mengutamakan sikap moderat dalam pemikiran dan akitifitas. Dalam memahami al-Qur’an dan al-sunnah mereka mengikuti apa yang dipahami generasi salaf, yaitu para sahabat. Dalam menyikapi perselisihan dan peperangan yang terjadi di antara para sahabat, menurut al-Tahawai seperti dikutif Ahmazun, mereka selalu berkata, kami mencintai para sahabat dan tidak membedakan di antara mereka,dan juga tidak mengabaikan mereka. Mereka juga membenci orang-orang yang membenci sahabat. Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan sesuatu yang baik. Mencintai mereka merupakan ekspresi agama, dan membenci mereka merupakan ekspresi kemunafikan dan pembangkangan.30

Pemberontakan terhadap pemimpin yang lalim, menurut mereka dapat dilakukan Oleh karena itu, ketika mereka melihat adanya pertentangan di antara para sahabat dalam soal kepemimpinan, menurut mereka dapat dilakukan dengan beberapa syarat. Satu di antaranya adalah tidak menimbulkan fitnah (konflik) dan dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik bagi kepentingan umat. Mayoritas mereka tidak memandang perlu pemberontakan, kecuali apabila terdapat tanda-tanda adanya kekufuran di sana. Dalam konteks ini, al-Tahawi seperti dikutip Amhazun mengatakan bahwa kami tidak memberontak imam dan pemimpin urusan kami, walaupun mereka berbuat lalim. Kami tetap mentaatinya... dan kami berbuat baik karena mengikuti sunnah dan jama’ah, menghindari penyimpangan-penyimpangan, dan perpecahan.31 Dengan melihat kenyataan ini, kiranya dapat dipahami bahwa kelompok al al-sunnah wa al-jamah sangat mengidamkan perdamaian dan ketentraman umat atau jama’ah walau berada di dalam masa pemerintahan yang lalim tapi kuat, ketimbang berada di bawah pimpinan saleh tapi lemah.32

Dengan memperhatikan masalah di atas, maka tak mengherankan apabila banyak sahabat yang justeru berpihak atau berafiliasi secara politik dan ideologis kepada Muwiyah ketimbang al-asan pada waktu m jamah 661 M, karena Muwiyah secara militer dan mungkin finansial lebih kuat ketimbang al-asan. Bahkan Muwiyah tidak segan-segan memberikan berbagai fasiltas yang dibutuhkan mereka yang punya potensi dan berpihak kepadanya, seperti Amr ibn al-As, al-Mughirah ibn Syu’bah, dan kemudian Ziyd ibn Abhi,33 meskipun hal itu juga tidak menjamin tidak adanya pemberontakan yang terjadi, baik selama masa kepemimpinan Muwiyah atau sesudahnya.

Oleh karena itu, dalam akhir tulisan ini penulis tidak berani mengatakan bahwa peristiwa m al-jamah memiliki kaitan langsung dengan kelompok al al-sunnah wa al-jamah, sebab belum banyak data yang diperoleh dalam proses penulisan disertasi ini. Meskipun begitu, bila dilihat dari perkembangan sejarah yang ada pada masa awal pemerintahan Bani Umayah, terlihat jelas adanya kecenderungan sebuah kelompok mayoritas atau jamah yang berpihak kepada pemerintahan ini. Waalhu a’lam bi muradihi.




End Notes



2 Lihat Ahmad Amin,Fajr al-Islam, ( Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1965), hlm, 279. Lihat pula Abu al-Fath Muhamad Abd al-Karim ibn Ab Bakr Ahmad al-Syihristani,( selanjutnya disebut al-Syihristani), al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar el-Fikr, 1419 H/1999 M), hlm,112-117

3 Lihat al-Syahrastani, al-milal, hlm, 92. lihat pula Abu Mansur Abd Qahir ibn Tahir al-Tamimi al-Bagdadi(selanjutnya disebut al-Bagdadi), al-Farq baina al-firaq, ( Kairo: Maktabah Subeih, tt), hlm, 7-20. lihat pula W. Montgomery Watt, (terj) Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, ( Yogyakarta: Tira Wacana,1999), hlm, 24-25.

4 Abu Ja’far Muhamad ibn Jarir a-°abr ( selanjutnya disebut al-°abr), Tarkh al-Umam wa al-Mulk, J.4. ( Beirut: Muassasah al-a’lamy li al-matbu’at, 1879), hlm, 126
5 lihat al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 126.
6 Lihat al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 126.

7 Lihat al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 126. lihat pula alDinawary, al-imamah, J.1. hlm,142.
8 lihat al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 126-127.

9 Al-°abr, Tarkh, J.4 hlm, 131-132

10 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 222-225 lihat pula alDinawary, al-imamah, J.1. hlm,166-167
11 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 360-361
12 Al°abr, Tarkh, J.4. hlm, 436.

13 lihat alDinawary, al-imamah, J.2. hlm,13-39.

14 Ab al-asan Al ibn Muammad al-Jazar al-Shaiban (selanjutnya disebut Ibn al-Asir), alKaml f al-Tarkh, J.4. (Berut: Dar Sadir, tt), hlm, 80.
15 Al°abr, Tarkh, J.4. hlm, 478.
16 Lihat al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 478-480.
17 Lihat al-°abr, Tarkh, J.6. hlm, 57-58
18 Lihat al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 62-63. lihat pula alDinawary, al-imamah, J.2. hlm,113-115.

19 Kelompok ini dinakaman dengan kelompok al-tawwabun, karena mereka menyadari kesalahan mereka karena tidak mau membantu atau berpihak kepada al-Husein dalam pertempuran melawan pemerintahan Yazd ibn Muwiyah yang menyebabkan al-Husein tewas terbunuh di Karbala.

20 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 250-253
21 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 257. lihat al-Dinawary, al-Imamah J.1. hlm, 195.
22 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 257. lihat pula alDinawary, al-imamah, J.2. hlm,4-10.

23 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 259.
24 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 298.
25 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 299

26 Al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 301-302

27 Sulaiman ibn Surad adalah salah seorang tokoh masyarakat di Kufah. Ia awalnya termasuk salah seorang pengikut Al, tetapi kemudian memisahkan diri (kharij) dari barisan Al karena tidak sependapat dengan Al dalam masalah tahkim. Ketika al-asan mengakui kekuasaan Muwiyah dan terjadi perdamaian antara al-asan dengan Muwiyah di Maskin, ia termasuk orang yang menentang, tetapi tidak dengan tindakan atau perbuatan, hanya dengan kalimat kasar yang diarahkan kepada al-asan. Ketika al-usein ingin ke Kufah, ia juga termasuk salah seorang yang menghendaki agar al-usein pergi ke Kufah dan ia akan mendukung semua gerakan dan akan kembali menjadi pengikut al-usein. Tetapi ketika terjadi serangan di Karbala, ia tidak membantu hingga akhirnya al-usein terbunuh. Peristiwa Karbala menyadarkan dirinya dan orang-orang yang tidak membantu al-usein, sehingga mereka bertekad menebus dosa (tobat) dengan melakukan serangan kepada Bani Umayah dan terutama gubernur Ubaid Allah ibn Ziyd yang berkuasa di Kufah. Lihat, al-°abr, Tarkh, J.4. hlm, 259-265.

28 Al-Dinwar, al-Immah, J.1, hlm, 153-154.

29 Dikeluarkan oleh al-Turmuz dalam Sunan nya,” Kitab al-Iman,” bab ma ja a fi iftiraq hadzihi al-ummah. Juz IV, hlm, 134. menurutnya, kualitas hadis ini Hasan Garib, dan dinilai al-asan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan al-Turmuzi, juz II, hlm, 334, nomor 2129. Lihat Ibn Majah, Sunan ibn Majah, ( Beirut: Dar el-Fikr, tt), juz II, hlm, 408, hadis nomor 4057. Abu Daud, Sunan Abu Daud,( Beirut: Dar el-Ma’rifah,1300 H/1980 M), juz VII, hlm, 4, hadis nomor 4429
30 Muammad Amhazun, Tahqq Mawqif al-Sahbah f al-fitnah: (Riyad: Dr el-Tayyibah li al-Nashr wa al-Tauzi’, 1994), hlm, 528.

31 Amhazun, Tahqq, hlm, 526-528
32 Lihat Amhazun, Tahqq hlm, 528
33 Lihat al-°abr, Tarkh, J.4. 122-135.


BAB VII
KESIMPULAN


Dari uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab terdahulu, dapat disim-pulkan bahwa kematian khalifah Usman ibn Affan pada 656 M/35 H menimbulkan gejolak sosial politik yang berkepanjangan. Sebab sejak saat itu, paling tidak terdapat tiga kelompok besar yang mengatasnamakan umat atau tokoh tertentu. Pertama, adalah pendukung Al. Kedua, pendukung Usman (Usmaniah). Ketiga, kelompok netral. Kelompok pertama adalah para pendukung Al yang kemudian mengangkatnya sebagai khalifah 656 M, dan kelompok kedua adalah pendukung Usman (Usmaniah), yang menentang pengangkatan Al dan menuntut qisas atas darah Usman, sementara kelompok ketiga adalah mereka yang tidak berpihak atau belum menentukan sikap politiknya pasca kekhalifahan Usman.

Pertikaian antara kedua kelompok besar, yaitu antara pendukung Usman yang dimotori oleh Muwiyah ibn Ab Sufyn dengan para pendukung Al ibn Ab °lib, tampaknya tidak dapat diselesaikan lewat jalan damai. Para pendukung Usman tidak menghendaki pembai’atan atas kekhilafahan Al apabila Al tidak berhasil mengusut tuntas atas kematian khalifah Usman, selain mereka masih meragukan legalitas pengangkatannya sebagai khalifah karena Al dibai’at oleh para pemberontak. Sementara Al ibn Ab °lib telah mengklaim dirinya sebagai khalifah yang sah, karena telah mendapat dukungan dari para sahabat, seperti Talhah ibn Ubaid Allah dan Zubeir ibn al-Awwam, serta kemudian Aisyah binti Ab Bakr. Meskipun kemudian ketiga sahabat ini ada yang berpendapat bahwa pembai’atan mereka atas Al karena terpaksa, tetapi Al telah menganggap dirinya adalah penguasa yang legal saat itu. Sementara mereka yang belum menentukan sikapnya, juga kemudian melakukan bai’at kepada Al.

Tarik menarik ini kemudian menimbulkan konflik fisik antara Al dengan kelompok Aisyah dalam sebuah pertempuran yang dikenal dalam sejarah dengan sebutan waq’ah al-jamal 656 M. Enam bulan kemudian konflik fisik kedua terjadi dalam perang Siffin 657 M. Peperangan ini tidak dimenangkan secara dominan oleh kedua belah pihak, meskipun dalam episode awal pertempuran tampaknya pihak Al berada pada posisi kuat dan diperkirakan akan memenangkan pertempuran, tetapi kemudian pihak Muwiyah dimotori Amr ibn al-As meminta perdamaian dengan mengangkat al-Qur’an (mushaf) di ujung tombak, pertanda adanya permintaan damai. Al sendiri ragu untuk menghentikan peperangan, karena ia tahu hal itu hanya merupakan tipu muslihat pihak Muwiyah. Karena itu ia meminta pasukannya meneruskan peperangan, tetapi sebagian menolak, karena menginginkan peperangan. Karena desakan itu, akhirnya Al menerima tawaran perdamaian dan kemudian diselesaikan lewat jalur tahkim (arbitrese) di Adhruh Dumat al-jandal 659 M. Hasil tahkim yang digelar dengan wakil dari pihak Al adalah Abu Musa al-Asy’ari, dari pihak Muwiyah Amr ibn al-As, memutuskan memperkuat dan meningkatkan posisi Muwiyah menjadi khalifah (de facto dan de jure) dan melengserkan Al. Keputusan yang dianggap tidak masuk akal ini, tidak diterima Al, karena Al masih menganggap dirinya sebagai khalifah dan Muwiyah adalah pembangkang yang tidak punya hak untuk mendapatkan posisi jabatan tersebut, sebab Muwiyah adalah salah seorang Tulaqa. Apapun yang terjadi, yang jelas sejak saat itu, sebenarnya sudah ada dua kekuatan dengan pendukung masing-masing yang suatu saat akan terjadi sebuah konflik lebih besar lagi kalau saja Al tidak terbunuh pada 41 H/661 M di tangan Ibn Muljam, salah seorang khawarij yang bersumpah akan menghabisi mereka yang terliabat dalam peristiwa tahkim karena memutuskan sebuah persoalan tidak didasari atas kitab Allah.

Terbunuhnya Al sebenarnya merupakan saat yang tepat bagi Muwiyah untuk memperluas legitimasinya dengan mendeklarasikan diri di hadapan penduduk Kufah, Basrah dan Hejaz (Makah dan Madinah) sebagai khalifah yang sah menggantikan posisi Al, karena sebelumnya ia telah mendapat pengakuan dari penduduk Ilya, Syria, Damaskus dan Homs dan memenangkan tahkim yang menaikkan posisinya menjadi khalifah, terlepas dari persoalan tulaqa atau tidak. Tetapi hal itu belum sempat dilakukan Muwiyah, karena penduduk Kufah, Basrah, Madinah dan sebagian penduduk Parsi, dimotori Jundub ibn Abd Allah telah lebih awal membai’at al-asan ibn Al. Pengangkatan ini tentu saja ditentang oleh Muwiyah dan para pendukungnya, sebab Muwiyah telah memposisikan diri sebagai khalifah yang sah. Saling klaim ini kemudian menimbulkan ketegangan, sehingga kedua kelompok telah bersiap untuk menunjukkan kekuatan masing-masing. Di pihak al-asan ibn Al, Qays ibn Sa’ad dan Abd Allah ibn Abbas, mengomandoi persiapan tersebut, sementara dari pihak Muwiyah dia sendiri dan dibantu Amr ibn al-As serta para sahabt lainnya.
Kedua kelompok ini kemudian bertemu di Maskin, tetapi tidak sampai terjadi perang fisik, keduanya saling menahan dan mengirim utusan masing-masing guna mencari solusi dalam penyelesaian persengketaan tersebut. Akhirnya kata sepakat dicapai dalam penyelesaian konflik horizontal internal umat Islam di antara kedua kelompok ini. Di Maskin, al-asan menyatakan ba’at kepada Muwiyah yang kemudian diikuti oleh para pendukung al-asan di Kufah dan Basrah. Sementara Muwiyah mengakui kemuliaan al-asan dan memberinya berbagai kompensasi yang diperlukan bagi kelengsungan kehidupan keluarganya di Madinah. Pernyataan ini menandai era baru dalam perjalanan sejarah umat Islam, sebab telah terjadi kesepakatan di antara kedua pemimpin umat Islam dengan mengakui satu khalifah yaitu Muwiyah ibn Ab Sufyn. Peristiwa ini dalam sejarah Islam dikenal dengan peristiwa m al-jamah yang terjadi di Maskin tahun 661 M. Peristiwa ini menimbulkan pro dan kontra, sebab ada yang setuju dan juga ada yang menolak. Mereka yang menolak tentu saja berasal dari kelompok sempalan (khawarij) dan sedikit pengikut al-asan, termasuk adiknya sendiri, yaitu al-usein. Meskipun begitu, perjanjian perdamaian terus berjalan hingga akhirnya keduanya menemukan kata sepakat untuk segera menuntaskan krisis kepemimpinan dan konflik politik internal di kalangan kedua kelompok, khususnya dan di kalangan umat Islam secara lebih luas lagi.

Setelah kejadian tersebut, baik al-asan maupun Muwiyah melakukan berbagai langkah strategis guna mewujudkan perdamaian di kalangan umat Islam agar tercipta sebuah suasana damai, aman dan tenang (ekuilibrium) meskipun hanya sementara. Langkah al-asan adalah meminta agar para pengikutnya mengakui kekhilfahan Muwiyah dan tunduk atas segala perintahnya. Sementara Muwiyah mempersiapkan konsolidasi dengan mengangkat para pejabat gubernur di daerah- daerah yang baru saja masuk ke dalam kekuasaan Muwiyah. Selain itu, ia juga melakukan sosialisasi dengan mendatangi beberapa tempat di wilayah baru itu dengan menyatakan dirinya sebagai pemimpin mereka yang baru dan akan melakukan berbagai kebijakan yang akan mensejahterakan mereka.

Peristiwa m al-jamah ini—paling tidak—memiliki dua implikasi besar. Pertama, implikasi politik, dan kedua, implikasi teologis. Implikasi politik dapat dilihat dari semakin menguatnya kelompok-kelompok oposisi, seperti kelompok khawarij, konsolidasi partai Al (Syi’atu Al) dan kelompok moderat (murji’ah). Kelompok pertama (khawarij) yang memang sejak tahkim semakin menunjukkan ketidaksenangan mereka terhadap Al dan Muwiyah serta para pendukung masing-masing, terus melakukan gerakan perlawanan, baik pada masa awal pemerintahan Bani Umayah yang dilakukan oleh Farwah ibn Naufal al-Asyja’i, misalnya, cukup mengganggu pemerintahan Bani Umayah. Sementara kelompok pendukung Al dimotori oleh Sulaiman ibn Sirad melakukan pemberontakan terhadap Yazd, karena peristiwa Karbala. Kelompok ini kemudian menamakan diri sebagai kelompok al- Tawwabun, mereka yang menyadari kekeliruan dan kesalahan mereka karena tidak membentu dan mendukung gerakan perlawanan al-usein ibn Al dalam menentang kekuasaan Yazd ibn Muwiyah. Kelompok ini karena mereka tidak berpihak atau berafiliasi (berjam’ah) kepada partai penguasa, maka kemudian mereka dimasukkan ke dalam non-jamah atau kelompok oposisi. Karena mereka tidak masuk ke dalam jamah dan tidak mau melakukan bai’at atas Muwiyah, maka mereka masuk ke dalam kelompok yang harus diperangi. Karena itu, pada masa pemerintahan Bani Umayah, gerakan oposisi ini terus berlanjut hingga akhir masa pemerintahan Bani Umayah pada masa Marwan ibn Muhamad 132 H/750 M.
Sementara mereka yang netral—belum menentukan sikap politik—akhirnya mendukung kelompok penguasa dan masuk ke dalam jamah. Mereka adalah kelompok mayoritas umat Islam terdiri dari sahabat dan tabi’in, yang kemudian menyatakan keberpihakan mereka pada sahabat dan mereka menilai apa yang dilakukan sahabat adalah baik, karena mereka merupakan orang-orang yang dekat dengan rasul. Kelompok inilah yang kemudian—dalam tataran teologis—dikenal dalam sejarah pemikiran teologi dengan sebutan al al-sunnah wa al-jamah. Hanya saja yang perlu ditegaskan di sini bahwa peristiwa m al-jamah yang terjadi di Maskin 661 M/41 H, tidak secara langsung berimplikasi pada proses pembentukan kelompok al al-sunnah wa al-jamah. Wallahu a’lam bimurodihi.

DAFTAR PUSTAKA


Abd Karim, Khalil, Hegemoni Quraysh: Agama, Budaya, Kekuasaan,(terj) Yogyakarta: LkiS, 2002.
Ab Dwud, Sulaiman ibn al-Ashat ibn Syidd ibn Amr ibn mir al-Sijistn, Sunan Ab Dwud, Beirut: Dr el-Marfah,1300 H/1980 M, juz VII.
Ab anfah, al-Numan ibn Muammad ibn Mansr ibn Amad ibn ayyn al-Tamm al-Aghrb, al-Urjzah al-Mukhtrah, (ed) Ismail Qarban Husein Poonawala, Montreal: McGill University, 1970.
Ab Zahrah, Muammad, Trkh al-Madzhib al-Islmiyah f al-Siysah wa al-Aqid, (Terj), Gontor Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal,1991.
Ali, K., A Study of Islamic History (Sejarah Islam: Tarikh Pra Modern, (terj), Jakarta: Srigunting, 1997.
Amazun, Muammad, Taqq Mawqif al-¢ahbah f al-Fitnah: Riy«: Dr el-°ayyibah li al-Nashr wa al-Tauz, 1994.
Amin, Amad Fajr al-Islm, Kairo: Maktabah al-Na«ah al-Miriyah, 1965.
al-Bagdd, Ab Mansr Abd Qhir ibn °hir al-Tamm, al-Farq Baina al-Firaq, Kairo: Maktabah Subeih, tt.
al-Bal§ur, Amad ibn Yahy ibn Jabr, Mujam al-Buldn, J.5. Kairo: Maktabah al-Nah«ah al-Miriyah, tt.
............., Ansb al-Asyrf, J. 1, 2. Beirut: al-Ma¯baah al-Katolikiyah, 1979 M/1400 M.
Bek, Muammad Khudry, Muadarat al-Tarkh al-Umm al-Islmiyah, J.2. Kairo: al-Istiqmah, 1370 H/ 1974 M.
Belyaev, E.A. Arabs, Islam and the Caliphate in the Early Middle Ages, London: Pall Mall Press, 1969.
Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, (terj), Bandung: Mizan, 1993.
al-Faras, Muammad Sali Amad, Fasl al-Khitb f Mawqif al-Asb R. A., Mesir: Dr el-Salm, 1996 M/1416 H Cet. I.
Gibb, H.A.R, et all, The Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1986.
Goldscmidt, Arthur, Jr. A Concise History of the Midlleeast, 2nd, Egypt: the American University in Cairo, 1983.
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah, (ter.) Jakarta: UI Press
Haekal, Muammad usein, Usman ibn Affn, (terj)Ali Audah, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002.
Hodgson, Marshall G.S, The Venture of Islam,J.1. Chicago: Chicago University press, 1974.
Hourani, Albert, A History of the Arabs Peoples, New York: Warner Books Edition, 1991.
Ibn Abd al-Barr, Ab Umar Ibn Ysuf Ibn Abd Allh ibn Muammad Al-Istb f Marifah al-Asb, J. 2,3,4 (Editor) Ali Muammad al-Bijaw, Beirut: Dr el-Jail,1992.
Ibn al-Khayyat, Khalfah, Trkh Khalfah, (ed).Akram al-Umari, Beirut: Dr el-Qalam, 1397 H.
Ibn al-Manzr, Muammad ibn Makarram, Mukhtasar Trkh Dimasq, Damaskus, 1988.
Ibn Athr, Ab al-asan Ali ibn Muammad al-Jazr al-Shaibn al-Kmil f al-Trkh, J.4. Berut: Dr Sadir, tt.
Ibn Hajar al-Aqaln, Amad ibn Al ibn Muammadibn Al al-Kinani al-Aqaln, al-Isbah f Marifah al-¢ahbah, J.2,3,4 . Beirut: Dr el-Kitb al-Arbi, tt .
Ibn Kathr, Ismil ibn Umar ibn Kathr al-Quraishi al-Dimashq, al-Bidyah wa al-Nihyah, Beirut: Dr el-Fikr, 1397 H.
Ibn Mjah, Ab Abd Allh Muammad ibn Yzid al-Qazwn, Sunan ibn Mjah, Beirut: Dr el-Fikr, tt, juz II, hlm, 408, hadith nomor 4057.
Ibn Qutaybah, Ab Muammad Abd Allh ibn Muslim al-Dinwar, al-Immah wa al-Siysah, J.1,2 Kairo: Muassasah al-Halabi wa Shirkah li al-Nashr wa al-tawzi, 1962.
Ibn Saad, Muammad ibn Saad ibn Mani al-Zuhr, al-°abaqt al-Kubr, 1-9, Beirut: Dr el-¢dr, tt)
............ Al-°abaqt al-Kubr: Al-°abaqt al-Khmisah min al-¢abah, J.1,2.Editor, Muammad ¢amil al-Sulm, Mesir: Maktabah al-¢adq.
Ibn Ynus, Zain al-Dn Ab Muammad ibn Ynus al-mil, al-Sirt al-Mustaqim ila al-Mustaaqq al-Taqdm, J.2. Teheran: Maktabah al-Murta«awiyah, tt.
Jabali, Fuad, A Study of Companions of the Prophet: Geographical Distribution and Political Alignments, (Disertasi ), Montreal: McGill University, 1999.
Lapidus, Ira M, A History of Societies, Cambridge: Cambridge University press, 1998.
Lewis, Bernard, Islami History: Ideas, Mean and Events in the Middleeast, London: Alcove Press, Ltd, 1973.
Mahmudunnaser, Syed, Islam dalam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Rosdakarya, 1991.
al-Naww, Muhy al-Dn Yahy ibn Syarf ibn Mury dalam Shar ¢a Muslm, Juz 15 Beirut: Dr Iy al-Turth al-Arab, tt.
Rahmat, Jalaluddin, ”Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Quran dan Sejarah”, dalam Satu Islam Sebuah Dilema, Ed. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1993.
al-Shihristn, Ab al-Fat Muammad Abd al-Karm ibn Ab Bakr Amad, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dr el-Fikr, 1419 H/1999 M.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Cet. I, Jakarta: Univ. Indonesia Press, 1990.
Sumaryono, E. Heurmeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
al-Suy¯, Jall al-Dn, Trkh al-Khulaf, Beirut: Dr el-Fikr,1974.
Syal¯¯, Muammad, Kairo: al-Haiah al-Miriyah al-Ammah li al-Kitb, 1974.
al-°abr, Ab Jafar Muammad ibn Jarr, Trkh al-Umam wa al-Mulk, J. 2, 3,4, 5, 6, Beirut: Muassasah al-Alam li al-Ma¯bat, 1879.
al-Turmu§, Ab s Muammad ibn s ibn Sawrah ibn Ms ibn al-¬aak al-Sulam al-Bugh, dalam Sunan ”Kitb al-mn,” bab m j a f iftirq ha§hi al-ummah. Juz IV.
Vaglieri, Laura Veccia, “The Patriarchal and Umayyad Calipathes”, dalam P. M. Holt, The Cambridge History of Islam, vol.1, Cambridge: Cambridge University Press, 1970.
Watt, W. Montgomery (terj), Studi Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana,1999)
Yamani, Muammad Abduh, Allim Awldakum Maabbah Al al-Bait al-Nbi Saw, Jeddah, Muassasah Ulm al-Qurn, 1412 H/1992 M
al-§ahab, Muammad ibn Amad ibn Uthmn, Duwal al-Islm,J.1 (ed) Fuhaim.
Zaidan, Jurz, Tarkh Tamaddun al-Islam, J.1. Mesir: Dr el-Hilal, tt.